LEMBAR PERSETUJUAN JURNAL KERAPATAN, FREKUENSI DAN TINGKAT TUTUPAN JENIS MANGROVE DI DESA LIMBATIHU KECAMATAN PAGUYAMAN PANTAI KABUPATEN BOALEMO.

dokumen-dokumen yang mirip
Keanekaragaman Jenis dan Indeks Nilai Penting Mangrove di Desa Tabulo Selatan Kecamatan Mananggu Kabupaten Boalemo Provinsi Gorontalo

ANALISIS VEGETASI DAN STRUKTUR KOMUNITAS MANGROVE DI TELUK BENOA-BALI. Dwi Budi Wiyanto 1 dan Elok Faiqoh 2.

Gambar 3. Peta lokasi penelitian

STRUKTUR KOMUNITAS MANGROVE DI DESA MARTAJASAH KABUPATEN BANGKALAN

BAB I PENDAHULUAN. ekologis yaitu untuk melakukan pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan garis pantai sepanjang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pulau Dudepo merupakan salah satu pulau kecil berpenduduk yang berada

BAB I PENDAHULUAN. yaitu mendapatkan makanan, suhu yang tepat untuk hidup, atau mendapatkan

VI. SIMPULAN DAN SARAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

ABDUR RAHMAN. Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Ilmu Kelautan Perikanan, Universitas Maritim Raja Ali Haji.

4 KERUSAKAN EKOSISTEM

BAB I PENDAHULUAN. baik bagi pesisir/daratan maupun lautan. Selain berfungsi secara ekologis,

BAB I PENDAHULUAN. batas pasang surut air disebut tumbuhan mangrove.

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

3. METODOLOGI PENELITAN

BAB III METODE PENELITIAN

Struktur Vegetasi Mangrove di Desa Ponelo Kecamatan Ponelo Kepulauan Kabupaten Gorontalo Utara

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai salah satu negara dengan garis pantai terpanjang di

TINJAUAN PUSTAKA. A. Mangrove. kemudian menjadi pelindung daratan dan gelombang laut yang besar. Sungai

BAB I PENDAHULUAN. atas pulau, dengan garis pantai sepanjang km. Luas laut Indonesia

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian. Kabupaten Gorontalo Utara merupakan wilayah administrasi yang

TINJAUAN PUSTAKA. Kata mangrove berasal dari bahasa Melayu manggi-manggi, yaitu nama

KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI)

PROPOSAL PRAKTEK KERJA LAPANGAN BALAI TAMAN NASIONAL KARIMUN JAWA ANALISA VEGETASI MANGROVE DI PULAU KEMUJAN, KEPULAUAN KARIMUN JAWA, JAWA TENGAH

STRUKTUR VEGETASI MANGROVE ALAMI DI AREAL TAMAN NASIONAL SEMBILANG BANYUASIN SUMATERA SELATAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. wilayah perbatasan antara daratan dan laut, oleh karena itu wilayah ini

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, NOMOR : 201 TAHUN 2004 TENTANG KRITERIA BAKU DAN PEDOMAN PENENTUAN KERUSAKAN MANGROVE

Kerapatan dan Keanekaragaman Jenis Lamun di Desa Ponelo, Kecamatan Ponelo Kepulauan, Kabupaten Gorontalo Utara

Kelimpahan, Keanekaragaman dan Kemerataan Gastropoda di Ekosistem Mangrove Pulau Dudepo, Kecamatan Anggrek, Kabupaten Gorontalo Utara

Struktur Dan Komposisi Vegetasi Mangrove Di Pulau Mantehage

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODE PENELITIAN. Taman Nasional Baluran, Jawa Timur dan dilakasanakan pada 28 September

BAB I PENDAHULUAN. ekosistem lamun, ekosistem mangrove, serta ekosistem terumbu karang. Diantara

BAB I PENDAHULUAN. Kerusakan hutan mangrove di Indonesia, kini semakin merata ke berbagai

BAB I PENDAHULUAN. berkaitan erat. Selain keunikannya, terdapat beragam fungsi yang dapat dihasilkan

Struktur dan Komposisi Mangrove di Pulau Hoga Taman Nasional Wakatobi, Sulawesi Tenggara Jamili

Analisis Vegetasi Mangrove di Pulau Dudepo Kecamatan Anggrek Kabupaten Gorontalo Utara

STRUKTUR KOMUNITAS MANGROVE DI KELURAHAN TONGKAINA MANADO

IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas

BAB I PENDAHULUAN. tertentu dan luasan yang terbatas, 2) Peranan ekologis dari ekosistem hutan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Kecamatan Anggrek, Kabupaten Gorontalo Utara, Provinsi Gorontalo. Peta lokasi

Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang. berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur. Komunitas vegetasi ini

TINJAUAN PUSTAKA. A. Perencanaan Lanskap. berasal dari kata land dan scape yang artinya pada suatu lanskap terdapat

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

ANWAR SADAT SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2004

STRUKTUR KOMUNITAS MANGROVE DI DESA KAHYAPU PULAU ENGGANO

Analisis vegetasi dan struktur komunitas Mangrove Di Teluk Benoa, Bali

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

Jurnal Ilmiah Platax Vol. I-1, September 2012 ISSN:

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Kabupaten Gorontalo Utara, yang meliputi 4 stasiun penelitian yaitu:

KORELASI ANTARA KERAPATAN AVICENNIA DENGAN KARAKTERISTIK SEDIMEN DI KAWASAN HUTAN MANGROVE DESA SUNGAI RAWA KABUPATEN SIAK, RIAU

KONDISI EKOLOGI MANGROVE DI PULAU MANTEHAGE KECAMATAN WORI KABUPATEN MINAHASA UTARA PROVINSI SULAWESI UTARA

III. Bahan dan Metode

I. PENDAHULUAN. Hampir 75 % tumbuhan mangrove hidup diantara 35ºLU-35ºLS (McGill, 1958

TINJAUAN PUSTAKA. Kata mangrove diduga berasal dari bahasa Melayu manggi-manggi, yaitu

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem mangrove adalah suatu sistem yang terdiri atas berbagai

Latar Belakang (1) Ekosistem mangrove Produktivitas tinggi. Habitat berbagai organisme makrobentik. Polychaeta

