BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Menurut Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan No. 1 (Revisi 2013) laporan keuangan merupakan bagian dari proses pelaporan keuangan. Laporan keuangan yang lengkap biasanya meliputi neraca, laporan laba rugi dan penghasilan komprehensif lain, laporan perubahan posisi keuangan (yang dapat disajikan dalam berbagai cara misalnya, sebagai laporan arus kas, atau laporan arus dana), catatan laporan keuangan. Disamping itu juga skedul dan informasi tambahan yang berkaitan dengan laporan tersebut, misalnya, informasi keuangan segmen industri dan geografis serta pengungkapan pengaruh perubahan harga. Kecenderungan untuk memperhatikan laba yang terdapat dalam laporan laba rugi yang ditentukan banyak peneliti. Situasi ini didasari oleh manajemen terutama dari kalangan manajemen yang kinerjanya diukur berdasarkan informasi tersebut, sehingga mendorong timbulnya dysfunctional behavior. Salah satu cara perusahaan untuk mengatur penyajian laba sesuai dengan yang diharapkannya adalah dengan melakukan aktivitas income smoothing (perataan laba). Income smoothing merupakan bentuk umum earnings management. Menurut strategi ini, manajer meningkatkan atau menurunkan laba yang dilaporkan untuk mengurangi fluktuasinya. Menurut Kieso (2010), earnings management biasanya didefinisikan sebagai perencanaan waktu dalam mengakui revenues, expenses, gains, dan losses 1
2 untuk menjaga kestabilan earnings perusahaan. Pada banyak kasus, umumnya earnings management ini digunakan untuk meningkatkan income sekarang. Tetapi tidak menutup kemungkinan juga dapat digunakan untuk menurunkan income pada periode sekarang dan meningkatkan income pada periode sekarang. Menurut Beidleman dalam Belkaoui (2004) perataan dari laba yang dilaporkan dapat didefinisikan sebagai pengurangan atau fluktuasi yang disengaja terhadap beberapa tingkatan laba yang saat ini dianggap normal oleh perusahaan. Dengan pengertian ini, perataan mencerminkan sautu usaha dari manajemen perusahaan untuk menurunkan variasi yang abnormal dalam laba sejauh yang diizinkan oleh prinsip-prinsip akuntansi dan manajemen yang baik. Beliau juga mempertimbangkan dua alas an manajemen meratakan laporan laba. Pendapat pertama berdasar pada asumsi bahwa suatu aliran laba yang stabil dapat mendukung dividen dengan tingkat yang lebih tinggi daripada suatu aliran laba yang lebih variable, yang memberikan pengaruh yang menguntungkan bagi nilai saham perusahaan seiring dengan turunnya tingkat risiko perusahaan secara keseluruhan. Argumen kedua berkenaan pada perataan kemampuan untuk melawan hakikat laporan laba yang bersifat siklus dan kemungkinan juga akan menurunkan korelasi antara ekspektasi pengembalian perusahaan dengan pengembalian portofolio pasar. Praktik perataan laba merupakan fenomena yang umum dan dilakukan banyak negara. Namun demikian, praktik perataan ini dilakukan dengan sengaja dan dibuat-buat dapat menyebabkan pengungkapan laba yang tidak memadai atau menyesatkan. Sebagai akibatnya, investor mungkin tidak memperoleh informasi
3 yang akurat, yang memadai mengenai laba untuk mengevaluasi hasil dan risiko dari portofolio mereka. Menurut Barnea et al. dalam Belkaoui (2004) perataan laba dapat melalui beberapa dimensi perataan laba, yaitu: (1) perataan laba melalui kejadian atau pengakuan suatu peristiwa, (2) perataan laba melalui alokasi selama satu periode tertentu, (3) perataan laba melalui klasifikasi. Dilakukannya tindakan perataan laba ini biasanya untuk mengurangi pajak, meningkatkan kepercayaan investor yang beranggapan laba yang stabil akan mengurangi kebijakan deviden yang stabil dan menjaga hubungan antara manajer dan pekerja untuk mengurangi gejolak kenaikan laba dalam pelaporan laba yang cukup tajam. Praktik perataan laba sendiri meliputi permasalahan serius yang menarik untuk diteliti. Alasannya, perataan laba seolah-olah telah menjadi sesuatu yang biasa dilakukan dan menjadi budaya perusahaan (corporate culture) yang dipraktikan oleh banyak perusahaan. Akibat yang ditimbulkan dari aktivitas rekayasa manajerial ini tidak hanya menghancurkan tataran ekonomi, namun juga tatanan etika dan moral. Ini sebabnya masyarakat meragukan informasi-informasi yang disajikan dalam laporan keuangan. Informasi yang seharusnya menjadi sumber utama untuk mengetahui kondisi perusahaan yang sesungguhnya kehilangan makna dan fungsi karena penyimpangan ini. Tindakan earnings management telah memunculkan beberapa kasus skandal pelaporan akuntansi yang secara luas diketahui, antara lain Enron, Merck, World Com, dan mayoritas perusahaan lain di Amerika Serikat. Beberapa kasus yang terjadi di Indonesia, seperti PT. Lippo Tbk., PT. Kimia Farma Tbk., PT.
4 Kereta Api Indonesia, dan PT. Kaltim Prima Coal juga melibatkan pelaporan keuangan (financial reporting) yang berawal terdeteksi adanya manipulasi. Salah satu kasus yang terjadi di Indonesia, seperti PT. Kimia Farma Tbk. PT. Kimia Farma adalah suatu produsen obat-obatan milik pemerintah di Indonesia. Pada audit tanggal 31 Desember 2001, manajemen Kimia Farma melaporkan adanya laba bersih sebesar Rp. 132 miliar, dan laporan tersebut di audit oleh Hans Tuanakotta & Mustofa (HTM). Akan tetapi, Bapepam menyebutkan terdapat kesalahan penyajian dalam laporan keuangan PT. Kimia Farma, adapun dampak kesalahan tersebut mengakibatkan overstated laba pada laba bersih untuk tahun yang berakhir 31 Desember 2001 sebesar 32,7 miliar. Kesalahan itu timbul pada unit Industri Bahan Baku yaitu kesalahan berupa overstated penjualan sebesar Rp. 2,7 miliar, pada unit Logistik Sentral berupa overstated persediaan barang sebesar Rp. 23,9 miliar, pada unit Pedagang Besar Farmasi berupa overstated persediaan sebesar Rp. 8,1 miliar dan overstated penjualan sebesar Rp. 10,7 miliar (Siaran Pers Bapepam, 27 Desember 2002). Kasus manipulasi laporan keuangan juga pernah terjadi pada PT. Kereta Api Indonesia. Diduga terjadi manipulasi data dalam laporan keuangan PT. Kereta Api Indonesia (KAI) tahun 2005, perusahaan BUMN itu dicatat meraih keuntungan sebesar Rp. 6,9 miliar. Padahal apabila diteliti dan dikaji lebih rinci, perusahaan seharusnya menderita kerugian sebesar Rp. 63 miliar. Laporan keuangan tersebut telah diaudit oleh Kantor Akuntan Publik S. Manan. Setelah hasil audit tersebut diteliti dengan seksama, ditemukan adanya kejanggalan dari laporan keuangan PT. KAI tahun 2005 (Kompas, 5 Agustus 2006).
5 Kasus lain yang pernah terjadi adalah kasus pajak yang dilakukan oleh Grup Bakrie, salah satunya adalah kasus PT. Kaltim Prima Coal (KPC) yang merupakan salah satu perusahaan tambang batu bara milik Grup Bakrie selain PT. Bumi Resources Tbk. dan PT. Arutmin Indonesia yang terduga terkait tindak pidana pajak tahun 2007. Dimana KPC diduga (setelah penyelidikan) oleh Dirjen Pajak memilik kurang bayar sebesar Rp. 1,5 triliun dan ditemukan adanya indikasi tindak pidana pajak berupa rekayasa penjualan yang dilakukan oleh KPC pada tahun 2007 untuk meminimalkan pajak (Tempo, 9 Februari 2010). Hal inilah yang dapat menimbulkan praktik manajemen laba yang berhubungan dengan pajak tangguhan dalam merekayasa penjualan untuk meminimalkan pajak yang dibayar. Dengan dilakukannya perataan laba, maka reliabilitas laporan laba rugi bagi investor menjadi berkurang yang dapat menyebabkan investor salah dalam mengambil keputusan investasinya. Selain itu, relevansi nilai informasi akuntansi pun menjadi berkurang pada perusahaan yang cenderung melakukan perataan laba. Rasionalitas yang mendasari studi ini adalah adanya hubungan antara laba dengan ukuran perusahaan, profitabilitas dan leverage. Bila laba dimanipulasi maka rasio keuangan dalam laporan keuangan juga akan dimanipulasi. Pada akhirnya, bila pengguna laporan keuangan menggunakan informasi yang telah dimanipulasi untuk tujuan pengambilan keputusannya, maka keputusan tersebut secara tidak langsung telah termanipulasi. Disisi lain, laporan keuangan dimanfaatkan oleh investor dalam pengambilan keputusan ekonomiya. Analisis
6 untuk investor dari informasi yang telah diperoleh dari laporan keuangan dan laporan lainnya yang mencakup ukuran perusahaan, profitabiltas dan leverage. Penelitian ini merupakan pengembangan studi Suwito dan Herawaty (2005). Variable yang digunakan dalam penelitian ini yaitu jenis usaha, ukuran perusahaan, profitabilitas, net profit margin dan leverage operasi memberikan kesimpulan yang berbeda dari penelitian sebelumnya. Dimana mereka menyimpulkan bahwa tidak ada faktor yang berpengaruh secara signifikan terhadap praktik perataan laba. Perbedaan dengan penulisan terdahulu penulis mengambil sampel perusahaan food and beverages yang terdaftar di BEI periode 2008-2012. Serta penggunaan variable financial leverage sebagai pengganti dari variable leverage operasi. Hal ini berdasarkan alasan bahwa financial leverage menunjukkan efisiensi perusahaan memanfaakan ekuitas pemilik dalam rangka mengantisipasi hutang jangka panjang dan jangka pendek perusahaan sehingga tidak akan menggangu operasi perusahaan secara keseluruhan dalam jangka panjang. Karena hutang yang besar mengakibatkan rasio leverage menjadi besar yang mengakibatkan risiko semakin meningkat. Jadi semakin besar leverage, maka risiko yang ditanggung oleh pemilik modal juga akan semakin meningkat (Widyaningdyah, 2001). Rasio leverage yang besar menyebabkan turunnya minat investor untuk menanamkan modalnya pada perusahaan tersebut, sehingga dapat memicu adanya tindakan perataan laba (Narsa, dkk., 2003). Oleh karena banyaknya penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, maka penulis juga bermaksud ingin menyusun penelitian yang berjudul:
7 PENGARUH UKURAN PERUSAHAAN DAN FINANCIAL LEVERAGE TERHADAP TINDAKAN PERATAAN LABA PADA PERUSAHAAN FOOD AND BEVERAGES YANG TERDAFTAR DI BURSA EFEK INDONESIA 1.2 Identifikasi Masalah Berdasarkan uraian sebelumnya, maka permasalahan pokok dalam penelitian ini adalah: 1. Apakah ukuran perusahaan berpengaruh terhadap tindakan perataan laba. 2. Apakah financial leverage berpengaruh terhadap perataan laba. 3. Apakah ukuran perusahaan dan financial leverage berpengaruh terhadap tindakan perataan laba. Agar penelitian ini dapat memberikan pemahaman sesuai yang diharapkan, maka batasan dalam penulisan ini akan dibahas mengenai Pengaruh Ukuran Perusahaan dan Financial Leverage Terhadap Tindakan Perataan Laba Pada Perusahaan Food and Beverages yang Terdaftar di BEI. 1.3 Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian untuk penulisan ini yaitu untuk menganalisis dan mengetahui : 1. Pengaruh ukuran perusahaan terhadap tindakan perataan laba. 2. Pengaruh financial leverage terhadap tindakan perataan laba.
8 3. Pengaruh ukuran perusahaan dan financial leverage terhadap tindakan perataan laba. 1.4 Kegunaan Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagi para investor, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam menganalisis laporan keuangan emiten yang dipublikasikan. 2. Bagi emiten, diharapkan dapat memberikan petunjuk tentang pentingnya kejelasan dan kelengkapan informasi keuangan dalam mempublikasikan laporan keuangan bagi investor. 3. Bagi peneliti, penelitian ini berguna untuk menambah pengetahuan dan wawasan tentang masalah yang diteliti, dan untuk memenuhi salah satu syarat dalam menempuh ujian sarjana ekonomi prodi akuntansi pada fakultas ekonomi Universitas Widyatama. 4. Bagi pihak lain, hasil penelitian ini dapat dipergunakan sebagai bahan bacaan yang bermanfaat atau sebagai salah satu literatur atau referensi untuk melakukan penelitian lebih lanjut. 1.5 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini mengambil sampel pada perusahaan food and beverages yang telah go public di Bursa Efek Indonesia. Pengambilan sumber data diperoleh dari internet melalui situs www.idx.co.id dan Indonesian Capital Market
9 Directory (ICMD). Adapun waktu penelitian dilakukan mulai bulan November 2013 sampai dengan selesai.