BPHTB HIBAH WASIAT Terhitung sejak tanggal 1 Januari 2011 penarikan pengelolaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) oleh pemerintah kota/kabupaten. Pengalihan ini merupakan implementasi dari Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Berdasarkan Pasal 180 UU tersebut, pemerintah kota/kabupaten dapat memungut BPHTB setelah memiliki dasar hukum yaitu Peraturan Daerah (Perda). Pasal 2 ayat (2) huruf k Undang-undang tersebut menegaskan bahwa BPHTB merupakan jenis pajak daerah kabupaten/kota. Dalam Pasal 95 ayat (1) pemungutan BPHTB harus dibuat dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda), oleh karena BPHTB sudah menjadi hak kota/kabupaten, maka tiap kota/kabupaten harus membuat Perda BPHTB. Dalam literatur Perpajakan ada sebutan Pajak Subjektif dan Pajak Objektif. Pajak Subjektif erat hubungannya dengan subjek yang dikenakan pajak, dan besarnya sangat dipegaruhi oleh keadaan subjek pajak, misalnya menikah dan belum menikah akan mempengaruhi pajak yang harus dibayar, contoh Pajak Subjektif seperti Pajak Penghasilan (Pph). Pajak Objektif adalah pajak yang erat hubungannya dengan objek pajak, sehingga besarnya jumlah pajak hanya tergantung kepada keadaan objek pajak, dan sama sekali tidak menghiraukan serta tidak dipengaruhi oleh keadaan subjek pajak, contohnya Bea Masuk, Cukai Rokok, Bea Meterai, Pajak Kendaraan Bermotor, termasuk BPHTB. Dan dalam Pasal 1 angka 41 ditegtaskan bahwa Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan dan dalam angka 42 bahwa Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau bangunan oleh orang pribadi atau Badan. Pasal 85 ayat (2) bahwa yang menjadi objek BPHTB, yaitu : a. Pemindahan hak karena : 1. jual beli. 2. tukar menukar. 3. hibah, 4. hibah wasiat. 1
5. waris. 6. pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain. 7. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan. 8. penunjukkan pembeli dalam lelang. 9. pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap. 10. penggabungan usaha. 11. peleburan usaha. 12. pemekaran usaha. 13. hadiah. b. Pemberian hak baru karena : 1. kelanjutan pelepasan hak; atau 2. di luar pelepasan hak. Saat terutangnya BPHTB (berdasarkan Pasal 90 ayat (1) dan (2) yaitu : 1. jual beli adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta. 2. tukar menukar adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta. 3. hibah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta. 4. hibah wasiat adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta. 5. waris adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya ke kantor pertanahan. 6. pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta. 7. pemisahan yang mengakibatkan peralihan hak adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta. 8. putusan hakim adalah sejak tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. 9. pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah sejak tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak. 10. pemberian hak baru di luar pelepasan hak adalah sejak tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak. 11. penggabungan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta. 2
12. peleburan uasaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta. 13. pemekaran usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta. 14. hadiah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta. 15. lelang adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta. BPHTB atas perbuatan atau peristiwa hukum tersebut di atas, pajak yang terutangnya harus dilunasi pada saat terjadinya perolehan hak tersebut dengan ditandatangani akta yang bersangkutan atau dididaftarkan haknya atau sejak tanggal keputusan atau sejak putusan pengadilan nyang mempunyai kekuatan hukum tetap. Dalam pembayaran BPHTB ini ada satu perbuatan hukum dan peristiwa yang perlu dikaji secara lebih mendalam yaitu mengenai Hibah Wasiat yang BPHTBnya harus dibayar sejak tanggal akta dibuat. Untuk memahami kenapa pembayaran BPHTB Hibah Wasiat perlu dikaji? Karena telah menyimpang dari kaidah atau prinsip Hibah Wasiat. Bahwa kehendak terakhir (uiterste wil) atau wasiat (testament) ialah suatu akta yang memuat/mengandung keterangan yang dikehendaki seseorang apa yang akan terjadi dengan pribadinya, harta bendanya, hak-haknya dan tuntutan hukumnya (rechtsvorderingen). Oleh pembuatnya (testateur) surat wasiat itu dapat dicabut kembali (Pasal 875 KUHPerdata). Yang dapat ditetapkan oleh seseorang dalam surat wasiatnya mengenai harta bendanya, yaitu : 1. secara umum, ialah penetapan mengenai harta-peninggalannya, atau 2. dengan alas hak umum (onder een algemene title), ialah untuk bagian tertentu dari harta peninggalan, atau 3. dengan alas hak khusus (onder een bijzondere titel), ialah yang dinamakan Hibah Wasiat (Legaat). Bahwa Hibah Wasiat dapat dilaksanakan oleh Pelaksana Wasiat untuk diberikan penerima hibah setelah pemberi hibah wasiat meninggal dunia. Sehingga sebenarnya hak untuk penerima hibah wasiat akan berlaku kemudian, bukan pada saat akta Hibah Wasiat ditandatangani. Hal ini sudah merupakan kaidah dari Hibah Wasiat. Sehingga kalau kaidah ini dikaitkan dengan saat terutang BPHTB untuk Hibah Wasiat menjadi tidak tepat. Dengan alasan sebagai berikut : 3
