BAB II TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. disebabkan oleh mikroorganisme Salmonella enterica serotipe typhi yang

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. Salmonella sp. yang terdiri dari S. typhi, S. paratyphi A, B dan C

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh Salmonella typhi (S.typhi), bersifat endemis, dan masih

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. dikenal orang karena lalat ini biasanya hidup berasosiasi dengan manusia.

BAB I PENDAHULUAN. rendah, cenderung meningkat dan terjadi secara endemis. Biasanya angka

BAB I PENDAHULUAN. oleh Salmonella typhi yang masih dijumpai secara luas di berbagai negara

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. sayap (terbang) yang berbentuk membran. Hanya sesekali bergerak

BAB III METODA PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian deskriptif.

I. PENDAHULUAN. Demam tifoid merupakan masalah kesehatan yang penting di negara-negara

BAB II TUJUAN PUSTAKA. jalan seperti es dawet, es kelapa muda, dan es rumput laut. Pecemaran oleh

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bumbu bawang merah, bawang putih, jahe, garam halus, tapioka, minyak,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang. disebabkan oleh Salmonella typhi yang masih dijumpai secara luas di

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. oleh bakteri Salmonella enterica serotype typhi (Salmonella typhi)(santoso et al.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. penyakit yang disebabkan oleh bakteri Salmonella, khususnya turunannya yaitu

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Typhoid fever (Demam tifoid) disebabkan oleh Salmonella enterica serotype typhi (Salmonella typhi), bersifat akut dan umumnya menyerang sistem RES (re

BAB I PENDAHULUAN. Sumber penularan penyakit demam typhoid adalah penderita yang aktif,

BAB I PENDAHULUAN. adalah masalah kejadian penyakit Tifoid (Thypus) di masyarakat.

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. Salmonella sp. merupakan kingdom Bacteria, phylum. Proteobacteria, class Gamma Proteobacteria, ordo Enterobacteriales,

BAB I. PENDAHULUAN. lainnya termasuk di Indonesia (Gasem et al., 2002; Vollaard et al., 2005; Prajapati

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Demam tifoid disebut juga dengan Typus Abdominalis atau. Typhoid fever. Demam tifoid ialah penyakit infeksi akut yang

Farmaka Volume 4 Nomor 3 Suplemen 1 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. jumlah banyak. Penularannya dapat melalui kontak antar manusia atau melalui

BAB I PENDAHULUAN. masih menjadi masalah kesehatan global bagi masyarakat dunia. Angka kejadian

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bahan-bahan lain seperti garam, bawang merah, bawang putih. Sambal

METODE PENELITIAN. Penelitian ini berupa deskriptif pemeriksaan laboratoris. Penelitian dilakukan di

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Untuk berbagai keperluan tentunya kita telah mengenal bahkan mungkin

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Pengujian Salmonella spp. dengan Metode SNI

BAB I PENDAHULUAN. Hepatitis merupakan penyakit inflamasi dan nekrosis dari sel-sel hati yang dapat

BAB I PENDAHULUAN. oleh infeksi saluran napas disusul oleh infeksi saluran cerna. 1. Menurut World Health Organization (WHO) 2014, demam tifoid

DEMAM TIFOID DI INSTALASI RAWAT INAP RSUD KABUPATEN CILACAP TAHUN 2008 SKRIPSI

PEMERIKSAAN WIDAL SLIDE UNTUK DIAGNOSA DEMAM TIFOID. Agnes Sri Harti 1, Saptorini 2

ASKEP THYPOID A. KONSEP DASAR

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Air adalah: zat organik yang terdiri dari 1 atom oksigen dengan 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

III. METODE PENELITIAN. cross sectional. Sampel diambil secara consecutive sampling dari data

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini adalah deskriptif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Amerika Selatan dan 900/ /tahun di Asia (Soedarmo, et al., 2008).

