UPAYA PENINGKATAN EFISIENSI REPRODUKSI TERNAK DOMBA DI TINGKAT PETAN TERNAK

dokumen-dokumen yang mirip
PENDAHULUAN. Latar Belakang. Dalam usaha meningkatkan penyediaan protein hewani dan untuk

PENINGKATAN EFISIENSI REPRODUKSI SAPI PERAH MELALUI KAWIN TEPAT WAKTU

PERTUMBUHAN PRA-SAPIH KAMBING PERANAKAN ETAWAH ANAK YANG DIBERI SUSU PENGGANTI

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dibagikan. Menurut Alim dan Nurlina ( 2011) penerimaan peternak terhadap

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi PO adalah sapi persilangan antara sapi Ongole (Bos-indicus) dengan sapi

I PENDAHULUAN. pedesaan salah satunya usaha ternak sapi potong. Sebagian besar sapi potong

PENYERENTAKAN BERAHI DENGAN PROGESTERON DALAM SPONS PADA TERNAK DOMBA DI KABUPATEN CIANJUR

KAJIAN KEPUSTAKAAN. sangat besar dalam memenuhi kebutuhan konsumsi susu bagi manusia, ternak. perah. (Siregar, dkk, dalam Djaja, dkk,. 2009).

BAB I. PENDAHULUAN. Kebutuhan daging sapi dari tahun ke tahun terus meningkat seiring dengan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kelamin sehingga tidak menimbulkan kematian pada anak atau induk saat

PENYEREMPAKAN BERAHI DENGAN MENGGUNAKAN CIDR PADA DOMBA RAKYAT DI KECAMATAN NAGRAG

PRODUKTIVITAS TERNAK DOMBA GARUT PADA STASIUN PERCOBAAN CILEBUT BOGOR

Tennr Teknis Nasional Tenaga Fungsional Pertanian 2006 Skala usaha penggemukan berkisar antara 5-10 ekor dengan lama penggemukan 7-10 bulan. Pakan yan

I. PENDAHULUAN. dengan tujuan untuk menghasilkan daging, susu, dan sumber tenaga kerja sebagai

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. khususnya daging sapi dari tahun ke tahun di Indonesia mengalami peningkatan

CARA MUDAH MENDETEKSI BIRAHI DAN KETEPATAN WAKTU INSEMINASI BUATAN (IB) PADA SAPI INSEMINASI BUATAN(IB).

Rini Ramdhiani Muchtar, Bandiati, S K P, Tita D. Lestari Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran Jatinangor, Sumedang ABSTRAK

PENAMPILAN REPRODUKSI KAMBING INDUK: BOER, KACANG DAN KACANG YANG DISILANGKAN DENGAN PEJANTAN BOER

PENGARUH UMUR TERHADAP KINERJA S-EKSUAL PADA KAMBING JANTAN PERANAKAN ETAWAH

ANALISIS EKONOMI PENGGEMUKAN KAMBING KACANG BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL. Oleh : M. Jakfar dan Irwan* ABSTRAK

HASIL DAN PEMBAHASAN. Mekar, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Lokasi

EFISIENSI REPRODUKSI INDUK KAMBING PERANAKAN ETAWAH YANG DIPELIHARA DI PEDESAAN

KEGAGALAN REPRODUKSI PADA TERNAK KELINCI

SINKRONISASI BIRAHI SECARA BIOLOGIS DADA KAMBING PERA'NAKAN ETAWAH

BAB I PENDAHULUAN. Permasalahan yang dihadapi Provinsi Jambi salah satunya adalah pemenuhan

PERTUMBUHAN ANAK KAMBING KOSTA SELAMA PERIODE PRASAPIH PADA INDUK YANG BERUMUR LEBIH DARI 4 TAHUN

ANALISIS USAHATANI TERNAK KELINCI PADA POLA PEMELIHARAAN PETERNAK SKALA MENENGAH DAN KECIL DI KALIMANTAN TIMUR

Laju Pertumbuhan Kambing Anak Hasil Persilangan antara Kambing Boer dengan Peranakan Etawah pada Periode Pra-sapih

PENGARUH JENIS SINKRONISASI DAN WAKTU PENYUNTIKAN PMSG TERHADAP KINERJA BERAHI PADA TERNAK KAMBING ERANAKAN ETAWAH DAN SAPERA

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk yang terus

MANAJEMEN PEMELIHARAAN DOMBA PETERNAK DOMBA DI KAWASAN PERKEBUNAN TEBU PG JATITUJUH MAJALENGKA

I. PENDAHULUAN. Propinsi Lampung memiliki potensi sumber daya alam yang sangat besar untuk

II. TINJAUAN PUSTAKA A.

LAMA BUNTING, BOBOT LAHIR DAN DAYA HIDUP PRASAPIH KAMBING BOERKA-1 (50B;50K) BERDASARKAN: JENIS KELAMIN, TIPE LAHIR DAN PARITAS

REPRODUKSI AWAL KAMBING KACANG DAN BOERKA-1 DI LOKA PENELITIAN KAMBING POTONG

PEMBERIAN KONSENTRAT DENGAN LEVEL PROTEIN YANG BERBEDA PADA INDUK KAMBING PE SELAMA BUNTING TUA DAN LAKTASI

JURNAL INFO ISSN :

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB II TINJUAN PUSTAKA. Berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian nomor : 2915/Kpts/OT.140/6/2011 (Kementerian Pertanian, 2011),

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. kebutuhan sehingga sebagian masih harus diimpor (Suryana, 2009). Pemenuhan

HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Perkembangan dan kemajuan teknologi yang diikuti dengan kemajuan ilmu

IDENTIFIKASI KELAYAKAN PROGRAM INSEMINASI BUATAN (IB) TERNAK DOMBA DI DAERAH KANTONG PRODUKSI DI KABUPATEN CIANJUR

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Jawarandu merupakan kambing lokal Indonesia. Kambing jenis

MATERI DAN METODE. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilakukan pada bulan November 1999 sampai dengan

TEKNOLOGI TEPAT GUNA PENGGEMUKAN TERNAK DOMBA

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kabupaten Bone Bolango merupakan salah satu kabupaten diantara 5

I. PENDAHULUAN. Sapi perah merupakan salah satu penghasil protein hewani, yang dalam

KARAKTERISTIK SEMEN DAN TINGKAT LIBIDO DOMBA PERSILANGAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Bahan Kering (BK) 300, ,94 Total (g/e/hr) ± 115,13 Konsumsi BK Ransum (% BB) 450,29 ± 100,76 3,20

HASIL DAN PEMBAHASAN. Performans Bobot Lahir dan Bobot Sapih

FLUKTUASI BOBOT HIDUP KAMBING KACANG INDUK YANG DIKAWINKAN DENGAN PEJANTAN BOER DARI KAWIN SAMPAI ANAK LEPAS SAPIH

Seminar Nasional : Menggagas Kebangkitan Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura

PENERAPAN SINKRONISASI BIRAHI KAMBING BOERKA DENGAN LOKAL DI AREAL PERKEBUNAN BERBASIS TANAMAN JERUK PADA LAHAN KERING

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Kacang merupakan kambing asli Indonesia dengan populasi yang

PENETAPAN INTERVAL INSEMINASI BUATAN (IB) PADA AYAM BURAS

Perkawinan Sapi Potong di Indonesia

PENGEMBANGAN PERBIBITAN KERBAU KALANG DALAM MENUNJANG AGROBISNIS DAN AGROWISATA DI KALIMANTAN TIMUR

PERFORMANS REPRODUKSI SAPI BALI DAN SAPI PO DI KECAMATAN SUNGAI BAHAR

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005

TEKNOLOGI REPRODUKSI MENUNJANG PROGRAM PENGGEMUKAN TERNAK DOMBA

KEGIATAN SIWAB DI KABUPATEN NAGEKEO

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tepatnya yang berada di daerah Batur, Banjarnegara (Noviani et al., 2013). Domba

KORELASI BOBOT BADAN INDUK DENGAN LAMA BUNTING, LITTER SIZE, DAN BOBOT LAHIR ANAK KAMBING PERANAKAN ETAWAH

PRODUKTIVITAS KAMBING KACANG PADA KONDISI DI KANDANGKAN: 1. BOBOT LAHIR, BOBOT SAPIH, JUMLAH ANAK SEKELAHIRAN DAN DAYA HIDUP ANAK PRASAPIH

JURNAL TERNAK Vol. 06 No.01 Juni

Usman Budi * Staf Pengajar Departemen Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara

AYAM HASIL PERSILANGAN SEBAGAI ALTERNATIF PENGEMBANGAN USAHA TERNAK UNGGAS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Persebaran Kambing Peranakan Ettawah (PE) galur lainnya dan merupakan sumber daya genetik lokal Jawa Tengah yang perlu

BAB II TINJUAN PUSTAKA. Kambing merupakan ternak kecil pemakan rumput yang dapat dibedakan. menjadi tiga yaitu : potong, perah dan penghasil bulu.

KARAKTERISTIK PRODUKTIVITAS KAMBING PERANAKAN ETAWAH

Workshop Nasional Diversifikasi Pangan Daging Ruminansia Kecil 2011

Sexual behaviour Parturient behaviour Nursing & maternal behaviour

EFESIENSI USAHA PETERNAKAN SAPI PERAH DALAM MENGHADAPI ERA PERDAGANGAN BEBAS

HASIL DAN PEMBAHASAN. pejantan untuk dikawini. Diluar fase estrus, ternak betina akan menolak dan

penampungan [ilustrasi :1], penilaian, pengenceran, penyimpanan atau pengawetan (pendinginan dan pembekuan) dan pengangkutan semen, inseminasi, pencat

menghasilkan keturunan (melahirkan) yang sehat dan dapat tumbuh secara normal. Ternak yang mempunyai kesanggupan menghasilkan keturunan atau dapat

PENGEMBANGAN TERNAK KERBAU DI PROVINSI JAMBI

DUKUNGAN TEKNOLOGI PENYEDIAAN PRODUK PANGAN PETERNAKAN BERMUTU, AMAN DAN HALAL

HASlL DAN PEMBAHASAN

Edisi Agustus 2013 No.3520 Tahun XLIII. Badan Litbang Pertanian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Ettawa (asal india) dengan Kambing Kacang yang telah terjadi beberapa

PENGARUH WAKTU PENAMPUNGAN SEMEN TERHADAP GERAKAN MASSA SPERMATOZOA DAN TINGKAH LAKU KOPULASI PEJANTAN DOMBA GARUT

EFISIENSI REPRODUKSI SAPI POTONG DI KABUPATEN MOJOKERTO. Oleh : Donny Wahyu, SPt*

HASIL DAN PEMBAHASAN

Bachtar Bakrie, Neng Risris Sudolar, Heni Wijayanti

I. PENDAHULUAN. Ketahanan pangan merupakan prioritas ke-5 tingkat Nasional dalam Rancangan

Pembibitan dan Budidaya ternak dapat diartikan ternak yang digunakan sebagai tetua bagi anaknya tanpa atau sedikit memperhatikan potensi genetiknya. B

Judul Kegiatan : Penggunaan pakan berbasis produk samping industri sawit pada sistem perbibitan sapi model Grati dengan tingkat kebuntingan 65%

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Usaha diversifikasi pangan dengan memanfaatkan daging kambing

IDENTIFIKASI POLA PERKAWINAN SAPI POTONG DI WILAYAH SENTRA PERBIBITAN DAN PENGEMBANGAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dari Amerika (Masanto dan Agus, 2013). Kelinci New Zealand White memiliki

Adrial dan B. Haryanto Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Tengah Jalan G. Obos Km.5 Palangka Raya

UMUR SAPIH OPTIMAL PADA SAPI POTONG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia. Sebagai ternak potong, pertumbuhan sapi Bali tergantung pada kualitas

PRODUKTIVITAS KAMBING PERANAKAN ETAWAH (PE) PADA AGROEKOSISTEM YANG BERBEDA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kambing Kacang dengan kambing Ettawa. Kambing Jawarandu merupakan hasil

KINERJA REPRODUKSI SAPI POTONG PADA PETERNAKAN RAKYAT DI DAERAH KANTONG TERNAK DI JAWA TENGAH

PENAMPILAN REPRODUKSI DOMBA LOKAL YANG DISINKRONISASI DENGAN MEDROXY PROGESTERON ACETAT PADA KONDISI PETERNAK DI KELURAHAN JUHUT, KABUPATEN PANDEGLANG

Transkripsi:

UPAYA PENINGKATAN EFISIENSI REPRODUKSI TERNAK DOMBA DI TINGKAT PETAN TERNAK HASTONO Balai Penelitian Ternak, PO Box 221, Bogor 16002 ABSTRAK Salah satu upaya peningkatan sefisensi reproduksi ternak domba adalah perkawinan tepat waktu. Melalui perkawinan tepat waktu diharapkan ternak domba dapat beranak paling tidak tiga kali dalam dua tahun. Agar program ini dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan, maka peternak harus mau melakukan pencatatan, khususnya mengenai catatan perkawinan dan kelahiran. Disamping itu peternak harus mengetahui tandatanda berahi dan siklus berahi sehingga peternak dapat mengetahui ternak yang dipeliharanya dalam keadaan bunting atau tidak. Apabila pengetahuan tersebut sudah diketahui oleh peternak, maka langkah berikutnya adalah dapat melakukan sistem perkawinan yang efisien, sehingga efisiensi reproduksi ternak meningkat. Kata kunci: Perkawinan, domba, berahi PENDAHULUAN Salah satu upaya untuk pelestarian sumberdaya genetik (plasmanutfah) suatu bangsa ternak adalah melalui peningkatan populasi, dan hal tersebut tidak terlepas dari penampilan reproduksi ternak yang bersangkutan. Berbicara reproduksi maka sistem perkawinan akan terlibat didalamnya, baik kawin alam maupun suntik (IB). Kemudian waktu mengawinkan dan jumlah perkawinan memegang peranan penting dalam menentukan efisiensi reproduksi ternak, karena hal ini menyangkut jarak beranak yang akan ditimbulkannya. Salah satu penyebab rendahnya efisiensi reproduksi adalah kegagalan perkawinan sehingga jumlah berkawinan meningkat. Sejalan dengan fenomena tersebut, otomatis akan memperpanjang jarak beranak, yang pada akhirnya akan menghambat peningkatan populasi suatu bangsa ternak akibat rendahnya efisiensi reproduksi. SETIADI et al. (1995) melaporkan bahwa selang beranak ternak kambing pada kondisi pedesaan relatif masih tinggi, yakni berkisar antara 9 15 bulan, sementara pada domba 9,9 bulan (SUBANDRIYO et al., 1994). Pada makalah ini dibahas upaya peningkatan efisiensi reproduksi pada ternak domba yang dapat dilakukan oleh petani ternak secara mandiri. PERMASALAHAN Penyebab rendahnya efisiensi reproduksi ternak domba ditingkat petani di pedesaan diantaranya adalah tidak tepat waktu, ketika mengawinkan ternak domba yang dipeliharanya. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya yaitu: a). Rendahnya pemilikan pejantan. Petani beranggapan bahwa bila memelihara pejantan tidak menguntungkan karena tidak menghasilkan anak (HASTONO dan MASBULAN, 2001). Hasil penelitian PAMUNGKAS et al. (1996) menunjukkan bahwa terdapat rasio yang tidak seimbang antara pejantan dengan betina; yakni 1 : 24 sampai 1 : 27. Dengan tidak dimilikinya pajantan oleh sebagian besar petani, maka jika domba induk berahi tidak dapat segera dikawinkan. Petani terlebih dahulu harus mencari pejantan ketempat lain, biasanya dengan jalan menyewa. Akhirnya perkawinanpun terlambat untuk dilakukan. b). Petani belum memahami, atau tidak peduli terhadap tanda tanda berahi sehingga perkawinan tidak tepat waktu. Selain itu karena sebagian besar petani tidak mengandangkan ternak dombanya, terutama pada pagi hingga sore hari, maka berahi sulit untuk diketahui. c). Pada umumnya para petani belum memiliki catatan mengenai reproduksi ternaknya, sehingga tidak dapat menentukan kapan mulai mengamati untuk mengetahui 236

apakah domba induk atau dara yang dipeliharanya berahi kembali setelah dikawinkan. Bahkan tidak dapat menentukan kapan domba induk yang sudah beranak dikawinkan kembali. Salah satu cara agar penggunaan pejantan lebih efisien, adalah dengan kawin suntik (IB). Namun perkawinan secara IB ini sangat sulit, bila dilakukan oleh petani itu sendiri. Bagi petani, IB merupakan pekerjaan yang sangat rumit. Jangankan di tingkat petani, hingga saat inipun para ilmuawan masih terus melakukan penelitian mengenai kawin suntik (IB) pada ternak domba yang lebih efektif dan efisien (mudah dan murah) agar dapat dilakukan oleh para petani secara mandiri. Selain itu untuk menunjang keberhasilan IB agar lebih efektif dan efisien adalah dengan penyerempakkan berahi. TOMASZEWSKA et al. (1991) menyatakan bahwa salah satu keuntungan dari penyerempakan berahi adalah dapat menekan biaya Inseminasi Buatan (IB). Permasalahan dalam penyerempakan berahi ini adalah bila menggunakan hormon. Diketahui bahwa penyerempakan berahi secara hormonal merupakan hal yang sulit untuk dilakukan oleh petani, selain menyita waktu juga memerlukan biaya yang cukup tinggi untuk ukuran petani dipedesaan. Pokok permasalahan yang menyebabkan rendahnya efisiensi reproduksi pada ternak domba dapat digambarkan secara sederhana dalam diagram 1. Efisiensi reproduksi rendah AKIBAT Jarak beranak panjang Tidak bunting S E B A B Tidak dikandangkan Berahi tidak diketahui Tidak ada catatan reproduksi Jumlah pejantan terbatas Terlambat kawin Belum tahu tanda-tanda berahi Gambar 1. Diagram hubungan sebab akibat negatif PEMECAHAN MASALAH Untuk meningkatkan efisiensi reproduksi pada ternak domba di pedesaan, maka petani harus melakukan langkah-langkah sebagai berikut: Kesediaan memelihara pejantan Hasil penelitian HASTONO dan MASBULAN (2001) menunjukkan bahwa sebanyak 71,13 persen petani di Desa Tenjonegara Kabupaten Garut meminjam pejantan dari orang lain ketika mengawinkan ternaknya. Untuk mengatasi rendahnya jumlah petani yang memiliki pejantan tersebut, adalah mengadakan percontohan kepada petani yang menunjukkan bahwa manfaat yang diperoleh dengan memiliki pejantan antara lain : 1) Petani tidak perlu menyewa pejantan kepada peternak lain, sehingga dapat menghemat pengeluaran untuk mengawinkan ternaknya, 2) Peternak tidak perlu mengamati waktu berahi, karena dengan memiliki pejantan sendiri, maka pejantan tersebut dapat disatukan dalam satu kandang dengan betina induk secara terus menerus, sehingga perkawinan dapat terjadi kapan saja, 3) Jarak beranak dapat diperpendek dari 10 12 bulan menjadi 7 8 bulan atau dapat beranak tiga kali dalam dua tahun, 4) Jumlah pemilikan ternak meningkat. 237

