PENGGUNAAN HUKUM PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG PERKAWINAN

dokumen-dokumen yang mirip
KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM UNDANG- UNDANG TENTANG PERKAWINAN 1

I. PENDAHULUAN. masing-masing wilayah negara, contohnya di Indonesia. Indonesia memiliki Hukum

BAB I PENDAHULUAN. resmi yang berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturan-peraturan

BAB III ZINA LAJANG DALAM PERSPEKTIF RKUHP (RKUHP) Tahun 2012 Bagian Keempat tentang Zina dan Perbuatan

REORIENTASI KEBIJAKAN FORMULASI SANKSI PIDANA PENJARA TERHADAP PEREMPUAN PELAKU TINDAK PIDANA DALAM RANCANGAN KUHP (RKUHP)

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Jalan, Bagian Jalan, & Pengelompokan Jalan

BAB I PENDAHULUAN. perzinaan dengan orang lain diluar perkawinan mereka. Pada dasarnya

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI PENGADAAN BARANG DAN JASA. Nisa Yulianingsih 1, R.B. Sularto 2. Abstrak

I.PENDAHULUAN. Pembaharuan dan pembangunan sistem hukum nasional, termasuk dibidang hukum pidana,

I.PENDAHULUAN. Pembaharuan dan pembangunan sistem hukum nasional, termasuk dibidang hukum pidana,

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. kejahatan adalah mencakup kegiatan mencegah sebelum. Perbuatannya yang anak-anak itu lakukan sering tidak disertai pertimbangan akan

Kebijakan Kriminal, Penyalahgunaan BBM Bersubsidi 36

BAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul. Pidana Penjara Seumur Hidup (selanjutnya disebut pidana seumur hidup)

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA

Pasal 48 yang berbunyi :

LAMPIRAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR : 8TAHUN 2010 TANGGAL : 6 SEPTEMBER 2010 TENTANG : TATA CARA PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

UPAYA PENEGAKAN HUKUM NARKOTIKA DI INDONESIA Oleh Putri Maha Dewi, S.H., M.H Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta

kejahatan ekonomi di bidang perbankan dalam hukum pidana yang akan datang.

PENDEKATAN NON-PENAL DALAM UPAYA MENCEGAH TERJADINYA TINDAK PIDANA ANTARA KEPALA DESA DAN BPD. Oleh: M. Arief Amrullah 1

KEBIJAKAN SANKSI PIDANA TERHADAP ORANG TUA YANG TIDAK MELAKSANAKAN PENETAPAN UANG NAFKAH ANAK OLEH PENGADILAN PASCA PERCERAIAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kebijaksanaan ( policy) merupakan kata istilah yang digunakan sehari-hari, tetapi karena

PERKARA PIDANA DI PENGADILAN AGAMA. Oleh: Ahsan Dawi Mansur. Bagi sebagian orang judul di atas terasa aneh, atau bahkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hak dan kewajiban merupakan sesuatu yang melekat dan menyatu pada

BAB III ANALISA HASIL PENELITIAN

PIDANA PENGAWASAN DALAM PERSPEKTIF PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA. Oleh : I Made Ardian Prima Putra Marwanto

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB I PENDAHULUAN. langsung merugikan keuangan Negara dan mengganggu terciptanya. awalnya muncul Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang

PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA DI DALAM KUHP SEBAGAI UPAYA KESELARASAN SISTEM PEMIDANAAN ATURAN HUKUM DENGAN UNDANG UNDANG KHUSUS DI LUAR KUHP

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1999 TENTANG LALU LINTAS DEVISA DAN SISTEM NILAI TUKAR

PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA PEMALSUAN MATA UANG DOLLAR. Suwarjo, SH., M.Hum.

KEBIJAKAN PENERAPAN SANKSI PIDANA DALAM PERATURAN DAERAH PROVINSI JAMBI TENTANG PAJAK DAERAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1999 TENTANG BANK INDONESIA [LN 1999/66, TLN 3843]

DAFTAR PUSTAKA. Arief, Barda Nawawi Berbagi Aspek Kebijakan Penegakan Pembangunan Hukum Pidana. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung.

