PEMERINTAH KOTA SURABAYA DINAS KESEHATAN Jalan Jemursari No. 197 SURABAYA 60243

dokumen-dokumen yang mirip
Ringkasan Studi EHRA Kabupaten Malang Tahun 2016

STUDI ENVIRONMENTAL HEALTH RISK ASSESSMENT (EHRA) KOTA BONTANG TAHUN 2015

LAPORAN STUDI ENVIRONMENTAL HEALTH RISK ASSESSMENT (EHRA) KABUPATEN BANJARNEGARA. Kelompok Kerja Sanitasi Kabupaten Banjarnegara

L a p o r a n S t u d i E H R A K a b. T T U Hal. 1

LAPORAN STUDI EHRA POKJA SANITASI KABUPATEN WAY KANAN

LAPORAN STUDI ENVIRONMENTAL HEALTH RISK ASSESSMENT (EHRA) KOTA BONTANG

LAPORAN STUDI EHRA (Environmental Health Risk Assessment) KABUPATEN POSO PROVINSI SULAWESI TENGAH

KATA PENGANTAR. Bontang, November 2011 TIM STUDI EHRA KOTA BONTANG. Laporan Studi EHRA Kota Bontang

PENDAHULUAN. Bab Latar Belakang. BPS Kabupaten Pesawaran Provinsi Lampung

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

LAPORAN. PENILAIAN RESIKO KESEHATAN LINGKUNGAN/ EHRA (Environmental Health Risk Assessment)

( ENVIRONMENTAL HEALTH RISK ASSESMENT ) KABUPATEN BANGGAI KEPULAUAN

LAPORAN STUDI ENVIRONMENTAL HEALTH RISK ASSESSMENT (EHRA) KOTA TERNATE TAHUN 2014

Pelaksanaan pengumpulan data lapangan dan umpan balik hasil EHRA dipimpin dan dikelola langsung oleh Kelompok Kerja (Pokja) PPSP Kabupaten Pohuwato.

Studi EHRA dipandang perlu dilakukan oleh Kabupaten/kota karena:

LAMPIRAN I DOKUMEN PEMUTAKHIRAN SSK KABUPATEN TANAH DATAR 2015

LAPORAN STUDI ENVIRONMENTAL HEALTH RISK ASSESSMENT (EHRA) KABUPATEN SAMPANG. Kelompok Kerja Sanitasi Kabupaten Sampang

RINGKASAN EKSEKUTIF DIAGRAM SISTEM SANITASI PENGELOLAAN AIR LIMBAH DOMESTIK KABUPATEN WONOGIRI. (C) Pengangkutan / Pengaliran

BAB V INDIKASI PERMASALAHAN DAN POSISI PENGELOLAAN SANITASI

KATA PENGANTAR. Bantaeng, 7 Desember 2016 Pokja AMPL/Sanitasi Kabupaten Bantaeng Ketua, ABDUL WAHAB, SE, M.Si Sekretaris Daerah

LAPORAN STUDI EHRA (Environmental Health Risk Assessment)

BAB 5 BUKU PUTIH SANITASI 2013

RINGKASAN EKSEKUTIF PEMUTAKHIRAN STRATEGI SANITASI KABUPATEN SUMBAWA BARAT 2016

LAPORAN STUDI ENVIRONMENTAL HEALTH RISK ASSESSMENT (EHRA) KOTA SABANG. Kelompok Kerja Sanitasi Kota Sabang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

KATA PENGANTAR. Wassalamu alaikum Wr. Wb.

LAPORAN STUDI ENVIRONMENTAL HEALTH RISK ASSESSMENT (EHRA) KABUPATEN TAPIN

KATA PENGANTAR LAPORAN STUDI EHRA KABUPATEN BANGGAI 2014

BAB 1 PENDAHULUAN. Pokja AMPL Kota Makassar

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

LAPORAN AKHIR STUDI EHRA (Environmental Health Risk Assessment) Penilaian Risiko Kesehatan Lingkungan TAHUN 2015 KABUPATEN NGAWI

LAPORAN STUDI EHRA KABUPATEN TANA TORAJA BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang.

BUKU PUTIH SANITASI KABUPATEN TANGERANG PROVINSI BANTEN. Program Percepatan Pembangunan Sanitasi (PPSP) Tahun 2012 POKJA AMPL KABUPATEN TANGERANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

LAPORAN PENILAIAN RISIKO KESEHATAN LINGKUNGAN KOTA CIREBON

DAFTAR ISI RINGKASAN EKSEKUTIF DAFTAR ISI... 1 DAFTAR SINGKATAN DAFTAR TABEL... 2 DAFTAR GRAFIK... 6 DAFTAR FOTO

Pendahuluan. Bab Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN BUKU PUTIH SANITASI KOTA CIREBON I - 1

LAPORAN STUDI EHRA (ENVIRONMENTAL HEALTH RISK ASSESMENT) KABUPATEN KAPUAS HULU TAHUN 2013 BAB 1 PENDAHULUAN

POKJA PPSP KABUPATEN SAROLANGUN BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BUKU PUTIH SANITASI KABUPATEN MINAHASA UTARA

BAB II KERANGKA PENGEMBANGAN SANITASI. Kabupaten Balangan. 2.1 Visi Misi Sanitasi

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN SSK. I.1. Latar Belakang

DESKRIPSI PROGRAM UTAMA

RINGKASAN EKSEKUTIF PEMERINTAH KABUPATEN WAKATOBI KELOMPOK KERJA SANITASI KABUPATEN WAKATOBI

Laporan Study EHRA Kota Lhokseumawe Utara

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 3 HASIL STUDI EHRA TAHUN 2013 KABUPATEN MOJOKERTO 3.1 KARAKTERISTIK RESPONDEN

Bab 3: Profil Sanitasi Wilayah

MAKSUD & TUJUAN ISU STRATEGIS & PERMASALAHAN AIR LIMBAH. Tujuan umum : KONDISI EKSISTING

BAB. V Indikasi Permasalahan dan Posisi Pengelolaan Sanitasi Kabupaten Jembrana

BAB I PENDAHULUAN. Buku Putih Sanitasi (BPS) Kota Bima

LAPORAN PEMUTAKHIRAN STUDI EHRA (Environmental

Program Percepatan Pembangunan Sanitasi Pemukiman Tahun 2013

LAPORAN STUDI EHRA(Environmental Health Risk Assessment)

Pasir Pengaraian, Mei Bupati Rokan Hulu. H. Achmad, M.Si

Laporan Pelaksanaan dan Hasil STUDI EHRA Kelompok Kerja Sanitasi Kabupaten Toraja Utara RINGKASAN EKSEKUTIF

BAB 2 Kerangka Pengembangan Sanitasi

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

Laporan Penilaian Risiko Kesehatan Lingkungan

BAB III STRATEGI PERCEPATAN PEMBANGUNAN SANITASI. 3.1 Tujuan, Sasaran, dan Strategi Pengembangan Air Limbah Domestik

PENDAHULUAN BAB 1 PENDAHULUAN

NOTULEN KICK OFF MEETING PROGRAM PPSP KABUPATEN JEMBRANA

Rangkuman visi, misi, tujuan, sasaran, dan arah penahapan sesuai yang telah ditetapkan.

BAB I PENDAHULUAN. Beberapa pokok utama yang telah dicapai dengan penyusunan dokumen ini antara. lain:

3.1. KARAKTERISTIK RUMAH TANGGA/RESPONDEN

BAB I PENDAHULUAN. Buku Putih Sanitasi (BPS) Kabupaten Kapuas Hulu Tahun Latar Belakang

Profil Sanitasi Wilayah

KERANGKA PENGEMBANGAN SANITASI BAB 2

BAB I PENDAHULUAN. Buku Putih Sanitasi Kabupaten Grobogan Halaman 1 1

LAMPIRAN I HASIL KAJIAN ASPEK NON TEKNIS DAN LEMBAR KERJA AREA BERISIKO

STARTEGI SANITASI KABUPATEN (SSK) KELOMPOK KERJA AMPL KABUPATEN ENREKANG

PENYUSUNAN KEBIJAKAN STRATEGI SANITASI KOTA TANGERANG 1

Bab 1 Pendahuluan PEMUTAKHIRAN STRATEGI SANITASI KABUPATEN KUDUS. Pendahuluan 1.1. LATAR BELAKANG

LAPORAN STUDI ENVIRONMENTAL HEALTH RISK ASSESSMENT (EHRA) KABUPATEN KLATEN

STRATEGI SANITASI KOTA PAREPARE. Lampiran 5. Deskripsi Program/Kegiatan

BAB IV STRATEGI PENGEMBANGAN SANITASI

Tabel Kecamatan Dan Kelurahan Terpilih Untuk Survei EHRA 2014Kota Padangsidimpuan. Kecamatan Kluster. PSP.Tenggara 3. PSP.

1.1 Latar Belakang. 1.2 Wilayah cakupan SSK

Tabel 3.34 Daftar Program/Proyek Layanan Yang Berbasis Masyarakat Tabel 3.35 Kegiatan komunikasi yang ada di Kabupaten Merangin...

DESKRIPSI PROGRAM DAN KEGIATAN

ENVIRONMENTAL HEALTH RISK ASSESSMENT (EHRA)

KELOMPOK KERJA SANITASI KABUPATEN BERAU BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

Program Percepatan Pembangunan Sanitasi Permukiman (PPSP) Tahun Kota Tanjungpinang Provinsi Kepulauan Riau

b. Kecamatan Padang Panjang Timur, terdiri dari : 1. Kelurahan Koto Panjang; Bagian C Lampiran

BAB 4 STRATEGI SEKTOR SANITASI KABUPATEN GUNUNGKIDUL

BAB 04 STRATEGI PEMBANGUNAN SANITASI

LAPORAN STUDI EHRA BANJARBARU

Strategi Sanitasi Kabupaten Malaka

Pendahuluan. Bab Latar Belakang

5.1. Area Beresiko Sanitasi

A. Penyusunan Rencana Induk Sistem Pengelolaan Air Limbah Kabupaten Kubu Raya

Universal Access cakupan akses 100% untuk air minum dan sanitasi dalam rangka. 1.1 Latar Belakang

Lampiran A. Kerangka Kerja Logis Air Limbah

Transkripsi:

PEMERINTAH KOTA SURABAYA DINAS KESEHATAN Jalan Jemursari No. 197 SURABAYA 60243 LAPORAN AKHIR (Bagian 1) STUDI ENVIRONMENTAL HEALTH RISK ASSESSMENT (EHRA), KOTA SURABAYA TAHUN 2015

Dengan mengucapkan Puji Syukur Kehadirat Allah SWT atas taufik dan hidayah- Nya, sehingga pelaksanaan studi EHRA Kota Surabaya Tahun 2015 serta penyusunan Laporan Studi EHRA dapat diselesaikan dengan baik. Penilaian Risiko Kesehatan Lingkungan atau Environmental Health Risk Assessment (EHRA) adalah studi untuk memahami kondisi fasilitas sanitasi dan perilakuperilaku yang memiliki risiko pada kesehatan masyarakat. Fasilitas sanitasi yang diteliti mencakup: sumber air minum, layanan pembuangan sampah, jamban, saluran air limbah dan saluran lingkungan. Sedangkan pada aspek perilaku, hal-hal yang diteliti terkait dengan higinitas dan sanitasi, antara lain: cuci tangan pakai sabun (CTPS), buang air besar (BAB), pembuangan kotoran anak dan pemilahan sampah, serta kondisi drainase atau saluran limbah domestik. Penyusunan Laporan Studi EHRA Kota Surabaya Tahun 2015 telah mengakomodasi seluruh masukan berbagai pihak khususnya Kelompok Kerja Sanitasi Kota Surabaya dan stakeholders pada umumnya seperti SKPD terkait, kelompok masyarakat peduli sanitasi, pihak kecamatan dan kelurahan. Semoga Laporan Studi EHRA ini dapat bermanfaat dan memperkaya khasanah dalam kesehatan lingkungan Kota Surabaya dan menjadi masukan utama dalam Updating Strategi Sanitasi Kota (SSK) Surabaya Tahun 2015 serta dalam perencanaan pembangunan sanitasi Kota Surabaya. Surabaya, Nopember 2015 Dinas Kesehatan Kota Surabaya i

