KEWENANGAN ACEH PASCA-PEMBERLAKUAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Keempat daerah khusus tersebut terdapat masing-masing. kekhususan/keistimewaannya berdasarkan payung hukum sebagai landasan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG KEWENANGAN PEMERINTAH YANG BERSIFAT NASIONAL DI ACEH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG KEWENANGAN PEMERINTAH YANG BERSIFAT NASIONAL DI ACEH

BAB II OTONOMI KHUSUS DALAM SISTEM PEMERINTAHAN NEGARA MENURUT UUD A. Pemerintah Daerah di Indonesia Berdasarkan UUD 1945

-1- QANUN ACEH NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH ACEH TAHUN

PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2006 TENTANG PEMERINTAHAN ACEH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

QANUN ACEH NOMOR 18 TAHUN 2013 TENTANG

PENJELASAN ATAS UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2006 TENTANG PEMERINTAHAN ACEH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

EXECUTIVE SUMMARY KAJIAN ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DAERAH YANG MEMILIKI OTONOMI KHUSUS

BAB I PENDAHULUAN. dibandingkan daerah lain di pulau Jawa yang merupakan pusat dari pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. Aceh dengan fungsi merumuskan kebijakan (legislasi) Aceh, mengalokasikan

QANUN ACEH NOMOR 13 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN DAN SUSUNAN PERANGKAT ACEH

BAB IV KETENTUAN OTONOMI DAERAH MENURUT UU NO 32/2004 DALAM MENGUATKAN NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA

SENTRALISASI DALAM UU NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH 1. Oleh: Muchamad Ali Safa at 2

Volume 11 Nomor 1 Maret 2014

WALIKOTA LHOKSEUMAWE

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 75/PUU-XV/2017

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2007 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. Sejarah peradaban Aceh begitu panjang, penuh liku dan timbul tenggelam.

BAB I PENDAHULUAN. optimalisasi peran Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (selanjutnya disebut

BAB I PENDAHULUAN. perubahan besar pada sistem ketatanegaraan Indonesia. Salah satu perubahan itu

DINAMIKA PEMBENTUKAN REGULASI TURUNAN UNDANG-UNDANG PEMERINTAHAN ACEH DYNAMICS OF FORMATION OF DERIVATIVES REGULATION THE LAW ON GOVERNMENT OF ACEH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2001 TENTANG

PANDANGAN DAN PENDAPAT ATAS TENTANG PEMERINTAHAN ACEH

BAB I PENDAHULUAN. melahirkan berbagai masalah di daerah. Hasil dari sumber daya alam yang

2 Sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengakui dan menghormati sat

BAB I PENDAHULUAN. Halaman 1. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Kabupaten Aceh Utara Tahun

R U J U K A N UNDANG UNDANG DASAR 1945 DALAM PUTUSAN-PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

LIPI PANDANGAN LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA TENTANG RUU PEMERINTAHAN ACEH DISAMPAIKAN DALAM RAPAT DENGAR PENDAPAT DENGAN PANSUS RUU PA DPR RI

BAB II KOMISI YUDISIAL, MAHKAMAH KONSTITUSI, PENGAWASAN

APA ITU DAERAH OTONOM?

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KONSTITUSIONALITAS PENGALIHAN KEWENANGAN PENGELOLAAN PENDIDIKAN MENENGAH DARI KABUPATEN/KOTA KE PROVINSI 1. Oleh: Muchamad Ali Safa at 2

BAB I PENDAHULUAN. yang paling berperan dalam menentukan proses demokratisasi di berbagai daerah.

BAB I PENDAHULUAN. Ide negara kesatuan muncul dari adanya pemikiran dan keinginan dari warga

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2008 TENTANG DEKONSENTRASI DAN TUGAS PEMBANTUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2007 TENTANG

KEWENANGAN KEPALA DAERAH DALAM MELAKUKAN INOVASI PENGEMBANGAN KAWASAN INDUSTRI DI DAERAH

Perekonomian Indonesia

KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR IX/MPR/2001 TENTANG PEMBARUAN AGRARIA DAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM

WALIKOTA LHOKSEUMAWE

BAB I PENDAHULUAN. Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

PARADIGMA BARU PEMBANGUNAN DAERAH 1

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DAERAH

QANUN ACEH NOMOR 8 TAHUN 2007 TENTANG BANTUAN KEUANGAN KEPADA PARTAI POLITIK DAN PARTAI POLITIK LOKAL

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan menganut asas

QANUN ACEH NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG PENANGGULANGAN BENCANA BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHAKUASA GUBERNUR ACEH,

PEMERINTAH KABUPATEN SAMPANG

*14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Negara Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan menganut Asas

QANUN ACEH NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG ACEH TAHUN

KOMISI INDEPENDEN PEMILIHAN ACEH

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

KEBIJAKAN PENDANAAN KEUANGAN DAERAH Oleh: Ahmad Muam

CATATAN KETERANGAN PEMERINTAH TENTANG RUU DESA.