Sakina Meta, Basuki Wiranto, Tjiptaningrum Agustyas, Soleha Tri Umiana Medical Faculty of Lampung University. Abstract

I S O L A S I DAN E N U M E R A S I K U M A N P A T O G E N

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian Deskriptif karena tujuan dari

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai obat antihipertensi (Palu et al., 2008). Senyawa aktif yang

BAB II KAJIAN PUSTAKA

ASUHAN KEPERAWATAN PADA An. S DENGAN GANGGUAN SISTEM PENCERNAAN DEMAM TIFOID DI BANGSAL ANGGREK RSUD SUKOHARJO

TINJAUAN PUSTAKA. Etiologi demam tifoid diakibatkan oleh bakteri Salmonella typhi atau Salmonella

BAB 1 PENDAHULUAN. kesadaran (Rampengan, 2007). Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella

BAB I PENDAHULUAN. Dilihat dari berbagai macam segi kehidupan, kesehatan merupakan harta terindah bagi setiap

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh salmonella typhi, salmonella paratyphi A, salmonella

BAB XIX DEMAM TIFOID

Laporan Pendahuluan Typhoid

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bakteri Salmonella Typhidengan masa inkubasi 0-20 hari. Di Indonesia insiden

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Analis Kesehatan

UJI ANTIBAKTERI EKSTRAK TANAMAN PUTRI MALU (Mimosa pudica) TERHADAP PERTUMBUHAN Shigella dysentriae

Morfologi dan Taksonomi Escherichia coli

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Tempat penelitian di laboratorium lab. Mikrobiologi, Lantai II di kampus

SISTEM PEREDARAN DARAH

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. dengan atau tanpa gangguan kesadaran yang disebabkan oleh Salmonella typhi. 14

DAFTAR ISI. SAMPUL DALAM i. LEMBAR PENGESAHAN... ii. LEMBAR PENETAPAN PANITIA PENGUJI SKRIPSI... iii

Pendekatan Diagnostik Serologik dan Pelacak Antigen Salmonella typhi

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. protozoa Toxoplasma gondii, infeksi parasit ini dijumpai di seluruh dunia

SKRIPSI MARHAMAH K Oleh :

II. TINJAUAN PUSTAKA. Penyakit demam tifoid (typhoid fever) yang biasa disebut tifus merupakan

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Selama tiga dekade ke belakang, infeksi Canine Parvovirus muncul sebagai salah

ASUHAN KEPERAWATAN DEMAM TIFOID

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. adalah masalah kejadian demam tifoid (Ma rufi, 2015). Demam Tifoid atau

GAMBARAN GEJALA KLINIK, HEMOGLOBIN, LEUKOSIT, TROMBOSIT DAN WIDAL PADA PENDERITA DEMAM TIFOID DENGAN

Etiology dan Faktor Resiko

BAB I PENDAHULUAN. pada iklim, tetapi lebih banyak di jumpai pada negara-negara berkembang di

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Demam Typhoid (typhoid fever) merupakan salah satu penyakit

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Farmakoekonomi juga didefenisikan sebagai deskripsi dan analisis dari biaya terapi

BAB II GAMBARAN UMUM OBJEK. sakit umum terbesar di daerah Pekanbaru, Riau. Rumah Sakit ini berada di Jalan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typoid fever.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. peningkatan angka kejadian, tidak hanya terjadi di Indonesia juga di berbagai

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

ABSTRAK. Pembimbing II : Penny S M., dr., Sp.PK., M.Kes

NEISSERIA MENINGITIDIS

I. PENDAHULUAN. yang dapat menyebabkan kematian, yang disebut sebagai salmonellosis. Habitat

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

ABSTRAK. UJI DIAGNOSTIK PEMERIKSAAN TUBEX-TF DAN WIDAL TERHADAP BAKU EMAS KULTUR Salmonella typhi PADA PENDERITA TERSANGKA DEMAM TIFOID

TUGAS PRESENTASI KASUS. Demam tifoid pada anak. Tutor: Dr. Nur Faizah, SP.A. Disusun Oleh: Rostikawaty Azizah G1A009022

I. PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan, dan kesejahteraan sosial ekonomi pada masyarakat. World Health Organization (WHO) pada berbagai negara terjadi

DIAGNOSIS SECARA MIKROBIOLOGI : METODE SEROLOGI. Marlia Singgih Wibowo School of Pharmacy ITB

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Ciri-ciri Salmonella sp. Gambar 1. Mikroskopis kuman Salmonella www.mikrobiologi Lab.com) sp. (http//. Salmonella sp. adalah bakteri batang lurus, gram negatif, tidak berspora, bergerak dengan flagel peritrik, berukuran 2-4 µm x 0.5-0,8 µm. Salmonella sp. tumbuh cepat dalam media yang sederhana (Jawet z, dkk, 2005), hampir tidak pernah memfermentasi laktosa dan sukrosa, membentuk asam dan kadang gas dari glukosa dan manosa, biasanya memporoduksi hidrogen sulfide atau H2S, pada biakan agar koloninya besar bergaris tengah 2-8milimeter, bulat agak cembung, jernih, smooth, pada media BAP tidak menyebabkan hemolisis, pada media Mac Concey koloni Salmonella sp. Tidak memfermentasi laktosa (NLF), konsistensinya smooth (WHO, 2003) Salmonella sp. tahan hidup dalam air yang dibekukan dalam waktu yang lama, bakteri ini resisten terhadap bahan kimia tertentu 85