BAB I. Hakim sebagai salah satu penegak hukum bertugas memutus perkara yang. diajukan ke Pengadilan. Dalam menjatuhkan pidana hakim berpedoman pada

BAB V PENUTUP. 1. Tanggung Jawab Bank Dan Oknum Pegawai Bank Dalam. Melawan Hukum Dengan Modus Transfer Dana Melalui Fasilitas

UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH [LN 2008/59, TLN 4844]

TINDAK PIDANA PENGHINAAN DAN PENCEMARAN NAMA BAIK

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT [LN 1999/33, TLN 3817]

BAB IV ANALISIS YURUDIS TERHADAP KEBIJAKAN KEPALA DESA YANG MENAMBAH USIA NIKAH BAGI CALON SUAMI ISTRI YANG BELUM

TINJAUAN PUSTAKA. Upaya penanggulangan tindak pidana dikenal dengan istilah kebijakan kriminal

UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN

BAB I PENDAHULUAN. didasarkan atas kekuasaan. Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 ayat (3)

I. PENDAHULUAN. terhadap tindak pidana pencurian, khususnya pencurian dalam keluarga diatur didalam

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

POLITIK HUKUM PEMERINTAH DALAM PENYUSUNAN RUU KUHP. Prof. Dr. Enny Nurbaningsih, S.H.,M.Hum. Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional

BAB III PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang Dimuat

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Pengaturan Tindak Pidana Perzinahan atau Kumpul Kebo

Kejahatan merupakan bayang-bayang peradaban manusia, bahkan lebih maju dari peradaban

II. TINJAUAN PUSTAKA

KEBIJAKAN FORMULASI PIDANA MATI TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA. Abstrak

BAB I PENDAHULUAN. dihukum 5 (lima) tahun penjara. Pembandingnya adalah para koruptor di republik

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN KEJAHATAN EKONOMI DI BIDANG PERBANKAN

PERBANDINGAN PENGATURAN PIDANA DENDA DI DALAM KUHP DAN TINDAK PIDANA DI LUAR KUHP. Oleh : Diana Tri Iriani ABSTRAK

RANCANGAN. : Ruang Rapat Komisi III DPR RI : Pembahasan DIM RUU tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 132/PUU-XIII/2015 Ketentuan Pidana Bagi Penyedia Jasa dan Pemakai Pada Tindak Pidana Prostitusi

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN. dasar dari dapat dipidananya seseorang adalah kesalahan, yang berarti seseorang

POTENSI KEJAHATAN KORPORASI OLEH LEMBAGA PEMBIAYAAN DALAM JUAL BELI KENDARAAN SECARA KREDIT Oleh I Nyoman Gede Remaja 1

BAB II PENGATURAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PENCABULAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK. 1. Ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dactyloscopy Sebagai Ilmu Bantu Dalam Proses Penyidikan

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA MATERIIL DI BIDANG PASAR MODAL. BAMBANG ALI KUSUMO, SH., MHum. Dosen Fakultas Hukum UNISRI

hukum terhadap tindak pidana pencurian, khususnya pencurian dalam keluarga diatur

PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PEMALSUAN DAN PENGEDARAN UANG PALSU SKRIPSI

BAB II PIDANA TAMBAHAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI YANG BERUPA UANG PENGGANTI. A. Pidana Tambahan Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Berupa Uang

Matriks Perbandingan KUHAP-RUU KUHAP-UU TPK-UU KPK

BAB IV ANALISIS PENETAPAN PA SIDOARJO NOMOR. 94/PDT.P/2008/PA.SDA TENTANG PERUBAHAN NAMA SUAMI DALAM PERKAWINAN

Kebijakan Hukum Pidana Perlindungan Korban Perkawinan Terhadap. Kasus : Perkawinan Pujiono Cahyo Widianto. Dengan Lutviana Ulfah)

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi

I. PENDAHULUAN. kemakmuran bagi rakyatnya. Namun apabila pengetahuan tidak diimbangi dengan rasa

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan

I. PENDAHULUAN. juga diikuti dengan berkembangnya permasalahan yang muncul di masyarakat. Perkembangan

Pedoman Klausula Baku Bagi Perlindungan Konsumen

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA

I. PENDAHULUAN. karna hukum sudah ada dalam urusan manusia sebelum lahir dan masih ada

I. PENDAHULUAN. mengisi kemerdekaan dengan berpedoman pada tujuan bangsa yakni menciptakan

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1992 TENTANG PERBANKAN [LN 1998/82, TLN 3790]

