REPRESENTASI NILAI KEPAHLAWANAN DALAM FILM (Studi analisis semiotik nilai-nilai kepahlawanan yang di representasikan dalam film Harap Tenang Ada Ujian) SUSI DEVIYANA D1207555 SKRIPSI Digunakan untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Sosial Pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Komunikasi PROGRAM ILMU KOMUNIKASI NON REGULER FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2011
HALAMAN PERSETUJUAN Disetujui untuk dipertahankan di hadapan Panitia Penguji Skripsi Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II Dra. Prahastiwi Utari, M.Si, Ph.D Nora Nailul Amal. S.Sos, MLMEd, Hons NIP. 196008131987022001 NIP. 198014292005012002
HALAMAN PENGESAHAN Pada hari : Tanggal : Panitia Penguji : Skripsi ini Telah Diuji dan Disahkan Oleh Panitia Ujian Skripsi Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta 1. Drs. A. Eko Setyanto. MS ( ) NIP. 195806171987021001 2. Tanti Hermawati, S.Sos, M.Si ( ) NIP.196902071995122001 3. Dra. Prahastiwi Utari, M.Si, Ph.D ( ) NIP. 196008131987022001 4. Nora Nailul Amal. S.Sos, MLMEd, Hons ( ) NIP. 198014292005012002 Mengetahui, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta Prof. Drs. Pawito, Ph.D NIP. 195408051985031002
DAFTAR ISI Halaman Judul Halaman Persetujuan Halaman Pengesahan Halaman Motto Halaman Persembahan Kata Pengantar Daftar Isi i ii iii iv v vii BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang 1 2. Rumusan Masalah 9 3. Tujuan Penelitian 10 4. Manfaat Penelitian 10 5. Telaah Pustaka 11 5.1 Definisi Komunikasi 12 5.2 Pesan Komunikasi 17 5.3 Film Sebagai Media Komunikasi Massa 20 5.4 Film Sebagai Representasi 25 5.5 Film Pendek 27 5.6 Semiologi Dalam Film 32
5.7 Nilai-Nilai Kepahlawanan 44 5.8 Aspek Sinematografi 53 6. Definisi Konseptual 57 6.1 Film Pendek 57 6.2 Kepahlawanan 58 7. Kerangka Pikir 60 8. Metode Penelitian 62 8.1 Teknik Pengumpulan Data 65 8.2 Analisis Data 66 BAB II SEKILAS TENTANG FILM HARAP TENANG, ADA UJIAN! DAN FOURCOLOURS FILMS 1. Film Harap Tenang, Ada Ujian! 68 2. Festival dan Awards 69 3. Profil Sutradara 70 4. Profil Fourcolours Films 71 BAB III ANALISIS DATA 1. Aplikasi Sistem Pertandaan Dalam semiologi Roland Barthes 73 2. Simbol Sosial Nilai-Nilai Kepahlawanan Dalam
Film Harap Tenang, Ada Ujian! 76 2.1 Keberanian 76 2.2 Pantang Menyerah 90 2.3 Rela Berkorban 95 2.4 Kesetiakawanan Sosial 101 BAB IV PENUTUP 1. KESIMPULAN 108 2. SARAN 109 DAFTAR PUSTAKA 111 LAMPIRAN
ABSTRAK Susi Deviyana, D1207555, Representasi Nilai Kepahlawanan Dalam Film Harap Tenang, Ada Ujian! (Studi Deskriptif Kualitatif menggunakan Analisis Semiologi Terhadap Film Harap Tenang, Ada Ujian! ) Nilai-nilai kepahlawanan merupakan salah satu hal yang harus di teladani, karena seiring perkembangan jaman tidak jarang orang semakin menjadi individualistis. Untuk menyampaikan pesan mengenai nilai kepahlawanan dapat disampaikan melalui film karena film merupakan salah satu bentuk dari media massa, dan cerita dalam film biasanya berangkat dari sebuah fenomena yang terjadi disekitar kita. Seperti film Harap Tenang, Ada Ujian! yang mengambil tema tentang kepahlawanan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui lebih dalam apakah tanda-tanda yang digunakan untuk merepresentasikan nilai-nilai kepahlawanan yang ada dalam film Harap Tenang, Ada Ujian! tersebut. Dengan mengetahui dan memahami tanda-tanda yang menunjukkan nilai-nilai kepahlawanan diharapkan kita dapat meneladani nilai-nilai tersebut. Penelitian ini termasuk studi deskriptif kualitatif dengan pendekatan analisa semiotika. Data dalam penelitian ini didapat melalui scene-scene pada film Harap Tenang, Ada Ujian! yang didalamnnya terdapat unsure-unsur yang berkaitan dengan penelitian ini, yakni nilai-nilai kepahlwanan yang tediri dari Keberanian, Percaya Pada Kekuatan Sendiri, Pantang Menyerah, Rela Berkorban, Persatuan dan Kesatuan, Toleransi, dan Kesetiakawanan Sosial. Serta mencari data dari berbagai tulisan artikel, buku-buku, internet dan lian sebagainya. Melalui gabungan antara scene-scene terpilih dan data-data tertulis, penulis melakukan analisis dengan menggunakan tanda-tanda yang terdapat dalam film Harap