I. PENDAHULUAN. daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri

KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR IX/MPR/2001 TAHUN 2001 TENTANG PEMBARUAN AGRARIA DAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM

SEJARAH BANK INDONESIA : KELEMBAGAAN Periode

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 104/PUU-XIV/2016 Keterwakilan Anggota DPD Pada Provinsi Baru Yang Dibentuk Setelah Pemilu 2014

BAB 1 PENDAHULUAN. seluruh dunia.kemiskinan telah menjadi isu global dimana setiap negara merasa berkepentingan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2007 TENTANG PARTAI POLITIK LOKAL DI ACEH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

-1- QANUN ACEH NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. kesempatan dan keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi

QANUN ACEH NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARA PEMILIHAN UMUM DAN PEMILIHAN DI ACEH

(The Decentralization of Investment: a Legal Study based on the Law Number 25 of 2007 regarding the Investment)

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 52 TAHUN 2001 TENTANG PENYELENGGARAAN TUGAS PEMBANTUAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT

4. Apa saja kendala dalam penyelenggaraan pemerintah? dibutuhkan oleh masyarakat? terhadap masyarakat?

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2007 TENTANG PARTAI POLITIK LOKAL DI ACEH

BAB IV ANALISIS JURIDIS DINAMIKA PENGATURAN PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN ANTARA PEMERINTAH DAN DAERAH DI INDONESIA

QANUN ACEH NOMOR 4 TAHUN 2011 TENTANG IRIGASI BISMILLAHIRAHMANIRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA

OTONOMI DAERAH PERTEMUAN 7

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2008 TENTANG DEKONSENTRASI DAN TUGAS PEMBANTUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN

QANUN KABUPATEN ACEH BARAT DAYA NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG

KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21/DPD RI/I/ TENTANG HASIL PENGAWASAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2008 TENTANG DEKONSENTRASI DAN TUGAS PEMBANTUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB 13 REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38 TAHUN 2007 TENTANG PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN ANTARA PEMERINTAH, PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI, DAN

PERAN STRATEGIS KEMENTERIAN DALAM NEGERI DALAM IMPLEMENTASI KEBIJAKAN OTONOMI DAERAH MENUJU PENCAPAIAN GOOD GOVERNANCE

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2007 TENTANG PARTAI POLITIK LOKAL DI ACEH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2010 TENTANG KERJA SAMA PEMERINTAH ACEH DENGAN LEMBAGA ATAU BADAN DI LUAR NEGERI

BAB I PENDAHULUAN. 1. Wilayah Indonesia dibagi ke dalam daerah-daerah, baik yang bersifat otonom maupun

PEMBAGIAN KEKUASAAN SECARA VERTIKAL

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2006 TENTANG PEMERINTAHAN ACEH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2001 TENTANG PENYELENGGARAAN DEKONSENTRASI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

-1- QANUN ACEH NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2004 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 51/PUU-XI/2013 Tentang Kewenangan KPU Dalam Menetapkan Partai Politik Peserta Pemilu

BAB I PENDAHULUAN. Hasil amandemen Undang-undang Dasar (UUD) 1945 telah membawa

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ARAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN HUKUM Dl BIDANG PENYELENGGARAAN DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Transkripsi:

KEWENANGAN ACEH PASCA-PEMBERLAKUAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2006 (Bentuk-Be KEWENANGAN ACEH PASCA-PEMBERLAKUAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2006 (Bentuk-Bentuk dan Peluang Sengketa Hubungan Pusat-Daerah) ABSTRAK Delfina Gusman, SH, MH dan Suharizal, SH,MH [1] Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam merupakan provinsi yang diberi kewenangan khusus untuk mengatur daerahnya sendiri, sebagaimana diatur dalam UU No. 11 Tahun 2006. Keistimewaan yang diberikan kepada Aceh menimbulkan peluang konflik, diantaranya masalah kewenangan, pilkada dan pengelolaan sumber daya alam. Peluang konflik bukan hanya terjadi di Aceh, melainkan juga akan terjadi di daerah lain berupa kecemburuan sosial. Pemerintah harus tanggap terhadap peluang konflik ini dalam rangka mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kata Kunci : Otonomi khusus, Konflik 1 / 18

PENDAHULUAN I. Latar Belakang Permasalahan Berdasarkan UUD 1945, bentuk negara yang digunakan di Indonesia adalah bentuk negara kesatuan yang menganut asas desentralisasi. Pengaturan bentuk Negara kesatuan sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 ayat (1) UUD)1945 yang berbunyi: Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik. Penggunaan asas desentralisasi dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia ditunjukkan dengan adanya pembagian daerah sebagaimana tertuang dalam UUD 1945 amandemen kedua Pasal 18 ayat (1) sampai dengan ayat (3) yang berbunyi: 1. Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah- daerah Propinsi dan daerah-daerah Propinsi itu dibagi atas Kabupaten dan Kota, yang tiap-tiap Propinsi, Kabupaten dan Kota mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan Undang-Undang; 2. Pemerintah Daerah Propinsi, Daerah Kabupaten dan Kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. 3. Pemerintah Daerah Propinsi, Daerah Kabupaten dan Kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum Ketentuan dalam UUD 1945 tersebut mengisyaratkan bahwa sistem pemerintahan daerah menurut UUD 1945 menempatkan pemerintah daerah sebagai bagian dari sistem pemerintahan Indonesia. Hal ini berhubung dianutnya bentuk negara kesatuan menurut Pasal 1 ayat (1) UUD 1945, artinya Negara Republik Indonesia menganut bentuk negara kesatuan yang didesentralisasi (Josef Riwu Kaho, 1991:6); Menurut Bagir Manan Pasal 18 UUD 1945 yang telah diamandemen lebih sesuai dengan gagasan daerah membentuk pemerintahan daerah sebagai satuan pemerintahan mandiri di daerah yang demokratis. Lebih lanjut Bagir Manan mengatakan bahwa asas dekonsentrasi adalah instrumen sentralisasi, karena itu sangat keliru kalau ditempatkan dalam sistematik pemerintahan daerah yang merupakan antitesis dari sentralisasi(bagir Manan, 2001: 9); 2 / 18

