KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

dokumen-dokumen yang mirip
SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST

disinyalir disebabkan oleh aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian, perkebunan, maupun hutan tanaman dan hutan tanaman

sebagai Kawasan Ekosistem Esensial)

KEADAAN UMUM WILAYAH. General Description of The Regions I. LETAK ADMINISTRASI DAN AKSESIBILITAS

PENDAHULUAN Latar Belakang

Topik C4 Lahan gambut sebagai cadangan karbon

TINJUAN PUSTAKA. Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal

1. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan tropis yang luas dan memiliki keanekaragaman hayati yang

Keberadaan lahan gambut selalu dikaitkan dengan keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya. Kondisi lahan gambut yang unik dan khas menjadikan

No baik hayati berupa tumbuhan, satwa liar serta jasad renik maupun non-hayati berupa tanah dan bebatuan, air, udara, serta iklim yang saling

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau

Modul 1. Hutan Tropis dan Faktor Lingkungannya Modul 2. Biodiversitas Hutan Tropis

West Kalimantan Community Carbon Pools

3. Kualitas Lahan & Kriteria Pengembangan

Pemanfaatan canal blocking untuk konservasi lahan gambut

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

dampak perubahan kemampuan lahan gambut di provinsi riau

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. kesempatan untuk tumbuhan mangrove beradaptasi (Noor dkk, 2006). Hutan

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

KEBERLANGSUNGAN FUNGSI EKONOMI, SOSIAL, DAN LINGKUNGAN MELALUI PENANAMAN KELAPA SAWIT/ HTI BERKELANJUTAN DI LAHAN GAMBUT

Rehabilitasi dan Pengelolaan Lahan Gambut Bekelanjutan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut.

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

TEKNIK REHABILITASI (REVEGETASI) LAHAN GAMBUT TERDEGRADASI Sumbangsih Pengalaman dan Pembelajaran Restorasi Gambut dari Sumatera Selatan dan Jambi

Kata kunci: hutan rawa gambut, degradasi, rehabilitasi, kondisi hidrologi, gelam

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Kerusakan hutan mangrove di Indonesia, kini semakin merata ke berbagai

BAB I PENDAHULUAN. sektor sosial budaya dan lingkungan. Salah satu sektor lingkungan yang terkait

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2013 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2013 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi

Terms Of Reference Round Table Discussion 2 Rawa Tripa, penyangga kehidupan masyarakat Nagan Raya dan Aceh Barat Daya

PEMANFAATAN DAN PENGELOLAAN GAMBUT DI INDONESIA

SINTESIS RPI 5 : PENGELOLAAN HUTAN RAWA GAMBUT

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

PEMANFAATAN LAHAN GAMBUT UNTUK PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DI AREAL HUTAN RAWA GAMBUT TRIPA PROVINSI ACEH : KENDALA DAN SOLUSI

DISAIN TEKNIS REHABILITASI LAHAN

D4 Penggunaan 2013 Wetlands Supplement to the 2006 IPCC Guidelines untuk Inventarisasi Gas Rumah Kaca di Indonesia.

Konservasi dan Rehabilitasi Lahan dan Hutan Gambut di Area PT Hutan Amanah Lestari Barito Selatan dan Barito Timur

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Data tentang luas tutupan lahan pada setiap periode waktu penelitian disajikan pada

PENDAHULUAN. Latar Belakang

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Umum Bahan Gambut Riau

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Ilmuwan mendesak penyelamatan lahan gambut dunia yang kaya karbon

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang termasuk ke dalam kategori negara

2. Dinamika ekosistem kawasan terus berubah (cenderung semakin terdegradasi),

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

PENDAHULUAN Latar Belakang

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 296, 2012

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I. PENDAHULUAN. Dampak penambangan yang paling serius dan luas adalah degradasi, kualitas

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sekitar 60 Pg karbon mengalir antara ekosistem daratan dan atmosfir setiap

PERATURAN DAERAH KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG LAHAN GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI HUMBANG HASUNDUTAN,

IMPLEMENTASI KANAL BLOCKING

BAB I PENDAHULUAN. kelembaban. Perbedaan ph, kelembaban, ukuran pori-pori, dan jenis makanan

DATA MINIMAL YANG WAJIB DITUANGKAN DALAM DOKUMEN INFORMASI KINERJA PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DAERAH

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

19 Oktober Ema Umilia

i:.l'11, SAMBUTAN PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR KOTAK... GLOSARI viii xii DAFTAR SINGKATAN ...

