KUALITAS AIR SUNGAI BONE (GORONTALO) BERDASARKAN BIOINDIKATOR MAKROINVERTEBRATA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Sungai Bone mempunyai panjang 119,13 Km 2 yang melintasi wilayah

STUDI KUALITAS AIR SUNGAI BONE DENGAN METODE BIOMONITORING (Suatu Penelitian Deskriptif yang Dilakukan di Sungai Bone)

KUALITAS PERAIRAN SUNGAI KUNDUR BERDASARKAN MAKROZOOBENTOS MELALUI PENDEKATAN BIOTIC INDEX DAN BIOTILIK

BAB III METODE PENELITIAN

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. manusia dan makhluk hidup lainnya. Data dari BPS tahun 2007 menunjukkan

Diah Ari Dwitawati, Biomonitoring kualitas air...

KEANEKARAGAMAN MAKROZOOBENTOS DI SUNGAI TALAWAAN MINAHASA UTARA, SULAWESI UTARA

BAB I PENDAHULUAN. Sungai merupakan salah satu sumber air utama bagi masyarakat luas baik

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Sungai Bedagai merupakan sumberdaya alam yang dimiliki oleh Pemerintah

MAKROINVERTEBRATA SEBAGAI BIOINDIKATOR PENGAMATAN KUALITAS AIR

3. METODE PENELITIAN

Keanekaragaman serangga Ephemeroptera, Plecoptera, dan Trichoptera sebagai bioindikator kualitas perairan di Sungai Jangkok, Nusa Tenggara Barat

Water Quality Black Water River Pekanbaru in terms of Physics-Chemistry and Phytoplankton Communities.

BAB I PENDAHULUAN. Sidoarjo dan 6 kota yaitu Batu, Malang, Blitar, Kediri, Mojokerto, dan Surabaya

Keanekaragaman dan Kelimpahan Makrozoobentos di Sungai Naborsahan Kabupaten Toba Samosir Sumatera Utara

PENGGUNAAN KOMUNITAS MAKROZOOBENTHOS UNTUK MENENTUKAN TINGKAT PENCEMARAN SUNGAI METRO, MALANG, JAWA TIMUR ABDUL MANAN

BIOASSESSMENT DAN KUALITAS AIR DAERAH ALIRAN SUNGAI LEGUNDI PROBOLINGGO JAWA TIMUR SKRIPSI

STRUKTUR KOMUNITAS MEIOBENTHOS YANG DIKAITKAN DENGAN TINGKAT PENCEMARAN SUNGAI JERAMBAH DAN SUNGAI BUDING, KEPULAUAN BANGKA BELITUNG

PANDUAN BIOTILIK. UNTUK PEMANTAUAN KESEHATAN DAERAH ALIRAN SUNGAI Selamatkan Sungai Kita Sekarang. Arah aliran air 1.

BAB I PENDAHULUAN. Air sungai merupakan salah satu sumber daya alam yang sangat vital bagi

Sungai berdasarkan keberadaan airnya dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, yaitu (Reid, 1961):

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Air merupakan unsur penting bagi kehidupan makhluk hidup baik manusia,

BAB I PENDAHULUAN. ekosistem perairan yang ada disekitarnya. Lingkungan perairan sungai tidak hanya

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

PENENTUAN KUALITAS AIR SUNGAI CIHAMPELAS DENGAN BIOINDIKATOR MAKROZOOBENTOS

bentos (Anwar, dkk., 1980).

BAB I PENDAHULUAN. Pariwisata merupakan salah satu sektor yang mengalami perkembangan sangat

PANDUAN BIOTILIK. UNTUK PEMANTAUAN KESEHATAN DAERAH ALIRAN SUNGAI Selamatkan Sungai Kita Sekarang. Arah aliran air.

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia dikenal sebagai negara yang mempunyai potensi besar dalam

I. PENDAHULUAN. penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai saluran air bagi daerah

BAB III METODE PENELITIAN

ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. Aliran sungai dari sumber Kuluhan banyak dimanfaatkan oleh sebagian besar warga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Air merupakan komponen lingkungan yang penting bagi kehidupan yang

Analisis Konsentrasi dan Laju Angkutan Sedimen Melayang pada Sungai Sebalo di Kecamatan Bengkayang Yenni Pratiwi a, Muliadi a*, Muh.