Mengacu kepada rumusan pasal di atas dan beberapa pasal-pasal berikutnya, pembagian daerah di Indonesia dikenal pula adanya satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau istimewa dan satuan-satuan masyarakat hukum adat yang merupakan pengaturan pemerintahan asli Indonesia yang sepanjang hal itu masih ada sebagaimana diatur dalam UUD 1945 Pasal 18 B. Ketentuan ini mengandung arti bahwa dalam susunan daerah baik Propinsi, Kabupaten maupun Kota dimungkinkan adanya pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa, namun pengertian daerah khusus dan istimewa dalam UUD 1945 ini belum ada batasan pengaturannya. Selain Daerah Propinsi, Kabupaten/Kota diatur pula adanya satuan masyarakat hukum adat sepanjang hal itu masih ada, satuan masyarakat hukum adat tersebut mempunyai teritorial yang mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Perkembangan selanjutnya dengan adanya perubahan paradigma otonomi daerah yang baru, berturut-turut ditetapkan dan diundangkannya UU yang mengatur pemerintah daerah, yaitu: 1. Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua. 2. Undang-undang Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Nanggroe Aceh Darussalam 3. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah 4. Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. 5. Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta. 3 / 18

6. Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh pengganti Undang-undang Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Nanggroe Aceh Darussalam. UUD 1945, baik sebelum maupun setelah amandemen, memberi ruang hadirnya praktik hubungan pusat dan daerah yang didasarkan kepada karakter khas suatu daerah. Dalam UUD 1945 hasil amandemen, misalnya, eksplisit ditegaskan, negara mengakui dan menghormati satuan- satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa. Berdasarkan rumusan itu, UUD 1945 memungkinkan munculnya praktik otonomi daerah yang berbeda antara suatu daerah dan daerah lain. Namun, untuk mengatur lebih jauh bagaimana perbedaan derajat (khusus maupun istimewa, UUD 1945 menyerahkannya kepada undang-undang. Dalam praktik, sejak awal kemerdekaan, semua daerah diatur seragam dan semua undang-undang tentang pemerintahan daerah punya tafsir berbeda mengenai makna khusus dan istimewa itu.perkembangan â berbedaâ mulai terasa sejak tahun 1999. Pemerintah tak mungkin lagi mengaturnya secara seragam. Bahkan, untuk Aceh dan Papua, beberapa ketetapan MPR mengamanatkan kedua daerah itu diberlakukan otonomi khusus. Untuk memenuhi amanat itu, tahun 2001 ditetapkan UU Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Aceh dan UU No 21/2001 tentang Otonomi Khusus Papua. Namun, pemberian status otonomi khusus bagi Aceh dan Papua tak diikuti dengan paradigma baru. Akibatnya, dalam mengelola otonomi khusus, campur tangan pemerintah kian dominan. Campur tangan itu jelas terlihat dalam menyikapi aturan pemilihan kepala daerah. Sejauh ini, pemerintah memaksakan pola dan persyaratan umum dalam UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Yang terjadi kemudian, muncul krisis kepercayaan (trust) kepada pemerintah dan otonomi khusus yang sudah disepakati. Padahal, otonomi khusus baru dapat dilaksanakan jika terbangun trust antara pemerintah dan daerah yang menerima otonomi khusus. Implementasi otonomi khusus di Aceh semakin menarik untuk dikaji karena Gerakan Aceh Merdeka (GAM) tidak menerima UU No 18/2001. Untuk menyelesaikan penolakan tersebut, Pemerintah RI kembali melakukan perundingan dengan GAM. Dari serangkaian perundingan yang dilakukan sejak pengesahan UU No 18/2001, pada 15 Agustus 2005 di Helsinki Finlandia, berhasil disepakati Memorandum of Understanding (MoU) antara Pemerintah RI dan GAM. Salah satu klausul kesepakatan itu, materi MoU Helsinki akan dituangkan dalam undang-undang, yaitu Undang-Undang tentang Pemerintahan Aceh (UU PA). Untuk memenuhi klausul di atas, pada 11 Juli 2006 Dewan Perwakilan Rakyat telah menyetujui Rancangan Undang-Undang tentang Pemerintah Aceh menjadi undang-undang. 4 / 18