RELEVANSI PIDANA KERJA SOSIAL DALAM PERSPEKTIF PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

BAB I PENDAHULUAN. kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan bimbingan dan

I. PENDAHULUAN. beberapa opini juga dapat menyebabkan seseorang sebagai korban dikarenakan

PEMBERLAKUAN ASAS RETROAKTIF DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA

II. TINJAUAN PUSTAKA. wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pasal 1 angka 11 Bab 1 tentang Ketentuan Umum Kitab Undang-Undang Hukum

KEBIJAKAN FORMULASI ASAS SIFAT MELAWAN HUKUM MATERIEL DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA

BAB II PIDANA PENJARA MENURUT KUHP DAN KONSEP KUHP BARU. pencabutan kemerdekaan khususnya pidana penjara. Pidana pencabutan

I. PENDAHULUAN. Penyalahgunaan izin tinggal merupakan suatu peristiwa hukum yang sudah sering

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang dilarang atau diharuskan dan diancam dengan pidana oleh undang-undang,

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Pidana. hukum yang berlaku disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturanaturan

PERKEMBANGAN PIDANA DENDA DALAM PERSPEKTIF PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA

adalah penerapan pidana yang tidak sama terhadap tindak pidana yang

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG TINDAK PIDANA PELAYARAN DI INDONESIA. A. Pengaturan Tindak Pidana Pelayaran Di Dalam KUHP

I. PENDAHULUAN. Masalah korupsi pada akhir-akhir ini semakin banyak mendapat perhatian dari

PEMERINTAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II G R E S I K PERATURAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II GRESIK NOMOR 30 TAHUN 1997 TENTANG

Transkripsi:

PENGGUNAAN HUKUM PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG PERKAWINAN (Pengantar Diskusi) Oleh: Dr. M. Arief Amrullah, S.H., M.Hum. 1 A. NDAHULUAN Undang-undang tentang Perkawinan sebagaimana diatur dalam Undangundang Nomor: 1 Tahun 1974 (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor: 1), sebenarnya termasuk dalam kelompok peraturan-peraturan hukum administratif. Undang-undang ini dalam perkembangannya hendak ditinjau kembali untuk disesuaikan dengan perkembangan zaman. Secara sosiologis, suatu undangundang-undang yang dibuat dalam kurun waktu tertentu adalah sesuai dengan perkembangan ketika itu, akan tetapi karena masyarakat juga berkembang, maka undang-undang yang dibuat tadi menjadi tidak atau kurang relevan lagi sehingga perlu untuk dilakukan peninjauan kembali atau melakukan reorientasi atau reevaluasi, atau dengan kata lain perlu melakukan pembaharuan hukum, yaitu pembaharuan terhadap Undang-undang Nomor: 1 Tahun 1974. Pembaharuan itu sendiri pada hakikatnya merupakan bagian dari kebijakan atau politik hukum. Pembaharuan yang hendak dilakukan saat ini, di antaranya adalah mengenai ketentuan pidananya, yaitu sebagaimana yang ditunjukan dalam Rancangan Undang-undang tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor: 1 Tahun 1974 yang diusulkan oleh Badan Legislasi DPR-RI. Kebijakan penal yang terimplementasi dalam Undang-undang Perkawinan saat ini, adalah diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan Tahun 1974 dan tidak diatur sendiri oleh Undang-undang Nomor: 1 Tahun 1974. Pasal 45 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 mencantumkan ancaman pidana bagi pria yang menikah lebih dari satu tanpa izin dari pengadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 40 Peraturan Pemerintah ini yang menentukan: apabila seorang suami 1 Anggota TIM RUU Perubahan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Fakultas Hukum Univ. Jember. 1