Tenang, Ada Ujian! dengan teori semiotika Roland Barthes. Analisis dilakukan melalui dua tahap, yaitu signifikasi tingkat pertama, yaitu makna denotasi yang terkandung dalam scene-scene tersebut dan dilanjutkan dengan signifikasi tingkat kedua yang menguraikan makna konotasinya. Dalam tahap inilah terkandung mitos. Kesimpulan dari penelitian ini adalah nilai-nilai kepahlwanan ditunjukkan melalui symbol-simbol sosial ditampilkan melalui sikap dan aksi dari para tokoh. Nilai-nilai tersebut antara lain Keberanian, Percaya Pada Kekuatan Sendiri, Pantang Menyerah, Rela Berkorban, Persatuan dan Kesatuan, Toleransi, dan Kesetiakawanan Sosial. Film ini mampu menyampaikan berbagai pesan atau tanda-tanda yang menunjukkan nilai-nilai kepahlawanan. ABSTRACT Susi Deviyana, D1207555, The Representation heroism values in the movie Be Quiet, Exam is in Progress! (Qualitative Descriptive Research Semiology analysis on the movie Be Quiet, Exam is in Progress! The value of heroism is one thing we hold as a role model, in this era of globalization, when individualism became a common thing. Movie as a media, can be used for sending message about current issues to the public. It is usually inspired by the actual phenomena and Be Quiet, Exam is in Progress! is one of them. This research studied the symbols of heroism in Be Quiet, Exam is in Progress!. By knowing and understanding the symbols of heroism value in the movie, it would be easier to make it as a role model. The research is a qualitative semiotics analysis research. The data used in this research was taken from the scenes of Be Quiet, Exam is in Progress! which have correlations with heroism topic. They are Bravery, Believe in our own strength, Unyielding, Sacrifice, Unity, Tolerance, Social Solidarity. The data used in this research is from literatures which were taken from sources such as books, journals, articles and any other information that is related to the subject matter. The researcher analyzed the film symbols in selected scenes using Roland Barthes semiotics theory combined with the literatures. There were two steps in the analyzing process. commit Firstly, to the user researcher figured out the
significance of denotation meaning in those scenes. Secondly, the analysis discovered the connotation. Myth appeared on this step. The researcher concluded that the value of heroism in this movie was shown by attitude and action of the characters. The values are Bravery, Believe in our own strength, Unyielding, Sacrifice, Unity, Tolerance, Social Solidarity. This film could send various messages or symbols that show heroism value. Keywords: symbols, values, semiotics, BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Film adalah gambar hidup, juga sering disebut movie. Film, secara kolektif, sering disebut sinema. Sinema itu sendiri bersumber dari kata kinematik atau gerak. Film juga sebenarnya merupakan lapisan-lapisan cairan selulosa, biasa di kenal di duina para sineas sebagai seluloid. Pengertian secara harafiah film (sinema) adalah Cinemathographie yang bearasal dari Cinema + tho = phythos (cahaya) + graphie = graph (tulisan = gambar = citra), jadi pengertiannya adalah melukis gerak dengan cahaya. Agar kita dapat melukis gerak dengan cahaya, kita harus menggunakan alat khusus yang biasa kita sebut dengan kamera.