Bila dibaca Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh tersebut, setidaknya terdapat lima alasan pemberlakuan undang-undang ini, yaitu; 1. bahwa sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-Undang; 2. bahwa berdasarkan perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia, Aceh merupakan satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa terkait dengan salah satu karakter khas sejarah perjuangan masyarakat Aceh yang memiliki ketahanan dan daya juang tinggi; 3. bahwa ketahanan dan daya juang tinggi tersebut bersumber dari pandangan hidup yang berlandaskan syariâ at Islam yang melahirkan budaya Islam yang kuat sehingga Aceh menjadi daerah modal bagi perjuangan dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia; 4. bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di Aceh belum dapat sepenuhnya mewujudkan kesejahteraan rakyat, keadilan serta pemajuan, pemenuhan, dan pelindungan hak asasi manusia sehingga Pemerintahan Aceh perlu dikembangkan dan dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip kepemerintahan yang baik; dan 5. bahwa bencana alam gempa bumi dan tsunami yang terjadi di Aceh telah menumbuhkan solidaritas seluruh potensi bangsa Indonesia untuk membangun kembali masyarakat dan wilayah Aceh serta menyelesaikan konflik secara damai, menyeluruh, berkelanjutan, dan bermartabat dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia; II. Perumusan Masalah Sesuai dengan latar belakang di atas, dapat dirumuskan beberapa permasalah yang akan dikaji lebih jauh pada tulisan ini, yakni: 1. Bagaimanakah ruang lingkup kewenangan yang dimiliki oleh Aceh pasca pemberlakuan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh? 2. Bagaimanakah bentuk dan peluang sengketa yang dapat terjadi antara pemerintahan Aceh dan pemerintah (pusat) sehubungan dengan kewenangan yang dimiliki Aceh berdasarkan UU 11/2006 tersebut? 3. Langkah-langkah apa saja yang dapat ditempuh guna menciptakan hubungan yang harmonis antara pemerintahan Aceh dan pemerintah (pusat)? 5 / 18

PEMBAHASAN I. Otonomi Khusus Pemerintahan Aceh Menurut UU 11/2006 Ketetapan MPR No. IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan Dalam Penyelengaraan Otonomi Daerah menguraikan permasalahan-permasalahan mendasar yang dihadapi dalam penyelenggaraan otonomi daerah. Sebagai tindak lanjut dari Ketetapan MPR No. IV/MPR/2000 tanggal 9 Agustus 2001 Presiden Megawati Soekarnoputri mengesahkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, dan tanggal 21 November 2001 juga disahkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. 6 / 18

Implementasi otonomi khusus di Aceh semakin menarik untuk dikaji karena Gerakan Aceh Merdeka (GAM) tidak menerima UU No 18/2001. Untuk menyelesaikan penolakan tersebut, Pemerintah RI kembali melakukan perundingan dengan GAM. Dari serangkaian perundingan yang dilakukan sejak pengesahan UU No 18/2001, pada 15 Agustus 2005 di Helsinki Finlandia, berhasil disepakati Memorandum of Understanding (MoU) antara Pemerintah RI dan GAM. Salah satu klausul kesepakatan itu, materi MoU Helsinki akan dituangkan dalam undang-undang, yaitu Undang-Undang tentang Pemerintahan Aceh (UU PA). Untuk memenuhi klausul di atas, pada 11 Juli 2006 Dewan Perwakilan Rakyat telah menyetujui Rancangan Undang-Undang tentang Pemerintah Aceh menjadi undang-undang. Bila dibaca Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh tersebut, setidaknya terdapat lima alasan pemberlakuan undang-undangan ini, yaitu: 1. bahwa sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-Undang; 2. bahwa berdasarkan perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia, Aceh merupakan satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa terkait dengan salah satu karakter khas sejarah perjuangan masyarakat Aceh yang memiliki ketahanan dan daya juang tinggi; 3. bahwa ketahanan dan daya juang tinggi tersebut bersumber dari pandangan hidup yang berlandaskan syariâ at Islam yang melahirkan budaya Islam yang kuat sehingga Aceh menjadi daerah modal bagi perjuangan dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia; 4. bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di Aceh belum dapat sepenuhnya mewujudkan kesejahteraan rakyat, keadilan serta pemajuan, pemenuhan, dan pelindungan hak asasi manusia sehingga Pemerintahan Aceh perlu dikembangkan dan dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip kepemerintahan yang baik; dan 5. bahwa bencana alam gempa bumi dan tsunami yang terjadi di Aceh telah menumbuhkan solidaritas seluruh potensi bangsa Indonesia untuk membangun kembali masyarakat dan wilayah Aceh serta menyelesaikan konflik secara damai, menyeluruh, berkelanjutan, dan bermartabat dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. II. Sistem Pemerintahan Daerah Menurut UU 11/2006 7 / 18

Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 (UUPA) menegaskan bahwa Aceh adalah daerah provinsi yang merupakan kesatuan masyarakat hukum yang bersifat istimewa dan diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang dipimpin oleh seorang Gubernur. Dan Pemerintahan Aceh adalah pemerintahan daerah provinsi dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyelenggarakan urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Aceh sesuai dengan fungsi dan kewenangan masing-masing. Penyelenggaraan pemerintahan daerah Aceh adalah dengan prinsip otonomi seluas-luasnya. Hal ini dapat dibaca pada bagian penjelasan umum UUPA yang menyatakan : â œâ Hal demikian mendorong lahirnya Undang-Undang tentang Pemerintahan Aceh denga n prinsip otonomi seluas-luasnya. Pemberian otonomi seluas-luasnya di bidang politik kepada masyarakat Aceh dan mengelola pemerintahan daerah sesuai dengan prinsip good governance yaitu transparan, akuntabel, profesional, efisien, dan efektif dimaksudkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat di Aceh. Dalam menyelenggarakan otonomi yang seluas-luasnya itu, masyarakat Aceh memiliki peran serta, baik dalam merumuskan, menetapkan, melaksanakan maupun dalam mengevaluasi kebijakan pemerintahan daerah.â Prinsip otonomi yang seluas-luasnya tersebut dipertegas lagi sebagai kewajiban konstitusional, dengan tetap menekankan posisi Pemerintahan Aceh sebagai bagian tidak terpisahkan dari NKRI. Penegasan ini dapat dibaca dalam penjelasan UUPA sebagai berikut : Undang-undang ini mengatur dengan tegas bahwa Pemerintahan Aceh merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tatanan otonomi seluas-luasnya yang diterapkan di Aceh berdasarkan Undang-Undang ini merupakan subsistem dalam sistem pemerintahan secara nasional. Dengan demikian, otonomi seluas-luasnya pada dasarnya bukanlah sekadar hak, tetapi lebih dari itu yaitu merupakan kewajiban konstitusional untuk dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan di Aceh. 8 / 18

III. Rumah Tangga Daerah dan masalah kewenangan Dengan adanya daerah diberikan hak dan kewajiban untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri setiap urusan Pemerintahan menurut asas otonomi seluas-luasnya, mengandung makna (1) dilihat dari segi formal yaitu proses bagaimana daerah diberikan keleluasaan menurut caranya untuk mengatur dan mengurus rumah tangga tidak lagi ada turut campur Pemerintah pusat untuk menentukan bagaimana mengelola urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah, dengan tidak mengurangi prinsip-prinsip pemberian otonomi. (2) Dilihat dari segi materiil yaitu daerah diberikan kewenangan yang lebih besar (banyak) untuk mengelola urusan Pemerintahan kecuali ketentuan yang ditetapkan dalam UU merupakan kewenangan Pemerintah pusat, dengan demikian daerah diberikan kesempatan untuk mengatur dan mengurus urusan-urusan Pemerintahan yang dapat dilaksanakan oleh pemerintahan lokal. Menyangkut kewenangan yang dimiliki Pemerintahan Aceh diatur pada Pasal 7 UUPA, yakni: (1) Pemerintahan Aceh dan kabupaten/kota berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam semua sektor publik kecuali urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah. (2) Kewenangan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi urusan pemerintahan yang bersifat nasional, politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter, fiskal nasional, dan urusan tertentu dalam bidang agama. (3) Dalam menyelenggarakan kewenangan pemerintahan yang menjadi kewenangannya sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah dapat: a. melaksanakan sendiri; b. menyerahkan sebagian kewenangan Pemerintah kepada Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/ kota; c. melimpahkan sebagian kepada Gubernur selaku wakil Pemerintah dan/atau instansi 9 / 18

Pemerintah; dan menugaskan sebagian urusan kepada Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota dan gampong berdasarkan asas tugas pembantuan. IV. Pembagian Kewenangan Pusat-Daerah Menurut UU No 11/2006 Bila dibaca Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh tersebut, pada bagian Ketentuan Umum UU No 11/2006 ditegaskan, Aceh adalah daerah provinsi yang merupakan kesatuan masyarakat hukum yang bersifat istimewa dan diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam sistem dan prinsip NKRI berdasarkan UUD 1945, yang dipimpin oleh seorang Gubernur. Sementara Pemerintahan Aceh adalah pemerintahan daerah provinsi dalam sistem NKRI berdasarkan UUD 1945 yang menyelenggarakan urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Aceh sesuai dengan fungsi dan kewenangan masing-masing. Dalam hal pembagian kewenangan, UU No 11/2006 juga potensial terperangkap rebutan kewenangan dengan pemerintah pusat. Potensi itu muncil karena adanya frasa â œurusan pemerintahan yang bersifat nasionalâ. Berkenaan dengan frasa itu, Penjelasan Pasal 7 Ayat (2) UU No 11/2006 menyatakan: Urusan pemerintahan yang bersifat nasional yang dimaksudkan dalam ketentuan ini termasuk kebijakan di bidang perencanaan nasional, kebijakan di bidang pengendalian pembangunan nasional, perimbangan keuangan, administrasi negara, lembaga perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, teknologi tinggi yang strategis, konservasi dan standardisasi nasional. Penjelasan frasa â œurusan pemerintahan yang bersifat nasionalâ sekali lagi membuktikan bahwa pembagian kewenangan antara pusat dan daerah sengaja dirumuskan sedemikian rupa sehingga sulit dirumuskan dan diimplementasikan. Apalagi, hampir tidak urusan daerah yang terkait dengan urusan pemerintahan yang bersifat nasional. Jadi, prinsip residu power dielemininasi sedemikian rupa sehingga pemerintah pusat dapat melakukan intervensi untuk 10 / 18