bermaksud untuk beristri lebih dari seorang maka ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada pengadilan. Pelanggaran terhadap kewajiban tersebut diatur dalam Pasal ayat (1) huruf a Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 dengan maksimum denda Rp 7.500,-- (tujuh ribu lima ratus rupiah). Sedangkan bagi Pencatat Perkawinan yang melanggar ketentuan Pasal-pasal: 6; 7; 8; 9; 10 ayat (1); 11; 13; dan 44 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 dipidana dengan pidana kurungan maksimum tiga bulan atau denda maksimum Rp 7.500,-- (tujuh ribu lima ratus rupiah). Ketentuan ini, apabila dilihat dari segi rumusan ancaman pidananya memang sudah seharusnya untuk ditinjau kembali. Demikian juga halnya dengan penempatan ancaman pidana tersebut, yang seharusnya segala sesuatu yang berkaitan dengan pembatasan hak-hak rakyat adalah diatur dalam undang-undang, bukan dalam peraturan pemerintah. Kebijakan yang hendak mencantumkan ketentuan pidana dalam Undangundang Perkawinan yang akan datang, pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari kecenderungan kebijakan legislatif yang selalu mencantukan ketentuan pidana dalam hukum administrasi. Hukum administrasi pada dasarnya merupakan hukum mengatur atau hukum pengaturan, yaitu hukum yang dibuat dalam melaksanakan kekuasaan mengatur atau kekuasaan pengaturan, sehingga penggunaan istilah hukum pidana administrasi sering pula disebut dengan hukum pidana mengenai pengaturan atau hukum pidana dari aturan-aturan. Dengan demikian, hukum pidana administrasi itu merupakan perwujudan dari kebijakan menggunakan hukum pidana sebagai sarana untuk menegakkan atau melaksanakan norma yang ada dalam hukum administrasi tersebut. 2 Sehubungan dengan telah adanya Rancangan Undang-undang tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor: 1 Tahun 1974 tersebut, maka yang menjadi pertanyaan: apakah relevan mencantumkan hukum pidana sebagai sarana untuk menegakkan norma dalam Undang-undang tentang Perkawinan yang akan datang? Pertanyaan ini mengemuka, karena apabila dikaitkan dengan hukum administrasi 2 Barda Nawawi Arief, Penggunaan Sanksi Pidana Dalam Hukum Administrasi, Makalah yang disampaikan pada Penataran Nasional Hukum Pidana dan Kriminologi, Diselenggarakan oleh ASPEHUPIKI bekersama dengan Fakultas Hukum Universitas Surabaya, Hotel Surya Prigen Pasuruan, Tanggal 13 19 Januari 2002, hal.. 2-3. 2

yang bersanksi pidana, seperti Undang-undang tentang Pasar Modal, Undangundang tentang Perlindungan Konsumen, Undang-undang tentang Perbankan, Undang-undang tentang Larangan Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, dan masih banyak lagi. Kesemuanya lebih banyak mengatur mengenai kegiatan di bidang ekonomi. Sedangkan yang menyangkut perkawinan, apakah tidak sebaiknya cukup mengacu kepada Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) manakala Rancangan Undang-undang (RUU). Karena, di dalam RUU tentang KUHP 1999-2000 telah diatur mengenai hal tersebut dalam Bab XIV tentang Tindak Pidana terhadap Asal-usul dan Perkawinan (Pasal 406 sampai dengan Pasal 410), dan Bab XXIX tentang Tindak Pidana Jabatan (Pasal 576, Pasal 577, Pasal 580). B. KEBIJAKAN HUKUM PIDANA Masalah penggunaan hukum pidana atau sanksi pidana dalam Undangundang tentang Perkawinan, pada dasarnya merupakan bagian dari kebijakan hukum pidana. Dikaitkan dengan diskusi ini, Barda Nawawi Arief mempertanyakan: 3 apakah penggunaan hukum pidana dalam bidang administrasi di Indonesia dapat disamakan dengan administratif penal law. Dalam kaitan ini, Andi Hamzah pernah menulis 4 bahwa di Indonesia perkembangan perundang-undangan pidana di luar KUHP berbeda dengan Belanda. Di Belanda, pada umumnya perundang-undangan pidana di luar KUHP itu dibagi dua, yaitu perundang-undangan pidana dan perundang-undangan administrasi yang bersanksi pidana. Menurut Andi Hamzah perundang-undangan administrasi yang bersanksi pidana itu, biasanya berupa delik pelanggaran saja. Di Indonesia lanjut Andi Hamzah menjadi lain, karena ada perundang-undangan administrasi yang sanksinya sampai pidana mati. Contoh yang dikemukakan, adalah seperti Undangundang tentang Tenaga Atom (Undang-undang Nomor: 31 Tahun 1964). Dengan demikian, apabila dibandingan dengan Belanda, di Indonesia dalam mengimplementasikan kebijakan hukum pidana (penal policy) di bidang hukum 3 Ibid., hal. 3-4. 4 Andi Hamzah, Hukum Pidana Khusus (Economic Crime), Bahan Penataran Nasional: Hukum Pidana dan Kriminologi, Hotel Gracia, Semarang, 23-30 Nopember 1998, hal. 1. 3