Kota Surabaya merupakan salah satu Kota di Jawa Timur yang telah melaksanakan Program PPSP (Percepatan Pembangunan Sanitasi Permukiman). Salah satu permasalahan yang dihadapi Pemerintah Kota Surabaya adalah belum terpenuhinya target Universal Access yang sudah ditetapkan dalam bidang kesehatan. Studi EHRA ini bertujuan untuk mengetahui risiko kesehatan lingkungan di masyarakat yang hasilnya akan dituangkan dalam updating Buku Putih Sanitasi (BPS) Kota Surabaya Tahun 2015 di mana buku putih ini sebagai dasar menyusun Strategi Sanitasi Kota (SSK) yang berisi program-program untuk mengejar ketertinggalan pembangunan sanitasi di wilayah Kota Surabaya. Studi EHRA merupakan survei partisipatif dengan teknik pengumpulan data melalui wawancara dan observasi. Target area survei ditentukan dengan Proporsionale Stratified Random Sampling. Sedangkan variabel yang diteliti dan diobservasi adalah faktor-faktor kesehatan lingkungan yang meliputi pengelolaan sampah rumah tangga, pembuangan air limbah domestik, drainase lingkungan dan banjir, pengelolaan tinja, pengelolaan air bersih, perilaku higiene dan kejadian penyakit diare. Data yang terkumpul selanjutnya di-entri ke dalam Epi Info dan dianalisa secara sederhana menggunakan frequency dan crosstabulation, serta analisa program syntax memakai software SPSS 17.0 untuk menentukan nilai Indeks Risiko Sanitasi (IRS). Nilai Indeks Risiko Sanitasi yang terbentuk kemudian dibagi ke dalam 4 kelompok nilai dengan interval yang sama untuk menentukan wilayah populasi menjadi 4 kategori yaitu Kategori Risiko Sangat Tinggi, Kategori Risiko Tinggi, Kategori Risiko Sedang dan Kategori Kurang Berisiko. ii

Hasil dari studi EHRA ini adalah diketahuinya kelurahan sebagai wilayah studi dengan kategori sebagai berikut: Kelurahan dengan klasifikasi Berisiko Sangat Tinggi atau skor 4 di Kota Surabaya terdapat di 20 kelurahan atau sebesar 12,99% dan tersebar di seluruh wilayah Kota Surabaya dan 7 kecamatan. Kelurahan dengan klasfikasi Berisiko Sangat Tinggi atau skor 3 di Kota Surabaya terdapat di 62 kelurahan atau sebesar 40,26% dan tersebar di seluruh wilayah Kota Surabaya dan 20 kecamatan. Kelurahan dengan klasfikasi Berisiko Sedang atau skor 2 di Kota Surabaya terdapat di 63 kelurahan atau sebesar 40,91% dan tersebar di empat wilayah Kota Surabaya (Pusat, Selatan, Timur dan Barat) dan 20 kecamatan. Kelurahan dengan klasfikasi Berisiko Sangat Tinggi atau skor 3 di Kota Surabaya terdapat di 9 kelurahan atau sebesar 5,84% dan tersebar di empat wilayah Kota Surabaya (Pusat, Selatan, Timur dan Barat) dan 8 kecamatan. Hasil Indeks Risiko Sanitasi dari kelurahan yang mempunyai klasifikasi 1 sampai dengan klasifikasi 4 menunjukkan bahwa permasalahan utama terkait tingginya IRS disebabkan oleh variabel air limbah domestik maupun Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), sehingga dalam prioritas program dan kegiatan pembangunan sanitasi kedua permasalahan utama tersebut harus menjadi prioritas utama. KATA KUNCI : EHRA, Area Berisiko, Sanitasi iii

Halaman Kata Pengantar... Ringkasan Eksekutif... Daftar Isi... Daftar Tabel... Daftar Gambar... i ii iv vi vii Bab I Pendahuluan... 1 1.1. Latar Belakang... 1 1.2. Tujuan dan Sasaran... 3 1.3. Sumber Dana... 3 1.4. Ruang Lingkup... 3 Bab II Metodologi... 5 2.1. Metode Penelitian yang Digunakan Dalam Studi EHRA (Environmental Health Risk Assessment)... 5 2.2. Teknik Sampling... 7 2.3. Penentuan Klastering... 8 2.4. Pengumpulan Data... 10 2.5. Tahap Pelaksanaan... 11 2.6. Waktu Pelaksanaan... 14 Bab III Hasil Studi EHRA... 15 3.1. Sebaran dan Karakteristik Rumah Tangga atau Responden... 15 3.2. Pengelolaan Sampah Rumah Tangga... 18 3.3. Pembuangan Air Kotor/Limbah Tinja Manusia dan Lumpur Tinja.. 24 3.4. Drainase Lingkungan... 30 3.5. Pengelolaan Air Minum... 33 3.6. Perilaku Higiene dan Sanitasi... 34 3.7. Indeks Risiko Sanitasi... 37 3.8. Penentuan Area Berisiko... 39 Bab IV Kesimpulan dan Rekomendasi... 47 4.1. Kesimpulan... 47 4.2. Reomendasi... 48 Bab V Penutup... 49 iv

LAMPIRAN... 50 Lampiran 1. Pembagian Kelurahan Berdasarkan Klastering Lampiran 2. Nilai IRS, Skor Berdasarkan Studi EHRA dan Klasifikasi Kelurahan Lampiran 3. Wilayah, Kecamatan dan Kelurahan di Kota Surabaya dengan Skor EHRA 1 (Kurang Berisiko) Lampiran 4. Wilayah, Kecamatan dan Kelurahan di Kota Surabaya dengan Skor EHRA 2 (Risiko Sedang). Lampiran 5. Wilayah, Kecamatan dan Kelurahan di Kota Surabaya dengan Skor EHRA 3 (Risiko Tinggi) Lampiran 6. Wilayah, Kecamatan dan Kelurahan di Kota Surabaya dengan Skor EHRA 4 (Risiko Sangat Tinggi) v

Halaman Tabel 2.1. Kategori Klaster Berdasarkan Kriteria Indikasi Lingkungan Berisiko 7 Tabel 2.2. Jadwal Pelaksanaan Studi EHRA Tahun 2015... Tabel 3.1. Informasi Responden Kota Surabaya dalam Studi EHRA 2015... 17 Tabel 3.2. Kelurahan dengan Klasifikasi Berisiko Sangat Tinggi Berdasarkan Studi EHRA... 40 Tabel 3.3. Kelurahan dengan Klasifikasi Berisiko Tinggi Berdasarkan Studi EHRA... 41 Tabel 3.4. Kelurahan dengan Klasifikasi Berisiko Sedang Berdasarkan Studi EHRA... 43 Tabel 3.5. Kelurahan dengan Klasifikasi Kurang Berisiko Berdasarkan Studi EHRA... 45 vi

Halaman Gambar 3.1. Enumerator Sedang Mewawancarai Responden Studi EHRA... 16 Gambar 3.2. Kondisi Sampah di Lingkungan RT/RW Kota Surabaya... 19 Gambar 3.3. Bagaimana Sampah Rumah Tangga Dikelola... 20 Gambar 3.4. Seberapa Sering Petugas Mengangkut Sampah dari Rumah... 21 Gambar 3.5. Apakah Ibu Melakukan Pemilahan Sampah di Rumah Sebelum Dibuang... 22 Gambar 3.6. Bagaimana Sampah Rumah Tangga Dipisahkan... 23 Gambar 3.7. Kemana Anggota Keluarga yang Sudah Dewasa Buang Air Besar... 25 Gambar 3.8. Kepemilikan Jamban Pribadi... 26 Gambar 3.9. Kemana Tempat Penyaluran Buangan Air Tinja... 26 Gambar 3.10. Sudah Berapa Lama Tangki Septik ini Dibuat/Dibangun... 27 Gambar 3.11. Pengurasan Tangki Septik Rumah Tangga Kota Surabaya... 28 Gambar 3.12. Siapa yang Mengosongkan Tangki Septik... 29 Gambar 3.13. Apakah Ibu Tahu, Kemana Lumpur Tinja Dibuang Pada Saat Tangki Septik Dikosongkan... 30 Gambar 3.14. Persentase Kepemilikan SPAL... 31 Gambar 3.15. Persentase Lokasi Genangan Air di Rumah... 32 Gambar 3.16. Jenis Air Minum Warga Kota Surabaya... 32 Gambar 3.17. Apakah Ibu Memakai Sabun pada Hari Ini atau Kemarin... 35 Gambar 3.18. Waktu Melakukan CTPS... 36 Gambar 3.19. Indeks Risiko Sanitasi Kota Surabaya 2015... 37 Gambar 3.20. Klasifikasi Kelurahan Berdasarkan Studi EHRA Kota Surabaya Tahun 2015... 46 vii

1.1 LATAR BELAKANG Pencapaian Universsal Access yang telah disepakati berbagai negara dan target RPJMN Tahun 2019 yaitu 100-0-100, mengamanatkan bahwa pelestarian lingkungan hidup sangat terkait dengan akses penduduk terhadap layanan sanitasi yang layak. Pemerintah juga mempunyai tujuan terhadap akses air minum layak berkelanjutan terhadap seluruh masyarakat dan tidak ada lagi kawasan kumuh serta 100 % akses santasi. Oleh sebab itu, dalam rangka memperkuat upaya pembudayaan hidup bersih dan sehat, mencegah penyebaran penyakit berbasis lingkungan, meningkatkan kemampuan masyarakat, serta mengimplementasikan komitmen pemerintah untuk meningkatkan akses air minum dan sanitasi dasar yang berkesinambungan, maka pemerintah segera melakukan upaya percepatan pembangunan sanitasi permukiman secara menyeluruh, berkelanjutan dan terpadu di daerah dengan mengacu pada pengelolaan Program Percepatan Pembangunan Sanitasi Permukiman (PPSP). Sanitasi merupakan urusan bersama yang melibatkan pemerintah kota/kabupaten, pemerintah provinsi, pemerintah pusat, swasta, donor dan masyarakat. Untuk mengejar ketertinggalan pembangunan sanitasi di daerah diperlukan sebuah terobosan dalam pembangunan sanitasi berupa Program Percepatan Pembangunan Sanitasi Permukiman (PPSP) yang dilakukan melalui pendekatan pembentukan strategi sanitasi kota (SSK) yang sesuai dengan kebutuhan pemerintah kabupaten/kota dan masyarakat melalui proses dari bawah-atas (bottom-up) dengan kerangka kebijakan dan strategi nasional yang ditetapkan oleh pemerintah pusat. 1