TINJAUAN PUSTAKA. kelangsungan hidup yang panjang. Oleh karena itu peran bentos dalam

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Sungai Tabir terletak di Kecamatan Tabir Kabupaten Merangin. Sungai Tabir

ANALISIS KUALITAS AIR SUNGAI KONAWEHA PROVINSI SULAWESI TENGGARA

JENIS-JENIS GASTROPODA DI SUNGAI KUYUNG DESA KUMBUNG NAGARI LUNANG UTARA KECAMATAN LUNANG KABUPATEN PESISIR SELATAN

Determination of the Air Hitam River, Pekanbaru City Water Quality Based Biotic Index Macrozoobenthos

STUDI LAJU DEOKSIGENASI PADA SUNGAI CIKAPUNDUNG UNTUK RUAS SILIWANGI - ASIA AFRIKA, BANDUNG

Nilai fisikokimia perairan

Jurnal Florea Volume 2 No. 1, April 2015 (41-46) Diah Ari Dwitawati 1), Ani Sulistyarsi 2), Joko Widiyanto 3) 1,2,3)

PENDAHULUAN. seperti analisis fisika dan kimia air serta biologi. Analisis fisika dan kimia air

PENGUKURAN TINGKAT PENCEMARAN SUMBER MATA AIR YANG TERDAPAT DI KOTA KEDIRI MENGGUNAKAN PARAMETER ORGANISME MAKROZOOBENTOS

sedangkan sisanya berupa massa air daratan ( air payau dan air tawar ). sehingga sinar matahari dapat menembus kedalam air.

STUDI KUALITAS AIR UNTUK BUDIDAYA IKAN KARAMBA DI SUNGAI KAHAYAN (Water Quality Research For Fish Farming Keramba In The Kahayan River)

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Struktur Komunitas Makrozoobenthos

TEKNIK ANALISIS DATA PARAMETER FISIKA KIMIA AIR DI SUNGAI KAMPAR KANAN, PROPINSI RIAU MENGGUNAKAN WATER QUALITY INDEX

Estimasi Populasi Gastropoda di Sungai Tambak Bayan Yogyakarta

TINJAUAN PUSTAKA. penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai daerah tangkapan air

BAB III METODE PENELITIAN. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian

BAB I PENDAHULUAN. (Barus, 1996). Indonesia sebagai negara kepulauan yang terdiri dari pulau

Bencana Baru di Kali Porong

ANALISIS TUTUPAN LAHAN TERHADAP KUALITAS AIR SITU BURUNG, DESA CIKARAWANG, KABUPATEN BOGOR

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Keanekaragaman Makroinvertebrata Air Pada Vegetasi Riparian

TINJAUAN PUSTAKA. Sungai merupakan suatu bentuk ekosistem akuatik yang mempunyai

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

STATUS KUALITAS AIR SUNGAI SEKITAR KAWASAN PENAMBANGAN PASIR DI SUNGAI BATANG ALAI DESA WAWAI KALIMANTAN SELATAN

BIOTILIK METODE PEMANTAUAN KESEHATAN SUNGAI PARTISIPATIF. Daru Setyo Rini, SSi., MSi.

Stasiun 1 ke stasiun 2 yaitu + 11,8 km. Stasiun '4.03"LU '6.72" BT. Stasiun 2 ke stasiun 3 yaitu + 2 km.

STUDI KELIMPAHAN DAN JENIS MAKROBENTHOS DI SUNGAI CANGAR DESA SUMBER BRANTAS KOTA BATU. *

BAB I PENDAHULUAN. budidaya (Ditjenkan,1985). Pada tahun 2001, menurut Direktorat Jendral

STATUS TROFIK PERAIRAN RAWA PENING KABUPATEN SEMARANG. Skripsi. Untuk memenuhi sebagian persyaratan. guna memperoleh gelar Sarjana Sains

Agus Sutanto Purwasih

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BIOMONITORING Introduksi

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. banyak, bahkan oleh semua mahkluk hidup. Oleh karena itu, sumber daya air

TINJAUAN PUSTAKA. Air permukaan yang ada seperti sungai dan situ banyak dimanfaatkan

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Tapanuli Tengah merupakan salah satu wilayah yang berada di Pantai Barat Sumatera. Wilayahnya berada 0

STUDI KUALITAS AIR DI SUNGAI DONAN SEKITAR AREA PEMBUANGAN LIMBAH INDUSTRI PERTAMINA RU IV CILACAP

TINJAUAN PUSTAKA. Estuari oleh sejumlah peneliti disebut-kan sebagai area paling produktif,

TINJAUAN PUSTAKA. Air merupakan zat yang paling penting dalam kehidupan setelah udara. Oleh

Simulasi Penentuan Indeks Pencemaran dan Indeks Kualitas Air (NSF-WQI)

BAB I PENDAHULUAN. Sungai merupakan perairan terbuka yang mengalir (lotik) dan mendapatkan

PERUBAHAN LINGKUNGAN PERAIRAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP BIOTA AKUATIK* PENDAHULUAN

2.2. Struktur Komunitas

BAB I PENDAHULUAN. lainnnya yang tersebar luas dari Sabang sampai Merauke. Menurut Ummi (2007)

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2013 sampai dengan April 2014.

I. PENDAHULUAN. memiliki keanekaragaman spesies tertinggi di dunia, jumlahnya lebih dari

disinyalir disebabkan oleh aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian, perkebunan, maupun hutan tanaman dan hutan tanaman

PENENTUAN TINGKAT KESEHATAN SUNGAI BERDASARKAN STRUKTUR KOMUNITAS MAKROAVERTEBRATA DI SUNGAI CIHIDEUNG, KABUPATEN BOGOR

KELIMPAHAN MAKROZOOBENTOS DI PERAIRAN SITU PAMULANG

KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN PERIFITON DI PERAIRAN SUNGAI DELI SUMATERA UTARA SUSANTI LAWATI BARUS

KEPADATAN POPULASI IKAN JURUNG (Tor sp.) DI SUNGAI BAHOROK KABUPATEN LANGKAT

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Desa Tulabolo adalah bagian dari wilayah Kecamatan Suwawa Timur,

Bioassessment dan Kualitas Air Daerah Aliran Sungai Legundi Probolinggo Jawa Timur

BAB I PENDAHULUAN. akan mengakibatkan terjadinya perubahan faktor fisika, kimia, dan biologi di

1.5. Lingkup Daerah Penelitian Lokasi, Letak, Luas dan Kesampaian Daerah Penelitian Lokasi dan Letak Daerah Penelitian...

Tersedia online di: Jurnal Teknik Lingkungan, Vol 4, No 4 (2015)

BAB I PENDAHULUAN. Air merupakan komponen lingkungan yang sangat penting bagi. kehidupan. Air merupakan kebutuhan utama bagi proses kehidupan di bumi,

IDENTIFIKASI KUALITAS PERAIRAN DI SUNGAI KAHAYAN DARI KEBERADAAN SISTEM KERAMBA STUDI KASUS SUNGAI KAHAYAN KECAMATAN PAHANDUT KALIMANTAN TENGAH

: Baku mutu air kelas I menurut Peraturan Pemerintah RI no. 82 tahun 2001 (hanya untuk Stasiun 1)

KOMPOSISI INSEKTA DI BATANG KURANJI KOTA PADANG SUMATERA BARAT ABSTRACT

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

ANALISIS KANDUNGAN LOGAM BERAT MERKURI (Hg) DAN TIMBAL (Pb) PADA IKAN NIKE (Awaous melanocephalus) DI MUARA SUNGAI BONE KOTA GORONTALO

II. TINJAUAN PUSTAKA

Transkripsi:

KUALITAS AIR SUNGAI BONE (GORONTALO) BERDASARKAN BIOINDIKATOR MAKROINVERTEBRATA WATER QUALITY OF BONE RIVER IN GORONTALO BASED ON MACROINVERTEBRATES BIOINDICATOR Rotua Lelawaty Simamora 1), Amran Achmad 2), dan Inayah Yasir 3) 1) Pusat Pengelolaan Ekoregion Sulawesi dan Maluku - KLH 2) Laboratorium Konservasi, Fakultas Kehutanan, Universitas Hasanuddin 3) Laboratorium Biologi Laut, Fakultas Ilmu Kelautan, Universitas Hasanuddin Alamat Korespondensi : Rotua Lelawaty Simamora PPE Sulawesi, Maluku dan Papua Kementerian Lingkungan Hidup Jl. Perintis Kemerdekaan KM 17, Makassar HP : 0812342645865 Email : lelawatykarim@yahoo.com

Abstrak Titik berat pemantauan kualitas air sungai selama ini adalah parameter fisika-kimia air. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kualitas air Sungai Bone di Propinsi Gorontalo dengan teknik biomonitoring menggunakan bioindikator makroinvertebrata, menggunakan parameter kekayaan taksa (Taxa Richness), persentase Ephemeroptera, Plecoptera dan Trichoptera (%EPT), dan Family Biotic Index. Pengambilan contoh biota dilakukan pada enam stasiun sampling yang diletakkan secara purposive dengan mempertimbangkan ragam pemanfaatan sempadan sungai dan gangguan hidraulik sungai. Satu diantara 6 stasiun diletakkan pada bagian sungai yang ekosistemnya diperkirakan masih baik sebagai pembanding. Pengambilan contoh biota dilakukan dengan handnet pada bagian kanan, kiri dan tengah sungai. Contoh biota diidentifikasi sampai tingkat famili. Pada bagian-bagian tertentu Sungai Bone telah mengalami penurunan kekayaan taksa antara 12 sampai 20 family menjadi hanya 6 family pada bagian hilir. Persentase EPT juga menurun di bagian hilir. Pada bagian yang masih baik didapatkan EPT lebih dari 60%, sementara di bagian hilir, EPT kurang dari 1%. Berdasarkan berbagai parameter biotik yang diperiksa, Sungai Bone telah mengalami pencemaran dan gangguan ekosistem pada level menengah, dan bagian paling hilir tercemar berat. Kata kunci : biomonitoring, kekayaan taksa, family biotic index Abstract Water quality monitoring has been focusing on physical-chemistry parameters. This study aims to evaluate the water quality of Bone River in Gorontalo Province by using biomonitoring technique which used macroinvertebrates as bioindicator. The metrics used in the examination were Taxa Richness, percentage of Ephemeroptera, Plecoptera and Trichoptera (%EPT), and Family Biotic Index (FBI). Samples were obtained from 6 sampling stations. They were located purposively by considering various use of landbase, and hydraulic disturbance of the river. One of the stations was located in part of the river considered as still having good ecosystem. Macroinvertebrates samples were taken by handnet on the right, midlle and left part of the river. Biota samples identified up to family level. The finding reveal that in some part of Bone River, there has been a decline of taxa from 12-20 to 6 families. The percentage of EPT at the good part of the river, it is still 60% while at the downstream less than 1%. The examination of various biotic parameters reveal that pollution and ecosystem disturbance have happened in Bone River at medium level, while the downstream part there has been high level of pollution. Key words : biomonitoring, taxa richness, family biotic index

PENDAHULUAN Air sebagai integrator dalam sebuah daerah aliran sungai (DAS), akan mencerminkan segala tekanan antropogenik yang dialaminya. Berbagai tekanan tersebut, secara kualitatif dan kuantitatif dapat menyebabkan kepunahan pada tingkat yang berbeda-beda pada organisme, dan bahkan pada seluruh taxa (Sioli, 1998). Dengan demikian organisme dalam suatu ekosistem sungai dapat dijadikan indikator untuk menentukan tingkat kesehatannya. Norris, dkk., (1999) dalam Sudarso (2009) menyebutkan perlunya penggunaan materi biologi sebagai bioindikator dalam manajemen perairan. Data biologi lebih berkaitan langsung dengan kondisi ekologi atau kesehatan ekosistem perairan daripada data kimia (Campbell, 2002). Karakter biota seperti keberadaan jenis atau kelimpahannya dapat menjadi petunjuk adanya perubahan status atau kondisi suatu lingkungan (Spellman, dkk., 2001). Bioindikator makroinvertebrata bentik memiliki beberapa kelebihan, (1) mudah dijumpai dimana saja, (2) spesiesnya kaya, memiliki beragam respon terhadap tekanan lingkungan, (3) sifatnya menetap, (4) siklus hidupnya panjang, dan (5) dapat menunjukkan bukti mengenai suatu kondisi dalam rentang waktu yang panjang (Spellman, dkk., 2001). Menurut Arimoro, dkk., (2008) dalam Sudarso (2009), fauna makrobentik/bentos telah digunakan secara luas sebagai indikator biologi guna menilai status kesehatan dan integritas ekologi sebuah sungai, karena hewan tersebut berperan penting dalam rantai makanan. Karena alasan-alasan tersebut, makroinvertebrata berperan sebagai continuous monitor bagi air yang didiaminya (Spellman, dkk., 2001). Makin tinggi keanekaragamannya, makin rendah tingkat pencemarannya (Spellman, 1998). Koridor Sungai Bone merupakan sarana konservasi air bagi wilayah di sekitarnya karena menyediakan berbagai kebutuhan air, mulai dari air bersih, air untuk pertanian hingga kegiatan pariwisata (Balihristi, 2008). Beberapa ancaman terhadap ekosistem sungai Bone adalah pendangkalan sungai, penebangan kayu illegal dan pertambangan liar, (Balihristi, 2011), tambang galian pasir, dan pemukiman. Praktek penambangan emas tanpa ijin menyebabkan pencemaran merkuri (Hg) terhadap Sungai Bone pada bagian tengah sampai ke hilir (Balihristi, 2011). Pengelolaan Kualitas Air Sungai Bone selama ini hanya menitikberatkan pada pemantauan secara fisika-kimia. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kualitas air Sungai Bone dengan teknik biomonitoring menggunakan bioindikator makroinvertebrata. BAHAN DAN METODE PENELITIAN Lokasi Penelitian

Penelitian kualitas air Sungai Bone dilakukan di Gorontalo, meliputi ruas Sungai Bone pada bagian Talubolo (Kabupaten Bone Bolango) sampai hilir (Kota Gorontalo). Desain dan Variabel Penelitian Metode sampling yang digunakan adalah purposive sampling. Stasiun sampling dalam penelitian ini terdiri dari enam stasiun yang ditentukan berdasarkan kombinasi ragam pemanfaatan sempadan sungai dan aksesibilitas lokasi. Salah satu stasiun ditempatkan pada bagian sungai yang diperkirakan masih bagus dan alami. Ruas sungai dengan kondisi sempadan yang yang masih baik dan alami merupakan habitat yang paling disukai oleh makroinvertebrata sehingga diperkirakan struktur komunitas di tempat tersebut paling lengkap dan dapat menjadi pembanding bagi ruas sungai yang sudah terganggu atau tercemar. Stasiun sampling dalam penelitian ini berturut-turut sampai ke bagian paling hilir yaitu Talubolo (TB), Dumbaya Bulan (DB), Pintu Air (PA), PDAM (AM), Talumolo 2 (TM2) dan Talumolo 1 (TM1). Variabel utama yang diamati dalam penelitian ini adalah jumlah dan family makroinvertebrata perairan. Sampling makroinvertebrata menggunakan D-frame net (mesh size 500 mikron). Pengumpulan Data Pengambilan data dilakukan pada bulan Oktober 2012. Sampling dilakukan pada setiap stasiun dengan teknik mengaduk dengan kaki (kick methode) pada bagian berbatu dan berarus deras dan teknik menyapu dengan jaring (sweep methode) pada bagian tepi sungai di antara tumbuhan air. Pengambilan sampel dilakukan selama 6 menit dengan 3 kali pengambilan, masing-masing 2 menit. Pengambilan dilakukan di tengah, di sisi kanan dan kiri sungai. Identifikasi biota dilakukan sampai tingkat family oleh petugas berpengalaman. Parameter fisika-kimia air seperti suhu, ph, kekeruhan (turbidity), daya hantar listrik (DHL) dan oksigen terlarut atau dissolved oxygen (DO) serta padatan terlarut atau total dissolved solid (TDS) tetap diukur di lapangan. Pengamatan juga dilakukan terhadap kondisi tutupan dan penggunaan lahan di sempadan sungai. Analisis Data Data biota makroinvertebrata yang diperoleh sekurang-kurangnya akan terdiri atas (1) family makroinvertebrata dan (2) jumlah individu tiap family. Data tersebut kemudian dianalisis dengan menggunakan parameter (1) Kekayaan taksa (Taxa Richness), (2) Kekayaan taksa biota sensitif pencemaran, yaitu Ephemeroptera, Plecoptera dan Trichoptera (EPT Taxa Richness), (3) Persentase EPT, dan (4) Hilsenhoff Family Biotic Index (FBI).

HASIL PENELITIAN Kondisi Sungai Bone dalam area studi dan parameter fisika-kimia yang diukur di lapangan bervariasi pada setiap stasiun (Tabel 1). Gangguan yang tampak di lapangan adalah pengubahan morfologi sungai, penambangan pasir, limbah domestik dan berkurangnya penutupan lahan di sempadan sungai. Dari enam stasiun sampling, terkumpul 1733 ekor makroinvertebrata. Dari jumlah tersebut terindentifikasi 29 family makroinvertebrata, satu family dari Decapoda belum teridentifikasi. Dari semua family, 21 family diantaranya merupakan Insecta (serangga). Selebihnya merupakan family dari Decapoda, Gastropoda dan Oligochaeta. Ada tiga family yang selalu dijumpai pada seluruh stasiun, yaitu dua kelompok serangga, Baetidae (Ephemeroptera) dan Chironomidae merah (Diptera), dan satu kekerangan, yaitu Thiaridae (Mesogastropoda). Kekayaan family setiap stasiun dapat dilihat pada Gambar 1. Diantara makroinvertebrata yang dijumpai terdapat beberapa family yang masuk ke dalam order Ephemeroptera dan Plecoptera. Dari jumlah keseluruhan individu sampel, dapat ditentukan persentase relatif jumlah makroinvertebrata yang termasuk ke dalam order EPT terhadap keseluruhan sampel seperti terlihat pada Gambar 2. Berdasarkan jumlah masing-masing family makroinvertebrata dan nilai toleransi terhadap pencemaran dapat ditentukan Hilsenhoff Family Biotic Indeks (FBI). FBI Sungai Bone untuk setiap stasiun tercantum pada Gambar 3. PEMBAHASAN Penelitian ini memperlihatkan bahwa kualitas air terbaik ada di DB dan PA, sedangkan kualitas air yang paling rendah ada di TM1. DB dan PA memiliki kekayaan family yang tinggi, sementara TM1 memiliki hanya 6 family. Peningkatan kanekaragaman biota berkorelasi dengan kesehatan ekosistem (Barbour, dkk., 1999). Antara stasiun DB dan PA, kondisi stasiun, substrat, parameter fisika, dan kimia air hampir sama. Perbedaan adalah dari segi gangguan hidraulik dan kerapatan tutupan. Untuk kedua faktor tersebut, DB lebih mewakili kondisi ekosistem yang bagus. Sedangkan di PA terdapat pengaruh bendung dan bronjong. Mengacu pada kekayaan family stasiun DB, maka penurunan kekayaan seperti yang terjadi di TB, AM, TM2, dan TM1, merupakan petunjuk gangguan ekosistem dan kualitas air Sungai Bone yang semakin tinggi ke hilir (TM1). Penurunan kualitas ekosistem tersebut, jika dilihat dari segi pemanfaatan lahan dan kerapatan tutupan di sempadan, diikuti pula dengan penurunan kekayaan taksa. Dua dari tujuh ordo serangga akuatik yang dijumpai adalah serangga yang sensitif terhadap pencemaran yaitu Ephemeroptera dan Trichoptera

(Nugroho, 2006), sedangkan Plecoptera yang juga merupakan serangga sensitif pencemaran (Nugroho, 2006), tidak dijumpai. PA menjadi stasiun dengan family EPT terbanyak meskipun terdapat potensi pencemaran dan gangguan hidraulik di tempat tersebut. Dari kekayaan family EPT, pengaruh kondisi sempadan dan gangguan hidraulik terhadap penurunan jumlah family EPT baru tampak pada stasiun AM, TM2 dan TM1. Penurunan kondisi tutupan dan peningkatan gangguan di tempat-tempat tersebut diikuti dengan penurunan kekayaan family EPT. Pada stasiun TB dan DB, yang relatif tidak ada gangguan hidraulik dan kondisi fisika-kimia relatif sama, memiliki jumlah family EPT lebih rendah dari PA yang letaknya lebih di hilir. Hal ini antara lain dapat disebabkan karena substrat TB yang lebih didominasi batuan yang terikat kuat pada sedimen. Embeddednes dapat menjadi salah satu sumber variasi kondisi mikrohabitat antarstasiun. Selain itu, yang tidak diketahui adalah besaran potensi pencemaran limbah domestik yang bersumber pada pemukiman dan ternak dan limbah penambangan emas (Balihristi, 2011). Baik parameter kekayaan taksa (total) maupun EPT sama-sama menunjukkan bahwa TM1 memiliki kualitas air dan ekosistem yang paling rendah. Kondisi kualitas air yang septik, ditandai dengan kebauan yang tajam (Spellman, dkk., 2001) dan perubahan morfologi sungai karena adanya pembetonan dan pengangkatan substrat oleh kegiatan penambangan pasir di TM1 menjadi alasan kuat menurunnya jumlah makroinvertebrata. Dalam hal ini, parameter kekakayaan taksa yang sangat berbeda antara TB, DB, PA, dan AM (16-20 family) dengan TM2 dan TM1 (12 dan 6 family) menunjukkan perbedaan kualitas air. Begitu pula dengan EPT yang hanya 1 family dan jumlahnya hanya 1 ekor pada stasiun TM1. Keanekaragaman yang rendah merupakan salah satu ciri perairan pada zona septik (active decomposition) dan zona polusi (Spellman, dkk., 2001). Ordo Ephemeroptera, Plecoptera dan Trichoptera (EPT) merupakan kelompok yang sensitif terhadap pencemar seperti logam dan insektisida (Iowater, 2005). Semakin tinggi %EPT, kualitas air semakin baik. Persentase EPT tertinggi adalah stasiun DB, yaitu 64,83% (Gambar 2). Berikutnya stasiun AM, yakni 63,41%. Stasiun TB, meskipun letaknya lebih di hulu dan memiliki family EPT lebih banyak, ternyata tidak memiliki persentase EPT yang tinggi. Diantara enam stasiun sampling, persentase EPT di stasiun TB hanya berada di urutan kelima. Jadi, kualitas air di stasiun TB juga rendah, dengan EPT sejumlah 41,1%. Selisihnya lebih dari 20% dengan stasiun DB yang memiliki %EPT terbaik. Embeddednes batuan yang relatif tinggi dapat menjadi faktor pembatas populasi EPT di TB. Jika batuan tertanam kuat, tempat hidup makroinvertebrata menjadi lebih sedikit (Spellman, dkk., 2001). EPT

merupakan kelompok yang juga banyak dijumpai diantara batuan (Spellman, dkk., 2001). Empat stasiun, PA, AM, TM2 dan TM sama-sama memiliki gangguan hidraulik, namun %EPT untuk AM termasuk tinggi. Persentase EPT terendah pada TM1 sebesar 0,7%, sesuai karakteristik pencemaran dan kerusakan ekosistem yang terlihat di lapangan, kondisinya tidak mendukung kehidupan biota sensitif seperti mayoritas kelompok EPT. Kondisi air di TM1 juga sangat keruh (441 NTU). Berdasarkan %EPT, kondisi terbaik ada di stasiun DB. Di stasiun DB, Sungai Bone memiliki sempadan selebar sekitar 200 m yang aman dan alami. Vegetasi di sisi kiri sungai terlihat sangat rapat. Di stasiun PA, kualitas air menurun. Meskipun kekayaan family EPT paling tinggi, namun jumlah individu EPT yang ditemukan relatif rendah (46,6%). Hal ini diduga karena kiri kanan tebing sungai yang tadinya alami, diintervensi dengan konstruksi pasangan batu (bronjong), mengakibatkan mikrohabitat terganggu. Keberadaan bendung/pintu air memberikan pengaruh terhadap hidraulik sungai (Maryono, 2007). Akan tetapi belum dapat dipastikan bahwa rendahnya jumlah individu EPT di stasiun PA dipengaruhi hal tersebut. Pada stasiun AM, kualitas air cenderung bagus. Di AM lebar sempadan sekitar 200 m relatif bebas pemukiman. Pada stasiun TM2, kualitas air kembali menurun, dengan EPT sebanyak 56,48%. Hal ini diduga disebabkan oleh ancaman limbah domestik dari pemukiman dan ternak, serta penambangan pasir. Menurunnya %EPT di TM2, diiringi peningkatan Tubificidae yang menjadi salah satu family dominan. Tubificidae merupakan makroinvertebrata yang sangat toleran terhadap bahan organik yang tinggi (Ingram, dkk., 1977). Secara umum rata-rata %EPT Sungai Bone adalah 45,52%. Dapat dikatakan Sungai Bone cenderung tercemar pada level menengah kecuali pada TM1, tercemar berat dengan %EPT kurang dari 1%. Untuk menghitung Hilsenhoff Family Biotic Indeks (FBI), tingkat toleransi terhadap pencemaran (tolerance value) diperoleh dari literatur. Informasi tingkat toleransi salah satu family, Prosopistomatidae, tidak diketahui, sehingga FBI dihitung tanpa mengikutkan Prosopistomatidae. Makin tinggi indeks, makin buruk kualitas airnya (Hilsenhoff, 1988). Berdasarkan FBI, stasiun DB kembali menjadi stasiun dengan kualitas air terbaik (Good), dan TM1 paling rendah (poor). Tiga stasiun PA, AM dan TM2 berada pada kelas yang sama, yaitu Fair. Ketiga stasiun tersebut dan juga TM1 sama-sama memiliki gangguan hidraulik terutama yang disebabkan oleh pembongkaran substrat sungai. Dalam hal ini pola kecenderungan FBI mendekati pola gangguan yang bersumber dari penggunaan lahan, perubahan faktor hidraulik maupun kerapatan penutupan sempadan sungai. Terkait dengan kualitas air di TB, fairly poor, belum dapat dijelaskan hubungan antara FBI dengan kegiatan

antropogenik di sempadannya. Secara fisik kerapatan tutupan di TB bagus dan secara hidraulik, ruas sungai di TB juga relatif tidak terganggu. Secara umum rata-rata FBI dari 6 stasiun sampling di Sungai Bone adalah 5,61 yang berarti kualitas air Fair atau sedang. Hal yang menarik dari studi ini, empat stasiun dengan %EPT tertinggi dan FBI rendah (kualitas air semakin baik), adalah juga empat stasiun dengan dominasi serangga family Baetidae dari order Ephemeroptera. Makroinvertebrata yang lebih tahan terhadap pencemaran seperti Chironomidae merah (Diptera), dan satu kekerangan, yaitu Thiaridae (Mesogastropoda) muncul pada seluruh stasiun. Menurut Oey, dkk (1978) dalam Fachrul (2007) dengan terjadinya perubahan faktor fisika, kimia dan biologi perairan, maka jenis biota air yang mempunyai daya toleransi tinggi akan mengalami peningkatan dan penyebaran yang luas. Organisme yang toleran dapat tumbuh dan berkembang dalam kisaran kondisi lingkungan yang kualitasnya buruk. Sebaliknya, jenis biota air yang tidak toleran akan tersebar pada perairan tertentu. KESIMPULAN DAN SARAN Ekosistem Sungai Bone cenderung terganggu dan kualitas airnya tercemar pada level sedang/menengah dengan kekayaan family makroinvertebrata bervariasi antara 12-20 family dengan rata-rata EPT 45,52% dan FBI 5,61 (Fair), kecuali pada bagian hilir yang tercemar berat dengan 1 family dan EPT kurang dari 1% dan FBI 6,81 (Poor). Ruas Sungai Bone pada bagian Dumbaya Bulan memiliki kondisi yang terbaik berdasarkan parameter kekayaan taksa, persentase EPT dan family biotic index, dan bagian Talumolo 1 merupakan kondisi yang terburuk berdasarkan semua parameter. Evaluasi kualitas air secara biologi atau biomonitoring dianjurkan menggunakan beberapa parameter dan memperluas area studi Sungai Bone baik secara longitudinal (hingga ke hulu) maupun secara lateral (mencakup sempadan) untuk melengkapi informasi mengenai pengaruh dinamika koridor sungai terhadap ekosistem maupun kualitas air. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis menyampaikan terimakasih kepada Kementerian Lingkungan Hidup yang telah mendanai proses penelitian, Balihristi Propinsi Gorontalo, BLH Kabupaten Gorontalo, Ecoton dan berbagai pihak yang telah membantu proses penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Badan Lingkungan Hidup, Riset dan Teknologi Informasi (Balihristi) Propinsi Gorontalo. (2008). Profil Sungai Gorontalo. Gorontalo. Balihristi.

Badan Lingkungan Hidup, Riset dan Teknologi Informasi (Balihristi) Propinsi Gorontalo. (2011). Indeks Kualitas Lingkungan Hidup Provinsi Gorontalo 2011. Gorontalo. Balihristi. Barbour, M.T., Gerritsen, J., Snyder, B.D. dan Stribling, J.B. (1999). Rapid Bioassessment Protocols for Use in Streams and Wadeable Rivers: Periphyton, Benthic Macroinvertebrates and Fish, Second Edition. EPA 841-B-99-002. U.S. Environmental Protection Agency; Office of Water; Washington, D.C. (online) http://www.epa.gov/owow/monitoring. techmon.html diakses 8 Februari 2013 Campbell, I. C. (2002). Biological Monitoring and Assessment using Invertebrates. In F. R. Burden, I. McKelvie, U. Forstner, & A. Guenther, Environmental Monitoring Handbook. New York, United States. McGraw-Hill. Fachrul, M. F. (2007). Metode Sampling Bioekologi. Jakarta. Bumi Aksara. Hilsenhoff, W. L. (1988). Rapid Field Assessment of Organic Pollution with a Family-level Biotic Index. Journal of The North American Benthological Society, 65-68. Ingram, B. A., Hawking, J. H., & Shiel, R. J. (1977). Aquatic Life in Freshwater Ponds: A Guide to Identification and Ecology of Life in Aquaculture Pods and Farm Dams in South Eastern Australia. Albury. NSW: Cooperative Research Centre for Freshwater Ecology. IOWATER. (2005). Benthic Macroinvertebrates Indexing www.iowater.net/publication/ benthicmanual.pdf (online) diakses 11 Februari 2013 Maryono, A. (2007). Restorasi Sungai. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta Nugroho, A. (2006). Bioindikator Kualitas Air. Jakarta. Universitas Trisakti. Sioli, H. (1998). Tropical Continent Habitats. In M. E. Soule, Conservation Biology (pp. 383-393). Michigan. University of Michigan. Spellman, F. R. (1998). The Science of Water: Concepts & Applications. Lancaster, Pennsylvania.Technomic Publication. Spellman, F. R., & Drinan, J. E. (2001). Stream Ecology and Self Purification. Pennsylvania.Technomic Publishing Company, Inc.. Sudarso, Y. (2009). Potensi Larva Trichoptera sebagai Bioindikator Akuatik. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia, 207-223.

40 31 30 10 20 18 20 7 20 8 6 16 5 12 3 6 10 1 0 TB DB PA AM Kekayaan Taksa EPT TM2 TM1 S.Bone Kekayaan Taksa Gambar 1. Kekayaan Taksa Sungai Bone Tiap Stasiun, Oktober 2012 70.00 60.00 50.00 40.00 30.00 20.00 10.00 0.00 TB DB PA AM TM2 TM1 Gambar 2. Persentase EPT Sungai Bone tiap stasiun, Oktober 2012 8.00 6.00 4.00 2.00 0.00 TB DB PA AM TM2 Gambar 3. FBI Sungai Bone, Oktober 2012 TM1

Tabel 1. Kondisi Koridor Sungai Bone dan parameter fisika-kimia air setiap stasiun, Oktober 2012 Stasi un TB DB PA AM TM 2 TM 1 Koordinat S 00 30'11.6'' E 123 15' 47.9'' S 00 30'32.2'' E 123 14' 47.0'' S 00 32' 10.32'' E 123 10' 32.3'' S 00 31'57.8'' E 123 06'30.3'' S 00 31' 59.5'' E 123 04' 44.6'' S 00 31'42.1'' E 123 03' 58.9'' Lebar (m) Kedal am-an (cm) Sub-strat Suhu ( C) ph DO (mg /l) DHL (ms/ cm) Turbidity (NTU) TDS (mg/l) 19,9 10-40 Batuan 31.0 7.74 8.5 87.2 288 43.0 -Pemukiman 56 55-100 Batu, pasir, kerikil 82 40-70 Batu, kerikil, pasir, lumpur 37 30-120 Pasir, batu, kerikil 67 33-90 Kerikil, pasir Penggunaan Lahan dan Kerapatan Tutupan sempadan (dalam jarak 200m) - Kebun campuran - Jalan raya Kanan 2) Kiri 2) - Lalu lintas ternak - tutupan ±80% 28.7 8.14 8.0 99.1 360 49.4 - kebun (tanaman budidaya) - penyebrangan (rakit) - Lalu lintas ternak - tutupan ±20% 27.3 7.99 7.4 96.1 239 47.2 - pemukiman - jalan raya - MCK, cuci mobil - tutupan ±20% 28.0 7.97 8.5 99.6 361 49.2 - kebun campuran - tutupan ±20% 27.3 7.47 8.2 96.5 199 47.5 - penambangan pasir (dengan pompa hisap) - pemukiman - kebun - Lalulintas ternak - tutupan ±20% 42 55-230 Pasir 27.0 7.79 7.0 37.2 441 18.3 - pemukiman padat - MCK - tempat pembuangan sampah - tutupan ± 10% 1) Pengukuran di 2-3 titik 2) Kanan dan kiri petugas sampling jika menghadap ke hilir - Vegetasi alami - Kebun campuran - Lalu lintas ternak - Tutupan ±75% (ada bekas tebangan pohon) - vegetasi alami - penyebrangan - tutupan ± 90% - kebun campuran (dominasi kelapa) - tutupan ±70% - Kebun campuran - Tutupan ±50% - penambangan pasir intensif (pompa hisap) - pemukiman - kebun - Lalulintas ternak - tutupan ±25% - penambangan pasir intensif (manual) - pemukiman - MCK - kebun - ternak - tutupan ± 20% Gangguan hidraulik sungai - bronjong pasangan batu - bendung - Pengalihan alur sungai - Pembongkaran pasir/ kerikil - pengangkat-an substrat dasar sungai - pembetonan tebing sungai (kanan) - pengangkat-an substrat dasar sungai 9