administrasi dapat dikatakan tidak ada perbedaan dengan perundang-undangan pidana. Bahkan sekarang ada kecenderungan untuk mencantumkan ketentuan ancaman pidana yang tinggi, baik pidana penjara maupun denda. Jadi, rumusannya lebih berorientasi kepada potential victim daripada actual victim. Atau dengan kata lain lebih ditujukan kepada perlindungan masyarakat daripada ditujukan kepada perlindungan korban nyata atau direct victim. Dalam Rancangan Baru Undang-undang Perkawinan, yaitu Rancangan Perubahan atas Undang-undang Nomor: 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Badan Legislasi DPR-RI telah mencantumkan ketentuan pidana dalam Pasal 9 ayat (2), Pasal 16 ayat (2), dan Pasal 20 ayat (2), yang sebelumnya tidak diatur dalam Undang-undang Nomor: 1 Tahun 1974. Semula, dalam Undang-undang Nomor: 1 Tahun 1974 mengenai ketentuan Pasal 9 itu tidak dipecah ke dalam ayat-ayat, akan tetapi oleh Badan Legislasi DPR-RI dibagi menjadi dua ayat. Rumusan yang telah diatur dalam Pasal 9 ditempatkan menjadi ayat (1), sedangkan ayat (2) yang berisi ketentuan pidana itu merupakan tambahan dari Badan Legislasi DPR-RI, yang berbunyi: Suami yang melanggar ketentuan ayat (1) di atas dapat dikenakan sanksi pidana penjara sekurang-kurangnya 6 (enam) tahun. Adapun alasan mencantumkan ketentuan pidana tersebut, dapat diketahui dari keterangan Badan Legislasi DPR-RI yang menyatakan: Perlu adanya sanksi agar dapat terwujudnya ketentuan yang diatur dalam Pasal 3 ayat (2) sehingga tidak mudah untuk dilanggar (mengacu pada Pasal 279 KUHP). Selanjutnya, Pasal 16 Undang-undang Nomor: 1 Tahun 1974 yang terdiri dari dua ayat itu, dalam Rancangan Baru ketentuan yang diatur dalam ayat (1) tetap tidak berubah. Perubahan hanya pada ayat (2) yang berbunyi: Bagi pejabat yang ditunjuk yang melanggar ketentuan ini akan diberikan sanksi berupa peringatan sampai dengan pemecatan terhadap status PNS. Adapun alasan pencantuman sanksi seperti ini, adalah sesuai dengan keterangan yang diberikan oleh Badan Legislasi DPR-RI: Karena ketentuan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Pasal 45 ayat (1) butir a dan b tidak sesuai lagi dengan rasa keadilan. Kemudian, seperti halnya dengan ketentuan Pasal 9 di atas, yang tidak dipecah ke dalam ayat-ayat, akan tetapi dalam Rancangan Baru dibagi menjadi dua 4