Kajian Nilai Ekologi Melalui Inventarisasi dan Nilai Indeks Penting (INP) Mangrove Terhadap Perlindungan Lingkungan Kepulauan Kangean

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di blok Hutan Pendidikan Konservasi Terpadu Tahura

BAB I PENDAHULUAN. yang tidak dapat pulih (seperti minyak bumi dan gas serta mineral atau bahan

EKSPLORASI VEGETASI MANGROVE DI ZONA TERLUAR PESISIR TELUK CEMPI, NUSA TENGGARA BARAT 1

ANALISIS VEGETASI MANGROVE DAN PEMANFAATANNYA OLEH MASYARAKAT KAMPUNG ISENEBUAI DISTRIK RUMBERPON KABUPATEN TELUK WONDAMA SKRIPSI YAN FRET AGUS AURI

1. Pengantar A. Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. kestabilan pantai, penyerap polutan, habitat burung (Bismark, 1986). Kemampuan mangrove untuk mengembangkan wilayahnya ke arah laut

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Secara keseluruhan daerah tempat penelitian ini didominasi oleh Avicennia

BAB I PENDAHULUAN. Potensi wilayah pesisir dan laut Indonesia dipandang dari segi. pembangunan adalah sebagai berikut ; pertama, sumberdaya yang dapat

PROPOSAL PENELITIAN PENYIAPAN PENYUSUNAN BAKU KERUSAKAN MANGROVE KEPULAUAN KARIMUNJAWA

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Karena berada di dekat pantai, mangrove sering juga disebut hutan pantai, hutan

Community Structure of Mangrove in Sungai Alam Village Bengkalis Sub Regency, Bengkalis Regency, Riau Province

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia memiliki mangrove terluas di dunia (Silvus et al, 1987; Primack et al,

BAB I PENDAHULUAN. tempat dengan tempat lainnya. Sebagian warga setempat. kesejahteraan masyarakat sekitar saja tetapi juga meningkatkan perekonomian

I. PENDAHULUAN. Menurut Tomlinson(1986), mangrove merupakan sebutan umum yang digunakan

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan

Hasil dan Pembahasan

BAB I PENDAHULUAN. luar biasa ini memberikan tanggung jawab yang besar bagi warga Indonesia untuk

KAJIAN BIOFISIK LAHAN HUTAN MANGROVE DI KABUPATEN ACEH TIMUR ISWAHYUDI

IDENTIFIKASI POPULASI MAKROZOOBENTOS DI KAWASAN EKOSISTEM MANGROVE DESA LADONG ACEH BESAR. Lili Kasmini 11 ABSTRAK

B III METODE PENELITIAN. ada di di Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai Denpasar Bali di Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai Denpasar Bali.

Kata kunci : Mangrove, Nilai Penting, Desa Tanjung Sum, Kuala Kampar

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Hutan mangrove adalah komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi

BAB I PENDAHULUAN. kekayaan jenis flora dan fauna yang sangat tinggi (Mega Biodiversity). Hal ini

STRUKTUR KOMUNITAS MANGROVE DI PULAU KETER TENGAH KABUPATEN BINTAN

ANALISIS STRUKTUR DAN STATUS EKOSISTIM MANGROVE DI PERAIRAN TIMUR KABUPATEN BIAK NUMFOR

GUBERNUR SULAWESI BARAT

BAB III METODE PENELITIAN

KAJIAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE DI KAWASAN KONSERVASI DESA MAMBURUNGAN KOTA TARAKAN KALIMANTAN TIMUR

STRUKTUR KOMUNITAS MANGROVE DI HUTAN MANGROVE KELURAHAN BELAWAN SICANANG KECAMATAN MEDAN BELAWAN PROVINSI SUMATERA UTARA

STRUKTUR KOMUNITAS MOLUSKA (GASTROPODA DAN BIVALVIA) SERTA ASOSIASINYA PADA EKOSISTEM MANGROVE DI KAWASAN PANTAI ULEE - LHEUE, BANDA ACEH, NAD

Potensi Terumbu Karang Luwu Timur

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

Oleh. Firmansyah Gusasi

Transkripsi:

LEMBAR PERSETUJUAN JURNAL KERAPATAN, FREKUENSI DAN TINGKAT TUTUPAN JENIS MANGROVE DI DESA LIMBATIHU KECAMATAN PAGUYAMAN PANTAI KABUPATEN BOALEMO Oleh DJAFAR MARDIA 633 408 008 Telah Memenuhi Persyaratan Untuk Diterima Oleh Komisi Pembimbing: 1

KERAPATAN, FREKUENSI DAN TINGKAT TUTUPAN JENIS MANGROVE DI DESA LIMBATIHU KECAMATAN PAGUYAMAN PANTAI KABUPATEN BOALEMO Djafar Mardia 1 Femy M. Sahami, S.Pi., M.Si 2 Sri Nuryatin Hamzah, S.Kel., M.Si 2 Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Negeri Gorontalo 1) Mahasiswa Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan 2) Dosen Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kerapatan, frekuensi dan tingkat tutupan jenis mangrove di Desa Limbatihu Kecamatan Paguyaman Pantai, Kabupaten Boalemo. Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan September 2014 sampai Mei 2015. Lokasi penelitian terdiri atas 2 stasiun yaitu daerah dekat muara sungai sebagai stasiun 1 dan daerah dekat pemukiman sebagai stasiun 2. Pada setiap stasiun di bagi menjadi 4 substasiun dan pada setiap substasiun terdiri dari 3 plot dengan menggunakan line transek yang ditarik secara tegak lururs garis pantai. Pengumpulan data mengrove berdasarkan kriteria pohon, pancang dan semai dengan menggunakan kuadran dengan ukuran yang berbeda. Data yang dikumpulkan dianalisis untuk mengetahui kerapatan, kerapatan relatif, frekuensi, frekuensi relatif, tutupan jenis dan tutupan relatif jenis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa di Desa Limbatihu terdapat 4 jenis mangrove yaitu jenis Rhizophora apiculata, Rhizophora mucronata, Sonneratia alba dan Ceriops decandra. Sonneratia alba merupakan jenis mangrove yang memiliki nilai kerapatan tertinggi untuk kategori semai dan pohon, dan Rhizophora apiculata memiliki nilai kerapatan tertinggi untuk kategori pancang. Nilai frekuensi tertinggi untuk kategori semai terdapat pada jenis Sonneratia alba dan frekuensi tertinggi untuk kategori pohon dan pancang terdapat pada jenis Sonneratia alba dan Rhizophora mucronata. Tingkat tutupan jenis mangrove tertinggi terdapat pada jenis Sonneratia alba untuk stasiun 1 dan jenis Rhizophora apiculata di stasiun 2. Kata kunci : Mangrove, Kerapatan, Frekuensi, Tingkat Tutupan Jenis PENDAHULUAN Wilayah pesisir yang merupakan sumber daya potensial di Indonesia adalah suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan. Sumber daya ini sangat besar yang didukung oleh adanya garis pantai sepanjang sekitar 81.000 km (Dahuri, 2003 dalam Suwignyo, dkk, 2011). Garis pantai yang panjang ini menyimpan potensi kekayaan sumberdaya alam yang besar. Potensi itu diantaranya potensi hayati dan non hayati. Ekosistem mangrove salah satu potensi hayati yang merupakan daerah penting yang digunakan oleh berbagai fauna untuk melakukan pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery ground), dan tempat mencari makanan (feeding ground). Berbagai fauna darat maupun fauna akuatik menjadikan ekosistem mangrove sebagai 2