(misalnya hijau brillian, sodium tetrathionat, sodium deoxycholate) yang menghambat pertumbuhan bakteri enterik lain, tetapi senyawa tersebut berguna untuk ditambahkan pada media isolasi Salmonella sp. pada sampel feses. Klasifikasi kuman Salmonella sp. sangat kompleks, biasanya diklasifikasikan menurut dasar reaksi biokimia, serotipe yang diidentifikasi menurut struktur antigen O, H dan Vi yang spesifik (Jawet z, dkk, 2005 ; Bennasar, A., et al, 2000), menurut reaksi biokimianya, Salmonella sp. dapat diklasifikasikan menjadi tiga spesies yaitu S. typhi, S. enteritidis, S. cholerasuis, disebut bagan kauffman-white (Irianto, 2006). Berdasarkan serotipenya di klasifikasikan menjadi empat serotipe yaitu S. paratyphi A (Serotipe group A), S. paratyphi B (Serotipe group B), S. paratyphi C (Serotipe group ), dan S. typhi dari Serotipe group D (Jawet z, 2005). Perbedaan karakteristik dari masing-masing spesies Salmonella sp. berdasarkan sifat-sifat biokimianya dapat dilihat pada tabel 1 sebagai berikut: 8 6

Tabel 1. Perbedaan Karakteristik Salmonella sp. No Sifat Biokimia Salmonella typhi Salmonella paratyphi A Salmonella paratyphi B Salmonella paratyphi C 1. Indol - - - - 2. MR + + + + 3. Vp - - - - 4. Citrat - - + - 5. Motilitas + + + + 6. Urease - - - - 7. TSIA K/A G (-), H 2 S (+) K/A G (+), H 2 S (-) K/A G (+), H 2 S (+) K/A G (+), H 2 S (+) 8. Glukosa A, G (-) A, G (+) A, G (+) A, G (+) 9. Laktosa - - - - 11. Sukrosa - - - - (WHO, 2003). B. Patogenesis S. typhi, S. paratyphi A, B dan C merupakan penyebab infeksi utama pada manusia, bakteri ini selalu masuk melalui jalan oral, biasanya dengan cara mengkontaminasi makanan dan minuman. Diantara faktorfaktor yang dapat mempengaruhi ketahanan tubuh terhadap infeksi Salmonella sp adalah keasaman lambung, flora normal dalam usus dan ketahanan usus lokal (Jawet z, 2005). C. Cara Penularan Pola penyebaran penyakit ini adalah melalui saluran cerna (mulut, esofagus, lambung, usus 12 jari, usus halus, usus besar). S typhi, paratyphi A, B, dan C masuk ke tubuh manusia bersama bahan makanan atau minuman yang tercemar (Fathiariani, 2009). Saat kuman masuk ke saluran pencernaan manusia, sebagian kuman mati oleh asam lambung dan sebagian kuman masuk ke usus halus. Dari usus halus kuman 87

beraksi sehingga bisa menjebol usus halus. Setelah berhasil melampaui usus halus, kuman masuk ke kelenjar getah bening, ke pembuluh darah, dan ke seluruh tubuh (terutama pada organ hati, empedu, dan lain-lain). Sehingga feses dan urin penderita bisa mengandung kuman S. typhi, S. paratyphi A, B dan C yang siap menginfeksi manusia lain melalui makanan atau minuman yang tercemari. Pada penderita yang tergolong carrier kuman Salmonella bisa ada terus menerus di feses dan urin sampai bertahun-tahun (Widianto, 2009). Setelah memasuki dinding usus halus, S. typhi, S. paratyphi A, B dan C mulai melakukan penyerangan melalui system limfa ke limfa yang menyebabkan pembengkakan pada urat dan setelah satu periode perkembangbiakan bakteri tersebut kemudian menyerang aliran darah. Aliran darah yang membawa bakteri juga akan menyerang liver, kantong empedu, limfa, ginjal, dan sumsum tulang dimana bakteri ini kemudian berkembangbiak dan menyebabkan infeksi organ-organ ini. Melalui organ-organ yang telah terinfeksi inilah mereka terus menyerang aliran darah yang menyebabkan bakteremia sekunder. Bakteremia sekunder ini bertanggung jawab sebagai penyebab terjadinya demam dan penyakit klinis (Wardani, 2008). D. Demam Tipoid Demam tipoid atau typhoid fever, atau thypus abdominalis, merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh infeksi S. typhi. Demam 8