Melalui pendekatan ini, program pembangunan sanitasi yang bersifat atas-bawah (topdown) akan dapat disinkronkan dan disinergikan dengan proses bottom-up. Target PPSP hingga Tahun 2014 adalah : 1. Stop BAB Sembarangan (Stop BABS) di wilayah perkotaan perdesaan pada 2014 ; 2. Perbaikan pengelolaan persampahan, melalui implementasi 3R (reduce, reuse, recycle) dan TPA berwawasan lingkungan (sanitary landfill dan controlled landfill) ; 3. Pengurangan genangan di sejumlah kota/kawasan perkotaan seluas 22.500 Ha. Lingkup pelaksanaan PPSP di daerah meliputi : 1. Penyiapan Komunikasi, kelembagaan dan Pengaturan, 2. Penyusunan Strategi Pembangunan Sanitasi Permukiman : a. Pelatihan penyusunan Buku Putih b. Fasilitasi Penyusunan Dokumen Buku Putih Sanitasi, yang meliputi: Kajian Data Sekunder/Aspek Teknis Operasional Kajian Kelembagaan Kajian Keuangan Kajian Komunikasi dan Media Kajian SSA (Sanitation Supply Assessment) Kajian PMJK (Pemberdayaan Masyarakat Jender dan Kemiskinan) Studi Penilaian Resiko Kesehatan Lingkungan yang selanjutnya akan disebut dengan Studi Environmental Health Risk Assesment (EHRA) c. Pelatihan Penyusunan Strategi Sanitasi Kota/Kabupaten d. Fasilitasi Penyusunan Dokumen Strategi Sanitasi Kota e. Pelatihan Penyusunan Rencana Tindak f. Fasilitasi Penyusunan Rencana Tindak g. Pelatihan Monitoring dan Evaluasi 3. Fasilitasi dan Penyusunan Program Memorandum 4. Fasilitasi dan Pelaksanaan (Implementasi) 5. Fasilitasi dan Pelaksanaan Monitoring dan Evaluasi 2

Dalam rangka penjabaran PPSP di Kota Surabaya perlu dilakukan penyusunan Studi EHRA (Environmental Health Risk Assessment) sebagai bagian dari penyusunan Buku Putih Sanitasi Kota Surabaya. Studi EHRA Kota Surabaya telah dilaksanakan pada tahun 2010 dan pelaksanaan Studi EHRA pada tahun 2015 ini dimaksudkan sebagai upaya up dating dari EHRA tahun 2010. 1.2. TUJUAN DAN SASARAN a. Tujuan Tujuan penyusunan studi EHRA adalah untuk mendapatkan deskripsi sanitasi Kota Surabaya baik dari aspek fisik/bangunan maupun pengetahuan, sikap dan perilaku yang beresiko terhadap kondisi kesehatan rumah tangga dan warga lainnya. b. Sasaran Mengidentifikasi perilaku sanitasi masyarakat yang meliputi : praktek BAB, cuci tangan pakai sabun, pembuangan sampah. Mengidentifikasi kondisi air minum, pembuangan tinja manusia dan buangan dapur/mandi. Mengidentifikasi kondisi genangan. Mengidentifikasi kondisi kesehatan masyarakat. 1.3. SUMBER DANA Kegiatan penyusunan studi EHRA dilaksanakan dengan menggunakan APBD Kota Surabaya Tahun Anggaran 2015 melalui Dinas Kesehatan Kota Surabaya. 1.4. RUANG LINGKUP Ruang lingkup penyusunan studi EHRA meliputi : a. Diskusi dengan POKJA. b. Memperbaiki instrumen sesuai hasil diskusi. c. Mengkoordinasikan kerja lapangan. d. Melaksanakan entry data. 3

e. Data cleaning (yaitu melakukan pengecekan data terhadap isian data yang di luar pilihan jawaban yang disediakan kuesioner atau isian data yang di luar kewajaran). f. Data proccessing, analisa dan laporan awal. g. Umpan balik untuk POKJA, Enumerator, kelurahan dan kecamatan. h. Laporan pelaksanaan Studi EHRA. 4

2.1. METODE PENELITIAN YANG DIGUNAKAN DALAM STUDI EHRA (ENVIRONMENTAL HEALTH RISK ASSESMENT) Studi EHRA merupakan studi kasus mengenai sanitasi dan perilaku yang berhubungan dengan sanitasi antara lain mencakup akses dan kondisi sarana sanitasi yang telah ada seperti air bersih, jamban, air buangan dan saluran pembuangan air dan jasa pengumpulan limbah padat serta bagaimana perilaku anggota rumah tangga dalam hubungannya dengan resiko kesehatan lingkungan dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif adalah suatu proses penelitian dan pemahaman yang berdasarkan pada metodologi yang menyelidiki suatu fenomena sosial dan masalah manusia. Pada pendekatan ini, peneliti membuat suatu gambaran kompleks, meneliti kata-kata, laporan terinci dari pandangan responden, dan melakukan studi pada situasi yang alami (Creswell, 1998:15). Studi EHRA memberikan informasi kualitatif tentang kondisi sarana sanitasi yang ada, serta masyarakat pengguna sanitasi tersebut. Studi EHRA adalah studi yang mendalami sanitasi dan perilaku yang berhubungan dengan sanitasi antara lain mencakup akses dan kondisi sarana sanitasi yang telah ada, termasuk air bersih, jamban, air buangan dan saluran pembuangan air dan jasa pengumpulan limbah padat serta bagaimana perilaku anggota rumah tangga dalam hubungannya dengan resiko kesehatan lingkungan. Untuk kepentingan mengukur pencapaian program pengembangan sanitasi di waktu berikutnya Studi EHRA menerapkan rumus di bawah ini untuk menghitung besaran sampel. n = D [(Zα + Zβ)2 * (P1 (1 - P1) + P2 (1 - P2)) /(P2 - P1)2] 5

dimana : n = jumlah sample yang dibutuhkan D = design effect P1 = proporsi indikator di waktu pertama (t1) P2 = proporsi indikator tertentu yang diharapkan pada masa berikutnya (t2) Zα = skor Z dari α (tingkat signifikansi) Zβ = skor Z dari β (statistical power) Unit analisis dari studi EHRA adalah rumah tangga, sehingga analisis statistik yang diterapkan didasarkan pada satuan rumah tangga. Sementara, untuk mendapatkan informasi studi EHRA menerapkan unit respon ibu rumah tangga. Jadi, meskipun hanya seorang ibu yang menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan enumerator, namun jawaban sang ibu diasumsikan sebagai representasi dari sumber di tingkat rumah tangga. Ibu yang menjadi unit responden adalah perempuan menikah atau janda berusia antara 18 65 tahun. Dalam sesi wawancara berstruktur, enumerator memanfaatkan hanya jawaban verbal dari responden sebagai dasar memilih salah satu atau beberapa jawaban untuk menuliskan jawaban responden di kuesioner. Sementara, pada sesi observasi enumerator akan memanfaatkan informasi visual dan pengecapan rasa untuk pengujian air baku yang didapatkan untuk memilih salah satu atau beberapa jawaban responden di kuesioner. Panduan wawancara dan pengamatan dibuat terstruktur dan dirancang untuk diselesaikan dalam waktu sekitar 30-45 menit untuk setiap responden. Untuk mengikuti standar etika, informed consent wajib dibacakan oleh enumerator sehingga responden memahami betul hak-haknya dan memutuskan dengan sukarela dan sadar untuk menjadi responden. Teknik analisis yang diterapkan dalam studi EHRA adalah teknik statistik deskriptif sederhana seperti % (prosentase) dan frekuensi. Apabila memungkinkan, dilakukan data splitting atau elaborasi berdasarkan tingkatan di bawah kota, yakni kecamatan dan kelurahan. 6

2.2. TEKNIK SAMPLING Sebagian unsur populasi yang dijadikan objek penelitian disebut sampel. Sampel atau contoh adalah wakil dari populasi yang ciri-cirinya akan diungkapkan dan akan digunakan untuk menaksir ciri-ciri populasi. Oleh karena itu, jika kita menggunakan sampel sebagai sumber data, maka data yang diperoleh adalah ciri-ciri sampel bukan ciriciri populasi, tetapi ciri-ciri sampel itu harus dapat digunakan untuk menaksir populasi. Dalam banyak hal pengujian atau eksperimen tidak mungkin melibatkan seluruh populasi. Oleh sebab itu penelitian atau eksperimen dilaksanakan melalui sampling. Permasalahannya adalah bagaimana cara memilih sampel agar informasi yang diperoleh dapat mewakili populasinya atau disebut sampel representatif. Sampel representatif adalah sampel yang memiliki ciri karakteristik yang sama atau relatif sama dengan ciri karakteristik populasinya. Tingkat kerepresentatifan sampel yang diambil dari populasi tertentu sangat tergantung pada jenis sampel yang digunakan, ukuran sampel yang diambil, dan cara pengambilannya. Cara atau prosedur yang digunakan untuk mengambil sampel dari populasi tertentu disebut teknik sampling. Teknik sampling dibagi menjadi dua kelompok, yaitu: a) Probability Sampling (Random Sample) Probability sampling adalah teknik sampling yang memberikan peluang yang sama bagi setiap unsur (anggota) populasi untuk dipilih menjadi anggota sampel. b) Non Probability Sampling (Non Random Sample) Nonprobability sampling adalah teknik sampling yang memberi peluang atau kesempatan tidak sama bagi setiap unsur atau anggota populasi untuk dipilih menjadi sampel. Teknik Sampling yang digunakan dalam studi EHRA adalah Random Sample dengan menggabungkan antara teknik random multistage (bertingkat) dan random systematic. Sampel studi EHRA diambil dari 50 Kelurahan dari 31 Kecamatan di Kota Surabaya. Primary sampling unit adalah Rukun Tetangga (RT) di setiap kelurahan dan diambil secara random 5 (lima) RT di mana setiap RT diambil 8 rumah tangga secara random. 7

Ukuran sampel atau jumlah sampel yang diambil menjadi persoalan yang penting jika jenis penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian yang menggunakan analisis kuantitatif. Penelitian yang menggunakan analisis kualitatif, ukuran sampel bukan menjadi nomor satu, karena yang dipentingkan adalah kekayaan informasi. Walau jumlahnya sedikit tetapi jika kaya akan informasi, maka sampelnya lebih bermanfaat Jumlah sampel studi EHRA diambil dari populasi. Ukuran populasi yang digunakan berdasarkan Kepala Keluarga yaitu sebesar 800.113 Kepala Keluarga (BPS Kota Surabaya, tahun 2013, diolah), CL (Confidence Level) sebesar 97%, CI (Confidence Interval) sebesar 3% didapat ukuran sampel kurang lebih sebesar 1.762 responden dan dibulatkan menjadi 2.000 responden sebagai antisipasi data hilang dan kesalahan survei. Namun untuk mendapatkan hasil yang maksimal pelaksanaan studi EHRA dilaksanakan untuk semua kelurahan di Surabaya sebanyak 154 kelurahan dan masing-masing kelurahan sebanyak 40 responden sehingga total responden sebanyak 6 160 kepala keluarga, 2.3. PENENTUAN KLASTERING Metoda penentuan target area survei dilakukan secara geografi dan demografi melalui proses yang dinamakan klastering. Hasil klastering ini juga sekaligus bisa digunakan sebagai indikasi awal lingkungan berisiko. Proses pengambilan sampel dilakukan secara random sehingga memenuhi kaidah Probability Sampling di mana semua anggota populasi memiliki peluang yang sama untuk menjadi sampel. Sementara metoda sampling yang digunakan adalah Cluster Random Sampling. Teknik ini sangat cocok digunakan di Kota Surabaya mengingat area sumber data yang akan diteliti sangat luas. Pengambilan sampel didasarkan pada daerah populasi yang telah ditetapkan. Penetapan cluster dilakukan berdasarkan kriteria yang sudah ditetapkan oleh Program PPSP sebagai berikut: 1. Kepadatan penduduk yaitu jumlah penduduk per luas wilayah. Pada umumnya tiap kabupaten/ kota telah mempunyai data kepadatan penduduk sampai dengan tingkat kecamatan dan kelurahan/ desa. 2. Angka kemiskinan dengan indikator yang datanya mudah diperoleh tapi cukup representatif menunjukkan kondisi sosial ekonomi setiap kecamatan dan/atau kelurahan/ desa. Sebagai contoh ukuran angka kemiskinan bisa 8

dihitung berdasarkan proporsi jumlah Keluarga Pra Sejahtera dan Keluarga Sejahtera 1 dengan formula sebagai berikut: ( Pra-KS + KS-1) Angka kemiskinan = ---------------------------------- X 100% KK 3. Daerah/wilayah yang dialiri sungai/kali/saluran drainase/saluran irigasi dengan potensi digunakan sebagai MCK dan pembuangan sampah oleh masyarakat setempat 4. Daerah terkena banjir dan dinilai mengangggu ketentraman masyarakat dengan parameter ketinggian air, luas daerah banjir/genangan, lamanya surut. Berdasarkan kriteria di atas, klastering wilayah Kota Surabaya menghasilkan katagori klaster sebagaimana disajikan pada Tabel 2.1. Wilayah (kecamatan atau kelurahan) yang terdapat pada klaster tertentu dianggap memiliki karakteristik yang identik/homogen dalam hal tingkat risiko kesehatannya. Dengan demikian, kecamatan/kelurahan yang menjadi area survei pada suatu klaster akan mewakili kecamatan/kelurahan lainnya yang bukan merupakan area survei pada klaster yang sama. Berdasarkan asumsi ini maka hasil studi EHRA ini bisa memberikan peta area berisiko Kota Surabaya, karena semua kelurahan merupakan wilayah atau area survei maka hasil klastering ini hanya digunakan sebagai referensi untuk mendapatkan pembanding dari masing-masing kelurahan. Hasil selengkapnya mengenai klastering kelurahan di Kota Surabaya disajikan pada Lampiran 1. 9