BAB 1 PENDAHULUAN. hayati terkaya (mega biodiveristy). Menurut Hasan dan Ariyanti (2004),

POTRET GAMBUT KALIMANTAN

I. PENDAHULUAN. Menurut Tomlinson(1986), mangrove merupakan sebutan umum yang digunakan

1. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1950 tentang Pemerintahan Daerah Kabupaten Dalam Lingkungan Jawa Barat (Berita Negara Tahun 1950);

Lampiran 3. Interpretasi dari Korelasi Peraturan Perundangan dengan Nilai Konservasi Tinggi

RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI TAHUN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pendahuluan 1. Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

KERUSAKAN LAHAN AKIBAT PERTAMBANGAN

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Aceh

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN

Prosiding Seminar Nasional Biotik 2017 ISBN:

PERLINDUNGAN KEANEKARAGAMAN HAYATI

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung

2 menetapkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia tentang Rawa; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 t

GUBERNUR ACEH PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 20 TAHUN 2013 TENTANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3. Biomassa dan Karbon Biomassa Atas Permukaan di Kebun Panai Jaya, PTPN IV Tahun 2009

BAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA

PENDAHULUAN. mengkonversi hutan alam menjadi penggunaan lainnya, seperti hutan tanaman

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

VISI HIJAU UNTUK SUMATRA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN

BAB III PROBLEM LINGKUNGAN DI SUMATERA SELATAN. penjelasan mengenai keterlibatan INGO World Agroforestry Centre (ICRAF) di Indonesia

PENUTUP. Status terkini lahan gambut

Transkripsi:

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 13 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI I. KESIMPULAN M engakhiri laporan ini, maka berdasarkan hasil-hasil kajian yang telah diuraikan pada bab-bab terdahulu dapat ditarik beberapa kesimpulan umum, yaitu : (1) Areal Hutan Rawa Gambut Tripa (TPSF) yang terdapat di Kabupaten Nagan Raya dan Kabupaten Aceh Barat Daya Provinsi Aceh dengan luas 60.657,29 hektar merupakan suatu wilayah ekosistem rawa bergambut yang memiliki berbagai keanekaragamn hayati dan masih terdapat beberapa jenis flora dan fauna yang khas. Jenis fauna yang ditemukan di wilayah ekosistem TPSF ini sebanyak 91 jenis, 18 jenis diantaranya memiliki nilai ekonomi dan ekologi serta terdapat 14 jenis memiliki nilai endemik dan dilindungi. Keberadaan flora fauna dalam ekosistem TPSF ini berada dalam daerah yang terisolir dan terfragmentasi di sepanjang pantai. (2) Areal dengan vegetasi hutan primer (hutan rawa) yang masih tersisa hanya sekitar 12.455,45 hektar atau 20,53 persen sedangkan selebihnya telah dibuka menjadi lahan usaha perkebunan /pertanian. Vegetasi hutan rawa gambut meliputi tumbuhan spesies palem, pandan, Podocarpus dan wakil kebanyakan familia yang biasa ditemukan di hutan tropis basah, termasuk familia Dipterocarpaceae. Banyak spesies yang khas pada hutan rawa gambut. (3) Biodiversitas biota akuatik teridentifikasi sebanyak 30 spesies makrozoobenthos, dengan komposisi 18 spesies dari Kelas Gastropoda, 6 spesies dari Kelas Bivalvia (Filum Mollusca), 5 spesies dari Kelas Crustacea (Filum Arthropoda) dan 1 spesies dari Kelas Insekta (Filum Arthropoda). Spesies makrozoobentos yang paling dominan dari segi jumlah individu adalah Faunus ater dari Kelas Gastropoda yaitu sebanyak 1734 individu, sedangkan yang paling sedikit adalah Brotia costula, Lophiotoma indica, dan Nerita atramentosa dari Kelas Gastropoda dan Progomphus obscurusdari Kelas Insekta. Makrozoobentos yang paling dominan adalah kelas Gastropoda. Indeks keragaman makrozoobentos berkisar 0,43-1,63, yaitu kategori rendah sampai sedang. (4) Wilayah ekosistem Rawa Tripa terdapat tiga sungai utama yaitu Krueng Tripa, Krueng Batee dan Krueng Seumayam serta terdapat satu sungai kecil yaitu Krueng Seneuam. Krueng Seumayam memiliki pengaruh yang sangat dominan terhadap banjir di Rawa Tripa. Limpasan banjir dari sungai ini sangat mempengaruhi sistem imbangan air rawa dan kualitas air rawa. Sungai-sungai tersebut selain berfungsi sebagai penyangga air untuk lahan rawa juga berfungsi sebagai habitat ikan-ikan air tawar yang menjadi sumber mata pencaharian bagi masyarakat sekitar. Tidak kurang dari 75 spesies ikan air tawar dan 4 spesies ikan air payau ditemukan di wilayah ini. 495