tempat untuk reproduksi, seperti memijah, bertelur dan beranak (Ghufran, 2012). Daerah penyebaran mangrove di Indonesia umumnya terdapat di pantai Timur Sumatera, muara Sungai Kalimantan, Selatan dan Tenggara Sulawesi, Pulau Maluku, serta pantai Utara dan Selatan Papua. Dari sekitar 91 spesies tumbuhan yang telah teridentifikasi di ekosistem mangrove, kawasan Timur Indonesia mempunyai jumlah spesies terbanyak. Ekosistem mangrove dapat ditemukan pula di Provinsi Gorontalo yang menyebar di beberapa wilayah Kabupaten yang antara lain di Kabupaten Boalemo. Informasi tentang mangrove di Provinsi Gorontalo masih sedikit khususnya yang ada di Kabupaten Boalemo. Kabupaten Boalemo memiliki tujuh kecamatan, lima kecamatan di antaranya adalah daerah wilayah pesisir yang memiliki penyebaran mangrove. Paguyaman Pantai merupakan salah satu Kecamatan yang memiliki penyebaran hutan mangrove yang cukup luas, namun informasi tentang jenis-jenis, tingkat kerapatan dan tingkat tutupan jenisnya masih sangat minim. Salah satu kawasan hutan mangrove di Kecamatan Paguyaman Pantai Kabupaten Boalemo terdapat di Desa Limbatihu. Mangrove disini mempunyai peranan ekologis dan ekonomis bagi masyarakat di wilayah pesisir Desa Limbatihu. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dilakukan penelitian dengan judul Kerapatan, Frekuensi dan Tingkat Tutupan Jenis Mangrove di Desa Limbatihu Kecamatan Paguyaman Pantai Kabupaten Boalemo, dengan harapan dalam pemanfaatan sumberdaya mangrove kedepan dapat dikelola secara tepat dengan memperhatikan dan mempertahankan kelestariannya. TUJUAN PENELITIAN Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui nilai kerapatan, frekuensi dan tingkat tutupan jenis mangrove di Desa Limbatihu Kecamatan Paguyaman Pantai Kabupaten Boalemo. MANFAAT PENELITIAN Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan informasi dasar dalam pengelolaan ekosistem hutan mangrove di Desa Limbatihu kedepan. Selain itu juga diharapkan menjadi langkah awal pengambilan kebijakan pengelolaan hutan mangrove bagi kepentingan pengembangan wilayah pesisir di Kabupaten Boalemo. 3

METODOLOGI PENELITIAN Tempat Penelitian. Penelitian dilaksanakan di Desa Limbatihu, Kec. Paguyaman Pantai, Kab. Boalemo, Propinsi Gorontalo. Gambar 1. Lokasi penelitian Keterangan : Stasiun I : Daerah muara sungai terletak pada titik koordinat 0 0 30 11.57 LU 122 0 32 4.52 BT. Stasiun II : Daerah pemukiman terletak pada titik Koordinat 0 0 30 12.39 LU 122 0 32 11.77 BT. Prosedur Penelitian 1. Persiapan Tahap pertama yang dilakukan meliputi konsultasi, pengumpulan referensi, dan persiapan alat dan bahan yang digunakan dalam kegiatan penelitian. 2. Penentuan Stasiun Sebelum melakukan pengumpulan data atau sampel, terlebih dahulu dilakukan pengamatan lapangan yang meliputi keseluruhan kawasan mangrove, dengan tujuan untuk melihat secara umum kondisi hutan serta kondisi pasang surut, ketebalan lumpur daerah setempat. Pengamatan juga dimaksudkan untuk menentukan dan membuka jalan yang akan dilewati ketika pembuatan transek dan pengambilan data atau sampel, karena hutan mangrove bervegetasi lebat, mempunyai akar tunjang yang rapat dan tanah berlumpur tebal, sehingga sulit dilewati. Selanjutnya dilakukan pembagian daerah pengamatan untuk mengetahui kerapatan jenis, frekuensi, dan tingkat penutupan jenis mangrove. Zona pengamatan ditetapkan pada 2 lokasi yang berbeda berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara pribadi dengan pengelola Japesda bahwa panjang garis pantai distasiun I yang merupakan kawasan mangrove dekat dengan muara sungai dengan panjang ± 150 meter dan lebar ± 100 meter ke arah darat dan stasiun II merupakan kawasan mangrove dekat dengan pemukiman dengan panjang ± 2 Km dan lebar ± 150 meter. Pada setiap stasiun dibuat 4 substasiun sebagai ulangan. 4