Tabel 2.1 Kategori Klaster Berdasarkan Kriteria Indikasi Lingkungan Berisiko Katagori Kluster Kriteria Klaster 0 Wilayah kelurahan yang tidak memenuhi sama sekali kriteria indikasi lingkungan berisiko. Klaster 1 Wilayah kelurahan yang memenuhi minimal 1 kriteria indikasi lingkungan berisiko Klaster 2 Wilayah kelurahan yang memenuhi minimal 2 kriteria indikasi lingkungan berisiko Klaster 3 Wilayah kelurahan yang memenuhi minimal 3 kriteria indikasi lingkungan berisiko Klaster 4 Wilayah kelurahan yang memenuhi minimal 4 kriteria indikasi lingkungan berisiko 2.4. PENGUMPULAN DATA 2.4.1. Jenis dan Sumber Data Berdasarkan sumbernya, data dibagi menjadi: a) Data primer yaitu data yang diusahakan/didapat oleh peneliti b) Data sekunder yaitu data yang didapat dari orang/instansi lain Data sekunder studi EHRA didapatkan dari studi literatur dan data dari instansi penyedia data yang dibutuhkan. Data primer studi EHRA didapatkan dari kuesioner dan observasi lapangan. 2.4.2. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data merupakan langkah yang amat penting dalam penelitian. Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data erat kaitannya dengan masalah penelitian yang akan dipecahkan. Pemilihan teknik dan alat pengumpulan data perlu mendapat perhatian yang cermat. Alat/instrumen pengumpulan data yang baik, menghasilkan data yang berkualitas dan kualitas data akan menentukan kualitas penelitian. 10

Teknik pengumpulan data sebagai bahan pembuatan laporan studi EHRA yaitu: wawancara (dengan instrumen kuesioner) dan observasi. Wawancara, menurut Afriani (2009) merupakan alat re-cheking atau pembuktian terhadap informasi atau keterangan yang diperoleh sebelumnya. Beberapa informasi yang diperoleh dari hasil observasi adalah ruang (tempat), pelaku, kegiatan, objek, perbuatan, kejadian atau peristiwa, waktu, dan perasaan. Alasan peneliti melakukan observasi adalah untuk menyajikan gambaran realistik perilaku atau kejadian, untuk menjawab pertanyaan, untuk membantu mengerti perilaku manusia, dan untuk evaluasi yaitu melakukan pengukuran terhadap aspek tertentu melakukan umpan balik terhadap pengukuran tersebut. Bungin (2007: 115) mengemukakan beberapa bentuk observasi yang dapat digunakan dalam penelitian kualitatif, yaitu observasi partisipasi, observasi tidak terstruktur, dan observasi kelompok tidak terstruktur. Observasi yang dilakukan dalam studi EHRA adalah observasi tidak berstruktur, yaitu observasi yang dilakukan tanpa menggunakan guide observasi. Pada observasi ini peneliti atau pengamat harus mampu mengembangkan daya pengamatannya dalam mengamati suatu objek. 2.5. TAHAP PELAKSANAAN 2.5.1. Persiapan Desain dan Instrumen EHRA Instrumen adalah alat untuk mengumpulkan data yang berupa angket atau kuesioner (Kountur, 2004 : 113). Pengumpulan data studi EHRA menggunakan kuesioner, sehingga desain kuesioner perlu untuk dibuat agar jawaban pertanyaan dalam kuesioner dapat menggambarkan kondisi sanitasi. 2.5.2. Pemilihan dan Penentuan Enumerator dan Supervisor Enumerator studi EHRA berasal dari mahasiswa Universitas Narotama yang berjumlah lima puluh mahasiswa dan telah mendapatkan pelatihan Studi EHRA, dimana masing-masing mahasiswa mendapatkan tugas untuk melakukan survei di tiga lokasi kelurahan. 11

Supervisor studi EHRA berasal dari Akademisi Universitas Narotama yang berjumlah sebanyak lima orang dimana masing-masing Supervisor melakukan supervisi sesuai dengan wilayah yang menjadi tugasnya yaitu Surabaya Pusat, Surabaya Utara, Surabaya Selatan, Surabaya Timur dan Surabaya Barat. 2.5.3. Pelatihan Enumerator dan Supervisor Pelatihan dilakukan dengan tujuan agar enumerator dan supervisor mengetahui dan memahami studi EHRA. Pelatihan tersebut berisi sejumlah topik, antara lain: 1) pemahaman tentang konseptual kerangka kerja isu air, sanitasi dan higiene, 2) teknik wawancara dan pengamatan/observasi, 3) pemahaman tentang kuesioner EHRA yang mencakup penjelasan dan pembacaan kuesioner, serta prakteknya. 2.5.4. Pelaksanaan Pengumpulan Data oleh Enumerator Pengumpulan data dilakukan oleh enumerator kepada responden dengan wawancara menggunakan kuesioner. Wawancara dilakukan kurang lebih selama 30 45 menit untuk satu responden. 2.5.5. Monitoring dan Cross Check Lapangan oleh Supervisor Monitoring adalah suatu kegiatan observasi yang berlangsung terus menerus untuk memastikan dan mengendalikan keserasian pelaksanaan program dengan perencanaan yang telah ditetapkan. Sedangkan cross check lapangan adalah melihat langsung ke lapangan untuk membandingkan data yang diperoleh dengan kondisi yang sebenarnya. Banyak hasil penelitian kualitatif diragukan kebenarannya karena beberapa hal, antara lain subjektivitas dan ketidaktelitian peneliti merupakan hal yang dominan dalam penelitian kualitatif. Alat penelitian kualitatif adalah wawancara dan observasi dan alat ini mengandung banyak kelemahan, karena dilakukan secara terbuka dan tanpa kontrol. Sumber data kualitatif dari hasil wawancara yang kurang kredibel akan berpengaruh terhadap hasil akurasi penelitian. 12

2.5.6. Koordinasi Hasil Pendataan dan Cross Check Koordinasi dan cross check dilakukan untuk menghindari kesalahan sistematis. Pokja Sanitasi melakukan Spot check sebagai quality control dengan membentuk tim untuk mendatangi 5% rumah yang telah di survey untuk melakukan wawancara singkat dengan kuesioner yang telah disediakan. Hasil spot check dapat digunakan untuk menyimpulkan apakah wawancara benar-benar terjadi sesuai standar yang ditentukan. Hasil spot check digunakan juga sebagai quality control pada tahap entry data, apakah hasil entry data dan spot check menunjukkan hasil yang sama. 2.5.7. Entry Data Entry data dilakukan untuk memindahkan data dari responden dalam kuesioner ke dalam bentuk file. 2.5.8. Data Cleaning Pembersihan/data cleaning dilakukan sebelum data dianalisis, pembersihan data mencakup pembersihan terhadap tidak ada data (missing value), pilihan diluar opsi, dan salah pilih. Secara sederhana pembersihan dilakukan dengan analisis frekuensi dan tabel silang. 2.5.9. Pengolahan dan Analisis Data Setelah data diperoleh peneliti menganalisais secara kualitatif melalui tiga tahapan : a. Klasifikasi data b. Interpretasi data c. Analisis data Teknik analisis yang diterapkan adalah teknik statistik deskriptif sederhana seperti prosentase dan frekuensi. Analisis statistik yang diterapkan berdasarkan pada satuan rumah tangga. Hasil analisis data EHRA merupakan analisis deskriptif kondisi sanitasi Kota Surabaya yang disajikan dalam bentuk diagram dan narasi. 13

2.6. WAKTU PELAKSANAAN Tabel 2.2. Jadwal Pelaksanaan Studi EHRA Tahun 2015 Agenda Penjelasan kesepakatan dan komitmen kerja studi EHRA Pelatihan studi EHRA Studi EHRA Entry data Analisis data Konsultasi Publik studi EHRA Penulisan laporan April Mei Juni Juli 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 14

3.1. SEBARAN DAN KARAKTERISTIK RUMAH TANGGA ATAU RESPONDEN Bagian ini akan menjelaskan hal-hal yang terkait dengan karakteristik rumah tangga atau responden itu sendiri yang merupakan informasi terhadap sejumlah variabel social-demografi rumah di Kota Surabaya. Variabel-variabel yang akan dijelaskan mencakup status responden, usia responden, status rumah yang ditempati, pendidikan terakhir, serta jumlah anak yang tinggal di rumah. Hal ini diperlukan karena sangat terkait dengan masalah sanitasi. Jumlah anak yang tinggal di rumah berhubungan dengan kebutuhan fasiltas sanitasi. Semakin banyak anak dalam rumah tangga maka semakin besar pula kapasitas yang dibutuhkan dan semakin berat beban sanitasinya. Informasi mengenai usia anak termuda dalam keluarga dimaksudkan untuk menggambarkan besaran populasi yang memiliki risiko paling tinggi atau yang kerap dikenal dengan istilah Population at Risk. Secara umum diketahui bahwa balita merupakan segmen populasi yang paling rentan terhadap penyakit-penyakit yang berhubungan dengan air (water born disease), kebersihan diri dan lingkungan. Sehingga, rumah tangga yang memiliki balita akan memiliki risiko yang lebih tinggi terhadap masalah sanitasi dibandingkan rumah tangga yang tidak memiliki balita. Sementara variabel yang berkaitan dengan status rumah diperlukan untuk memperkirakan potensi partisipasi warga dalam pengembangan program sanitasi. Mereka yang menempati rumah yang tidak dimilikinya diduga kuat memiliki rasa memiliki (ship of ownership) yang rendah. Mereka cenderung tidak peduli dengan lingkungan sekitar termasuk pemeliharaan fasilitas sanitasi ataupun kebersihan lingkungan. Sebaliknya mereka yang 15

menempati rumah milik sendiri cenderung akan mempunyai rasa tanggung jawab yang tinggi terhadap kebersihan sanitasi dan kesehatan lingkungan. Berdasarkan hasil Studi EHRA yang sudah dilakukan, jumlah responden dalam rentang usia > 45 tahun tahun berada pada posisi tertinggi yaitu 43,20% diikuti usia 41 45 tahun sebesar 16,30%, kemudian usia 36 40 tahun dengan 15,30%, rentang usia 31 35 tahun sebesar 12,50%, usia 26 30 tahun sebesar 7,40%, kemudian usia 21 25 tahun sebesar 3,70% dan yang terendah usia 25 tahun sebesar 1,10%. Gambar 3.1. Enumerator Sedang Mewawancarai Responden Studi EHRA Informasi lengkap terkait responden Studi EHRA di Kota Surabaya Tahun 2015 dapat dilihat pada Tabel 3.1. Hasil Studi EHRA juga menunjukkan bahwa jumlah responden dengan status rumah milik sendiri berada pada posisi teratas sebesar 69,80% lalu diikuti dengan milik orang tua/anak/saudara 14,20%, rumah dengan status kontrak sebesar 9,20% dan sisanya status rumah sewa, rumah dinas dan lainnya hanya sebesar 6,80%. Hal ini merupakan informasi yang penting dimana jumlah responden dengan status rumah sendiri cukup tinggi akan juga berpengaruh terhadap rasa memiliki prasarana dan sarana sanitasi yang ada di sekitarnya. 16