496 SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST (5) Kondisi areal TPSF saat ini tidak ada lagi areal yang tergenang sebagai rawa karena hutan rawa yang ada telah berubah karena telah dibuat sistem drainase permukaan yang sangat intensif. Genangan hanya terjadi di tempat tertentu apabila areal tersebut mengalami banjir. Lebih dari 80 persen areal TPSF ini telah dibuka menjadi lahan pertanian /perkebunan sehingga vegetasi hutan rawa yang masih tersisa hanya sekitar 12.455,45 hektar. Penggunaan lahan saat ini adalah hutan rawa seluas 11.809,54 ha, kebun campuran 29.074,19 ha, lahan terbuka 3.216,83 ha, perkebunan kelapa sawit 16.556,72. (6) Dalam ekosistem Hutan Rawa Gambut Tripa (TPSF) dengan luas areal 60.657,29 ha terdapat lahan bergambut seluas 34.552.09 ha, dan tanah mineral (campuran alluvial dan gambut) seluas 26.105,20 ha. Berdasarkan hasil pemetaan lapangan, wilayah TPSF menurut Taksonomi Tanah USDA (2008), dapat dibagi atas tiga ordo tanah, yaitu Entisol, Inceptisol dan Histosol. Entisol terdiri atas dua jenis/subgroup yaitu Aluvial Eutrik (Typic Tropofluvent) dan Aluvial Distrik (Typic Dystropepts), sedangkan Inceptisol hanya satu jenis/subgroup yaitu Aluvial Gleik (Typic Tropaquent). Ordo Histosol atau tanah Gambut mempunyai tiga jenis/subgroup yaitu Typic Tropofibrist, Typic Topohemist, dan Typic Troposaprits. Tanah gambut tersebut dapat dibedakan atas tiga kedalaman, yaitu 50-200 cm seluas 2.844,46 ha, 201-300 cm seluas 19.411,40 ha, dan lebih dari 300 cm seluas 12.296,22 ha. (7) Total cadangan karbon (C) di areal TPSF dengan menggunakan luas penggunaan lahan menghasilkan nilai 76.206.098 ton, sedangkan total cadangan C di bawah permukaan tanah pada hutan primer menurun hampir 19.627.165 ton, pada hutan sekunder C menurun hingga 6.765.395 ton, pada kebun kelapa sawit/kebun campuran/pertanian lahan kering meningkat hingga 21,241,959 Mg, dan lahan terbuka menjadi 908.740 ton dari tahun 2007 hingga 2013. Penambahan cadangan C di bawah permukaan tanah untuk kebun kelapa sawit/kebun campuran/pertanian lahan kering diakibatkan oleh penambahan luas lahan hampir 17,091.33 ha. Total cadangan C di bawah permukaan tanah yang hilang dari seluruh ekosistem TPSF dari tahun 2007-2013 adalah 4,241,861 ton. (8) Cadangan karbon total pada pemukaan tanah atas pada Tahun 2013 seluruh areal Hutan Rawa Gambut Tripa mencapai 2.469.310,02 ton C atau setara dengan 9.054.136,75 ton CO 2 -e. Emisi CO 2 yang terjadi di Kawasan Gambut Rawa Tripa dipengaruhi temperatur gambut, kadar air gambut, kedalaman muka air gambut dan electrical conductivity gambut. Perkiraan total emisi yang terjadi pada Tahun 2013 di seluruh Kawasan Rawa Gambut Tripa mencapai 96.322.647,79 ton CO 2 -e atau setara dengan 26.269.813,03 ton C. (9) Status lahan dalam di areal Hutan Rawa Gambut Tripa (TPSF) merupakan areal yang termasuk ke dalam Areal Penggunaan Lain (APL). Saat ini sebagian besar wilayah ini merupakan lahan Hak Guna Usaha (HGU) beberapa perusahaan perkebunan yang telah terdaftar pada Kantor Pertanahan setempat. Dalam areal TPSF terdapat lahan-lahan warga yang digunakan sebagai areal perkebunan kelapa sawit dan kebun campuran. (10) Analisis finansial studi kelayakan usaha kelapa sawit pada kawasan ini menunjukkan bahwa usaha perkebunan kelapa sawit memberikan keuntungan yang cukup besar. Harga CPO yang cenderung terus meningkat membuat pengusahaan tanaman kelapa sawit lebih menguntungkan daripada pengusahaan LAPORAN UTAMA