B 30 m 30 m C B A Ggaris pantai Gari 0 m 10 m s DARAT Gambar 2. Plot atau transek kuadrat yang digunakan dalam penelitian. Keterangan : A = Ukuran transek 1x1 Meter B = Ukuran transek 5x5 Meter C = Ukuran Transek 10x10 Meter Pengambilan Data Mangrove Data vegetasi mangrove diambil dengan menggunakan metode kuadran. Pada kuadran yang berukuran 10x10 m digunakan untuk mengetahui jumlah jenis dan jumlah individu untuk kategori pohon yaitu yang berdiameter 10 cm atau lebih dan memiliki tinggi lebih dari 1,5 m yang ada di dalam petak. Pengukuran diameter dilakukan dengan cara melingkari pohon mangrove dangan pita ukur setinggi dada. Pada setiap petak tersebut dibuat petak yang lebih kecil dengan ukuran 5x5 meter. Di dalam petak ini dikumpulkan data untuk kategoripancang yaitu yang berdiameter 2-10 cm dan memilik tinggi 1,5 m. Untuk tingkat semai, dikumpulkan dari setiap petak yang berukuran 1x1 meter yang ditempatkan dalam petakan 5x5 meter. Data yang diambil untuk kategori semai yaitu mangrove yang memiliki tinggi kurang dari 1,5 m. Selain itu juga dilakukan pengukuran kualitas air pada masing-masing stasiun yang meliputi suhu air, salinitas, dan ph air. Analisis Data Data yang diperoleh dari lapangan selanjutnya dianalisis untuk mengetahui kerapatanjenis, frekuensi jenis dan tutupan jenis dengan menggunakan rumus-rumus (Bengen, 2002 dalam Chaerani, 2011),sebagai berikut : A. Kerapatan Jenis (Di) Kerapatan jenis (Di) dihitung dengan persamaan di bawah ini : Dimana : Di = Kerapatan Jenis ni = Jumlah total tegakan jenis i A = Luas total are pengambilan contoh B. Kerapatan Relatif Jenis (RDi) Kerapatan relatif jenis (RDi) dihitung dengan persamaan di bawah ini: Dimana : RDi = Kerapatan Relatif Ni = Jumlah total tegakan jenis i = Jumlah total tegakan seluruh jenis 5

C. Frekuensi jenis (Fi) Frekuensi jenis (Fi) dihitung dengan persamaan di bawah ini : Dimana : Fi = Frekuensi jenis i Pi = Jumlah plot yang ditemukan jenis i P = Jumlah plot yang diamati D. Frekuensi relatif jenis (RFi) Frekuensi relatif jenis (RFi) dihitung dengan persamaan di bawah ini: Dimana : RFi = Frekuensi relatif jenis i Fi = Frekuensi jenis i = Jumlah frekuensi untuk seluruh jenis E. Tutupan Jenis (Ci) Tutupan jenis (Ci) dihitung dengan persamaan di bawah ini : Dimana : Ci = Tutupan jenis DBH = Diameter pohon jenis i π = 3,14 A = Luas total area pengambilan contoh CBH = Lingkaran pohon setinggi dada (cm). F. Tutupan Relatif Jenis (RCi) Tutupan relatif jenis (RCi) dihitung dengan persamaan di bawah ini : Dimana : RCi = Tutupan relatif Jenis Ci = Luas area tutupan jenis i = Luas total area untuk seluruh jenis. Hasil perhitungan nilai kerapatan, frekuensi dan tingkat tutupan selanjutnya di tabulasi dan dianalisis secara deskriptif untuk melihat gambaran masing-masing lokasi. Analisis deskriptif adalah metode yang berusaha membuat faktual dan akurat secara sistematis terhadap kejadian atau tentang populasi tertentu pada wilayah dimana salah satu cirinya adalah membuat perbandingan dan evaluasi (Suryabrata, 1983 dalam vianto, 2011). Metode deskriptif digunakan karena penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan kerapatan, frekuensi dan tingkat tutupan mangrove. HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi : Desa Limbatihu merupakan salah satu desa yang berada di Kecamatan Paguyaman Pantai Kabupaten Boalemo Provinsi Gorontalo. Desa Limbatihu terletak pada koordinat antara 0 0 32 30 LU dan 122 0 33 35 BT (Paguyaman Pantai dalam Angka, 2013). Secara geografis Desa Limbatihu, di sebelah Utara berbatasan dengan Desa Bukit Karya dan Desa Towayu, sebelah Timur berbatasan dengan Desa Bubaa, sebelah Selatan berbatasan dengan Teluk Tomini 6

dan sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Dulupi. Secara administratif, Desa Limbatihu terbagi atas 5 (lima) dusun yaitu Dusun I (Dusun Limba), Dusun II (Dusun Bontula), Dusun III (Dusun Lomuli), Dusun IV (Dusun Tihu), dan Dusun V adalah (Dusun Bengawan). Desa Limbatihu memiliki sebuah potensi wisata yang terletak di Pulau Limba, namun sampai dengan saat ini belum mendapatkan perhatian serius dari pihak pemerintah untuk pengembangan potensi wisata tersebut. Selain itu di Desa Limbatihu juga menjadi salah satu daerah penangkapan ikan. Selain potensi dibidang perikanan, di Desa Limbatihu juga terdapat potensi dibidang pertanian/perkebunan yang menghasilkan komoditas berupa buahbuahan, sayur-sayuran dan memiliki perkebunan kelapa terbanyak di Kecamatan Paguyaman Pantai. Adapun komoditas-komoditas yang terdapat di Desa Limbatihu yakni buah mangga, buah nangka, jagung, cabe, kelapa, kakao dan lain-lain. Kerapatan Jenis dan Kerapatan Relatif Jenis Kerapatan atau densitas adalah jumlah individu per unit luas atau per unit volume. Dengan kata lain, kerapatan atau densitas merupakan jumlah individu organisme per satuan ruangan (Ghufran, 2012). Tabel 1. Hasil Perhitungan Nilai Kerapatan Jenis dan Kerapatan Relatif untuk Tingkat Semai Stasiun I Stasiun II ni Di RDi ni Di RDi (Ind) (Ind/m) (%) (Ind) (Ind/m) (%) 1 Rhizophora apiculata 5,6 5,6 17,2 10,6 10,6 32,5 2 Rhizophora mucronata 4,8 4,8 14,9 9,3 9,3 28,6 3 Sonneratia alba 16,5 16,5 50,9 6,5 6,5 19,9 4 Ceriops decandra 5,5 5,5 17,0 6,2 6,2 18,9 Di RDi ni = Kerapatan Jenis = Kerapatan Relatif Jenis = Jumlah total Tegakan Jenis i Berdasarkan hasil perhitungan Tabel 2 menunjukkan bahwa nilai kerapatan jenis (Di) dan kerapatan relatif jenis (RDi) tertinggi untuk kategori semai terdapat pada stasiun I yaitu jenis Sonneratia alba yakni dengan nilai Di (16,5 ind/m) dan RDi (50,9%). Tingginya kerapatan jenis dan kerapatan relatif jenis Sonneratia alba pada stasiun I mungkin disebabkan oleh faktor substrat yang mendukung pertumbuhan mangrove jenis S. alba ini. Berdasarkan hasil pengamatan bahwa jenis substrat yang terdapat pada stasiun I yakni berpasir. Menurut Setyawan (2005) bahwa Sonneratia alba mampu tumbuh pada lingkungan bertanah pasir maupun lumpur. 7

Tabel 2. Hasil Perhitungan Nilai Kerapatan Jenis dan Kerapatan Relatif untuk Tingkat Pancang. Stasiun I Stasiun II ni Di RDi ni Di RDi (Ind) (Ind/m) (%) (Ind) (Ind/m) (%) 1 Rhizophora apiculata 5,8 0,2 18,4 15,9 0,6 35,8 2 Rhizophora mucronata 7,7 0,3 24,1 13,3 0,5 30,0 3 Sonneratia alba 12,8 0,5 40,2 8,8 0,4 19,9 4 Ceriops decandra 5,5 0,2 17,3 6,4 0,3 14,4 Di = Kerapatan Jenis RDi = Kerapatan Relatif Jenis Ni = Jumlah Total Tegakan Jenis i Tabel 2 menunjukkan nilai kerapatan jenis (Di) dan kerapatan relatif jenis (RDi) mangrove pada tingkat pancang. Berdasarkan tabel tersebut, nilai kerapatan jenis tertinggi dimiliki oleh Rhizophora apiculata yaitu dengan nilai Di (0.6 ind/m) di stasiun II dan nilai kerapatan relatif tertinggi dimiliki oleh jenis Sonneratia alba dengan nilai RDi (40,2%) di stasiun I. Hal ini mungkin disebabkan oleh substrat yang terdapat pada kedua stasiun mendukung untuk pertumbuhan mangrove jenis Rhizophora apiculata dan Sonneratia alba karena substrat yang berada pada stasiun I yakni berpasir sedangkan pada stasiun II berlumpur. Tabel 3. Hasil Perhitungan Nilai Kerapatan Jenis dan Kerapatan Relatif untuk Tingkat Pohon Stasiun I Stasiun II ni Di RDi ni Di RDi (Ind) (Ind/m) (%) (Ind) (Ind/m) (%) 1 Rhizophora apiculata 7,8 0,08 16,6 19,3 0,19 34,9 2 Rhizophora mucronata 9,3 0,09 19,6 13,8 0,14 25,0 3 Sonneratia alba 21,3 0,21 45,3 11,8 0,12 21,4 4 Ceriops decandra 8,7 0,09 18,4 10,4 0,10 18,8 Di RDi Ni = Kerapatan Jenis = Kerapatan Relatif Jenis = Jumlah Total Tegakan Jenis i Tabel 3 menunjukkan bahwa nilai kerapatan jenis (Di) dan kerapatan relatif jenis (RDi) untuk kategori pohon yang tertinggi terdapat pada stasiun I yaitu jenis Sonneratia alba dengan nilai Di (0.21 ind/m) dan nilai Rdi (45,3%). Nilai Di terendah terdapat pada jenis Rhizophora apiculata dengan nilai Di (0.08 ind/m) yang ditemukan pada stasiun I. Kerapatan jenis dan kerapatan relatif jenis mangrove di lokasi penelitian antara stasiun I dan stasiun II berbeda. Untuk lebih jelasnya perbandingan nilai kerapatan pada setiap stasiun penelitian ditabulasikan dalam tabel yang disajikan pada Tabel 4 Tabel 4. Perbandingan Kerapatan Jenis dan Kerapatan Relatif Jenis Antara Stasiun I dan Stasiun II Semai STASIUN I Pancang Pohon STASIUN II Semai Pancang Pohon ni Di Rdi ni Di Rdi ni Di Rdi ni Di Rdi ni Di Rdi ni Di Rdi (Ind) (Ind/m) (%) (Ind) (Ind/m) (%) (Ind) (Ind/m) (%) (Ind)(Ind/m) (%) (Ind)(Ind/m) (%) (Ind)(Ind/m) (%) 1 R. apiculata 5,6 5,6 17,2 5,8 0,2 18,4 7,8 0,08 16,6 10,6 10,6 32,5 15,9 0,64 35,8 19,3 0,19 34,9 2 R. mucronata 4,8 4,8 14,9 7,7 0,3 24,1 9,3 0,09 19,6 9,33 9,33 28,6 13,3 0,53 30 13,8 0,14 25 3 S. alba 16,5 16,5 50,9 12,8 0,5 40,2 21,3 0,21 45,3 6,5 6,5 19,9 8,83 0,35 19,9 11,8 0,12 21,4 4 C.decandra 5,5 5,5 17,0 5,5 0,2 17,3 8,7 0,09 18,4 6,17 6,17 18,9 6,42 0,26 14,4 10,4 0,1 18,8 Di RDi Ni = Kerapatan Jenis = Kerapatan Relatif Jenis = Jumlah Total Tegakan Jenis i Berdasarkan hasil perhitungan pada Tabel 4 dapat dilihat bahwa kerapatan jenis (Di) untuk kategori semai yang 8

tertinggi terdapat pada jenis Sonneratia alba yakni 16.5 ind/mdi stasiun I. Untuk kategori pancang nilai tertinggi pada jenis Rhizophora apiculata yakni 0.64 ind/m, pada stasiun II. Untuk kategori pohon nilai tertinggi dimiliki oleh jenis Sonneratia alba yakni 0.21 ind/m ditemukan pada stasiun I. Kerapatan relatif jenis (RDi) tertinggi untuk kategori semai, pancang, dan pohon terdapat jenis Sonneratia alba yakni 50,9%, 40,2% dan 45,3% yang semuanya ditemukan pada stasiun I. Pada stasiun II nilai tertinggi kerapatan relatif jenis (RDi) kategori semai, pancang dan pohon terdapat pada jenis Rhizophora apiculata yakni 32,5%, 35,8% dan 34.9%, sedangkan menurut laporan hasil penelitian Chaerani, (2011) bahwa untuk kerapatan relatif jenis Sonneratia sp di pemukiman dan muara sungai masing-masing adalah 55,33% dan 49,33%. Kerapatan Jenis merupakan perbandingan jumlah tegakan jenis terhadap luasan area tertentu.semakin banyak tegakan yang diperoleh maka nilai kerapatan jenis semakin besar. Menurut Ewusie (1990) dalam Pranadipa (2014) bahwa kerapatan dikatakan sebagai persentase dari seluruh daerah contoh atau luas yang dipakai yang di dalamnya terdapat spesies tertentu. Selain itu juga tipe tanah jenis debu (silt) dan liat (clay) merupakan faktor penunjang proses regenerasi, dimana partikel liat berupa lumpur akan menangkap buah tumbuhan mangrove yang jatuh ketika sudah masak. Proses inilah yang menentukan rapat atau tidaknya suatu zonasi mangrove. Frekuensi Jenis dan Frekuensi Relatif Jenis. Menurut Ardhan (2012) dalam Subhan, (2014) bahwa frekuensi dipergunakan untuk menyatakan proporsi antara jumlah sampel yang berisi suatu spesies tertentu terhadap jumlah total sampel. Hasil perhitungan frekuensi jenis dan frekuensi relatif jenis disajikan pada Tabel 5, 6 dan 7. Tabel 5. Hasil Perhitungan Nilai Frekuensi Jenis dan Frekuensi Relatif untuk Kategori Semai di Lokasi Penelitian. Stasiun I II Rata-rata Pi Fi RFi Pi Fi RFi Pi Fi RFi (%) (%) (%) 1 R. apiculata 2 0,67 23,5 2,25 0,75 27,3 2,1 0,71 25,4 2 R. mucronata 2 0,67 23,5 2,5 0,83 30,3 2,3 0,75 26,9 3 S. alba 2,75 0,92 32,4 2,25 0,75 27,3 2,5 0,83 29,9 4 C. decandra 1,75 0,58 20,6 1,25 0,42 15,2 1,5 0,5 17,9 Fi RFi = Frekunsi Jenis = Frekuensi Relatif Jenis Berdasarkan hasil perhitungan frekuensi jenis (Fi) dan frekuensi relatif jenis (RFi) untuk kategori sema ipada Tabel 5 menunjukkan bahwa jenis yang memiliki nilai tertinggi adalah jenis 9

Sonneratia alba. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa nilaifi dan Rfi untuk jenis Sonneratia alba ini masingmasing 0.92 Ind/m dan 32,4 % yang ditemukan pada stasiun I. Secara umum tanah yang terdapat pada stasiun I (muara sungai) didominasi oleh pasir yang cocok untuk pertumbuhan jenis Sonneratia alba. Hal ini sesuai dengan pendapat Whitten, dkk, (2000) dalam Setyawan, (2005) bahwa secara umum, Avicennia dan Sonneratia dapat hidup dengan baik pada tanah berpasir. or et al., (1999) dalam Supardjo (2008) menyatakan bahwa, Sonneratia alba tumbuh pada substratlumpur berpasir di muara sungai pasang surut dan banyak ditemukan pada daerah tepian yang menjorok ke laut, dengan salinitas yang lebih tinggi. Tabel 6. Hasil Perhitungan Nilai Frekuensi Jenis dan Frekuensi Relatif untuk Kategori Pancang di Lokasi Penelitian. Stasiun I II Rata-rata Pi Fi RFi Pi Fi RFi Pi Fi RFi (%) (%) (%) 1 R. apiculata 1,8 0,58 18,9 2,0 0,67 20,5 1,9 0,63 19,7 2 R. mucronata 2,5 0,83 27,0 3,0 1,0 30,8 2,8 0,92 28,9 3 S. alba 3,0 1,0 32,4 2,5 0,83 25,6 2,8 0,92 28,9 4 C. decandra 2,0 0,67 21,6 2,3 0,75 23,1 2,1 0,71 22,4 Fi = Frekunsi Jenis RFi = Frekuensi Relatif Jenis Tabel 6 menunjukkan hasil perhitungan frekuensi jenis (Fi) dan Frekuensi relatif jenis (RFi) untuk kategori pancang. Nilai tertinggi untuk frekuensi jenis terdapat pada jenis Rhizophora mucronata dan Sonneratia alba yakni sebesar 1,0 Ind/m di stasiun I dan stasiun II, sedangkan untuk nilai frekuensi relatif jenis tertinggi dimiliki oleh jenis Sonneratia alba yakni dengan nilai 32,4% yang ditemukan pada stasiun I. Tabel 7. Hasil Perhitungan Nilai Frekuensi Jenis dan Frekuensi Relatif untuk Kategori Pohon di Lokasi Penelitian. Stasiun I II Rata-rata Pi Fi RFi Pi Fi RFi Pi Fi RFi (%) (%) (%) 1 R. apiculata 2,5 0,83 24,4 2,5 0,83 24,4 2,5 0,83 24,4 2 R. mucronata 2,8 0,92 26,8 3,0 1,0 29,3 2,9 0,96 28,0 3 S. alba 3,0 1,0 29,3 2,3 0,75 22,0 2,6 0,88 25,6 4 C.decandra 2,0 0,67 19,5 2,5 0,83 24,4 2,3 0,75 22,0 Fi RFi = Frekunsi Jenis = Frekuensi Relatif Jenis Berdasarkan hasil analisis nilai frekuensi jenis (Fi) dan nilai frekuensi relatif jenis (RFi) untuk kategori pohon (Tabel 7) menunjukkan bahwa nilai yang tertinggi terdapat pada jenis Rhizophora mucronata pada stasiun II dan Sonneratia alba pada stasiun I dengan nilai nilai Fi untuk kedua jenis adalah 1,0 dan nilai RFi masing-masing 29,3%. Hal ini mungkin dipengaruhi oleh kondisi substrat pada kedua stasiun tersebut. Rhizophora mucronata banyak ditemukan pada bagian tengah yang mengandung lumpur dalam, sedangkan 10

Sonneratia alba banyak ditemukan pada zonasi terluar yang berhadapan langsung dengan air laut dengan kondisi substrat yang berpasir. Tutupan Jenis dan Tutupan Relatif Jenis Luas penutupan (coverage) adalah proporsi antara luas tempat yang ditutupi oleh spesies tumbuhan dengan luas total habitat. Luas penutupan dapat dinyatakan dengan menggunakan luas penutupan tajuk ataupun luas bidang dasar (luas basal area). Ada juga ahli menggunakan istilah dominasi. Indeks dominasi (index of dominance) adalah parameter yang menyatakat tingkat terpusatnya dominasi (penguasaan) spesies dalam suatu komunitas (Indiyanto, 2006 dalam Ghufran, 2012). Table 8. Hasil Perhitungan Nilai Tingkat Tutupan Jenis dan Tutupan Relatif di Stasiun I. Substasiun I Substasiun II Substasiun III Substasiun IV Rata-rata Ci RCi Ci RCi Ci RCi Ci RCi Ci RCi 1 R. apiculata 0,37 31,30 0,27 37,48 0,13 18,39 0,19 20,23 0,24 27,03 2 R. mucronata 0,23 19,96 0,16 22,0 0,23 31,64 0,29 31,55 0,23 25,79 3 S. alba 0,41 35,40 0,19 25,91 0,27 36,93 0,23 25,36 0,28 31,16 4 C. decandra 0,16 13,35 0,11 14,61 0,09 13,04 0,21 22,86 0,14 16,02 Ci RCi = Tutupan Jenis i = Tutupan Relatif Jenis Hasil analisis tingkat tututupan jenis dan tutupan relatif jenis Tabel 8 menunjukkan bahwa nilai tingkat tutupan jenis (Ci) dan (RCi) yang tertinggi terdapat pada jenis Sonneratia alba yakni dengan nilai Ci (0.41) dan RCi terdapat pada jenis Rhizophora apiculata dengan nilai (37.48%) masingmasing ditemukan pada substasiun I dan III. Sementara yang terendah terdapat pada jenis Ceriops decandra yakni dengan nilai Ci (0.09) dan nilai RCi (13.04%) yang ditemukan di substasiun III. Tingginya nilai Ci dan RCi untuk jenis Sonneratia alba dan Rhizophora apiculata pada substasiun I dan III didukung oleh substrat yang sangat cocok untuk pertumbuhan jenis Sonneratia alba dan Rhizophora apiculata. Table 9. Hasil Perhitungan Nilai Tingkat Tutupan Jenis dan Tutupan Relatif Stasiun II Substasiun I Substasiun II Substasiun III Substasiun IV Rata-rata Ci RCi Ci RCi Ci RCi Ci RCi Ci RCi 1 R. apiculata 0,20 29,52 0,27 29,41 0,23 22,96 0,36 28,75 0,26 27,56 2 R. mucronata 0,30 43,91 0,22 23,78 0,34 34,30 0,35 27,47 0,30 31,21 3 S. alba 0,09 12,62 0,24 25,86 0,25 25,80 0,31 24,26 0,22 23 4 C. decandra 0,09 13,95 0,19 20,95 0,17 16,94 0,25 19,53 0,18 18,23 Ci RCi = Tutupan Jenis i = Tutupan Relatif Jenis Tabel 9 menunjukkan hasil perhitungan tingkat tutupan jenis (Ci) dan tutupan relatif jenis (RCi) untuk stasiun II. Hasil menunjukkan bahwa nilai yang tertinggi terdapat pada jenis Rhizophora apiculata dengan nilai Ci (0.36) dan nilai RCi terdapat pada jenis Rhizophora mucronata dengan nilai 11

(43.91%) masing-masing ditemukan pada substasiun I dan IV. Tabel10. Perbandingan Nilai Penutupan Jenis dan Penutupan Relatif pada stasiun I dan II Stasiun I Stasiun II Ci RCi Ci RCi 1 Rhizophora apiculata 0,24 27,03 0,26 27,56 2 Rhizophora mucronata 0,23 25,79 0,30 31,21 3 Sonneratia alba 0,28 31,16 0,22 23,00 4 Ceriops decandra 0,14 16,02 0,18 18,23 Ci = Tutupan Jenis i RCi = Tutupan Relatif Jenis Berdasarkan hasil perhitungan pada Tabel 10 dapat dilihat bahwa nilai ratarata tingkat tutupan jenis (Ci) dan tingkat tutupan relatif (RCi) tertinggi terdapat pada jenis Sonneratia alba yakni Ci (0.28) dan RCi (31.16%) ditemukan pada stasiun I, sedangkan pada stasiun II terdapat pada jenis Rhizophora mucronatayakni dengan nilai Ci (0.30) dan RCi (31.21%). Chaerani (2011) melaporkan bahwa untuk tingkat penutupan dua jenis mangrove yakni Avicennia marina dan Sonneratia sp di muara sungai lebih tinggi dibanding di pemukiman masingmasing adalah 8,33% dan 65,67%, sedangkan dua jenis mangrove lainnya yaitu Bruguiera gymnorrhiza dan Rhizophora stylosa memiliki nilai tingkat penutupan jenis di pemukiman lebih tinggi dibanding di muara sungai yakni 12,67%, dan 20%. Menurut Supardjo (2008) bahwa Rhizophora mucronata banyak dijumpai di daerah sungai atau muara yang memiliki lumpur, dan mudah beradaptasi pada kemiringan yang bervariasi. Parameter Lingkungan Kualitas air memiliki peranan yang paling penting dalam pertumbuhan ekosistem mangrove. Walaupun tumbuhan mangrove dapat berkembang pada kondisi lingkungan yang buruk, akan tetapi setiap tumbuhan mempunyai kemampuan yang berbeda untuk mempertahankan diri terhadap kondisi lingkungan fisik-kimia di lingkunganya. Ada 4 faktor utama yang menentukan penyebaran tumbuhan mangrove, yaitu (1) Frekuensi arus pasang; (2) Salinitas; (3) Suhu air; dan (4) ph air, (Supriharyono, 2007 dalam Ghufran, 2012). Tabel 11. Hasil Pengukuran Nilai Parameter Kualitas Air di Lokasi Penelitian. Parameter Stasiun I Stasiun II Muara Sungai Pemukiman 1 Salinitas 30,0 30,0 2 Suhu 30,0 30,0 3 ph air 7,0 7,0 4 Substrat Berpasir Berlumpur Salinitas Tinggi dan waktu penggenangan air laut di suatu lokasi pada saat pasang juga menentukan salinitas. Salinitas juga merupakan salah satu faktor dalam 12

menentukan penyebaran tumbuhan mangrove (Dahuri 2003 dalam Ghufran, 2012). Nilai kedua stasiun tersebut masih mendukung pertumbuhan mangrove dan organisme laut pada lokasi tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat (Saparinto, 2007) bahwa tumbuhan mangrove tumbuh subur didaerah estuari dengan salinitas 10-30 0 / 00. Suhu Suhu air merupakan faktor yang sangat menentukan kehidupan dan pertumbuhan mangrove. Menurut Walsh (1974) dalam Ghufran (2012) suhu yang baik untuk kehidupan mangrove adalah 20 0 C - 40 0 C. Berdasarkan hasil pengukuran langsung di lokasi penelitian, kedua stasiun memiliki nilai yang sama yakni sebesar 30 0 C. Kisaran suhu yang terdapat pada kedua stasiun, merupakan kisaran yang layak dalam mendukung pertumbuhan organisme yang berada di sekitar perairan tersebut. ph Air ph air sangat mempengaruhi pertumbuhan organisme disekitarnya. Dari hasil pengukuran, kedua stasiun memiliki nilai ph yang sama yakni 7.0. Menurut Nybakken (1992) dalam Chaerani (2011), nilai ph yang baik untuk pertumbuhan organisme berkisar antara 5.6-8.3. Dengan demikian nilai ph pada kedua stasiun tersebut masih termasuk nilai yang sangat baik dan cocok untuk pertumbuhan organisme. Substrat Menurut Walsh, (1974) dalam Ghufran, (2012) bahwa selain salinitas, suhu dan ph air, substrat juga sangat menentukan kehidupan ekosistem mangrove. Mangrove dapat tumbuh dengan baik pada substrat berupa pasir, lumpur atau batu karang. Namun paling banyak ditemukan adalah di daerah pantai berlumpur, delta sungai, dan teluk atau estuaria. Hasil pengamatan secara visual menunjukkan bahwa tipe substrat yang di temukan pada stasiun I adalah berpasir dan stasiun II substratnya berlumpur. Penyebaran jenis mangrove di lokasi penelitian sesuai dengan tipe substrat tumbuhnya mangrove pada umumnya. PENUTUP Kesimpulan Berdasarkan hasil Penelitian di Desa Limbatihu Kecamatan Paguyaman Pantai Kabupaten Boalemo Provinsi Gorontalo dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Jenis mangrove yang memiliki nilai kerapatan jenis tertinggi untuk kategori semai adalah Sonneratia 13

alba yang terdapat di stasiun 1, untuk kategori pancang adalah Rhizophora apiculata di stasiun 2 dan untuk kategori pohon adalah jenis Sonneratia alba di stasiun 1. 2. Nilai frekuensi tertinggi untuk kategori semai terdapat pada jenis Sonneratia alba di stasiun 1dan frekuensi tertinggi untuk kategori pohon dan pancang terdapat pada jenis Sonneratia alba di stasiun 1dan Rhizophora mucronata di stasiun 2. 3. Tingkat tutupan jenis mangrove tertinggi terdapat pada jenis Sonneratia alba untuk stasiun 1 dan jenis stasiun 2. Saran Rhizophora apiculata untuk Diharapkan dari pihak pemerintah dapat memperhatikan dan membuat program tentang penyuluhan untuk menjaga dan memelihara hutan mangrove yang ada diperairan Desa Limbatihu Kec. Paguyaman Pantai sehingga dapat dimanfaatkan secara optimal dan berkelanjutan. Selain itu juga pemerintah dapat mengembangkan potensi-potensi yang ada di Desa Limbatihu baik di bidang perikanan maupun di bidang pertanian/perkebunan. DAFTAR PUSTAKA Chaerani, N. 2011. Kerapatan, Frekuensi Dan Tingkat Penutupan Jenis Mangrove di Desa Coppo Kecamatan Barru Kabupaten Barru. Skripsi. Universitas Hasanudin Makasar. Kordi, K. M. G. H. 2012. Ekosistem Mangrove (Potensi, Fungsi dan Pengelolaan). Jakarta: Rineka Cipta. vianto, A. 2011. Struktur Komunitas Zooplankton Pada Ekosistem Mangrove Desa Kedung Malang, Kecamatan Kedung, Kabupaten Jepara. Skripsi. Universitas Diponegoro Semarang. Pranadipa, 2014. Kondisi Tingkat Kerusakan Pohon Mangrove Di Pulau Keramut Kabupaten Kepulauan Anambas Provinsi Kepulauan Riau. Skripsi. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan. Universitas Riau. Saparinto, C, 2007. Pendayagunaan Ekosistem Mangrove (Mengatasi Kerusakan Mangrove Pantai (Abrasi) dan Meminimalisasi Dampak Gelombang Tsunami). Semarang : Dahara Prize. Setyawan, A. 2005. Keanekaragaman Tumbuhan Mangrove Di Pantai Utara dan Selatan Jawa Tengah.Tesis. Universitas Sebelas Maret Surakarta Subhan, 2014. Tingkat Kerusakan dan Kekritisan Mangrove di Kawasan Suaka Perikanan Gili Ranggo. Tesis. Supardjo, M. 2008. Identifikasi Vegetasi Mangrove di Segoro Anak Selatan, Taman Nasional Alas Purwo, Banyuwangi, Jawa Timur. Jurnal. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Diponegoro. Suwignyo, Munandar, dan E.S. Halimi. 2011 Pengalaman pendampingan dalam pengelolaan Hutan mangrove pada masyarakat. Makalah. Fakultas Pertanian dan FMIPA Universitas Sriwijaya. 14