Tabel 3.1. Informasi Responden Kota Surabaya dalam Studi EHRA 2015 Kelompok Umur Responden B2. Apa status dari rumah yang anda tempati saat ini? KETERANGAN Total n % <= 20 tahun 37 1,1 21-25 tahun 128 3,7 26-30 tahun 255 7,4 31-35 tahun 429 12,5 36-40 tahun 526 15,3 41-45 tahun 579 16,8 > 45 tahun 1484 43,2 Milik sendiri 2452 69,8 Rumah dinas 75 2,1 Berbagi dengan keluarga lain 31,9 B3. Apa pendidikan terakhir anda? B4. Apakah ibu mempunyai Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) dari desa/kelurahan? B5. Apakah ibu mempunyai Kartu Asuransi Kesehatan bagi Keluarga Miskin (ASKESKIN)? B6. Apakah ibu mempunyai anak? Sewa 99 2,8 Kontrak 322 9,2 Milik orang tua 497 14,2 Lainnya 35 1,0 Tidak sekolah formal 154 4,4 SD 782 22,3 SMP 616 17,5 SMA 1353 38,5 SMK 268 7,6 Universitas/Akademi 338 9,6 Ya 649 18,5 Tidak 2862 81,5 Ya 1733 49,4 Tidak 1778 50,6 Ya 3064 87,3 Tidak 447 12,7 17

Berdasarkan hasil Studi EHRA, jumlah responden dengan pendidikan terakhir SMA berada pada posisi teratas sebesar 38,50% lalu diikuti dengan tingkat SD sebesar 22,30%, tingkat SMP sebesar 17,50%, tingkat Universitas/Akademi sebesar 9,80%, dan responden dengan tingkat pendidikan terendah yaitu tingkat SMK/Kejuruan sebesar 7,60%. Informasi di atas menjelaskan bahwa responden dengan tingkat pendidikan terakhir SMA cukup berpengaruh terhadap pemahaman dan kepedulian akan prasarana dan sarana sanitasi yang ada. Informasi Responden juga menunjukkan bahwa responden yang memiliki Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) dari kelurahan hanya sebanyak 18,60%, sedangkan yang tidak memiliki sebesar 81,50%. Responden yang memiliki asuransi kesehatan bagi keluarga miskin sebanyak 49,40%, sedangkan yang tidak memiliki sebesar 50,60%. Data ini menunjukkan bahwa tingkat ekonomi masyarakat Kota Surabaya sudah cukup baik hal ini secara tidak langsung juga akan berdampak terhadap kondisi sanitasi lingkungan. Hasil Studi EHRA terkait gambaran responden juga menunjukkan bahwa jumlah responden yang di dalam rumahnya memiliki anak sebesar 87,30% sedangkan yang tidak memiliki anak sebesar 12,70%. 3.2. PENGELOLAAN SAMPAH RUMAH TANGGA Dalam Studi EHRA Kota Surabaya Tahun 2015 terkait pengelolaan sampah rumah tangga telah dilakukan wawancara dan observasi dengan responden untuk mendapatkan informasi tentang beberapa hal sebagai berikut, yakni : 1. Cara pembuangan sampah yang utama, 2. Frekuensi dan pendapat tentang ketepatan pengangkutan, 3. Praktik pemilahan sampah, 4. Penggunaan wadah sampah. Studi EHRA terkait pengelolaan sampah rumah tangga dari sisi pelayanan pengangkutan melihat aspek yang terkait dengan frekuensi dan ketepatan waktu pengangkutan. Walaupun dalam salah satu rumah tangga menerima pelayanan, namun risiko kesehatan tetap tinggi apabila frekuensi pengangkutan terjadi lebih lama dari satu minggu sekali. Ketepatan pengangkutan digunakan untuk menggambarkan seberapa konsisten kesepakatan tentang frekuensi pengangkutan. 18

Beberapa kota di Indonesia, penanganan pengelolaan sampah menjadi permasalahan yang cukup memprihatinkan. Beban sampah yang diproduksi rumah tangga ternyata tidak bisa ditangani oleh sistem persampahan yang ada. Untuk itu pengelolaan sampah melalui pemilahan dan pemanfaatan sampah atau penggunaan ulang sampah sangat disarankan untuk dilaksanakan, misalnya pembuatan pupuk kompos dari sampah organik dianggap penting. Dengan latar belakang semacam ini, maka melalui Studi EHRA ini kemudian dimasukkan pertanyaan yang memuat kegiatan pemilahan sampah di tingkat rumah tangga serta melakukan pengamatan yang tertuju pada kegiatan pengomposan. Gambar 3.2. Kondisi Sampah di Lingkungan RT/RW Kota Surabaya Gambar 3.2. di atas menunjukkan bahwa di lingkungan yang diamati dalam Studi EHRA sebagian besar kondisi sampahnya dapat dikatakan masih banyak dari gangguan hewan pembawa kuman penyakit dan bau yang menyengat. Responden sebesar 45,60% menyatakan bahwa masih banyak tikus berkeliaran di sekitar sampah. Sebesar 37,10% 19

menyatakan bahwa di sekitar sampah masih banyak nyamuk. Sebesar 21,60% masih banyak sampah berserakan atau bertumpuk di sekitar lingkungan. Sebesar 19,80% responden menyatakan masih banyak lalat di sekitar tumpukan sampah, ada anak-anak bermain di sekitar sampah (15,30%), sedangkan sisanya menyatakan bau busuk yang mengganggu (3,60%), menyumbat saluran drainase (3,90%) dan lainnya sebesar 16,70%. Kondisi yang demikian ini dapat dikorelasikan dengan sistem dan periodik pengangkutan sampah. Karena sistem pengangkutan sampah yang terhambat, menyebabkan sampah mengendap lama dapat menjadi sarang penyakit, diantaranya dengan adanya binatang merugikan seperti menjadi tempat perkembangbiakan lalat, tikus dan cacing, bau busuk yang menyengat. Gambar 3.3. Bagaimana Sampah Rumah Tangga Dikelola 20

Berdasarkan hasil Studi EHRA sebagaimana disajikan dalam Gambar 3.3. responden yang melakukan pengelolaan sampah rumah tangganya dengan dikumpulkan dan dibuang ke TPS sebesar 85,37%. Sedangkan yang melakukan pengelolaan dengan cara dikumpulkan oleh kolektor informal yang mendaur ulang hanya 5,80%. Hasil ini cukup baik terkait dengan pengelolaan sampah di Kota Surabaya. Namun masih ada rumah tangga yang melakukan pengelolaan sampah dengan cara dibakar yaitu sebesar 3,20%, dari pengamatan lebih lanjut didapatkan bahwa kelurahan-kelurahan yang rumah tangganya masih melakukan pembakaran sampah adalah kelurahan-kelurahan di wilayah barat yang masih cukup luas tanahnya untuk membakar sampah, namun perlu tetap diperhatikan untuk tidak melakukan pengelolaan sampah melalui pembakaran. Sedangkan cara pengelolaan yang lain masih kecil prosentasinya seperti dibuang ke sungai/kali/laut/danau, dibuang ke lahan kosong/kebun/hutan dan dibiarkan membusuk, dibuang ke dalam lubang tetapi tidak ditutup dengan tanah, dibuang ke dalam lubang dan ditutup dengan tanah, dikumpulkan oleh kolektor informal yang nyamendaur ulang, pengelolaan sampah dilakukan dengan cara lainnya, tidak tahu cara mengelola sampah, dan dibiarkan saja sampai membusuk. Gambar 3.4. Seberapa Sering Petugas Mengangkut Sampah dari Rumah 21

Dalam Studi EHRA seperti yang ditunjukkan dalam Gambar 3.4. di atas diketahui bahwa sistem pengangkutan sampah di Kota Surabaya telah dilakukan dalam frekuensi yang teratur setiap hari. Sebesar 26,60% responden menyatakan bahwa sampah diangkut tiap hari oleh petugas. Namun terkadang juga dilakukan tidak dalam setiap hari hanya beberapa kali dalam satu minggu sebesar 61,90%. Sebesar 4,10% responden yang diwawancarai menyatakan bahwa sampah diangkut seminggu sekali dan sisanya menyatakan tidak tahu dengan proses pengangkutan sampah sebanyak 7,40%, hal disebabkan karena pengangkutan sampah dilakukan pada pagi hari dan pada saat kebanyakan para responden bekerja di luar rumah. Data ini menunjukkan bahwa proses pengangkutan sampah di Kota Surabaya sudah relatif cukup baik dan terkoordinasi dan tidak menimbulkan permasalahan. Gambar 3.5. Apakah Ibu Melakukan Pemilahan Sampah di Rumah Sebelum Dibuang Berdasarkan Studi EHRA, 83,20% responden menyatakan tidak melakukan pemilahan sampah, sedangkan sisanya sebesar 16,80% melakukan pemilahan sebagaimana disajikan dalam Gambar 3.5. Lebih lanjut Gambar 3.6. menjelaskan bahwa responden yang melakukan pemilahan sampah organik/sampah basah sebesar 50,00% yang tidak melakukan pemisahan sebesar 50,00%. Responden yang 22

melakukan pemilahan sampah berupa besi logam sebesar 74,10% yang tidak melakukan pemilahan sebesar 25,10%. Responden yang melakukan pemilahan berupa kertas sebesar 71,20% yang tidak melakukan pemilahan sebesar 28,80%. Responden yang melakukan pemilahan sampah berupa gelas/kaca sebesar 73,20% yang tidak melakukan pemilahan sebesar 26,80%, dan responden yang melakukan pemilahan berupa plastik sebesar 62,10% yang tidak melakukan pemisahan sebesar 37,90% serta responden yang melakukan pemilahan bahan-bahan selain yang disebutkan di atas sebesar 97,60% yang tidak melakukan pemisahan sebesar 2,40%. Gambar 3.6. Bagaimana Sampah Rumah Tangga Dipisahkan Pemilahan sampah merupakan usaha yang harus digalakkan dan dilakukan secara konsisten dimulai dari tingkat rumah tangga sampai sistem pengangkutan ke TPS. Di TPS disediakan bak terpisah antara sampah organik dan non organik, diteruskan sampai di TPA. Peranan pemulung sebagai bentuk partisipasi masyarakat juga diberikan pengertian akan pentingnya pemilahan sampah. Sehingga dapat dilakukan sistem pengolahan dan perlakuan yang tepat terhadap sampah. Sampah organik dapat dimanfaatkan sebagai kompos dengan teknik pengomposan juga dalam skala kota/regional dapat dilakukan sistem sanitary landfill untuk 23

menghasilkan gas, yang dapat dimanfaatkan sebagi bahan bakar dan listrik. Sedangkan pemanfaatan barang bekas yang masih layak pakai para responden tidak lantas membuangnya, namun dijual kepada pemulung. 3.3. PEMBUANGAN AIR KOTOR/LIMBAH TINJA MANUSIA DAN LUMPUR TINJA Dalam Studi EHRA yang dimaksud dengan sistem air limbah adalah sistem penyaluran limbah domestik dari sisa pembuangan kamar mandi terutama dari WC/jamban/kloset dan tangki septik, serta hubungannya dengan sistem penyalurannya. Secara umum yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan sistem air limbah domestik diantaranya adalah tempat pembuangan kotoran (BAB = Buang Air Besar). Praktik buang air besar di tempat yang tidak memadai adalah salah satu faktor risiko turunnya status kesehatan masyarakat. Selain mencemari tanah, praktik semacam itu dapat pula mencemari air tanah sebagai sumber air minum. Yang dimaksud tidak memadai bukan hanya tempat pembuangan tinja di tempat yang tidak selayaknya yaitu di selokan, sungai, kebun, dan lubang galian tetapi juga sarana seperti jamban yang tidak nyaman dan tidak mempunyai saluran pembuangan serta berjarak terlalu dekat dengan sumber air. Hal ini merupakan bagian dari sitem air limbah black water karena mencakup fasilitas jamban yang tersedia, penggunaan, pemeliharaan dan kondisinya. Untuk jenis kloset dalam Studi EHRA ini dibagi menjadi kloset jongkok leher angsa, kloset duduk leher angsa, plengsengan, dan cemplung. Pilihan kedua kategori tersebut selanjutnya dispesifikasikan lebih lanjut dengan melihat tempat penyaluran tinja yang mencakup tangki septik, pipa sewer, cubluk/lubang tanah, langsung ke saluran drainase, sungai/danau/pantai/laut, kolam/sawah, dan kebun/tanah lapang. 24