Garin Nugroho menyebutkan film sebagai penemuan komunal dari penemuan-penemuan sebelumnya (fotografi, perekaman gambar, perekaman suara, dll), dan ia tumbuh seiring pencapaian penemuan-penemuan selanjutnya. Film juga merupakan hasil peleburan sekaligus persitegangan hakikat seni dan media komunikasi massa. 1 Sebuah film sebagai produk kesenian maupun sebagai medium, adalah suatu cara untuk berkomunikasi. Dalam sebuah film ada pesan yang ingin dikomunikasikan kepada penonton. Dalam konteksnya sebagai media komunikasi massa. Dalam film, cara komunikasinya adalah cara bertutur. Film mengandung unsur tema, cerita dan tokoh yang dikemas dalam format audio visual yang pada akhirnya mengkomunikasikan sebuah pesan baik secara eksplisit maupun implisit. Menurut David Bardwell, cara bertutur ini adalah penghadiran kembali kenyataan, dengan makna yang lebih luas. 2 Sebagi gambar yang bergerak, film adalah reproduksi dari kenyataan seperti apa adanya. Ketika film ditemukan, orang datang berbondong bondong ke gedung bioskop hanya untuk melihat bagaimana kenyataan ditampilkan kembali sama persis dengan realitas yang terjadi di depan matanya sendiri. Maka ketika film diputar di bioskop, sebenarnya tidak akan pernah ada perhatian bersama yang tuntas tentang kenyataan apa adanya yang diungkapkan kembali dalam sebuah film. Dengan begini, kita sampai pada kenyataan lain. Sebuah film mungkin saja merupakan reproduksi kenyataan seperti apa adanya secara sinematografis dalam batas batas tertentu, namun film tidak pernah sahih 1 Garin Nugroho, Kekuasaan dan Hiburan, Yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta, 1995 hal 77 2 David Bardwell, Narration in The Fiction commit Film, Wisconsin to user : The University of Wisconsin Press, 1985. hal xi
sebagai representasi kenyataan apa adanya itu sendiri karena yang berlangsung hanyalah subjek yang beradu dengan subjek. 3 Film merupakan media komunal dan cangkokan dari berbagai teknologi dan unsur-unsur kesenian. Ia cangkokan dari perkembangan teknologi fotografi dan rekaman suara. Juga komunal berbagai kesenian baik seni rupa, teater, sastra, arsitektur hingga musik. Maka kemampuan bertumbuh film sangatlah bergantung pada tradisi bagaimana unsur-unsur cangkokan teknologi dan unsur seni dari film -yang dalam masyarakat masing-masing berkembang pesat- dicangkok dan dihimpun. Dengan demikian tidak tertinggal dan mampu bersaing dengan teknilogi media, dan seni lainnya. Sejarah film Indonesia menunjukkan unsur-unsur cangkokan dan komunal dari film tak mengalami pertumbuhan berarti. Akibatnya ketika masyarakat dimanjakan unsur visual dan audio, dari perkembangan teknologi media dan seni lainnya seperti televisi, seni rupa, dan lain-lain, masyarakat Indonesia tak mendapatkannya dalam film. Perfilman Indonesia pernah mengalami krisis hebat ketika Usmar Ismail menutup studionya tahun 1957. Pada tahun 1992 terjadi lagi krisis besar. Tahun 1991 jumlah produksi hanya 25 judul film (padahal rata-rata produksi film nasional sekitar 70-100 film per tahun). Yang menarik, krisis kedua ini tumbuh seperti yang terjadi di Eropa tahun 1980, yakni tumbuh dalam tautan munculnya industri cetak raksasa, televisi, video, dan radio. Dan itu didukung oleh 3 Seno Gumira Ajidarma, Layar kata. Bentang. Yogyakarta : 2004 hal 34
kelembagaan distribusi pengawasannya yang melahirkan mata rantai penciptaan dan pasar yang beragam sekaligus saling berhubungan, namun juga masingmasing tumbuh lebih khusus. Celakanya di Indonesia dasar struktur dari keadaan tersebut belum siap. Seperti belum efektifnya jaminan hukum dan pengawasan terhadap pasar video, untuk menjadikannya pasar kedua perfilman nasional setelah bioskop. Faktor yang mempengaruhi rendahnya mutu film nasional salah satunya adalah rendahnya kwalitas teknis karyawan film. Ini disebabkan kondisi perfilman Indonesia tidak memberikan peluang bagi mereka yang berpotensi untuk berkembang. Setelah lebih dari sepuluh tahun perfilman Indonesia mengalami mati suri sejak mengalami krisis hebat tahun 1991 akibat semakin populernya televisi yang menawarkan tayangan sinetron, film Indonesia