semua urusan yang sudah diserahkan kepada daerah. Posisi pemerintah pusat akan semakin dominan karena menurut Pasal 249 UU No 11/2006 menentukan bahwa pembinaan dan pengawasan penyelenggaran Pemerintahan Aceh dan pemerintahan kabupaten/kota dilaksanakan oleh pemerintah pusat sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Selain pembagian kewenangan dengan pusat, UU No 11/2006 juga menentukan masalah pembagian urusan antara Pemerintahan Aceh dengan Pemeintahan Kabupaten/Kota. Kalau dibaca pembagian â œurusan wajibâ dan â œurusan wajib lainnyaâ yang terdapat dalam Pasal 16 dan Pasal UU No 11/2006 potensi terjadinya perhimpitan urusan cukup besar. Dengan kondisi tersebut, maka akan terjadi tumpang-tindih antara Pemerintah Aceh dengan Pemerintah Kabupaten/Kota. Bukan tidak mungkin, urusan-urusan yang bersifat pembiayaan juga akan terjadi terjadi kevakuman. Sebetulnya, titik rawan lain dalam pembagian urusan muncul karena adanya ketentuan Pasal 11 Ayat (1) UU No 11/2006 yang menyatakan, pemerintah menetapkan norma, standar, dan prosedur serta melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan urusan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Aceh, kabupaten, dan kota. Kemudian dalam Penjelasan Pasal 11 Ayat (1) dinyatakan: â œyang dimaksud dengan: Norma adalah aturan atau ketentuan yang dipakai sebagai tatanan untuk pelaksanaan otonomi daerah. Standar adal ah acuan yang dipakai sebagai patokan dalam pelaksanaan otonomi daerah. Prosedur adalah metode atau tata cara untuk elaksanakan otonomi daerahâ Sekalipun ditentukan bahwa â œnormaâ, â œstandarâ, dan â œprosedurâ tidak mengurangi kewenangan yang dimiliki oleh Pemerintahan Aceh dan Pemerintahan Kabupaten/Kota, kehadiran Pasal 11 Ayat (1) potensial mengurangi kemandirian dalam melaksanakan urusan. Tidak hanya itu, Pasal Ayat (1) dan pejelesannya tidak menentukan secara eksplisit bantuk hukum penetapan norma, standar, dan prosedur dimaksud. Bisa jadi, akan muncul penetapan norma, standar, dan prosedur dalam berbagai bentuk hukum mulai dari peraturan pemerintah samapi dengan peraturan gubernur. V. Peluang Konflik Pusat-Daerah 11 / 18

Ada tiga embrio konflik dalam UUPA yang bila tidak disikapi secara bijak akan dapat mengganggu jalannya proses demokratisasi dan upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat Aceh yang lebih baik di bawah UUPA ini. Embrio konflik pertama adalah masalah kewenangan. Menyangkut kewenangan yang dimiliki Aceh pasca pengesahan UUPA, sepintas tidak terdapat perbedaan dengan kewenangan yang dimiliki oleh daerah lain. Provinsi Aceh dan kabupaten/kota berwenang mengatur dan mengurus seluruh sektor pemerintahan dalam semua sektor publik kecuali yang bersifat nasional, seperti politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter, dan fiskal serta urusan tertentu dalam bidang agama. Rumusan ini tidak berbeda dengan aturan yang terdapat pada Pasal 10 UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Masalahnya adalah bentuk dan ruang lingkup kewenangan yang diberikan kepada Aceh tidak secara spesifik dijelaskan, di antaranya adalah siapa yang mesti merinci kewenangan yang dimaksud serta apakah menjadi kewenangan mutlak dari pemerintah Aceh untuk merumuskan kewenangan yang akan menjadi urusan pemerintah Aceh, ataukah kewenangan tersebut nantinya akan dirinci oleh pemerintah pusat melalui peraturan pemerintah seperti lazimnya diberlakukan kepada daerah lain. Ini persoalan yang amat krusial. Pada saat UUPA masih berbentuk rancangan dan diperdebatkan di Senayan, terdapat rumusan Pasal 11 yang berbunyi; "pemerintah menetapkan norma, standar, dan prosedur serta melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan urusan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Aceh, kabupaten, dan kota". Dalam perkembangan pembahasan UUPA, rumusan pasal ini dihapus. Dengan dihapusnya pasal ini, pemerintah pusat seakan memberikan "cek kosong" kepada pemerintah Aceh untuk mengurai dan mengatur sendiri kewenangan apa saja yang diinginkan oleh pemerintah Aceh. Hal yang paling mengkhawatirkan adalah bagaimana sekiranya terjadi konflik antara pemerintah Aceh dan pemerintah pusat menyangkut kewenangan tersebut, lembaga mana yang akan menyelesaikannya? Embrio konflik kedua adalah menyangkut masalah pilkada. UUPA mengatur pelaksanaan pemilihan kepala daerah dan wakil di Provinsi Aceh dan kabupaten/kota dilakukan secara langsung dengan nuansa kekhususan antara lain penyelenggara pemilihan dilakukan oleh Komisi Independen Pemilihan Aceh dan komisi independen pemilihan kabupaten/kota. Pasangan calon nantinya akan diusulkan oleh partai politik, partai lokal, dan kandidat perseorangan. Jadi akan ada tiga pintu masuk pada proses pencalonan pasangan calon. 12 / 18

Persoalannya adalah menyangkut partai lokal yang diberikan kewenangan untuk mengusulkan pasangan calon, namun teknis pembentukannya mesti menunggu aturan hukum dalam bentuk peraturan pemerintah yang dikeluarkan oleh presiden. Dalam UUPA dijelaskan bahwa partai lokal boleh ikut dalam pemilu untuk memilih anggta Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) dan Dewan Perwakilan Rakyat Kota/Kabupaten (DPRK), mengajukan calon untuk mengisi DPRA dan DPRK, mengusulkan pemberhentian dan pergantian antar waktu anggotanya, mengusulkan pasangan calon gubernur-wakil, calon bupati-wakil, calon wali kota-wakil dan dapat melakukan afiliasi dengan partai politik baik lokal maupun nasional. Ketentuan lebih lanjut tentang hal ini akan diatur dalam peraturan pemerintah yang harus diterbitkan paling lambat Februari 2007. Dengan kata lain, campur tangan pemerintah pusat dalam proses pilkada di aceh tetap terbuka lebar melalui perangkat peraturan pemerintah yang akan dikeluarkan oleh presiden. Di samping itu, dengan sistem pilkada yang terbuka tersebut, peluang terjadinya konflik akan sulit untuk dibendung. Dengan pencalonan sistem satu pintu saja (melalui parpol) seperti yang banyak dipraktikkan daerah lain, konflik pilkada terjadi pada hampir setiap daerah. Apalagi dengan sistem tiga pintu yang akan digelar di Aceh nantinya. Tentu saja kerawanan akan konflik jauh lebih besar. Solusi antisipasi jelas berada di tangan Komisi Independen Pemilihan Aceh dalam merumuskan aturan pilkada yang aspiratif dan melalui proses yang transparan serta yang terpenting melibatkan semua unsur yang terpaut langsung terhadap proses pilkada di Aceh. Merumuskan aturan pilkada yang dapat memuaskan semua pihak tentu bukan pekerjaan yang sederhana. Embrio konflik yang ketiga adalah masalah pengelolaan sumber daya alam. Pasal 160 ayat (1) UUPA merumuskan "Pemerintah dan pemerintah Aceh melakukan pengelolaan bersama sumber daya alam minyak dan gas bumi yang berada di darat dan laut di wilayah kewenangan Aceh". Namun pada penjelasan pasal ini dinyatakan bahwa " Sumber daya migas dikelola pemerintah Aceh". Pemberian kewenangan khusus kepada pemerintah Aceh untuk mengelola sumber daya migas seakan mengenyampingkan Pasal 18A ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan "Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang". Rumusan Pasal 160 ayat (1) UUPA bila dilihat dari segi kepentingan daerah lain, merupakan embrio konflik yang mengkhawatirkan. Bagi daerah lain, sumber daya alam, khususnya migas 13 / 18

yang berada di Aceh tentu bukan sepenuhnya menjadi hak mutlak masyarakat Aceh. Sepanjang masih berada di wilayah NKRI, migas di Aceh menjadi hak bagi setiap daerah. Kecemburuan daerah lain tidak saja dipicu masalah migas di atas. Di sisi ekonomi, sumber penerimaan Aceh memperoleh dana perimbangan yang diperlakukan khusus yaitu dari bagi hasil hidrokarbon dengan besaran 70 persen. Di samping itu, Aceh juga akan memperoleh dana otonomi khusus untuk membiayai pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur, pendidikan, sosial dan kesehatan selama 20 tahun dengan rincian tahun 1-15 sebesar 2 persen plafon DAU nasional dan tahun 16-20 sebesar 1 persen plafon DAU nasional. Kebijakan ini akan berlaku efektif mulai 2008. angka-angka yang amat fantastis ini seakan menjadi Aceh sebagai "anak emas" baru di republik ini. Agar ketiga konflik tersebut tidak meluas menjadi sebuah ketegangan baru hubungan pusat-daerah, amat mendesak bagi pemerintahan SBY-JK mengambil langkah-langkah yang bijak guna menjelaskan kepada publik, khususnya daerah-daerah minus yang terimbas langsung dari kebijakan pemberikan otonomi baru kepada pemerintahan Aceh. Lalu, menghadapi masalah-masalah pembagian kewenangan di atas, langkah apa yang harus dilakukan untuk dapat keluar dari masalah tersebut? Pertanyaan itu menjadi penting karena keberhasilan pelaksanaan kewenangan antara pusat dan daerah akan amat menentukan keberhasilan UU No 11/2006. Saya menyarankan beberapa langkah berikut. Pertama, berkaca pada pengalaman pelaksanaan hubungan pusat di daerah (yang bukan dengan pola otonomi khusus) lain, sebaiknya dibentuk badan ad-hoc yang dapat menjembatani penyelesaian pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dengan Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota. Pembentukan itu tidak saja menjadi salah satu bukti bahwa pemerintah serius mengelola otonomi khusus, tetapi juga mempercepat keluar dari kecenderungan penyeragaman pola otonomi daerah di Departemen Dalam Negeri. Tanpa pengelolaan yang sungguh-sungguh, otonomi khusus akan berubah menjadi otonomi kasus. Kedua, pemerintah pusat mesti membuat bentuk produk hukum yang seragam dalam menyusun â œnormaâ, â œstandarâ, dan â œprosedurâ sehingga benar-benar tidak mengurangi kewenangan yang dimiliki oleh Pemerintahan Aceh dan Pemerintahan Kabupaten/Kota sebagai daerah yang diberi status khusus atau istimewa. Akan lebih baik kalau produk hukum penyusunan â œnormaâ, â œstandarâ, dan â œprosedurâ dibuat dalam satu produk hukum saja. 14 / 18

Ketiga, membangun komunikasi yang intensif antara Pemerintahan Aceh dengan Pemerintahan Kabupaten/Kota dalam menyusun pembagian urusan antara provinsi dengan kabupaten/kota. Komunikasi ini menjadi penting agar potensi konflik pembagian urusan antara Pemerintahan Aceh dengan Pemerintahan Kabupaten/Kota tidak berubah menjadi ruang bagi pemerintah pusat untuk memperluas dan memperkuat intervensi. Banyak kalangan berpendapat, secara umum, kehadiran UU No 11/2006 akan menjadi babak baru praktik otonomi daerah di Indonesia. Pendapat seperti itu tentu akan ada benarnya kalau kehadiran UU No 11/2006 mampu membangun kehidupan politik dan ekonomi yang lebih baik guna menciptakan kesejahteraan masyarakat. Namun, di tengah harapan yang demikian juga muncul pendapat yang meragukan keberlangsungan UU No 11/2006. Keraguan itu muncul, di antaranya, karena pengalaman dan praktik otonomi khusus di bawah Undang-Undang No 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (UU No 18/2001). Namun, keraguan bahwa Aceh sebagai daerah yang bersifat istimewa dan diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan akan dapat terlaksana dengan baik karena ada penilaian bahwa kewenangan Aceh tidak ditentukan dengan tegas dalam UU No 11/2006. Apalagi, dalam ketidaktegasan itu, Pasal 11 Ayat (1) UU No 11/2006 menyatakan: â œpemerintah (pusat) menetapkan norma, standar, dan prosedur serta melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan urusan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Aceh, kabupaten, dan kotaâ. 15 / 18

PENUTUP I. Kesimpulan 16 / 18

Berdasarkan uraian sebelumnya dapat ditarik kesimpulan, yaitu: 1. Setelah pemberlakuan UU No. 11 Tahun 2006 maka Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam diberi kewenangan seluas-luasnya untuk mengatur daerahnya sendiri sebagaimana yang terdapat pada pasal 7 UU tersebut. 2. Ada 3 embrio konflik akibat pemberlakuan UU No. 11 Tahun 2006, yaitu: masalah kewenangan, masalah pilkada karena adanya hak bagi partai lokal mengusung calonnya, masalah pengelolaam sumber daya alam. 3. Langkah-langkah yang ditempuh untuk menghindari konflik tersebut adalah dibentuknya badan ad hoc yang menjembatani pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah Aceh, membangun komunikasi yang efektif dan membuat aturan hukum yang seragam dengan tidak mengurangi keistimewaan kewenangan pemerintah Aceh. II. Saran 1. Agar pemerintah cepat tanggap dalam dugaan-dugaan konflik yang akan terjadi akibat pemberlakuan UU No. 11 Tahun 2006. 2. Agar terus dilakukan penyempurnaan terhadap aturan hukum yang terkait dengan otonomi khusus Aceh sehingga semakin meminimalisir terjadinya peluang konflik. DAFTAR PUSTAKA 17 / 18

Syafrudin, Ateng, 1993, Pengaturan Koordinasi Pemerintahan Di Daerah, Bandung, Penerbit Citra Aditya Bakti, -------------, 1973, Pemerintah Daerah dan Pembangunan, Bandung, PT. Bandung Press, Sumur Manan, Bagir, 1993, Perjalanan Historis Pasal 18 UUD 1945, Karawang, UNSIKA -------------, 2001, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Pusat Studi Hukum (PSH), Yogyakarta, UII Press. Huda, Niâ matul, 2005, Otonomi Daerah, Filosofi, Sejarah Perkembangan dan Problematika, Pustaka Pelajar PSHK, Catatan PSHK Untuk Akhir Masa Sidang IV 2005-2006 DPR; Penuh Dinamika Namun Tidak Jelas Arahnya, dikutip dari http://www.pshk.org Soehino, 1991, Hukum Tata Negara Perkembangan Otonomi Daerah, BPFE-Yogyakarta, Edisi Kedua, 2004 Josef Riwu Kaho, Analisa Hubungan Pemerintah pusat dan daerah di Indonesia, Rineka Cipta Sujamto, 1988, Daerah Istimewa Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, Bina Aksara [1] Dosen Fakultas Hukum Universitas Andalas 18 / 18