Gambar 3.7. Kemana Anggota Keluarga yang Sudah Dewasa Buang Air Besar Berdasarkan hasil Studi EHRA sebagaimana disajikan pada Gambar 3.7. sebesar 91,00% responden menyatakan buang air besar ke jamban pribadi, sebesar 7,63% buang air besar ke MCK/WC Umum dan sebesar 1,00% menyatakan buang air besar ke selokan atau parit, sedangkan sisanya sebesar 0,27% ke lubang galian, ke sungai/pantai/laut, dan lainnya. Data di atas sangat menggembirakan mengingat kesadaran masyarakat Kota Surabaya yang sudah tinggi dalam BAB dan hal ini selaras dengan program Kota Surabaya dalam pencapaian Open Defecation Free Tahun 2015. 25

Gambar 3.8. Kepemilikan Jamban Pribadi Gambar 3.8. menunjukkan kepemilikan jamban pribadi yang disampaikan oleh responden studi EHRA, dimana kepemilikan jamban pribadi yang berupa kloset jongkok leher angsa sebesar 92,00%, sedangkan sisanya menggunakan kloset duduk siram leher angsa sebesar 8,00%. Gambar 3.9. Kemana Tempat Penyaluran Buangan Akhir Tinja 26

Sebagaimana Gambar 3.9. sebesar 85,40% responden melakukan pembuangan akhir tinja ke tangki septik, sebesar 8,60% dibuang ke pipa sewer, sedangkan sebesar 3,00% responden masih membuang langsung ke drainase, dan sisanya 2,90% masih membuang ke sungai/danau/pantai/laut, dibuang ke cubluk/lubang tanah, dan tidak tahu dibuang kemana. Kondisi demikian harus menjadi perhatian Pemerintah Kota Surabaya yang telah mencanangkan Open Defecation Free (ODF) di Tahun 2015. Gambar 3.10. Sudah Berapa Lama Tangki Septik ini Dibuat/Dibangun Hasil Studi EHRA yang disajikan dalam Gambar 3.10 menunjukkan bahwa 57,30% tangki septik yang dibangun sudah berumur lebih dari 10 tahun, 18,10% responden menyatakan tidak tahu kapan tangki septik itu dibangun, sebesar 13,90% responden menyatakan bahwa tangki septik yang ada sudah dibangun sejak 5 10 tahun yang lalu, responden yang menyatakan tangki septik dibangun pada 1 5 tahun lalu sebesar 8,10 % dan sisanya menyatakan bahwa tangki septik dibangun 1 12 bulan yang lalu. Kondisi ini sangat memprihatinkan karena tangki septik yang dibangun atau dibuat sudah lebih dari 10 tahun yang lalu mempunyai kemungkinan yang lebih besar untuk terjadinya kebocoran. 27

Gambar 3.11. Pengurasan Tangki Septik Rumah Tangga Kota Surabaya Berdasarkan Gambar 3.11. dapat dijelaskan bahwa dari 85,40% responden yang membuang tinja ke tangki septik sebanyak 29,30% tidak pernah melakukan pengurasan, sebesar 25,10% melakukan pengurasan antara 1 sampai 5 tahun yang lalu, sebesar 17,30% menyatakan tidak tahu apakah pernah melakukan pengurasan atau tidak, sebesar 12,10% melakukan pengurasan antara lebih dari 5 10 tahun yang lalu sebesar 9,20% melakukan pengurasan antara 0 12 bulan yang lalu, sedangkan sebesar 7% melakukan pengurasan lebih dari 10 tahun yang lalu, data ini cukup mencemaskan karena responden yang melakukan pengurasan tangki septik kurang dari 5 tahun yang lalu masih dibawah 50% dari responden. Data Studi EHRA sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 3.12 menyatakan bahwa responden yang melakukan pengurasan tangki septik di Kota Surabaya sebanyak 78,00% dikuras dengan menggunakan layanan sedot tinja, sebesar 16% responden menyatakan tidak tahu, sebesar 5,00% dilakukan pengurasan dengan membayar tukang dan sebesar 1% menyatakan dikosongkan sendiri. 28

Gambar 3.12. Siapa yang Mengosongkan Tangki Septik Ibu Studi EHRA terkait pertanyaan kemana lumpur tinja dibuang pada saat tangki septik dikosongkan dijelaskan pada Gambar 3.13. dimana sebesar 86,90% responden menyatakan tidak tahu kemana lumpur tinja itu dibuang, sebesar 10,70% responden menyatakan bahwa lumpur tinja dibuang ke sungai atau sungai kecil, lainnya sebesar 1,30%, dikubur di halaman sebesar 0,70%, sedangkan sebesar 0,40% menyatakan dikubur tanah orang lain. Kondisi ini perlu mendapatkan perhatian dari Pemerintah Kota Surabaya karena responden atau masyarakat banyak yang tidak kemana seharusnya lumpur tinja dibuang pada saat tangki septik dikosongkan. Responden yang menyatakan lumpur tinja dibuang ke sungai atau sungai kecil juga masih cukup tinggi yaitu sebesar 10,70% hal ini sangat mengganggu kebersihan dan kesehatan air sungai karena terjadi pencemaran dari lumpur tinja. 29

Gambar 3.13. Apakah Ibu Tahu, kemana Lumpur Tinja Dibuang pada Saat Tangki Septik Dikosongkan 3.4. DRAINASE LINGKUNGAN Dalam Studi EHRA sistem drainase yang diamati adalah kondisi saluran air dan kejadian banjir yang pernah dialami oleh responden. Hal ini penting untuk diperhatikan karena saluran air yang bermasalah akan memberikan dampak datangnya penyakit seperti Demam Berdarah Dengue (DBD). Saluran yang dimaksud dalam Studi EHRA ini adalah saluran di sekitar rumah tangga yang digunakan untuk menyalurkan air bekas buangan penggunaan aktifitas rumah tangga (cuci piring, mencuci) yang disebut grey water. Baik buruknya sistem drainase lingkungan yang ada di Kota Surabaya juga sangat dipengaruhi oleh pembuangan air limbah non tinja (SPAL = Saluran Pembuangan Air Limbah). Berdasarkan hasil Studi EHRA diperoleh hasil bahwa ketersediaan SPAL di lingkungan di rumah responden sebesar 82,00% responden memiliki SPAL, sedangkan sisanya sebesar 18,00% tidak memiliki atau tidak tersedia sebagaimana disajikan pada Gambar 3.14. 30

Gambar 3.14. Persentase Kepemilikan SPAL Data lebih lanjut menunjukkan bahwa sebesar 78,00% responden di Kota Surabaya tidak pernah mengalami banjir, sisanya sebesar 22,00% pernah mengalami banjir sekali setahun sampai beberapa kali dalam setahun. 31

Gambar 3.15. Persentase Lokasi Genangan Air di Rumah. Hasil Studi EHRA sebagaimana Gambar 3.15. juga diperoleh informasi bahwa 6,15% responden menyatakan terjadi lokasi genangan air di rumah, sedangkan sebesar 93,85% menyatakan tidak pernah terjadi. Responden sebesar 8,74% menyatakan bahwa ada genangan di dekat kamar mandi, namun sebesar 91,26% responden menyatakan tidak ada genangan di dekat kamar mandi. Responden sebesar 8,09% menyatakan bahwa ada genangan di dekat dapur, namun responden sebesar 91,91% menyatakan tidak ada genangan di dekat dapur. Responden sebesar 52,10% menyatakan bahwa ada genangan di halaman rumah, namun sebesar 57,90% responden menyatakan tidak ada genangan di halaman rumah. Melihat masih tingginya angka genangan air yang berada di halaman rumah perlu mendapatkan perhatian yang serius dari Pemerintah Kota Surabaya dalam mengatasi permasalahan banjir. Data Studi EHRA lebih lanjut juga diperoleh informasi bahwa 5,45% responden menyatakan bahwa air banjir mengering selama lebih dari satu hari. Sebesar 10,75% menyatakan air banjir mengering selama satu hari. Sebesar 35,80% menyatakan air banjir mengering selama setengah hari. Sebesar 25,45% menyatakan air banjir mengering antara satu hingga tiga jam. Sedangkan yang tertinggi sebanyak 22,55% menyatakan air banjir mengering kurang dari satu jam. 32

Berdasarkan hasil Studi EHRA juga didapatkan bahwa sebesar 84,50% responden menyatakan tinggi air banjir yang masuk ke dalam rumah setumit orang dewasa. Kemudian diikuti dengan tinggi air setengah lutut orang dewasa sebesar 10,75%. Sebesar 4.75% selutut orang dewasa. 3.5. PENGELOLAAN AIR MINUM Identifikasi pengelolaan air minum rumah tangga pada studi EHRA di Kota Surabaya berdasarkan pemakaian sumber air bersih rumah tangga, tata cara penanganannya di rumah dan sumber air untuk minum dan untuk memasak. Gambar 3.16. Jenis Air Minum Warga Kota Surabaya 33

Pada Gambar 3.16. menunjukkan bahwa jenis air minum yang dikonsumsi masyarakat Kota Surabaya pada saat ini sebesar 50,60% menggunakan Air Botol Kemasan, sebesar 37,00% menggunakan Air Isi Ulang, sebesar 20,60% menggunakan Air Ledeng dari PDAM, dan sisanya menggunakan Air Hidran Umum (PDAM), dan Air Sumur Pompa Tangan. Dalam Studi EHRA ini juga didapatkan gambaran mengenai akses responden terhadap air bersih dalam hal ini adalah sumber air yang digunakan dan penggunaan air tersebut oleh responden. Persentase sumber air untuk memasak yang digunakan oleh responden di Kota Surabaya yang paling banyak digunakan adalah air ledeng PDAM sebesar 75,30% sedangkan air untuk memasak yang digunakan urutan kedua dan ketiga oleh responden yaitu air sumur pompa tangan sebesar 17,10% dan air sumur gali terlindungi sebesar 9,10%. Angka-angka tersebut di atas sudah baik mengingat kesadaran masyarakat Kota Surabaya yang sudah cukup tinggi dalam menggunakan sumber air yang bersih dan sehat sebagai sember air untuk memasak. 3.6. PERILAKU HIGIENE DAN SANITASI Identifikasi perilaku higiene dan sanitasi dalam Studi EHRA di Kota Surabaya meliputi praktik cuci tangan pakai sabun (CTPS) pada 5 waktu penting, ketersediaan sarana CTPS di jamban, pola pemanfaatan sabun dalam kehidupan sehari-hari, kebiasaan masyarakat membuang sampah, masalah sampah di lingkungan rumah dan praktik BABS. 34