ayat. Rumusan yang telah diatur dalam Pasal 20 ditempatkan menjadi ayat (1), sedangkan ayat (2) yang berisi ketentuan pidana itu merupakan tambahan dari Badan Legislasi DPR-RI, yang berbunyi: Pegawai pencatat perkawinan yang melanggar ketentuan ayat (1) di atas dikenakan sanksi pidana penjara sekurangkurangnya 1 (satu) tahun dan dikenakan sanksi administrasi. Terlepas dari rumusan sanksi yang demikian itu, tapi apa yang telah dirancang oleh Badan Legislasi DPR-RI tersebut, tentu dapat dimengerti adalah sebagai upaya untuk mendukung norma yang ada dalam Undang-undang Perkawinan. Undangundang Perkawinan sebagai perundang-undangan administrasi yang selanjutnya hendak dicantumkan ketentuan pidana di dalamnya, sehingga nantinya dapat disebut sebagai undang-undang administrasi yang bersanksi pidana, maka kedudukan hukum pidana tersebut menurut Muladi 5 adalah sebagai penunjang penegakan norma yang berada dalam hukum administrasi tersebut. Kendati kedudukannya sebagai penunjang, akan tetapi dalam hal-hal tertentu lanjut Muladi, hukum pidana dapat juga lebih fungsional daripada sekedar hanya berfungsi subsidiair. Meskipun begitu, Muladi mengingatkan bahwa penggunaan hukum pidana sebagai primum remedium harus dilakukan dengan hati-hati dan selektif, yaitu dengan mempertimbangkan, baik kondisi objektif (yang berkaitan dengan perbuatan) maupun hal-hal subjektif (yang berkaitan dengan pelaku), kerugian atau korban yang ditimbulkan, kesan masyarakat terhadap tindak pidana yang bersangkutan, serta tujuan pemidanaan yang hendak dicapai. Ini berarti, bahwa hukum pidana sebagai bagian dari sistem yang lebih luas tidak dapat menghindarkan diri dari berbagai perkembangan yang terjadi dalam sistem yang lebih besar tersebut. Untuk itu, keterlibatan hukum pidana selain dapat bersifat otonom, juga dapat bersifat sebagai pelengkap terhadap hukum lain. Dengan demikian, tanpa dukungan hukum pidana dalam hukum administrasi, termasuk Undang-undang Perkawinan, dirasakan belum kuat untuk menegakkan undang-undang dimaksud. Padahal, apabila memperhatikan ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 407 misalnya, pada intinya mengancam dengan pidana penjara 5 Ibid. hal. 7-8. 5

paling lama lima tahun atau denda paling banyak Kategori IV (Rp 7.500.000,--) bagi setiap orang yang melangsungkan perkawinan, sedang perkawinannya yang ada menjadi penghalang yang sah untuk melangsungkan perkawinan tersebut, atau perkawinan dari pihak lain menjadi penghalang yang sah untuk dilangsungkannya perkawinan tersebut. Penjelasan Pasal 407 ini menyebutkan: yang dimaksud dengan perkawinan yang ada menjadi penghalang yang sah adalah perkawinan yang dapat digunakan sebagai alasan untuk mencegah atau membatalkan perkawinan berikutnya yang dilakukan oleh salah satu pihak yang terikat oleh perkawinan tersebut sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Kemudian, Pasal 576 menentukan: (1) setiap orang yang berwenang mengawinkan orang menurut hukum yang berlaku bagi kedua belah pihak, melangsungkan perkawinan seseorang, padahal mengetahui bahwa perkawinan atau perkawinan-perkawinannya yang sudah ada pada waktu itu menjadi halangan yang sah baginya untuk kawin lagi, dipidana dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun; (2) setiap orang yang berwenang mengawinkan orang menurut hukum yang berlaku bagi kedua belah pihak, melangsungkan perkawinan seseorang, padahal mengetahui bahwa perkawinan tersebut ada halangan yang sah selain halangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun atau denda paling banyak kategori III (Rp 3.000.000,--). Apabila memperhatikan ketentuan pidana yang dirumuskan dalam pasal-pasal RUU tentang KUHP di atas, sudah lebih terperinci daripada yang diusulkan oleh Tim Legislasi DPR-RI. Karena itu, kembali kepada pertanyaan yang dikemukakan pada bagian akhir bagian Pendahuluan tadi, apakah tidak sebaiknya cukup mengacu saja kepada ketentuan KUHP manakala RUU tentang KUHP sudah diundangkan. Namun masalahnya, hingga kini RUU tentang KUHP masih belum diundangkan, entah kapan? 6