mulai bangkit setelah munculnya film Petualangan Sherina dan Ada Apa Dengan Cinta (AADC) pada tahun 2002 yang mendapat apresiasi besar dari masyarakat. Kondisi tersebut menunjukkan kehausan masyarakat akan tontonan yang berkualitas dan menghibur, dan film adalah jawabannya. Keunggulan lain dari film adalah karena penayangannya yang sekali habis (cerita sampai selesai) dan bukan cerita bersambung. Itulah alas an masyarakat memilih film. Film merupakan salah satu media yang berperan penting dalam menanamkan pesan-pesan yang baik bagi generasi penerus bangsa agar tidak menjadi bangsa yang hilang ingatan terhadap sejarah bangsa. Film lebih dari sekedar hiburan. Seperti apa yang diungkapkan oleh seorang kritikus film, Eric
Sasono, dalam tulisannya Benarkah Film Indonesia Langka Akan Kritik Sosial? yang dimuat pada KOMPAS Edisi Minggu (17 Juli 2005). Eric menyatakan bahwa film adalah media yang ampuh untuk melancarkan kritik sosial. Film adalah media yang paling efektif untuk menyampaikan pesan, karena film adalah media komunikasi. Dalam Mukaddimah Anggaran Dasar Karyawan Film dan Televisi 1995 dijelaskan bahwa film: bukan semata-mata barang dagangan, tetapi merupakan alat pendidikan dan penerangan yang mempunyai daya pengaruh yang besar sekali atas masyarakat, sebagai alat revolusi dapat menyumbangkan dharma bhaktinya dalam menggalang kesatuan dan persatuan nasional, membina nation dan character building mencapai masyarakat sosialis Indonesia berdasarkan Pancasila". 4 Salah satu fungsi film memang sebagai kritik sosial, seperti film Gie dimana Mira Lesmana dan Riri Riza ingin menyalurkan kegelisahannya melalui film ini. Selain itu bahkan film dapat dijadikan alat legitimasi 5, seperti ketika zaman orde barunya Soeharto dengan film Jnaur Kuning, Serangan Fajar dan Enam Jam di Jogya sampai Pengkhianatan G-30 S/PKI. Dengan segala potensi yang dimilikinya, maka sangat disayangkan apabila film yang sangat ampuh dalam mempengaruhi seseorang itu hanya dijadikan alat untuk legitimasi kekuasaan atau kepentingan komersil belaka. James Monaco dalam How to Read a Film menyatakan bahwa film bisa dilihat dalam tiga kategori. Sebagai Cinema (dilihat dari segi estetika dan sinematografi), Film (hubungannya dengan hal di luar film, seperti sosial dan politik), dan Movies (sebagai barang dagangan). Film sebagai Film adalah 4 Eric Sasono, Benarkah Film Indonesia Langka Akan Kritik Sosial, Kompas, 17 Juli 2005 5 Tabloid Berita Mingguan Adil, No. 12 Tahun ke-67, 23-29 Desember 1998
fungsi kritik sosial, sementara kita masih sering menduelkan antara Cinema (art film) dengan Movies (film komersil). 6 Jelas bahwa film adalah media yang tepat untuk mengedukasi masyarakat, terutama akan pentingnya nasionalisme, karena jiwa nasionalisme di kalangan generasi muda sekarang telah memudar. Bahkan film yang paling menghibur sekalipun, seperti film-film laris dari Hollywood, punya pesan-pesan kuat yang pengaruhnya lebih kuat dari film-film propaganda Rusia. Seperti yang pernah ditulis oleh Usmar Ismail, tokoh perfilman Indonesia bahwa menonton film Hollywood, kita terbius dengan layar peraknya, dan tak terasa pikiran kita dimasuki propaganda mereka, misalnya kekerasan dan seks bebas saat kita mnikmatinya. Sementara itu, menonton film yang dianggap bagus dan sarat dengan nilai-nilai, biasanya bikin ngantuk. 7 Dalam suatu kesempatan, Usmar berdialog dengan Presiden Soekarno dan meminta pendapat tentang gaya (propaganda) film yang sesuai dengan revolusi Indonesia, apakah gaya Rusia (yang kurang menghibur namun padat dengan misi) ataukah Hollywood (yang punya pesan yang longgar tapi sangat diminati, dan propagandanya masuk secara halus). Bung Karno saat itu mengatakan yakni, ambil jalan tengah, yaitu menghibur tapi kaya akan pesan, seperti neo-realisme Italia. 8 Neorealisme yang diperkenalkan pertamakali pada 1942-1943 oleh kritikus Antinion Pietrangeli dan Umberto Barbaro berfokus pada manusia dan memihak pada kemanusiaan. Ciri pokoknya terlihat pada penggambaran yang 6 Ibid, Eric Sasono, Benarkah Film Indonesia Langka Akan Kritik Sosial, Kompas, 17 Juli 2005 7 Ibid. 8 Ibid.