Gambar 3.17. Apakah Ibu Memakai Sabun pada Hari Ini atau Kemarin Praktik Cuci Tangan Pakai Sabun (CTPS) di 5 waktu penting sebagaimana Gambar 3.17. menunjukkan bahwa di Kota Surabaya sebanyak 98,90% responden melakukan praktik cuci tangan pakai sabun di 5 waktu penting, dan sisanya 1,10% responden tidak melakukan praktik cuci tangan pakai sabun di lima waktu penting. Informasi ini sangat penting karena masyarakat di Kota Surabaya sudah menyadari betapa pentingnya melakukan praktik Cuci Tangan Pakai Sabun. Untuk waktu melakukan cuci tangan pakai sabun seperti ditunjukkan pada Gambar 3.18. sebanyak 73,50% responden menyatakan melakukan CTPS pada waktu setelah makan, sebesar 70,50% responden menyatakan melakukan CTPS sebelum makan, setelah BABs sebesar 59,20%, sebelum menyiapkan makanan sebesar 27,50%, sebelum ke toilet sebesar 18,30%, sebelum sholat sebesar 15,30% dan sebelum menyuapi anak sebesar 13,40%. Hal ini perlu mendapatkan perhatian karena masih ada waktu kritis yaitu CTPS sebelum menyuapi anak yang masih mempunyai persentase yang rendah yaitu sebesar 13,40%. 35

Gambar 3.18. Waktu Melakukan CTPS Data terkait Perilaku Buang Air Besar Sembarangan (BABS) di Kota Surabaya menunjukkan bahwa sebanyak 91,70% responden di Kota Surabaya sudah tidak melakukan praktik Buang Air Besar Sembarangan, akan tetapi masih ada 8,30% responden yang masih melakukan praktik Buang Air Besar Sembarangan. Hal ini harus menjadi perhatian yang serius bagi Pemerintah Kota Surabaya yang sudah mencanangkan Open Defecation Free (ODF) Tahun 2015. 36

3.7. INDEKS RISIKO SANITASI Indeks Risiko Sanitasi pada studi EHRA di Kota Surabaya berdasarkan variabel area berisiko antara lain Sumber Air, Air Limbah Domestik, Persampahan, Genangan Air dan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) adalah sebagai berikut : Gambar 3.19. Indeks Risiko Sanitasi Kota Surabaya 2015 Pada Gambar 3.19. IRS Klaster 4 mempunyai nilai IRS yang tertinggi yaitu 227, diikuti IRS Klaster 3 sebesar 213, klaster 2 sebesar 197, klaster 1 sebesar 190 dan klaster 0 sebesar 189. Hal ini sejalan dengan hasil pengklasteran Studi EHRA bahwa semakin tinggi klaster akan semakin besar tingkat risiko sanitasinya. Permasalahan utama terkait tingginya nilai IRS di klaster 4 adalah permasalahan genangan air yang memiliki nilai sebesar 60, kemudian permasalahan PHBS yang memberikan nilai sebesar 59, disusul permasalahan terkait air limbah domestik memberikan nilai sebesar 52, masalah persampahan sebesar 46 dan terakhir permasalahan yang paling kecil nilainya adalah sumber air sebesar 20. Angka-angka di atas menunjukkan bahwa di klaster 4 permasalahan banjir dan PHBS harus mendapatkan prioritas utama dalam pembangunan prasarana dan sarana sanitasi. 37

Permasalahan utama terkait tingginya nilai IRS di klaster 3 adalah permasalahan air limbah domestik yang memiliki nilai sebesar 53, kemudian permasalahan PHBS yang memberikan nilai sebesar 52, disusul permasalahan terkait genangan air sebesar 51, masalah persampahan sebesar 38 dan terakhir permasalahan yang paling kecil nilainya adalah sumber air sebesar 19. Berbeda dengan klaster 4 permasalahan utama di klaster 3 adalah air limbah domestik dan PHBS, sehingga kedua variabel tersebut harus mendapatkan prioritas utama dalam pembangunan prasarana dan sarana sanitasi. Di klaster 2 permasalahan utama terkait tingginya nilai IRS adalah permasalahan air limbah domestik yang memiliki nilai sebesar 55, kemudian permasalahan PHBS yang memberikan nilai sebesar 47, disusul permasalahan terkait genangan air sebesar 39, masalah persampahan sebesar 38 dan terakhir permasalahan yang paling kecil nilainya adalah sumber air sebesar 18. Data di atas menunjukkan permasalahan utama di klaster 2 adalah air limbah domestik dan PHBS, sehingga kedua variabel tersebut harus mendapatkan prioritas utama dalam pembangunan prasarana dan sarana sanitasi. Di klaster 2 permasalahan utama terkait tingginya nilai IRS adalah permasalahan air limbah domestik yang memiliki nilai sebesar 55, kemudian permasalahan PHBS yang memberikan nilai sebesar 47, disusul permasalahan terkait genangan air sebesar 39, masalah persampahan sebesar 38 dan terakhir permasalahan yang paling kecil nilainya adalah sumber air sebesar 18. Data di atas menunjukkan permasalahan utama di klaster 2 adalah air limbah domestik dan PHBS, sehingga kedua variabel tersebut harus mendapatkan prioritas utama dalam pembangunan prasarana dan sarana sanitasi. Di klaster 1 permasalahan utama terkait tingginya nilai IRS adalah permasalahan PHBS yang memiliki nilai sebesar 52, kemudian permasalahan air limbah yang memberikan nilai sebesar 48, disusul permasalahan terkait persampahan sebesar 36, masalah genangan air sebesar 35 dan terakhir permasalahan yang paling kecil nilainya adalah sumber air sebesar 19. Data di atas menunjukkan permasalahan utama di klaster 1 adalah PHBS dan air limbah domestik, sehingga kedua variabel tersebut harus mendapatkan prioritas utama dalam pembangunan prasarana dan sarana sanitasi. 38

Di klaster 0 merupakan klaster yang mempunyai IRS terendah diantara semua klaster. Permasalahan utama terkait tingginya nilai IRS di klaster 0 adalah permasalahan air limbah domestik yang memiliki nilai sebesar 60, kemudian permasalahan persampahan yang memberikan nilai sebesar 47, disusul permasalahan terkait PHBS sebesar 37, masalah genangan air sesebesar 29 dan terakhir permasalahan yang paling kecil nilainya adalah sumber air sebesar 16. Data di atas menunjukkan permasalahan utama di klaster 0 adalah air limbah domestik dan persampahan, sehingga kedua variabel tersebut harus mendapatkan prioritas utama dalam pembangunan prasarana dan sarana sanitasi. Hasil IRS dari klaster 0 sampai dengan klaster 4 menunjukkan bahwa permasalahan utama terkait tingginya IRS disebabkan oleh variabel air limbah domestik maupun Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), sehingga dalam prioritas program dan kegiatan pembangunan sanitasi kedua permasalahan utama tersebut harus menjadi prioritas utama. Hasil IRS untuk masing-masing kelurahan disajikan pada Lampiran 2. 3.8. PENENTUAN AREA BERISIKO Penentuan area berisiko untuk upgrading penyusunan Buku Putih Sanitasi Kota Surabaya dilakukan dengan cara mengkompilasikan hasil antara Studi EHRA, Analisis Data Sekunder, Kunjungan dan Persepsi SKPD atau Kelompok Kerja Sanitasi Kota Surabaya. Pada saat ini sudah diketahui hasil Studi EHRA, sedangkan Analisis Data Sekunder serta Kunjungan dan Persepsi SKPD atau Kelompok Kerja Sanitasi Kota Surabaya akan segera dilakukan sesegera mungkin. Setelah dilakukan kompilasi dan ditetapkan besaran skoring akan diperoleh area berisiko sanitasi atau profil sanitasi wilayah. Jadi ada tiga data yang harus dipertimbangkan untuk dioverlay sehingga menghasilkan suatu pemetaan area berisiko sanitasi yang terdiri dari : Area Risiko Sangat Tinggi, Area Risiko Tinggi, Area Risiko Sedang dan Area Kurang Berisiko. 39

Berdasarkan hasil Studi EHRA di seluruh kelurahan di Kota Surabaya sebanyak 154 (seratus lima puluh empat) terkait dengan area berisiko terhadap kesehatan lingkungan, maka 154 kelurahan tersebut dapat diklasifikasikan sebagai berikut : Area Berisiko Sangat Tinggi (Skor 4) Tabel 3.2. Kelurahan dengan Klasifikasi Berisiko Sangat Tinggi Berdasarkan Studi EHRA NO WILAYAH KECAMATAN KELURAHAN 1 Surabaya Pusat 1 Simokerto 1 Sidodadi 2 Simolawang 3 Tambak Rejo 2 Surabaya Utara 2 Bulak 4 Bulak 5 Kedung Cowek 3 Kenjeran 6 Bulak Banteng 7 Sidotopo Wetan 8 Tambak Wedi 9 Tanah Kali Kedinding 4 Semampir 10 Ampel 11 Pegirian 12 Sidotopo 13 Ujung 14 Wonokusumo 3 Surabaya Selatan 5 Wonokromo 15 Ngagel 16 Ngagel Rejo 17 Sawunggaling 18 Wonokromo 4 Surabaya Timur 6 Tambaksari 19 Tambaksari 5 Surabaya Barat 7 Asemrowo 20 Asemrowo Tabel 3.2. di atas menunjukkan bahwa berdasarkan Studi EHRA dari 154 kelurahan di Kota Surabaya terdapat 20 kelurahan atau sebesar 12,99% yang termasuk kategori kelurahan Berisiko Sangat Tinggi dan tersebar di seluruh wilayah Kota Surabaya dan 7 kecamatan. Dari 20 kelurahan yang Berisiko Sangat Tinggi ini 11 kelurahan atau sebesar 55,00% merupakan kelurahan di Wilayah Surabaya Utara, sehingga hal ini perlu mendapatkan perhatian dan prioritas dari Pemerintah Kota Surabaya dalam pembangunan program dan kegiatan yang terkait dengan sanitasi. 40

Area Berisiko Tinggi (Skor 3) Tabel 3.3. Kelurahan dengan Klasifikasi Berisiko Tinggi Berdasarkan Studi EHRA NO WILAYAH KECAMATAN KELURAHAN 1 Surabaya Pusat 1 Genteng 1 Embong Kaliasin 2 Ketabang 2 Simokerto 3 Kapasan 4 Simokerto 3 Tegalsari 5 Keputran 6 Wonorejo 2 Surabaya Utara 4 Bulak 7 Kenjeran 8 Sukolilo Baru 5 Krembangan 9 Dupak 10 Kemayoran 11 Krembangan Selatan 12 Moro Krembangan 13 Perak Barat 6 Pabean Cantian 14 Bongkaran 15 Krembangan Utara 16 Nyamplungan 17 Perak Timur 18 Perak Utara 3 Surabaya Selatan 7 Dukuh Pakis 19 Gunung Sari 20 Pradah Kali Kendal 8 Gayungan 21 Ketintang 9 Sawahan 22 Banyu Urip 23 Kupang Krajan 24 Pakis 25 Petemon 10 Wonocolo 26 Bendul Merisi 11 Wonokromo 27 Jagir 4 Surabaya Timur 12 Gubeng 28 Airlangga 29 Baratajaya 30 Gubeng 31 Kertajaya 13 Mulyorejo 32 Kejawan Putih Tambak 14 Rungkut 33 Kedung Baruk 34 Medokan Ayu 35 Penjaringansari 36 Rungkut Kidul 37 Wonorejo 41