Mengetahui tanda tanda berahi Salah satu syarat agar perkawinan dapat dilakukan tepat waktu, khususnya pada perkawinan dengan sistem hand mating, petani hendak mengetahui tanda-tanda berahi. TOELIHERE (1993) menerangkan bahwa tanda tanda berahi pada domba induk adalah diam bila dinaiki pejantan, menggoyang goyangkan ekornya, memperhatikan dan mendekati pejantan. Pencatatan (recording) Untuk memudahkan petani dalam melakukan manajemen perkawinan maka pencatatan reproduksi ternak mutlak diperlukan, antara lain menyangkut: Waktu mengawinkan, pentingnya catatan ini adalah peternak dapat mengetahui apakah ternaknya sudah bunting atau belum, dengan melihat apakah domba induk minta kawin (berahi) lagi atau tidak setelah 14 19 hari dikawinkan. TOELIHERE (1993) menerangkan bahwa siklus berahi pada domba, yang normal 14 19 hari, dengan rataan 17 hari. Apabila pada waktu siklus brahi berikutnya domba induk tidak berahi lagi setelah dikawinkan, maka dapat dipastikan domba induk tersebut sudah bunting. Waktu kelahiran, catatan ini penting, untuk mengetahui umur domba anak yang dilahirkan secara tepat dan akurat, selain itu berguna untuk menentukan umur penyapihan dan waktu mengawinkan kembali domba induk setelah beranak. Dengan adanya pencatatan tersebut, peternak dapat memperoleh keuntungan seperti: peternak dapat membuat beberapa perencanaan diantaranya menentukan waktu mengawinkan setelah beranak agar jarak beranak dapat diperpendek, mengamati jika ada induk berahi kembali setelah dikawinkan. Sistem perkawinan Dikenal dua sistem perkawinan pada ternak domba yaitu kawin alam dan kawin suntik (IB), namun yang paling memungkinkan dilakukan petani adalah kawin alam. Hingga saat ini kawin suntik (IB) belum dapat dilakukan secara mandiri oleh petani, walaupun tingkat kebuntingan hasil IB dengan semen cair dapat mencapai 79,4 persen (ADIATI dan SUPARYANTO, 2001). Perkawinan alam ada dua macam yakni: 1) ternak jantan dipisah dengan domba induk dan pejantan dikawinkan pada waktu domba induk dalam keadaan berahi. Kelemahan pada sistem perkawinan ini adalah bila petani terlambat mengetahui waktu berahi, maka kemungkinan besar waktu mengawinkan tidak tepat (terlambat), akibatnya kemungkinan kecil terjadi kebuntingan. Jadi pada sistem perkawinan ini petani dituntut harus paham benar mengenai tanda tanda berahi 2). Sistem perkawinan kelompok, yaitu pejantan disatukan dengan kelompok induk secara terus menerus, paling tidak selama dua bulan. Diharapkan selama dua bulan tersebut, semua domba induk sudah bunting, baru kemudian pejantan ditempatkan pada kandang yang terpisah. Sistem perkawinan kelompok inilah kiranya yang cocok untuk diterapkan ditingkat petani, karena mudah dan murah. Untuk menghemat waktu dan tenaga sebaiknya perkawinan dilakukan secara alam dengan sistem kelompok, dengan perbandingan jantan : betina = 1 : 10 15 (LINDSAY dalam PAMUNGKAS et al., 1996). Agar waktu mengawinkan dan melahirkan dapat seragam, maka perlu dilakukan penyerempakkan berahi yang sederhana yang dapat dilakukan oleh peternak seperti penyerempakan berahi secara biologis. Penyerempakan berahi secara hormonal merupakan hal yang sulit untuk dilakukan oleh petani, karena memerlukan biaya yang cukup tinggi untuk ukuran peternak dipedesaan. Penyerempakkan berahi secara biologis dapat dilakukan dengan menggunakan perangsangan pejantan. Proses tersebut diawali dengan menempatkan ternak betina secara terpisah (tidak terlihat secara fisik dan tidak tercium bau) dari pejantan selama kurang lebih 34 hari (OLDHAM, yang dikutip SIANTURI et al., 1997). Selanjutnya ternak jantan disatukan dengan betina, maka kehadiran pejantan tersebut menyebabkan rangsangan fisiologis melalui penglihatan, suara dan bau terhadap proses ovulasi dan berahi. Pheromon adalah bau spesifik yang diproduksi oleh kelenjar 238

tubuh ternak jantan dan dikeluarkan melalui kulit dan bulu. Diduga pheromon memegang peranan penting dalam proses penyerentakan berahi secara biologis (KNIGHT dan LYNCH, dalam SIANTURI et al., 1997). Bagi indukinduk yang tidak memperlihatkan tanda-tanda berahi (berahi tenang), disarankan untuk disatukan dengan pejantan selama 6 hari. Proses tersebut menyebabkan berahi akan terjadi dengan diikuti oleh ovulasi (PUSLITBANG PETERNAKAN, 1989). Penelitian mengenai penyerempakkan berahi secara biologis yaitu dengan cara mengisolasi sekelompok betina selama 3 minggu dari pejantan, kemudian setelah tiga minggu secara tiba-tiba dimasukkan pejantan kedalam kelompok betina tersebut, maka sekitar 37 jam kemudian akan timbul berahi secara bersamaan (ADIATI et al., 1997). Memperpendek jarak beranak Usaha memperpendek jarak beranak ini erat hubungannya dengan aktivitas seksual, semakin cepat berahi kembali stelah beranak, maka akan semakin cepat ternak tersebut dikawinkan kembali, sehingga akan memperpendek jarak beranak. Kenyataan di lapang jarak beranak pada domba masih cukup panjang yakni 9,9 bulan (SUBANDRIYO et al., 1994). Hasil penelitian PAMUNGKAS et al. (1996) menunjukkan bahwa di pedesaan jarak dikawinkan kembali domba ekor gemuk setelah beranak cukup lama yaitu 87, 88 dan 87,23 hari masing-masing untuk dataran rendah dan sedang. Untuk memperpendek jarak beranak, hendaknya domba induk dikawinkan kembali paling lama dua bulan setelah beranak, atau paling cepat dua kali berahi setelah beranak, karena pada umur tersebut diharapkan keadaan uterus sudah pulih kembali (normal). Hasil penelitian HASTONO dan MASBULAN (2001) menunujukkan bahwa domba induk Garut dikawinkan kembali 54,07 dan 58,28 hari setelah beranak, masing masing untuk desa Sukawargi dan Tenjonegara Kabupaten Garut, sehingga diperoleh jarak beranak 7,54 dan 8,14 bulan. Mengandangkan ternak Pengandangan ternak merupakan salah satu upaya peningkatan efisiensi reproduksi. Dengan cara ini peternak akan lebih mudah melakukan pengamatan birahi dan tatalaksana perkawinan. Dalam prakteknya manajemen pengandangan ternak dapat dilakukan sebagai berikut: a. Untuk domba dara dikandangkan pada umur pubertas yaitu pada umur antara 7 10 bulan b. Untuk domba induk setelah beranak, dikandangkan terus-menerus selama dua bulan. Hal ini bertujuan untuk mengetahui waktu berahi kembali setelah beranak. c. Setelah dikawinkan, tujuannya adalah untuk memastikan keberhasilan perkawinan (terjadi kebuntingan) atau tidak. KESIMPULAN Peningkatan efisiensi reproduksi pada ternak domba di pedesaan dapat ditempuh dengan: 1). peningkatan jumlah petani memelihara pejantan, 2). dilakukan pencatatan (recording) reproduksi, 3). menggunakan sistem perkawinan alam secara kelompok. DAFTAR PUSTAKA ADIATI. U., HASTONO, RSG. SIANTURI., T.D. CHANIAGO dan I-K. SUTAMA. 1997. Sinkronosasi birahi secara biologis pada kambing Peranakan Etawah. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Bogor, 18 19 Nopember 1997. Puslitbang Peternakan. Badan Litbang Pertanian. departemen Pertanian. Hlm. 411 416. HASTONO dan E. MASBULAN. 2001. Keragaan reproduksi domba rakyat di Kabupaten Garut. Pros. Sem. Nasional Peternakan dan Veteriner. Bogor,17 18 September 2001. Puslitbang Peternakan. Badan Litbang Pertanian. Deptan. Bogor, 2001. Hlm. 100 105. 239

PAMUNGKAS, D., L. AFFANDHY, D. B. WIJONO, dan K. MA SUM. 1996. Karakteristik usaha pemeliharaan domba Ekor Gemuk di daerah sentra bibit pedesaan di Jawa Timur. Pros. Temu Ilmiah Hasil Hasil Penelitian Peternakan. Ciawi, Bogor, 9 1 Januari 1990. Balitnak. Puslitbangnak. Badan Penelitian Dan Pengembangan Pertanian, 1996. PUSLITBANG PETERNAKAN, 1989. Pedoman Praktis Beternak Kambing-Domba sebagai Ternak Potong. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian, 1989. SIANTURI, RSG., U. ADIATI, HASTONO, IGM. BUDIARSANA dan I-K. SUTAMA. 1997. Sinkronisasi birahi secara hormonal pada kambing Peranakan Etawah. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Bogor, 18 19 Nopember 1997. Puslitbang Peternakan. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian. SUBANDRIYO, B. SETIADI, T. D. SOEDJANA dan P. SITORUS. 1994. Produktivitas usahaternak domba di pedesaan. Jurnal Penelitian Peternakan. Nomor 1. Hlm. 1 7. TOELIHERE. 1993. Fisiologi Reproduksi pada Ternak. Penerbit Angkasa Bandung. TOMASZWESKA, M. W., I-K SUTAMA, I. G. PUTU dan T. D. CHANIAGO. 1991. Reproduksi Tingkah Laku dan Produksi Ternak di Indonesia. Gramedia Pustaka Utama Yakarta, 1991. 240