langsung, sederhana, dan alamiah mengenai kehidupan sehari-hari masyarakat kelas bawah dengan infrastruktur utamanya bukanlah kapital, teknologi, atau hal lain yang berada di awang-awang, melainkan lebih bertumpu pada wilayah dalam penciptanya, seperti kepekaaan sosial, empati, nalar, intelektualitas, dan sebagainya. 9 Genre neorealisme ini kini diadopsi oleh para sineas Iran. Hasilnya adalah sebuah film sarat makna, tapi juga sehat dalam hal akidah dan nilai-nilai keislaman, serta bermutu dalam segi sinematografi dan isi cerita yang universal dan karenanya bias diterima oleh pihak internasional. Film yang baik adalah film yang diniatkan untuk penyampaian pesanpesan lewat cerita-cerita yang diambil dari cerita kehidupan nyata. Selain itu, film juga mampu membuat kita memahami pandangan dunia dari perdaban lain, atau kehidupan dan problematika kemanusiaan. Film bisa membuat kita mengetahui budaya negara lain. Film juga bisa menjadi refleksi atas kenyataan. Banyak teori menyatakan bahwa film menjadi cerminan seluruh atau sebagian masyarakatnya. Seorang pakar teori film, Sigfried Kracauer menyatakan, film suatu bangsa, mencerminkan mentalitas bangsa itu lebih dari yang tercermin lewat media artistic lainnya 10 Keresahan para pelaku film atas komersialisasi karya film dan film sebagai kendaraan propaganda politik pemerintah juga menjadi salah satu isu utama yang menginspirasi mereka untuk melahirkan gerakan ini. Film pendek sendiri telah dikenal sebagaian masyarakat Indonesia jauh sebelumnya melalui film-film Gelora Pembangunan pada era Soekarno. Film-film tersebut 9 Totot Indrarto, Neorealisme Siapa Takut, Kompas, 4 November, 2001 10 Sigfried Kracauer, From Caligari to Hitler commit : A Psychological to user History of the German Film, New Jersey, Princeton University Press, 1974, hal. 6
diputarkan di kampong-kampung atau bioskop sebelum film utama diputar. Pun ini berlanjut pada era pemerintahan Soeharto yang memiliki program pemutaranfilm melalui Departemen Penerangan dengan misi memutarkan filmfilm (yang kebanyakan film pendek) propaganda pemerintah dengan ideology pembangunannya. Salah satu film yang mengangkat wacana nilai-nilai kepahlwanan adalah Harap Tenang, Ada Ujian. Film ini diproduksi tahun 2006 oleh Fourcolours Film dari Jogja yang bekerja sama dengan Freemovie dan disutradarai oleh Ifa Isfansyah. Film berdurasi 15 menit ini sebenarnya mengangkat tema cerita yang cukup berat, namun sang sutradara menceritakannya dengan sangat ringan. Dengan berlatar belakang kota Jogjakarta yang pada tanggal 27 mei 2006 pada jam 05.55 pagi dikejutkan oleh gempa dengan kekuatan 5,9 SR yang menewaskan lebih dari 6.000 orang. Hari itu adalah sepuluh hari sebelum ujian akhir nasional untuk murid sekolah dasar dan empat belas hari sebelum piala dunia 2006. Cerita difokuskan pada anak kecil korban gempa bumi Yogyakarta, yang akan menjalani ujian sejarah. Pada saat bersamaan, dating sukarelawan Jepang ke daerahnya untuk member bantuan. Anak itu mengira kalau sukarelawan Jepang itu hendak kembali menjajah Indonesia, seperti yang dibacanya dalam buku sejarah. Maka dengan segala cara anak ingusan itu mencoba untuk menghalau para sukarelawan Jepang. Film ini merupakan film independent atau film pendek yang notabene diproduksi dengan budget terbatas. Film pendek merupakan film yang durasinya pendek, tetapi dengan kependekan commit waktu to tersebut user para pembuatnya harus bisa
lebih selektif mengungkapkan materi yang ditampilkan. Dengan demikian, setiap shot akan memiliki makna yang cukup besar untuk ditafsirkan oleh penontonnnya. Dengan berlatar kejadian gempa di Jogjakarta, dan alur cerita yang sangat ringan, film ini nampaknya sarat dengan pesab yang mengandung nilainilai kepahlawanan. Harap Tenang Ada Ujian, produksi Fourolours juga berhasil menembus festival bertaraf internasioanl dan meraih penghargaan sebagai film pendek terbaik. Hal inilah yang menjadi alasan penulis memilihnya untuk diteliti. Dalam studi pesan terdapat beberapa macam metode penelitian salah satunya adalah metode semiotik. Sebagai bentuk pesan film ini terdiri dari berbagai tanda dan simbol yang membentuk sebuah sistem makna. Proses pemaknaan simbol-simbol dan tanda-tanda tersebut tentu saja sangat tergantung dari referensi dan kemampuan pikir masing-masing individu. Oleh karena itu dalam hal ini analisis semiotik sangat berperan. Dengan semiotik tanda-tanda dan simbol-simbol dianalisa dengan kaidah-kaidah berdasarkan pengkodean yang berlaku, dengan demikian proses intrepertasi akan menemukan sebuah kebenaran makna dalam masyarakat, semiotik akan menemukan makna yang hakiki, makna yang terselubung dalam sebuah pesan (film). Oleh karena itu penulis ingin melakukan kajian semiotik mengenai bagaimanakah perfilman Indonesia menggambarkan nilai-nilai kepahlawanan dalam film yang mereka buat. 2. Rumusan Masalah
Setelah melihat pemaparan di atas,maka peneliti akan menganalisis bagaimana simbol-simbol kepahlawanan yang terkandung dalam film Harap Tenang Ada Ujian disampaikan ditinjau dari pendekatan semiotik. Rumusan masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut : Secara umum: Bagaimana simbol-simbol sosial dan pemaknaan nilai-nilai kepahlawanan direpresentasikan dalam Film Harap Tenang, Ada Ujian? Secara Khusus : Bagaimana simbol-simbol sosial dan pemaknaan nilai-nilai kepahlawanan dari sisi Keberanian, Pantang Menyerah, Rela Berkorban, Kesetiakawanan Sosial dalam Film Harap Tenang, Ada Ujian? 3. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : Mengetahui simbol-simbol sosial dan pemaknaan yang merepresentasikan nilai-nilai kepahlawanan dalam film Harap Tenang, Ada Ujian Mengetahui pemaknaan simbol-simbol sosial dan pemaknaan nilai-nilai kepahlawanan dari sisi Keberanian, Pantang Menyerah, Rela Berkorban, Kesetiakawanan Sosial. 4. Manfaat Penelitian Beberapa manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini antara lain: 1. Manfaat Akademis :
Memberikan sumbangan terhadap kajian tentang simbol-simbol sosial nilai-nilai kepahlawanan. Sekaligus mendorong munculnya kajian penelitian serupa dan dapat memperkaya permasalahan ini. 2. Manfaat Praktis : Penelitian ini diharapkan akan memberikan wacana kepada khalayak akademisi dan masyarakat pada umumnya tentang nilai-nilai kepahlawanan melalui simbol yang dikonstruksikan dalam film. 3. Manfaat Sosial : Penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi kepada masyarakat berupa analisis bagaimana nilai-nilai kepahlawanan harus tetap dipelihara dan diteladani. Hasil analisis dalam penelitian ini diharapkan mampu memberikan wacana baru bahwa nilai-nilai kepahlawanan harus diteladani dan dipelihara oleh setiap orang terutama generasi muda sebagai penerus bangsa. Sehingga perjuangan para pahlawan dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia tidak akan sia-sia, dan persatuan dan kesatuan bangsa tetap terjaga. 5. Telaah Pustaka Manusia merupakan mahluk Tuhan yang mempunyai kemampuan adaptasi terbaik diantara mahluk lainnya. Kemampuan beradaptasi yang dimiliknya, baik terhadap alam maupun sesama telah menjadikan manusia sebagai mahluk yang selalu mampu bertahan dalam menghadapi seleksi alam. Kemampuan ini ditunjang oleh berbagai macam faktor, dimana salah satunya adalah kemampuannya berkomunikasi. Sebagai mahluk sosial, komunikasi menjadi sedemikian penting dalam kehidupan manusia. Selain untuk menjalin hubungan
antara satu dan lainnya, yang lebih penting adalah untuk mengantisipasi perpecahan dengan jalan saling mengerti dan memahami. Komunikasi merupakan sarana utama manusia dalam segala hal, sehingga tanpa adanya komunikasi yang baik, dapat dipastikan akan terjadi gesekan-gesekan dalam berbagai macam sendi kehidupan sosial. Logika berpikir yang digunakan dalam penelitian ini adalah merancang struktur layaknya sebuah piramida. Menjabarkan hal yang bersifat umum terlebih dahulu dan kemudian menariknya menjadi lebih khusus. Dimulai dari pengertian komunikasi, bagian-bagian, dan sarana yang bisa digunakan untuk berkomunikasi. Film sendiri adalah salah satu media komunikasi massa yang dirasa cukup efektif untuk menyampaikan pesan kepada masyarakat. Setelah menetapkan film sebagai salah satu sarana komunikasi massa, maka tahap selanjutnya adalah representasi terhadap film itu sendiri yang kemudian disusul oleh pengelompokan film menurut tema, durasi, dan sebagainya. Seperti kebanyakan sarana komunikasi massa lainnya, film pendek juga membutuhkan kemampuan semiologi untuk menangkap pesan yang terkandung didalamnya sehingga tujuan utama untuk menjadikan film sebagai sarana komunikasi dapat tercapai. 5.1 Definisi Komunikasi Komunikasi adalah salah satu aktivitas yang diakui oleh setiap orang, namun hanya sedikit yang bisa mendefinisikannya secara memuaskan. Komunikasi adalah berbicara satu sama lain; ia bisa televisi; ia bisa juga penyebaran informasi; ia pun bisa gaya rambut kita; ataupun kritik sastra, daftar ini tak habis-habisnya. Inilah salah satu masalah yang dihadapi para akademisi:
bisakah kita menerapkan secara tepat istilah subjek studi terhadap sesuatu yang sungguh berbeda dan banyak segi seperti komunikasi insani (human communication)? 11 Untuk menjawab masalah-masalah diatas, John Fiske, dalam bukunya yang berjudul Cultural Communication: Sebuah Pengantar Paling Komprehensif, membagi studi Komunikasi dalam dua Mazhab Utama. Mazhab pertama melihat komunikasi sebagai suatu transmisi pesan. Ia tertarik dengan bagaimana pengirim dan penerima mengkonstruksi pesan (encode) dan menejemahkannya (decode), dan dengan bagaimana transmiter menggunakan saluran dan media komunikasi. Ia tertarik dengan hal-hal seperti efisiensi dan akurasi. Ia melihat komunikasi sebagai suatu proses yang dengannya seorang pribadi mempengaruhi perilaku atau state of mind pribadi yang lain. Jika efek tersebut berbeda dari atau lebih kecil dari yang diharapkan, mazhab ini cenderung berbicara tentang kegagalan komunikasi, dengan melihat tahap-tahap dalam proses tersebut guna mengetahui dimana kegagalan tersebut terjadi. Demi memudahkan, kita akan menyebutnya mazhab ini sebagai Mazhab Proses. 12 Mazhab kedua melihat komunikasi sebagai produksi dan pertukaran makna. Ia berkenaan dengan bagaimana pesan atau teks berinteraksi dengan orang-orang dalam kebudayaan kita. Ia berkenaan dengan bagaimana menghasilkan makna; yakni, ia bekenaan dengan peran teks dalam kebudayaan kita. Ia menggunakan istilah-istilah seperti pertandaan (signification), dan tidak memandang kesalahpahaman sebagai bukti yag penting dari kegagalan 11 John Fiske, Cultural And Communication Studies, Sebuah Pengantar Paling Komperehensif (Yogyakarta: Jalasutra, 2004) hal. 7 12 Ibid. hal. 8
komunikasi, hal itu mungkin akibat dari perbedaan budaya antara pengirim dan penerima. Bagi mazhab ini, studi komunikasi adalah studi tentang teks dan kebudayaan. Metode studinya yang utama adalah semiotika (ilmu tentang tanda dan makna), dan itu adalah label yang akan di gunakan untuk mengidentifikasikan pendekatanini. Demi memudahkan, kita akan menyebutnya Mazhab Semiotika. 13 Mazhab Proses cenderung mempergunakan imu-ilmu sosial, terutama psikologi dan sosiologi, dan cenderung memusatkan dirinya pada tindakan komunikasi. Sedangkan Mazhab Semiotika cenderung mempergunakan linguistik dan subjek seni, cenderung memusatkan dirinya pada karya komunikasi. 14 Masing-masing mazhab menafsirkan definisi kita tentang komunikasi sebagai interaksi sosial melalui pesan dengan caranya sendiri. Mazhab pertama mendefinisikan interaksi sosial sebagai proses yang dengannya seorang pribadi berhubungan dengan pribadi yang lain, atau memperngaruhi perilaku, state of mind atau respon emosional yang lain, dan demikian pula sebaliknya. Hal ini lebih dekat denga akal sehat (common sense), penggunaan sehari-hari dari frase tersebut. Sementara Mazhab Semiotika mendefinisikan interaksi sosial sebagai yang membentuk individu sebagai anggota dari suatu budaya atau masyarakat tertentu. 15 Pada penelitian ini peneliti menggunakan Mazhab yang kedua yakni mazhab yang melihat komunikasi sebagai produksi dan pertukaran makna dimana 13 Ibid. hal 9 14 ibid 15 ibid
peneliti menggunakan film, yang sarat akan pertukaran makna, menjadi pusat objek penelitian. Penelitian ini erat kaitannya dengan teks dan kebudayaan. Kedua mazhab tersebut juga berbeda dalam pemahaman mereka atas apa yang membentuk sebuah pesan. Pada satu sisi, Mazhab Proses melihat pesan sebagai sesuatu yang ditransmisikan melalui proses komunikasi. Kebanyakan pengikutnya percaya bahwa tujuan (intention) merupakan suatu faktor yang krusial dalam memutuskan apa yang membentuk sebuah pesan. Tujuan pengirim mungkin tidak dinyatakan atau dinyatakan, disadari atau tidak disadari, namun harus dapat diperoleh kembali dengan analisis. Pesan adalah apa yang pengirim sampaikan dengan sarana apa pun. 16 Bagi Mazhab Semiotika, pada sisi yang lain, pesan merupakan suatu konstruksi tanda yang, melalui interaksinya dengna penerima, menghasilkan makna. Pengirim, yang didefinisikan sebagai transmiter pesan, menurut arti pentingnya. Penekanan begeser pada teks dan bagaimana teks itu dibaca. Dan, membaca adalah proses menemukan makna yang terjadi ketika pembaca berinteraksi atau bernegoisasi dengan teks. Negosiasi ini terjadi karena pembaca membawa aspek-aspek pengalaman budayanya untuk berhubungan dengan kode dan tanda yang menyusun teks. Ia juga melibatkan pemahaman yang agak sama tentang apa sebenarnya teks tersebut. Kita hanya harus melihat bagaimana korankoran yang berbeda melaporkan peristiwa yang sama secara berbeda untuk merealisasikan betapa pentingnya pemahaman ini, pandangan dunia ini, yang tiaptiap koran bagikan kepada para pembacanya. Maka pembaca dengan pengalaman 16 Ibid. hal 10
sosial yang berbeda atau dari budaya yang berbeda mungkin menemukan makna yang berbeda pada teks yang sama. Ini bukanlah, seperti yang telah kami katakan, bukti yang penting dari kegagalan komunikasi. 17 Lantas, pesan bukanlah sesuatu yang dikirim dari A ke B, melainkan suatu elemen dalam sebuah hubungan terstruktur yang elemen-elemen lainnya termasuk realitas eksternal dan produser/pembaca. Memproduksi dan membaca teks dipandang sebagai proses yang peralel, jika tidak identik, karena mereka menduduki tempat yang sama dalam hubungan tersetruktur ini. Kita bisa menggambarkan model struktur ini sebagai sebuah segitiga dengan anak panah yang menunjukan interaksi yang konstan; struktur tersebut tidaklah statis, melainkan suatu praktik yang dinamis (lihat skema 1) 18 Skema 1. Pesan dan Makna Dalam komunikasi terdapat beberapa level komunikasi yaitu komunikasi interpersonal, komunikasi intrapersonal, komunikasi kelompok, komunikasi organisasi, dan komunikasi massa. Film adalah salah satu bentuk media komunikasi massa. Pada penelitian ini, peneliti memandang pesan sebagai sebuah teks yang dibaca. Peneliti mencoba menemukan makna pada sebuah film yang 17 ibid 18 Ibid. hal 11