15 Sukolilo 38 Gebang Putih 39 Keputih 40 Klampis Ngasem 41 Medokan Semampir 42 Menur Pumpungan 43 Nginden Jangkungan 44 Semolowaru 16 Tambaksari 45 Gading 46 Dukuh Setro 47 Kapas Madya 48 Pacarkeling 49 Pacarkembang 50 Ploso 51 Rangkah 17 Tenggilis Mejoyo 52 Kendangsari 53 Panjang Jiwo 54 Tenggilis Mejoyo 5 Surabaya Barat 18 Asemrowo 55 Genting Kalianak 56 Tambak Sarioso 19 Benowo 57 Kandangan 58 Romokalisari 59 Sememi 60 Tambak Oso Wilangun 20 Lakarsantri 61 Bangkingan 62 Jeruk Berdasarkan Studi EHRA sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 3.3. di atas bahwa dari 154 kelurahan di Kota Surabaya terdapat 62 kelurahan atau sebesar 40,26% yang termasuk kategori kelurahan Berisiko Tinggi dan tersebar di seluruh wilayah Kota Surabaya dan 20 kecamatan. Hal ini juga perlu mendapatkan perhatian dan prioritas dari Pemerintah Kota Surabaya dalam pembangunan program dan kegiatan yang terkait dengan sanitasi. 42

Area Berisiko Sedang (Skor 2) Tabel 3.4. Kelurahan dengan Klasifikasi Berisiko Sedang Berdasarkan Studi EHRA NO WILAYAH KECAMATAN KELURAHAN 1 Surabaya Pusat 1 Bubutan 1 Alun-Alun Contong 2 Jepara 3 Tembok Dukuh 2 Genteng 4 Genteng 5 Kapasari 6 Peneleh 3 Tegalsari 7 Dr. Soetomo 8 Tegalsari 2 Surabaya Selatan 4 Dukuh Pakis 9 Dukuh Pakis 5 Gayungan 10 Dukuh Menanggal 11 Menanggal 6 Jambangan 12 Karah 13 Kebonsari 14 Pagesangan 7 Karangpilang 15 Karangpilang 16 Kebraon 17 Kedurus 18 Waru Gunung 8 Sawahan 19 Putat Jaya 20 Sawahan 9 Wiyung 21 Babatan 22 Balas Klumprik 23 Jajar Tunggal 24 Wiyung 10 Wonocolo 25 Margorejo 26 Sidosermo 27 Siwalankerto 11 Wonokromo 28 Darmo 3 Surabaya Timur 12 Gubeng 29 Mojo 30 Pucang Sewu 13 Gunung Anyar 31 Gunung Anyar 32 Gunung Anyar Tambak 33 Rungkut Menanggal 34 Rungkut Tengah 14 Mulyorejo 35 Dukuh Sutorejo 36 Kalijudan 37 Kalisari 43

15 Rungkut 38 Kalirungkut 16 Tenggilis Mejoyo 39 Kutisari 4 Surabaya Barat 17 Lakarsantri 40 Lidah Kulon 41 Lidah Wetan 42 Sumur Welut 18 Pakal 43 Babat Jerawat 44 Benowo 45 Pakal 46 Sumber Rejo 19 Sambikerep 47 Bringin 48 Lontar 49 Made 50 Sambikerep 20 Sukomanunggal 51 Putat Gede 52 Simomulyo 53 Simomulyo Baru 54 Sonokwijenan 55 Sukomanunggal 56 Tanjung Sari 21 Tandes 57 Balongsari 58 Banjar Sugihan 59 Karangpoh 60 Manukan Kulon 61 Manukan Wetan 62 Tandes Hasil Studi EHRA sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 3.4. di atas juga menunjukkan bahwa dari 154 kelurahan di Kota Surabaya terdapat 63 kelurahan atau sebesar 40,91% yang termasuk kategori kelurahan Berisiko Sedang dan tersebar di empat wilayah Kota Surabaya (Pusat, Selatan, Timur dan Barat) dan 20 kecamatan. Hal ini juga perlu mendapatkan perhatian dan prioritas dari Pemerintah Kota Surabaya untuk mempertahankan kondisi ini atau bahkan bisa menurunkan tingkat risikonya. 44

Area Kurang Berisiko (Skor 1) Tabel 3.5. Kelurahan dengan Klasifikasi Kurang Berisiko Berdasarkan Studi EHRA NO WILAYAH KECAMATAN KELURAHAN 1 Surabaya Pusat 1 Bubutan 1 Bubutan 2 Gundih 2 Tegalsari 3 Kedungdoro 2 Surabaya Selatan 3 Dukuh Pakis 4 Dukuh Kupang 4 Gayungan 5 Gayungan 5 Jambangan 6 Jambangan 6 Wonocolo 7 Jemur Wonosari 3 Surabaya Timur 7 Mulyorejo 8 Mulyorejo 4 Surabaya Barat 8 Lakarsantri 9 Lakarsantri Lebih lanjut hasil Studi EHRA sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 3.5. di atas menunjukkan bahwa dari 154 kelurahan di Kota Surabaya terdapat 9 kelurahan atau sebesar 5,84% yang termasuk kategori kelurahan Kurang Berisiko dan tersebar di empat wilayah Kota Surabaya (Pusat, Selatan, Timur dan Barat) dan 8 kecamatan. Hal ini perlu mendapatkan perhatian dan prioritas dari Pemerintah Kota Surabaya untuk mempertahankan kondisi ini atau bahkan bisa menurunkan tingkat risikonya. 45

Sebagai ilustrasi mengenai klasifikasi kelurahan berdasarkan Studi EHRA Tahun 2015 disajikan pada Gambar 3.20. Gambar 3.20. Klasifikasi Kelurahan Berdasarkan Studi EHRA Kota Surabaya Tahun 2015 46

4.1. KESIMPULAN Berdasarkan hasil Studi EHRA di seluruh kelurahan di Kota Surabaya sebanyak 154 (seratus lima puluh empat) terkait dengan area berisiko terhadap kesehatan lingkungan, maka 154 kelurahan tersebut dapat diklasifikasikan sebagai berikut : 1. Kelurahan dengan klasifikasi Berisiko Sangat Tinggi atau skor 4 di Kota Surabaya terdapat di 20 kelurahan atau sebesar 12,99% dan tersebar di seluruh wilayah Kota Surabaya dan 7 kecamatan. Dari 20 kelurahan yang Berisiko Sangat Tinggi ini 11 kelurahan atau sebesar 55,00% merupakan kelurahan di Wilayah Surabaya Utara, sehingga hal ini perlu mendapatkan perhatian dan prioritas dari Pemerintah Kota Surabaya dalam pembangunan program dan kegiatan yang terkait dengan sanitasi. 2. Kelurahan dengan klasifikasi Berisiko Sangat Tinggi atau skor 3 di Kota Surabaya terdapat di 62 kelurahan atau sebesar 40,26% dan tersebar di seluruh wilayah Kota Surabaya dan 20 kecamatan. Hal ini juga perlu mendapatkan perhatian dan prioritas dari Pemerintah Kota Surabaya dalam pembangunan program dan kegiatan yang terkait dengan sanitasi. 3. Kelurahan dengan klasifikasi Berisiko Sedang atau skor 2 di Kota Surabaya terdapat di 63 kelurahan atau sebesar 40,91% dan tersebar di empat wilayah Kota Surabaya (Pusat, Selatan, Timur dan Barat) dan 20 kecamatan. Hal ini juga perlu mendapatkan perhatian dan prioritas dari Pemerintah Kota Surabaya untuk mempertahankan kondisi ini atau bahkan bisa menurunkan tingkat risikonya. 47

4. Kelurahan dengan klasifikasi Kurang Berisiko atau skor 1 di Kota Surabaya terdapat di 9 kelurahan atau sebesar 5,84% dan tersebar di empat wilayah Kota Surabaya (Pusat, Selatan, Timur dan Barat) dan 8 kecamatan. Hal ini perlu mendapatkan perhatian dan prioritas dari Pemerintah Kota Surabaya untuk mempertahankan kondisi ini atau bahkan bisa menurunkan tingkat risikonya. 4.2. REKOMENDASI Berdasarkan kesimpulan dapat direkomendasikan hal-hal sebagai berikut : 1. Studi EHRA yang sudah dihasilkan dapat ditindaklanjuti dengan Analisis Data Sekunder dan Kunjungan serta Persepsi Kelompok Kerja Sanitasi Kota Surabaya untuk mendapatkan skor data sekunder dan skor kunjungan serta persepsi Kelompok Kerja Sanitasi sehinggga dengan adanya tambahan dua skor tersebut dapat ditentukan skor akhir sebagai profil sanitasi wilayah. 2. Peta area berisiko atau Profil Sanitasi Wilayah Kota Surabaya yang akan dihasilkan dapat menjadi acuan dalam penyusunan prioritas program dan kegiatan pembangunan yang terkait dengan penyehatan lingkungan dan permukiman. 3. Kelurahan yang Berisiko Sangat Tinggi atau skor 4 sebanyak 20 kelurahan 11 kelurahan diantaranya atau sebesar 55,00% merupakan kelurahan di Wilayah Surabaya Utara, sehingga hal ini perlu mendapatkan perhatian dan prioritas dari Pemerintah Kota Surabaya dalam pembangunan program dan kegiatan yang terkait dengan sanitasi. 4. Hasil IRS dari klaster 0 sampai dengan klaster 4 menunjukkan bahwa permasalahan utama terkait tingginya IRS disebabkan oleh variabel air limbah domestik maupun Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), sehingga dalam prioritas program dan kegiatan pembangunan sanitasi kedua permasalahan utama tersebut harus menjadi prioritas utama. 48

Studi Penilaian Risiko Kesehatan Lingkungan atau Environmental Health Risk Assessment (EHRA) adalah sebuah survei yang digunakan dalam mengidentifikasikan kondisi sanitasi yang ada di suatu wilayah penelitian. Dengan diketahuinya kondisi fasilitas sanitasi dan higinitas serta perilaku-perilaku masyarakat, akan dapat dimanfaatkan untuk pengembangan program sanitasi termasuk promosi atau advokasi kesehatan lingkungan di Kota Surabaya hingga ke tingkat kelurahan. Studi EHRA yang dilaksanakan di Kota Surabaya sangat bermanfaat untuk Perencanaan Pembangunan Kesehatan Lingkungan Kota Surabaya, hal ini dikarenakan melibatkan seluruh elemen masyarakat, petugas kesehatan dan aparat pemerintahan lainnya, sehingga promosi sanitasi dapat tersampaikan dengan baik kepada masyarakat. Pelaksanaan studi EHRA telah dilaksanakan di 154 kelurahan yang tersebar di 31 kecamatan dengan jumlah responden sebesar 6.160 responden. Dari hasil pelaksanaan studi EHRA di Kota Surabaya, permasalahan besar yang menjadi persoalan untuk segera ditangani, yaitu untuk Air Limbah Domestik dan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS). Diharapkan hasil studi EHRA ini dapat digunakan oleh Pemerintah Kota Surabaya sebagai bahan untuk advokasi dalam pengarusutamaan pembangunan sanitasi yang lebih baik lagi, sehingga pembangunan sanitasi lebih tepat sasaran. Studi EHRA pada dasarnya sebagai gambaran risiko lingkungan terhadap kesehatan masyarakat dan idealnya dilakukan secara berkala, dengan studi kali ini sebagai dasar bagi studi EHRA berikutnya. Harapannya setiap 3 sampai 5 tahun sekali dilakukan studi EHRA secara berkelanjutan sehingga dapat tergambar dampak lingkungan terhadap kesehatan masyarakat Kota Surabaya pada tahun-tahun berikutnya. 49