1. Hibah Wasiat masih bisa dicabut oleh pemberi Hibah Wasiat kapan saja, selama pemberi Hibah Wasiat masih hidup. 2. Pemberi Hibah Wasiat masih mempunyai kesempatan untuk menjual, menjaminkan objek yang dihibahwasiatkan selama pemberi hibah wasiat. Oleh karena itu, jika suatu hal yang tidak tepat secara hukum, atas Hibah Wasiat dikenakan BPHTB pada saat penandatanganan akta Hibah Wasiat, jika kemudian atas Hibah Wasiat masih dapat dicabut atau dijual oleh pemberi wasiat, seharusnya BPHTB dibayar pada saat Hibah Wasiat ditindak lanjuti dengan pendaftarannya ke kantor pertanahan setempat. Bagaimana sikap Notaris dengan ketentuan seperti tersebut di atas? Karena bertentangan dengan kaidah Hibah Wasiat, Notaris tetap saja membuat Hibah Wasiat atas permintaan masyarakat dan BPHTBnya tidak perlu dibayarkan terlebih dahulu, karena pembayaran tersebut bertentangan dengan kaidah Hibah Wasiat yang sudah menjadi ajaran hukum umum dalam Hukum Indonesia, khususnya Wasiat. Meskipun dalam hal ini ada sanksi untuk Notaris/PPAT yaitu : Pasal 91 (1) Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris hanya dapat menandatangani akta pemindahan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak. Pasal 93 (1) Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris dan kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang negara, yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (1) dan ayat (2) dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp7.500.000,00 (tujuh juta lima ratus ribu rupiah) untuk setiap pelanggaran. (2) Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris dan kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang negara, yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) untuk setiap laporan. Hal lainnya yang perlu diperhatikan juga tidak jelas siapa yang harus menjatuhkan sanksi tersebut dan penjatuhan sanksi merupakan tindakkan administratif, 4
sehingga Walikota/Bupati yang mengetahui dan dapat dibuktikan ada Notaris/PPAT yang melanggar harus mengeluarkan Surat Keputusan Penjatuhan Sanksi tersebut. Dan jika Notaris/PPAT tidak menerima penjatuhan sanksi tersebut, dapat Surat Keputusan tersebut diajukan di Pengadilan Tata Usaha Negara. Kenapa tidak menerima? Karena pengenaan BPHTB untuk Hibah Wasiat tersebut tidak sesuai dengan kaidah/prinsip/azas Hibah Wasiat sebagaimana tersebut di atas. Agar kesalahkaprahan tersebut tidak berlanjut, karena ketidakmampuan perancang hukum dari Kementerian Keuangan dan pengetahuan hukum anggota Dewan Perwakilan Rakyat mengenai Hibah Wasiat tersebut, demikian pula di tingkat Pemerintah Kota/Kabupaten dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD ) Kota/Kabupaten yang kurang memahami yang tidak mencukupi atas hal tersebut. Oleh karena itu Notaris melalui Ikatan Notaris Indonesia (INI) untuk segera mengajukan keberatan kepada Menteri Keuangan, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah Kota/Kabupaten seluruh Indonesia, agar dalam Perda yang telah dibuat untuk dicabut yang berkaitan dengan Hibah Wasiat tersebut dan tidak akan dicantumkan dalam Perda oleh Kota/Kabupaten yang belum membuatnya. Jika ketentuan seperti itu tetap dibuat dan dicantumkan, INI dapat melaporkan kepada Menteri Dalam Negeri atas perda-perda tersebut, jika tetap dibuat seperti itu perdaperda tersebut dapat diajukan permohonan keberatan (Uji Materil) kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia dengan alasan sebagaimana tersebut di atas. Dan Jika tidak ditanggapi atau tidak ada perubahan, para Notaris untuk mengajukan Hak Uji Materil atas undang-undang tersebut ke Mahkamah Konstitusi. Perlu juga untuk dibicarakan bersama antara Walikota/Bupati dengan para Notaris dan PPAT, bahwa dalam pemungutan seluruh BPHTB tersebut Notaris dan PPAT hanya diminta bantuannya oleh Walikota dan Bupati, padahal pada Notaris dan PPAT tidak ada kewenangan atau aturan hukum yang mewajibkan Notaris dan PPAT untuk memungut BPHTB tersebut, seharusnya Walikota/ Bupati membuat Nota Kesepahaman untuk pemungutan BPHTB tersebut dengan Notaris dan PPAT yang difasilitasi oleh organisasai Notaris dan PPAT setempat, dan dalam Nota Kesepahaman tersebut dicantumkan hak dan 5
kewajiban Walikota/Bupati serta Notaris/PPAT, dan atas hal tersebut Walikota/Bupati wajib memberikan jasa pungut kepada Notaris/PPAT. Hal ini dapat dilakukan oleh Walikota/Bupati untuk berkerjasama dengan Pengurus Daerah INI/IPPAT setempat. Kenapa Nota Kesepahaman perlu dilakukan? Karena Notaris/PPAT bukan bawahan atau atau pembantu atau Subordinasi Walikota/Bupati. Jadi jangan semaunya/seenaknya Walikota/Bupati menyuruh atau meminta bantuan kepada Notaris dan PPAT tanpa ada dasar hukumnya dulu yang jelas. ------------------------------------- 6