tifoid merupakan masalah kesehatan utama di negara berkembang, tidak hanya karena insiden dan angka kematiannya yang tinggi, tetapi juga karena waktu yang diperlukan agar penderita " fully recover " dapat berbulan-bulan (Sjahrurachman, A., 2009). Demam tipoid juga merupakan penyakit masyarakat dengan standar hidup dan kebersihan rendah, cenderung meningkat dan terjadi secara endemis. Biasanya angka kejadian tinggi pada daerah tropik. Sumber penularan penyakit demam tifoid adalah penderita yang aktif, penderita dalam fase konvalesen, dan kronik karier. Demam Tifoid atau typhus abdominalis, typhoid fever atau enterik fever adalah penyakit sistemik yang akut yang mempunyai karakteritik demam, sakit kepala dan ketidakenakan abdomen berlangsung lebih kurang 3 minggu yang juga disertai gejala-gejala perut pembesaran limpa dan erupsi kulit. Demam tifoid (termasuk para-tifoid) dsebabkan oleh kuman Salmonella typhi, S paratyphi A, B dan C (Purwanto, 2009). E. Metode Pemeriksaan Demam Tipoid 1. Kultur Gal Diagnosis pasti penyakit demam tipoid yaitu dengan melakukan isolasi bakteri Salmonella typhi, paratyphi A, B dan C dari spesimen yang berasal dari darah, feses, dan urin penderita demam tipoid. 9 8

Pengambilan spesimen darah sebaiknya dilakukan pada minggu pertama timbulnya penyakit, karena kemungkinan untuk positif mencapai 80-90%, khususnya pada pasien yang belum mendapat terapi antibiotik. Pada minggu ke-3 kemungkinan untuk positif menjadi 20-25% dan minggu ke-4 hanya 10-15%. 2. Widal Penentuan kadar aglutinasi antibodi terhadap antigen O dan H dalam darah (antigen O muncul pada hari ke 6-8, dan antibodi H muncul pada hari ke 10-12). Pemeriksaan Widal memberikan hasil negatif sampai 30% dari sampel biakan positif penyakit tifus, sehingga hasil tes Widal negatif bukan berarti dapat dipastikan tidak terjadi infeksi. Pemeriksaan tunggal penyakit tifus dengan tes Widal kurang baik karena akan memberikan hasil positif bila terjadi: infeksi berulang karena bakteri Salmonella sp., imunisasi penyakit tifus sebelumnya, Infeksi lainnya seperti malaria dan lain-lain. 3. TubexRTF Pemeriksaan Anti S. typhi IgM dengan reagen TubexRTF sebagai solusi pemeriksaan yang sensitif, spesifik, praktis untuk mendeteksi penyebab demam akibat infeksi bakteri S. typhi Pemeriksaan Anti S. typhi IgM dengan reagen TubexRTF dilakukan untuk mendeteksi antibody terhadap antigen lipopolisakarida O9 yang sangat spesifik terhadap bakteri S. typhi. 10 8

Pemeriksaan ini sangat bermanfaat untuk deteksi infeksi akut lebih dini dan sensitive, karena antibodi IgM muncul paling awal yaitu setelah 3-4 hari terjadinya demam sensitivitasnya > 95% (Prasetyo, dkk, 2009). 4. Metode Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9, antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan antibodi terhadap antigen Vi S. typhi. Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya antigen S. typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA. Chaicumpa dkk (1992) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95% pada sampel darah, 73% pada sampel feses dan 40% pada sampel sumsum tulang. 5. Pemeriksaan Dipstik Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S. typhi dengan menggunakan membran nitroselulosa yang mengandung antigen S. typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-human immobilized sebagai reagen kontrol. Metode ini mempunyai sensitivitas sebesar 63% bila dibandingkan dengan kultur darah (13.7%) dan uji Widal (35.6%). Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis tidak dilakukan secara 811

cermat, adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa menghambat proses PCR antara lain hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu dalam spesimen feses, biaya yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit (Prasetyo, dkk., 2009). 12 8