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 497 tanaman lainnya. Kondisi ini mendorong masyarakat sekitar untuk melakukan pengembangan usaha perkebunan kelapa sawit dalam wilayah TPSF. (11) Walaupun usaha perkebunan kelapa sawit di areal TPSF memberikan beberapa keuntungan secara ekonomi, akan tetapi dalam jangka panjang akan memberikan dampak negatif terhadap kelestarian lingkungan. Hasil kajian biofisik menunjukkan bahwa konversi hutan rawa di areal TPSF menjadi lahan perkebunan/pertanian telah menyebabkan terjadinya degradasi lahan yang ditandai dengan menurunnya ketebalan gambut dan kemampuan menambat air (water holding capacity) serta perubahan pada karakteristik biofisik gambut yaitu perubahan pada profil horizon, ketebalan, tingkat dekomposisi, kadar air, kadar abu, ph, C-organik dan biomassa tanaman serta meningkatnya emisi CO 2 akibat percepatan dekomposisi bahan organik/gambut. (12) Lahan rawa gambut di TPSF yang telah lama digunakan untuk pertanian/perkebuan karakteristiknya telah terjadi perubahan yang ekstrim dari sifat aslinya sehingga sulit untuk dikembalikan kepada kondisi semula. Dampak lain dari konversi rawa gambut menjadi areal budidaya adalah terjadinya degradasi hutan yang ditandai dengan menurunnya tingkat keanekaragaman hayati, meningkatnya emisi karbon ke atmosfir akibat dekomposisi aerobik yang sangat pesat, menurunnya permukaan air tanah dan subsidensi serta dapat membuat gambut mudah terjadi kebakaran. (13) Perubahan penggunaan lahan tersebut tentu saja akan berdampak pada manfaat lingkungan, ekonomi dan sosial di wilayah ekosistem Rawa Tripa ini. Berdasarkan hasil perhitungan biaya dan manfaat terhadap hasil perkebunan dan jasa lingkungan menunjukan bahwa biaya yang dikeluarkan untuk melakukan kegiatan rehabilitasi lebih besar dibandingkan dengan manfaat langsung yang akan diperoleh, namun dalam jangka panjang akan diperoleh keuntungan yang lebih besar dan dapat menjaga kelestarian ekosistem. (14) Pengaturan muka air tanah pada lahan gambut dapat menghambat laju degradasi biofisik lahan gambut di areal TPSF khususnya pada lahan yang dikelola untuk perkebunan kelapa sawit dan kebun campuran. Hal ini dapat dilakukan dengan membuat sistem drainase yang sesuai dengan karakteristik lahan setempat misalnya dengan membuat canal blocking di areal TPSF. Sistem drainase yang telah dibuat oleh perusahaan perkebunan di areal Rawa Tripa untuk tahap awal bisa digunakan sebagai sarana lingkungan dalam mendukung usaha reklamasi lahan rawa. Pembuatan saluran drainase dapat dilanjutkan pada Tahap Menengah dengan mengaplikasikan sistem tata air yang benar dan disempurnakan pada Tahap Akhir dengan menyediakan suplai recharge water pada sistem saluran yang telah dibangun. (15) Secara yuridis formal, areal Hutan Rawa Gambut Tripa belum ditetapkan sebagai kawasan lindung walaupun dari aspek geofisik telah memenuhi kriteria yang ditentukan dalam ketentuan perundang-undangan untuk ditetapkan sebagai kawasan lindung. Namun pada usulan RTRWA kawasan lindung/konservasi telah diusulkan hanya seluas sekitar 12.000 hektar. Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala

498 SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST II. REKOMENDASI (1) Hutan primer dan hutan skunder yang ada dalam ekosistem Hutan Rawa Gambut Tripa (TPSF) perlu dijaga dan dipertahankan karena selain berfungsi sebagai habitat bagi pelestarian flora dan fauna yang dapat memberikan jasa ekologi yang terkandung di dalamnya juga terdapat lapisan tanah gambut yang dalam (> 300 cm) yang berfungsi sebagai cadangan karbon dan tempat penyerapan air. (2) Pembukaan lahan baru untuk dijadikan areal perkebunan dalam areal Hutan Rawa Gambut Tripa (TPSF) perlu dihentikan (dihindarkan) untuk mencegah terjadinya degradasi lahan/hutan yang lebih luas. Pada lahan rawa gambut dalam dianjurkan mempertahankan kondisi hutan yang ada dan apabila vegetasi hutan telah tiada, maka dianjurkan untuk melakukan penanaman baru dengan menggunakan jenis tumbuhan hutan asli setempat seperti jelutung, ramin, semantok, meranti dan jenis jenis lainnya. (3) Lahan yang diperioritaskan sebagai lahan konservasi di Ekosistem Hutan rawa gambut Tripa (TPSF) dapat dibedakan atas empat subekosistem yaitu : (1) areal konservasi hutan rawa gambut dan konservasi flora dan fauna seluas 8.318,91 ha, (2) areal konservasi hutan pantai dan sempadan pantai seluas 5.639,90 ha, (3) areal konservasi hutan mangrove seluas 748,96 ha, dan (4) areal konservasi sempadan sungai seluas 4.549,76 ha dengan total luas areal adalah 19.257,53 ha atau 31,75 persen dari luar areal TPSF. Secara menyeluruh, areal Hutan Gambut Rawa Tripa (TPSF) berdasarkan keunikan ekosistemnya disarankan untuk dijadikan kawasan ekowisata dan laboratorium alam yang bermanfaat bagi penelitian, dan pendidikan. (4) Diperlukan segera pembentukan kawasan perlindungan satwa untuk menampung fauna terutama mamalia dan burung (aves) yang masih tersisa dalam areal hutan rawa gambut Tripa ini dan ada peluang pembentukan koridor satwa di sepanjang wilayah Hutan Rawa Tripa yang terdiri dari koridor I dan Koridor II. (5) Untuk menjaga ekosistem rawa gambut, maka diperlukan tindakan penutupan saluran drainase (blocking canal) dan revegetasi dengan jenis jenis tumbuhan yang sesuai dengan habitat lahan rawa bergambut. (6) Untuk mendapatkan informasi yang lebih detail dan lebih akurat terhadap rencana aksi rehabilitasi dan konservasi TPSF, maka diperlukan kajian lanjut untuk penyusunan dokumen master plan dan rencana detilnya, khususnya dalam menetapkan batas-batas wilayah konservasi, teknis pembangunan canal blocking dan pengelolaan tata air secara komprehensif melalui rekayasa aliran air sungai Krueng Seumayam dengan pembuatan bendung sederhana yang dapat mengendalikan recharge dan discharge di lahan rawa TPSF yang didukung oleh kajian mengenai hasil air (water yield) berdasarkan pola penggunaan lahan di TPSF. (7) Upaya konservasi lahan gambut rawa Tripa harus melibatkan ketiga komponen utama secara seimbang dan proporsional, yaitu Pemerintah Daerah, Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit, dan masyarakat lokal serta melibatkan pihak Lembaga Swadaya Masyarakat/LSM dan Perguruan Tinggi untuk pengawasan, penelitian dan pengembangan. (8) Monitoring dan evaluasi kondisi lahan TPSF perlu dilakukan untuk mengetahui tindak lanjut dari hasil kajian ini dan mengevaluasi secara lebih mendalam tentang LAPORAN UTAMA

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 499 kondisi kekinian areal TPSF pada tahap implementasi rencana aksi restorasi dan rehabilitasi termasuk kajian dampak positif dan negatifnya terhadap lingkungan dan masyarakat di TPSF. (9) Perlu dibentuk suatu lembaga yang bersifat otonom yang memiliki authoritas untuk mengorganisir implementasi Program Rehabilitasi dan Pengelolaan areal TPSF. Lembaga tersebut dapat berperan dalam melaksanakan fungsi koordinasi, pengawasan, dan pengontrolan agar program yang dilaksanakan di areal TPSF tidak tumpang tindih melainkan saling bersinergi. Selain itu juga perlu segera pembentukan Forum Rawa Tripa yang berfungsi sebagai penyeimbang dalam proses sosialisasi dan pengawasan implementasi program di lapangan. Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala