BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. disebabkan oleh cacing filaria yang menyerang saluran dan kelenjar getah bening.

dokumen-dokumen yang mirip
Proses Penularan Penyakit

IDENTIFIKASI FILARIASIS YANG DISEBABKAN OLEH CACING NEMATODA WHECERERIA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pada anggota badan terutama pada tungkai atau tangan. apabila terkena pemaparan larva infektif secara intensif dalam jangka

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh cacing filaria dan ditularkan oleh nyamuk Mansonia, Anopheles,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. klinis, penyakit ini menunjukkan gejala akut dan kronis. Gejala akut berupa

BAB I. Pendahuluan. A. latar belakang. Di indonesia yang memiliki iklim tropis. memungkinkan nyamuk untuk berkembang biak dengan baik

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. penyakit menular menahun yang disebabkan oleh infeksi cacing filaria dan ditularkan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Bab I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

Filariasis : Pencegahan Terkait Faktor Risiko. Filariasis : Prevention Related to Risk Factor

BAB 1 PENDAHULUAN. Deklarasi Milenium yang merupakan kesepakatan para kepala negara dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada tahun 2013 jumlah kasus baru filariasis ditemukan sebanyak 24 kasus,

BAB I PENDAHULUAN. Akibat yang paling fatal bagi penderita yaitu kecacatan permanen yang sangat. mengganggu produktivitas (Widoyono, 2008).

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Filariasis (penyakit kaki gajah) adalah penyakit menular yang

BAB 1 PENDAHULUAN. kaki gajah, dan di beberapa daerah menyebutnya untut adalah penyakit yang

BAB 1 PENDAHULUAN. disebabkan oleh infeksi cacing filaria dan ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk.

BAB I PENDAHULUAN. 1

Analisis Spasial Distribusi Kasus Filariasis di Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun

BAB XX FILARIASIS. Hospes Reservoir

BAB I PENDAHULUAN.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Filariasis (penyakit kaki gajah) ialah penyakit menular menahun yang

BAB I PENDAHULUAN. menetap dan berjangka lama terbesar kedua di dunia setelah kecacatan mental (WHO,

TL-2271 Sanitasi Berbasis Masyarakat Minggu 3

KEEFEKTIFAN MODEL PENDAMPINGAN DALAM MENINGKATKAN CAKUPAN OBAT PADA PENGOBATAN MASSAL FILARIASIS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

5. Manifestasi Klinis

B A B 2 TINJAUAN PUSTAKA. cacing filaria kelompok nematoda, dan ditularkan oleh gigitan berbagai jenis

BAB I PENDAHULUAN. penyakit yang disebabkan oleh infeksi cacing filaria yang penularannya melalui

HUBUNGAN PRAKTEK PENCEGAHAN PENULARAN DENGAN KEJADIAN FILARIASIS DI KELURAHAN JENGGOT KOTA PEKALONGAN TAHUN 2015

ANALISIS PRAKTIK PENCEGAHAN FILARIASIS DAN MF-RATE DI KOTA PEKALONGAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENYAKIT-PENYAKIT DITULARKAN VEKTOR

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang meruncing pada kedua ujung. Anggota-anggota filum ini disebut cacing bulat

SATUAN ACARA PENYULUHAN (SAP)

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

FAKTOR-FAKTOR LINGKUNGAN DAN PERILAKU YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN FILARIASIS DI KABUPATEN BANGKA BARAT

Prevalensi pre_treatment

ANALISIS SPASIAL ASPEK KESEHATAN LINGKUNGAN DENGAN KEJADIAN FILARIASIS DI KOTA PEKALONGAN

Materi Penyuluhan Konsep Tuberkulosis Paru

BAB 1 : PENDAHULUAN. Filariasis adalah penyakit yang disebabkan oleh cacing filaria yang

FAKTO-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN FILARIASIS DI PUSKESMAS TIRTO I KABUPATEN PEKALONGAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Filariasis limfatik merupakan penyakit tular vektor dengan manifestasi

BAB I PENDAHULUAN. Prioritas pembangunan kesehatan dalam rencana strategis kementerian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Vektor dalam arti luas adalah pembawa atau pengangkut. Vektor dapat berupa

BAB II TIJAUAN PUSTAKA. A. Infeksi cacing Enterobius vermicularis (Enterobiasis)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Rumah Sehat. edited by Ratna Farida

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan yang disebabkan oleh berjangkitnya penyakit-penyakit tropis. Salah satu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

FAKTOR DOMINAN YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN FILARIASIS DI KOTA PADANG TAHUN

BAB 4 HASIL PENELITIAN

NYAMUK SI PEMBAWA PENYAKIT Selasa,

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Infeksi Trichuris trichiura adalah salah satu penyakit cacingan yang banyak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebabkan oleh virus dengue dari genus Flavivirus. Virus dengue

BAB 1 RANGKUMAN Judul Penelitian yang Diusulkan Penelitian yang akan diusulkan ini berjudul Model Penyebaran Penyakit Kaki Gajah.

TUGAS PERENCANAAN PUSKESMAS UNTUK MENURUNKAN ANGKA KESAKITAN FILARIASIS KELOMPOK 6

ABSTRAK. Pembimbing I : Rita Tjokropranoto, dr., M.Sc Pembimbing II : Hartini Tiono, dr.,m. Kes

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Di awal atau penghujung musim hujan suhu atau kelembaban udara umumnya

BAB 1 PENDAHULUAN. daerah tropis antara lain adalah malaria dan filariasis merupakan masalah

URIC ACID RELATIONSHIP WITH BLOOD SUGAR PATIENTS TYPE 2 DIABETES MELLITUS THE EXPERIENCE OF OBESITY

BAB 1 PENDAHULUAN. Filariasis atau yang dikenal juga dengan sebutan elephantiasis atau yang

BAB I PENDAHULUAN. yang disebabkan infeksi cacing filaria yang ditularkan melalui gigitan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. distribusinya kosmopolit, jumlahnya lebih dari spesies, stadium larva

B. Bangunan 1. Umum Bangunan harus dibuat sesuai dengan peraturan perundangundangan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Penyakit DBD adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue

PENYELIDIKAN KEJADIAN LUAR BIASA DI GIANYAR. Oleh I MADE SUTARGA PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA 2015

BAB I PENDAHULUAN. lebih dari 2 miliar atau 42% penduduk bumi memiliki resiko terkena malaria. WHO

MENJAGA KESEHATAN LINGKUNGAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

HUBUNGAN ANTARA FAKTOR PENDIDIKAN DENGAN KEJADIAN FILARIASIS YANG DITENTUKAN BERDASARKAN DISTRIBUSI IGG4 ANTIFILARIA. Biyan Maulana*, Heri Wibowo**

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Filariasis cases In Tanta Subdistrict, Tabalong District on 2009 After 5 Years Of Treatment

APA ITU TB(TUBERCULOSIS)

BAB 1 PENDAHULUAN. sejak lama tetapi kemudian merebak kembali (re-emerging disease). Menurut

BAB I PENDAHULUAN UKDW. sebagai vektor penyakit seperti West Nile Virus, Filariasis, Japanese

PENGANTAR KBM MATA KULIAH BIOMEDIK I. (Bagian Parasitologi) didik.dosen.unimus.ac.id

I. PENDAHULUAN. nyamuk Anopheles sp. betina yang sudah terinfeksi Plasmodium (Depkes RI, 2009)

FIELD BOOK PERILAKU HIDUP BERSIH DAN SEHAT DAN PENYAKIT BERBASIS LINGKUNGAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Tuberkulosis paru (Tb paru) adalah penyakit infeksius. 5 Tb paru ini bersifat menahun

BAB I PENDAHULUAN. Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh plasmodium yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA BAB I PENDAHULUAN

SITUASI FILARIASIS DI KABUPATEN SUMBA TENGAH PROPINSI NUSA TENGGARA TIMUR TAHUN 2009

Bagaimanakah Perilaku Nyamuk Demam berdarah?

ARTIKEL PENELITIAN HUBUNGAN KONDISI SANITASI DASAR RUMAH DENGAN KEJADIAN DIARE PADA BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS REMBANG 2

BAB 1 PENDAHULUAN. agar peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dapat

b. Dampak Pencemaran oleh Nitrogen Oksida Gas Nitrogen Oksida memiliki 2 sifat yang berbeda dan keduanya sangat berbahaya bagi kesehatan.

TINJAUAN PUSTAKA. Di Indonesia fiiariasis dikenal sebagai penyakit kaki gajah. Filariasis

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

LAMPIRAN I DOKUMENTASI PENELITIAN

Perpustakaan UPN "Veteran" Jakarta

RUMAH SEHAT. Oleh : SUYAMDI, S.H, M.M Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Karanganyar

BAB 1 PENDAHULUAN. Berdasarkan laporan WHO (World Health Organisation) pada tahun 2014,

Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit yang disebabkan oleh. virus Dengue yang ditularkan dari host melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypti.

Transkripsi:

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Filariasis 2.1.1. Pengertian Filariasis Filariasis (penyakit kaki gajah) adalah penyakit menular menahun yang disebabkan oleh cacing filaria yang menyerang saluran dan kelenjar getah bening. Penyakit ini dapat merusak sistem limfe, menimbulkan pembengkakan pada tangan, kaki, glandula mammae dan scrotum dan menimbulkan cacat seumur hidup (Depkes RI, 2009). 2.1.2. Epidemiologi Filariasis Penyakit filariasis terutama ditemukan di daerah khatulistiwa dan merupakan masalah di daerah daratan rendah. Kadang-kadang dapat juga ditemukan di daerah bukit yang tidak terlalu tinggi. Di Indonesia penyakit ini lebih banyak ditemukan di daerah pedesaan. Di daerah kota hanya W.brancrofti yang telah ditemukan, seperti di kota Jakarta, tangerang, Pekalongan dan semarang dan mungkin di beberapa kota lainnya. Di Idonesia filariasis tersebar luas; daerah endemi terdapat di banyak pulau di seluruh Nusantara, seperti disumatra dan sekitarnya, jawa, Kalimatan, Sulawesi, NTT, Maluku, dan Irian jaya. Masih banyak daerah yang belum diselidiki. Pemberantasan filariasis sudah dilakukan oleh Departemen Kesehatan sejak tahun 1970 dengan pemberian DEC dosis rendah jangka panjang (100 mg/mingggu

selama 40 minggu). Survey prevalensi filariasis yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan menunjukkan bahwa prevalensi infeksi cukup tinggi bervariasi dari 0,5%- 19,46% (P2M & PLP, 1999). Prevalensi infeksi dapat berubah-ubah dari masa ke masa pada umumnya ada tedensi menurun dengan adanya kemajuan dalam pembangunan yang menyebabkan perubahan lingkungan. Untuk dapat memahami epidemiologi filariasis, perlu diperhatikan faktor-faktor seperti hospes, hospes reservoar, vector dan keadaan lingkungan yang sesuai untuk menunjang kelangsungan hidup masing-masing (Depkes RI, 2009). 2.1.3. Hospes 2.1.3.1. Manusia Manusia yang mengandung parasit selalu mendapat menjadi sumber infeksi bagi orang lain yang rentan (suseptibel). Biasanya pendatang baru ke daerah endemi (transmigran) lebih rentan terhadap infeksi filariasis dan lebih menderita dari pada penduduk asli. Pada umumnya laki-laki lebih banyak yang terkena infeksi, karena lebih banyak kesempatan untuk mendapat infeksi (exposure). Juga gejala penyakit lebih nyata laki-laki, karena pekerjaan fisik yang lebih berat. Tipe B.malayi yang dapat hidup pada hewan merupakan sumber infeksi untuk manusia. Hewan yang sering ditemukan mengandung infeksi adalah kucing dan kera terutama jenis Presbytis, meskipun hewan lain mungkin juga terkena infeksi (Sutanto dkk, 2009). Pada dasarnya setiap orang dapat tertular filariasis apabila ditusuk oleh nyamuk infektif (mengandung larva stadium 3). Nyamuk infektif mendapat mikrofilaria dari pengidap, baik pengidap dengan gejala klinismaupun pengidap yang

tidak menunjukkan gejala klinis. Pada daerah endemis filariasis, tidak semua orang terinfeksi filariasis dan tidak semua orang yang terinfeksi menunjukkan gejala klinis. Seseorang yang terinfeksi filariasis tetapi belum menunjukkan gejala klinis biasanya sudah terjadi perubahan-perubahan patologis di dalam tubuhnya (Notoatmodjo,S,1997) Penduduk pendatang pada suatu daerah endemis filariasis mempunyai risiko terinfeksi filariasis lebih besar dibanding penduduk asli. Penduduk pendatang dari daerah non endemis ke daerah endemis, misalnya transmigran, walaupun pada pemeriksaan darah jari belum atau sedikit mengandung mikrofilaria, tetapi sudah menunjukkan gejala klinis yang berat (Depkes RI,2006). 2.1.3.2. Hewan Banyak spesies nyamuk telah ditemukan sebagai vector filariasia, tergantung pada jenis cacing filarianya. W.bancrofti yang terdapat di daerah perkotaan (urba) ditularkan oleh Cx.quinquefasciatus yang yang tempat pperindukannya air kotor dan tercemar. W.bancrofti di daerah pedesaan (rural) dapat ditukar oleh bermacam spesies nyamuk. Di Irian jaya W.bancrofti ditularka terutama oleh An.farauti yang dapat menggunakan bekas jejak kaki binatang (footprint) untuk tempatperindukannya. Selain itu ditemukan juga sebagai vector An.subpictus, An.punctulatus, Cx.annulirostris dian Ae.kochi, W.bancofti di daerah lain dapat ditularkan oleh spesies lain, seperti An.subpictus di daerah pantai di NTT. Selain nyamuk Culex, Aedes pernah juga ditemukan sebagai vector (Sutanto dkk, 2009).

B.malayi yang hidup pada manusia dan hewan biasanya ditularkan oleh berbagai spesies Mansonia seperti Ma.uniformis, Ma.bonneae, Ma.dives dan lainlain, yang berkembang biak di daerah rawa di Sumatra, Kalimatan, Maluku dan lainlain. B.malayi yang periodik ditularkan oleh An.barbirostris yang memakai sawah sebagai tampat perindukanny, seperti di daerah Sulawesi. B.timori, spesies ditemukan di Indonesia sejak 1965 hingga sekaranghanya ditemukan didaerah NTT dan Timor Timur, ditularkan oleh An.barbirostris yang berkembang biak di daerah sawah, baik di dekat pantai maupun di daerah pedalaman. Beberapa jenis hewan dapat berperan sebagai sumber penularan filariasis (hewan reservoir). Dari semua spesies cacing filaria yang menginfeksi manusia di Indonesia, hanya B. malayi tipe sub periodic nokturna dan non periodik yang ditemukan pada lutung (Presbytis cristatus), kera (Macaca fascicularis) dan kucing (Felis catus.). Pengendalian filariasis pada hewan reservoir ini tidak mudah, oleh karena itu juga akan menyulitkan upaya pemberantasan filariasis pada manusia (Sutanto dkk, 2009). Nyamuk termasuk serangga yang melangsungkan siklus kehidupan di air. Kelangsungan hidup nyamuk akan terputus apabila tidak ada air. Nyamuk dewasa sekali bertelur sebanyak ± 100-300 butir, besar telur sekitar 0,5 mm. Setelah 1-2 hari menetas menjadi jentik, 8-10 hari menjadi kepompong (pupa), dan 1-2 hari menjadi nyamuk dewasa. Nyamuk jantan akan terbang disekitar perindukannya dan makan cairan tumbuhan yang ada disekitarnya. Nyamuk betina hanya kawin sekali dalam hidupnya. Perkawinan biasanya terjadi setelah 24-48 jam setelah keluar dari

kepompong. Makanan nyamuk betina yaitu darah, yang dibutuhkan untuk pertumbuhan telurnya (Depkes RI, 2007) Beberapa aspek penting dari nyamuk adalah : 1) Perilaku Nyamuk a) Tempat hinggap atau istirahat (1) Eksofilik, yaitu nyamuk lebih suka hinggap atau istirahat di luar rumah. (2) Endofilik, yaitu nyamuk lebih suka hinggap atau istirahat di dalam rumah. b). Tempat menggigit (1) Eksofagik, yaitu nyamuk lebih suka menggigit di luar rumah. (2) Endofagik, yaitu nyamuk lebih suka menggigit di dalam rumah. c). Obyek yang digigit (1) Antropofilik, yaitu nyamuk lebih suka menggigit manusia. (2) Zoofilik, yaitu nyamuk lebih suka menggigit hewan. (3) Indiscriminate biters/indiscriminate feeders, yaitu nyamuk tanpa kesukaan tertentu terhadap hospes. 2). Frekuensi Menggigit Manusia Frekuensi membutuhkan atau menghisap darah tergantung spesiesnya dan dipengaruhi oleh temperatur dan kelembaban, yang disebut siklus gonotrofik. Untuk iklim tropis biasanya siklus ini berlangsung sekitar 48-96 jam.

3). Siklus Gonotrofik yaitu waktu yang diperlukan untuk matangnya telur. Waktu ini juga merupakan interval menggigit nyamuk. 4). Faktor Lain yang Penting Umur nyamuk (longevity), semakin panjang umur nyamuk semakin besar kemungkinannya untuk menjadi penular atau vektor. Umur nyamuk bervariasi tergantung dari spesiesnya dan dipengaruhi oleh lingkungan. Kemampuan nyamuk vektor untuk mendapatkan mikrofilaria saat menghisap darah yang mengandung mikrofilaria juga sangat terbatas, nyamuk yang menghisap mikrofilaria terlalu banyak dapat mengalami kematian, tetapi jika yang terhisap terlalu sedikit dapat memperkecil jumlah microfilaria stadium larva L3 yang akan ditularkan. Periodisitas microfilaria dan perilaku menghisap darah nyamuk vektor berpengaruh terhadap risiko penularan. Pengetahuan kepadatan nyamuk vektor dan umur nyamuk vektor sangat penting untuk mengetahui musim penularan dan dapat digunakan sebagai parameter untuk menilai keberhasilan program pemberantasan vektor. Filariasis di Indonesia disebabkan oleh tiga spesies cacing filaria, yaitu : a. W. bancrofti (Cobbold 1877) b. B. malayi (Lichtenstein 1927) c. B. timori (Partono et al 1977) Cacing filaria (Nematoda:Filarioidea) baik limfatik maupun non limfatik, mempunyai ciri khas yang sama sebagai berikut: dalam reproduksinya tidak lagi

mengeluarkan telur melainkan mikrofilaria (larva cacing), dan ditularkan oleh Arthropoda (nyamuk). Mikrofilaria mempunyai periodisitas tertentu, artinya mikrofilaria berada di darah tepi pada waktu-waktu tertentu saja. Misalnya pada W. bancrofti bersifat periodik nokturnal, artinya mikrofilaria banyak terdapat di dalam darah tepi pada malam hari, sedangkan pada siang hari banyak terdapat di kapiler organ dalam seperti jantung dan ginjal (periodik diurnal). Varian subperiodik baik nokturnal maupun diurnal dijumpai pada filaria limfatik Wuchereria dan Brugia. Periodisitas mikrofilaria berpengaruh terhadap risiko penularan filarial (Depkes RI, 2009) Daerah endemis filariasis pada umumnya adalah daerah dataran rendah, terutama di pedesaan, pantai, pedalaman, persawahan, rawa-rawa dan hutan. Secara umum, filariasis W. bancrofti tersebar di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua.W. bancrofti tipe pedesaan masih banyak ditemukan di Papua, Nusa Tenggara Timur, sedangkan W. bancrofti tipe perkotaan banyak ditemukan di kota seperti di Bekasi, Tangerang, Pekalongan dan Lebak. B. malayi tersebar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan beberapa pulau di Maluku. B. timori terdapat di kepulauan Flores, Alor, Rote, Timor dansumba, umumnya endemik di daerah persawahan (Ahmad WP, 2000).

Secara epidemiologi cacing filaria dibagi menjadi 6 tipe, yaitu ; 1. Wuchereria Bancrofti Tipe Perkotaan (Urban) Ditemukan di daerah perkotaan seperti Bekasi, Tangerang, Pekalongan dan sekitarnya memiliki periodisitas nokturna, ditularkan oleh nyamuk Cx. quinquefasciatus yang berkembang biak di air limbah rumahtangga. 2. Wuchereria Bancrofti Tipe Pedesaan (Rural) Ditemukan di daerah pedesaan luar Jawa, terutama tersebar luas di Papua dan Nusa Tenggara Timur, mempunyai periodisitas nokturna yang ditularkan melalui berbagai spesies nyamuk Anopheles dan Culex. 3. Brugia Malayi Tipe Periodik Nokturna Mikrofilaria ditemukan di darah tepi pada malam hari. Jenis nyamuk penularnya adalah Anopheles barbirostis yang ditemukan di daerah persawahan (DepkesRI, 2009) 4. Brugia Malayi Tipe Subperiodik Nokturna Mikrofilaria ditemukan di darah tepi pada siang dan malam hari, tetapi lebih banyak ditemukan pada malam hari. Jenis nyamuk penularnya adalah Mansonia spp yang ditemukan di daerah rawa. 5. Brugia Malayi Tipe non Periodik Mikrofilaria ditemukan di darah tepi baik malam maupun siang hari. Jenis nyamuk penularnya adalah Mansonia bonneae dan Mansonia uniformis yang ditemukan di hutan rimba.

6. Brugia Timori Tipe Periodik Nokturna Mikrofilaria ditemukan di darah tepi pada malam hari. Jenis nyamuk penularnya adalah An. barbirostris yang ditemukan di daerah persawahan Nusa Tenggara Timur, Maluku Tenggara. Secara umum daur hidup spesies cacing tersebut tidak berbeda. Daur hidup parasit terjadi di dalam tubuh manusia dan tubuh nyamuk. Cacing dewasa (disebut makrofilaria) hidup di saluran dan kelenjar limfe,sedangkan anaknya (disebut mikrofilaria) ada di dalam sistem peredaran darah. a. Makrofilaria Makrofilaria (cacing dewasa) berbentuk silindris, halus seperti benang berwarna putih susu dan hidup di dalam sistem limfe. Cacing betina bersifat ovovivipar dan berukuran 55 100 mm x 0,16 mm, dapat menghasilkan jutaan mikrofilaria. Cacing jantan berukuran lebih kecil ± 55 mm x 0,09 mm dengan ujung ekor melingkar (Notoatmodjo,1997). b. Mikrofilaria Cacing dewasa betina setelah mengalami fertilisasi mengeluarkan jutaan anak cacing yang disebut mikrofilaria. Ukuran mikrofilaria 200-600 μm x 8 μm dan mempunyai sarung. Secara mikroskopis, morfologi spesies mikrofilaria dapat dibedakan berdasarkan : ukuran ruang kepala serta warna sarung pada pewarnaan giemsa, susunan inti badan, jumlah dan letak inti pada ujung ekor (Notoatmodjo,1997).

c. Larva dalam Tubuh Nyamuk Pada saat nyamuk menghisap darah manusia/hewan yang mengandung mikrofilaria, maka mikrofilaria akan terbawa masuk ke dalam lambung dan melepaskan selubungnya, kemudian menembus dinding lambung dan bergerak menuju otot atau jaringan lemak di bagian dada. Setelah ± 3 hari, mikrofilaria mengalami perubahan bentuk menjadi larva stadium 1 (L1), bentuknya seperti sosis berukuran 125-250 μm x 10-17 μm, dengan ekor runcing seperti cambuk. Setelah ± 6 hari, larva tumbuh menjadi larva stadium 2 (L2) disebut larva preinfektif yang berukuran 200-300 μm x 15-30 μm, dengan ekor tumpul atau memendek. Pada stadium 2 ini larva menunjukkan adanya gerakan. Hari ke 8 10 pada spesies Brugia atau hari 10 14 pada spesies Wuchereria, larva tumbuh menjadi larva stadium 3 (L3) yang berukuran ± 1400 μm x 20 μm. Larva stadium L3 tampak panjang dan ramping disertai dengan gerakan yang aktif. Stadium 3 ini merupakan cacing infektif. Di Indonesia hingga saat ini telah teridentifikasi 23 spesies nyamuk dari 5 genus, yaitu : Mansonia (Ma. uniformis, Ma. indiana, Ma. dives, Ma.bonneae, Ma. annulifera, Ma. annulata, Ma. dives, Ma. nigerimus), Anopheles (An. nigerimus, An. subpictus, An. barbirostris, An. aconitus, An. vagus, An.dives, An. maculatus, An. farauti, An. koliensis, An. punctulatus, An.bancrofti), Culex (Cx. quinquefasciatus, Cx. annulirostris, Cx. whitmorei,cx.bitaeniorhynchus), Aedes (Ae. subaltabus) dan Armigeres yang menjadi vektor filariasis. Sepuluh nyamuk Anopheles diidentifikasi sebagai vektor W.bancrofti tipe pedesaan. Cx. quinquefasciatus merupakan vektor W.

bancrofti tipe perkotaan. Enam spesies Mansonia merupakan vektor B. malayi. Di Indonesia bagian timur, Mansonia dan An. barbirostris merupakan vector filariasis yang penting. Beberapa spesies Mansonia dapat menjadi vektor B. malayi tipe sub periodik nokturna. An. barbirostris merupakan vektor penting terhadap B. timori yang terdapat di Nusa Tenggara Timur dan Kepulauan Maluku Selatan (Depkes RI,2006). Nematoda Jaringan Diantara nematoda jaringan yang penting dalam Ilmu Kedokteran adalah Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, brugia timori, Loa loa dan Onchocerca volvulus. Wuchereria Bancrofti Hospes dan Nama Penyakit W.bancrofti merupakan parasit manusia yang menyebabkan filariasis brancofti atau wukereriasis bankrofti. Penyakit ini tergolong dalam filariasis limfatik, bersamaan dengan penyakit yang disebabkan oleh Brugia malayi dan Brugia timori. W.bancrofti tidak terdapat secara alami pada hewan. Distribusi Geografik Parasit ini tersebar luas di daerah yang beriklim tropis di seluruh dunia. Daur Hidup dan Morfologi Cacing dewasa jantan dan betina hidup di saluran dan kelenjar limfe; bentuknya halus seperti benang dan berwarna putih susu. Cacing betina berukuran 65-100 mm x 0,25 mm dan yang jantan 40 mm x 0,1 mm. cacing betina mengeluarkan microfilaria yang bersarung dengan ukuran 250-300 mikron x 7-8

mikron. Microfilaria hidup di dalam darah dan terdapat di aliran darah tepi pada waktu-waktu tertentu saja, jadi mempunyai periodesitas. Pada umumnya, microfilaria W.bancrofti bersifat periodesitas nokturna, artinya microfilaria hanya terdapat didalam darah tepi pada waktu malam. Pada siang hari, microfilaria terdapat di kapiler alat dalam (paru, jantung, ginjal dan sebagainya). Di daerah Pasifik, microfilaria W.bancrofti mempunyai periodesitas subperiodik diurnal. Microfilaria terdapat didalam darah siang dan malam, tetapi jumlahnya lebih banyak pada waktu siang. Di Muangthai terdapat suatu daerah yang mikrofialria bersifat subperiodik nokturna. Factor-faktor yang dapat mempengaruhi periodesitas microfilaria adalah kadar zat asam dan zat lemas di dalan darah, aktivitas hospes, irama sirkadian, jenis hospes dan jenis parasit, tetapi secara pasti mekanisme periodesitas microfilaria tersebut belum diketahui. Di daerah perkotaan, parasit ini ditularkan oleh nyamuk Culex quinque fasciatus. Di pedesaan, vektornya berupa nyamuk Anopheles atau nyamuk Aedes. Parasit ini tidak ditularkan oleh nyamuk Mansonia. Daur hidup parasit ini memerlukan waktu sangat panjang. Masa pertumbuhan parasit di dalam nyamuk kurang lebih dua minggu. Pada manusia, masa pertumbuhan tersebut belum diketahui secara pasti, tetapi diduga kurang lebih 7 bulan, sama dengan masa pertumbuhan parasit ini di dalam Presbytis cristata (lutung). Microfilaria yang terisap oleh nyamuk, melepaskan sarungya di dalam lambung, menembus dinding lambung dan bersarang di antara otot-otot toraks. Mula-mula parasit ini memendek, bentuknya menyerupai sosis dan

disebut larva stadium I. Dalam waktu kurang lebih seminggu, larva ini berbentuk kulit, tumbuh menjadi lebih gemuk dan panjang, disebut larvastadium II. Pada hari kesepuluh dan selanjutnya, larva bertukar kulit sekali lagi, tumbuh makin panjang dan lebih kurus, disebut larva stadium III. Gerak larva stadium III sangat aktif. Bentuk ini bermigrasi, mula-mula ke rongga abdomen kemudian ke kepala dan alat tusuk nyamuk. Bila nyamuk yang mengandung larva stadium III (bentuk infektif) menggigit manusia, maka larva tersebut secara aktif masuk melalui luka tusuk ke dalam tubuh hospes dan bersarang di saluran limfe setempat. Di dalam tubuh hospes, larva mengalami dua kali pergantian kulit, tumbuh menjadi larva stadium IV, lalu stadium V atau cacing dewasa. Patologi dan Gejala Klinis Gejala klinis filariasis limfatik disebabkan oleh microfilaria dan cacing dewasa baik yang hidup maupun yang mati. Microfilaria biasanya tidak menimbulkan kelainan tetapi dalam keadaan tertentu dapat menyebabkan occult filariasis. Gejala yang disebabkan oleh cacing dewasa meimbulkan limfadenitis dan limfangitis retrograd dalam stadium akut, disusul dengan obstruktif menahun 10 sampai 15 tahun kemudian. Perjalanan penyakit filariasis limfatik dapat dibagi dalam beberapa stadium: stadium mikrofilaremia tanpa gejala klinis, stadium akut dan stadium menahun. Ketiga stadium tersebut tumpang tindih, tanpa ada batas yang nyata. Gejala klinis

filariasis bankrofti yang terdapat di suatu daerah mungkin berbeda dengan yang terdapat di daerah lain. Pada penderita mikrofilaremia tanpa gejala klinis, pemeriksaan dengan limfosintigrafi menunjukkan adanya kerusakan saluran limfe. Cacing dewasa hidup dapat menyumbat saluran limfe dan terjadi dilatasi pada saluran limfe, disebut lymphangiektasia. Jika jumlah cacing dewasa banyak dan lymphangiektasia terjadi secara intensif menyebabkan disfungsi system limfatik. Cacing dewasa yang mati menyebabkan reaksi inflamasi. Setelah infiltrasi limfositik yang intensif, luemne tertutup dan cacing mengalami kalsifikasi. Sumbatan sirkulasi limfatik terus berlanjut pada individu yang terinfeksi berat sampai semua saluran limfatik tertutup menyebabkan limfedema di daerah yang terkena. Selain itu juga terjadi hipertrofi otot polos di sekitar daerah terkena. Stadium akut ditandai dengan peradangan pada saluran dan kelenjar limfe, berupa limfadenitis dan limfangitis retrograd yang disertai demam dan malaise. Gejala peradangan tersebut hilang timbul beberapa kali dalam setahun dan berlangsung beberapa hari sampai satu dua minggu lamanya. Peradangan pada sistem limfatik alat kelamin laki-laki, seperti funikulitis, epidimitis dan orkitis sering dijumpai. Saluran sperma meradang, membengkak menyerupai tali dan sangat nyeri pada perabaan. Kadang-kadang saluran sperma yang meradang tersebut menyerupai hernia inkarserata. Pada stadium menahun gejala klinis yang paling sering dijumpai hidrokel. Dapat pula dijumpai gejala limfedema dan elephantiasis yang mengenai seluruh tungkai, seluruh lengan, testis, payudara dan vulva. Kadang-kadang terjadi

kiluria, yaitu urin yang berwarna putih susu yang terjadi karena dilatasi pada pembuluh limfe pada sistem ekskretori dan urinary. Umumnya penduduk yang tinggal di daerah endemis tidak menunjukkan reaksi peradangan yang berat, walaupun mereka mengandung banyak microfilaria. Pada pemeriksaan dengan radionukleotida menunjukkan adanya gangguan drainase limfatik. Diagnosis Diagnosis dipastikan dengan pemeriksaan : 1. Diagnosis Parasitologi 1.1. Deteksi parasit yaitu menemukan microfilaria di dalam darah, cairan hidrokel atau cairan kiluria pada pemeriksaan sediaan darah tebal dan teknik konsentrasi Knott, membrane filtrasi. Pengambilan darah harus dilakukan pada malam hari (setelah pukul 20.00) mengingat periodisitas microfilaria umumnya nokturna. Pada pemeriksaan histopatologi, kadang-kadang potongan cacing dewasa dapat dijumpai di saluran dan kelenjar limfe dari jaringan yang dicurigai sebagai tumor. 1.2. Teknik biologi molekuler dapat digunakan untuk mendeteksi parasit melalui DNA parasit menggunakan reaksi rantai polymerase (Polymerase Chain Reaction/ PCR). Teknik ini mampu memperbanyak DNA sehingga dapat digunakan untuk mendeteksi parasit pada cryptic infection.

2. Radiodiagnosis 2.1. Pemeriksaan dengan ultrasonografi (USG) pada skrotum dan kelenjar getah bening inguinal pasien akan memberikan gambaran cacing yang bergerakgerak. Ini berguna terutama untuk evaluasi hasil pengobatan. Pemeriksaan ini hanya dapat digunakan untuk infeksi filarial oleh W.bancrofti. 2.2. Pemeriksaan limfosintigrafi dengan menggunakan dekstran atau albumin yang ditandai dengan zat radioaktif menunjukkan adanya abnormalitas sistem limfatik sekalipun pada penderita yang asimptomatik mikrofilaremia. 3. Diagnosis Imunologi Deteksi antigen dengan immunochromatographic test (ICT) yang menggunakan antibodi monoklonal telah dikembangkan untuk mendeteksi antigen W.bancrofti dalam sirkulasi darah. Hasil tes positif menunjukkan adanya infeksi aktif walaupun microfilaria tidak ditemukan dalam darah. Deteksi antibodi dengan menggunakan antigen rekombinan telah dikembangkan untuk mendeteksi antibodi subklas IgG4 pada filariasis Brugia. Kadar antibodi IgG4 meningkat pada penderita mikrofilaremia. Deteksi antibodi tidak dapat membedakan infeksi lampau dan infeksi aktif. Pada stadium obstruktif, microfilaria sering tidak ditemukan lagi di dalam darah. Kadang-kadang microfilaria tidak dijumpai di dalam darah, tetapi ada di dalam cairan hidrokel atau cairan kiluria (Sutanto, 2009).

2.1.3.3. Lingkungan Faktor lingkungan yang dapat menunjang kelangsungan hidup hospes, hospes reservoar dan vector, merupakan hal yang sangat penting untuk epidemiologi filariasis. Jenis filariasis yang ada di suatu daerah endemic dapat diperkirakan dengan melihat keadan lingkungannya. Filariasis di daerah endemi dapat duduga jenisnya dengan melihat keadaan lingkungan. Pencegahan filarasis, hanya dilakukan menghindari gigitan nyamuk. Untuk mendapat infeksidi perlukan gigitan nyamuk yang banyak sekali. Pengobatan masal dengan DEC dapat menurunkan angka filariasis dengan jelas (Sutanto dkk, 2009). 2.2. Rantai Penularan Filariasis Penularan filariasis dapat terjadi bila ada tiga unsur, yaitu : (Depkes RI, 2009). 1. Sumber penularan, yakni manusia atau hospes reservoir yang mengandung mikrofilaria dalam darahnya. 2. Adanya vektor, yakni nyamuk yang dapat menularkan filariasis. 3. Manusia yang rentan terhadap filariasis. Seseorang dapat tertular filariasis, apabila orang tersebut mendapat gigitan nyamuk infektif, yaitu nyamuk yang mengandung larva infektif (larva stadium 3 = L3). Pada saat nyamuk infektif menggiggit manusia, maka larva L3 akan keluar dari probosis dan tinggal di kulit sekitar lubang tusukan nyamuk. Pada saat nyamuk menarik probosisnya, larva L3 akan masuk melalui luka bekas gigitan nyamuk dan bergerak menuju ke sistem limfe.

Larva Brugia malayi dan brugia timori akan menjadi cacing dewasa dalam kurun waktu kurang lebih 3,5 bulan, sedangkan Wucheria bancrofti memerlukan waktu kurang lebih 9 bulan. Di samping sulit terjadinya penularan dari nyamuk ke manusia, sebenarnya kemampuan nyamuk untuk mendapatkan mikrofilaria saat menghisap darah yang mengandung mikrofilaria juga sangat terbatas, nyamuk yang menghisap mikrofilaria terlalu banyak dapat mengalami kematian, tetapi jika mikrofilaria yang terhisap terlalu sedikit dapat memperkecil jumlah mikrofilaria stadium larva L3 yang akan ditularkan. Kepadatan vektor, suhu dan kelembaban sangat berpengaruh terhadap penularan filariasis. Suhu dan kelembaban berpengaruh terhadap umur nyamuk, sehingga mikrofilaria yang telah ada dalam tubuh nyamuk tidak cukup waktunya untuk tumbuh menjadi larva infektif L3 (masa inkubasi ekstrinsik dari parasit). Masa inkubasi ekstrinsik untuk W. bancrofti antara 10-14 hari, sedangkan B. malayi dan B. timori antara 8-10 hari. Periodisitas mikrofilaria dan perilaku menggigit nyamuk berpengaruh terhadap risiko penularan. Mikrofilaria yang bersifat periodik nokturna (mikrofilaria hanya terdapat di dalam darah tepi pada waktu malam) memiliki vektor yang aktif mencari darah pada waktu malam, sehingga penularan juga terjadi pada malam hari. Di daerah dengan mikrofilaria sub periodik nokturna dan non periodik, penularan terjadi siang dan malam hari. Di samping faktor-faktor tersebut, mobilitas penduduk dari daerah endemis filariasis ke daerah lain atau sebaliknya, berpotensi menjadi media terjadinya penyebaran filariasis antar daerah.

2.3. Gejala Klinis Gejala klinis filariasis terdiri dari gejala klinis akut dan kronis. Pada dasarnya gejala klinis filariasis yang disebabkan oleh infeksi Wucheria bancrofti, Brugia malayi dan Brugia timori adalah sama, tetapi gejala klinis akut tampak lebih jelas dan lebih berat pada infeksi oleh B. malayi dan B.timori. infeksi W. bancrofti dapat menyebabkan kelainan pada saluran kemih dan alat kelamin, tetapi infeksi oleh B. malayi dan B. timori tidak menimbulkan kelainan pada saluran kemih dan alat kelamin (Depkes RI, 2009) 2.3.1. Gejala Klinis Akut Gejala klinis akut berupa limfadenitis, limfangitis, adenolimfangitis yang disertai demam, sakit kepala, rasa lemah dan dapat pula terjadi abses. Abses dapat pecah yang kemudian mengalami penyembuhan dengan menimbulkan parut, terutama di daerah lipat paha dan ketiak. Parut lebih sering terjadi pada infeksi B. malayi dan B. timori dibandingkan dengan infeksi W. brancofti, demikian juga dengan timbulnya limfangitis dan limfadenitis. Sebaliknya, pada infeksi W. brancofti sering terjadi peradangan buah pelir, peradangan epididimis dan peradangan funikulus spermatikus (Depkes RI, 2009) 2.3.2. Gejala Klinis Kronis a. Limfedema Pada infeksi W. brancofti terjadi pembengkakan seluruh kaki, seluruh lengan, skrotum, penis, vulva, vagina, dan payudara, sedangkan pada infeksi Brugia,

terjadi pembengkakan kaki di bawah lutut, lengan di bawah siku dimana siku dan lutut masih normal (Depkes RI, 2009) b. Lymph Scrotum Adalah pelebaran saluran limfe superfisial pada kulit scrotum, kadang kadang pada kulit penis, sehingga saluran limfe tersebut mudah pecah dan cairan limfe mengalir keluar dan membasahi pakaian. Ditemukan juga lepuh (vesicles) besar dan kecil pada kulit, yang dapat pecah dan membasahi pakaian, hal ini mempunyai risiko tinggi terjadinya infeksi sekunder oleh bakteri dan jamur, serangan akut berulang dan dapat berkembang menjadi limfedema skrotum. Ukuran skrotum dapat kadang-kadang normal kadang-kadang membesar (Notoatmodjo S, 1997). c. Kiluria Kiluria adalah kebocoran atau pecahnya saluran limfe dan pembuluh darah di ginjal (pelvis renal) oleh cacing filaria dewasa spesies W. brancofti, sehingga cairan limfe dan darah masuk ke dalam saluran kemih (Depkes RI, 2009). Gejala yang timbul adalah: 1) Air kencing seperti susu, karena air kencing banyak mengandung lemak dan kadang-kadang disertai darah (haematuria). 2) Sukar kencing 3) Kelelahan tubuh 4) Kehilangan berat badan.

d. Hidrokel Hidrokel adalah pembengkakan kantung buah pelir karena terkumpulnya cairan limfe di dalam tunica vaginalis testis. Hidrokel dapat terjadi pada satu atau dua kantung buah pelir, dengan gambaran klinis dan epidemiologis sebagai berikut (Depkes RI, 2006). 1) Ukuran skrotum kadang-kadang normal tetapi kadang-kadang sangat besar sekali, sehingga penis tertarik dan tersembunyi. 2) Kulit pada skrotum normal, lunak dan halus. 3) Akumulasi cairan limfe disertai dengan komplikasi, yaitu Chyle(Chylocele), darah (haematocele) atau nanah (pyocele). Uji transiluminasi dapat digunakan untuk membedakan hidrokel dengan komplikasi dan hidrokel tanpa komplikasi. Uji transiluminasi ini dapat dikerjakan oleh dokter Puskesmas yang sudah dilatih. 4) Hidrokel banyak ditemukan di daerah endemis W. bancrofti dan dapat digunakan sebagai indikator adanya infeksi W. bancrofti. 2.4. Penentuan Stadium Limfedema Limfedema terbagi dalam 7 stadium, menggambarkan akan tanda hilang tidaknya bengkak, ada tidaknya lipatan kulit, ada tidaknya nodul (benjolan), mossy foot (gambaran seperti lumut) serta adanya hambatan dalam melaksanakan aktivitas sehari-hari. Penentuan stadium ini penting bagi petugas kesehatan untuk memberikan perawatan dan penyuluhan yang tepat kepada penderita (Depkes RI, 2006).

Penentuan stadium limfedema mengikuti kriteria sebagai berikut : 1. Penentuan stadium limfedema terpisah antara anggota tubuh bagian kiri dan kanan, lengan dan tungkai. 2. Penentuan stadium limfedema lengan (atas, bawah) atau tungkai (atas, bawah) dalam satu sisi, dibuat dalam satu stadium limfedema. 3. Penentuan stadium limfedema berpihak pada tanda stadium yang terberat. 4. Penentuan stadium limfedema dibuat 30 hari setelah serangan akut sembuh. 5. Penentuan stadium limfedema dibuat sebelum dan sesudah pengobatan dan penatalaksanaan kasus. 2.5. Patogenesis Perkembangan klinis filariasis dipengaruhi oleh faktor kerentanan individu terhadap parasit, seringnya mendapat tusukan nyamuk, banyaknya larva infektif yang masuk ke dalam tubuh dan adanya infeksi sekunder oleh bakteri atau jamur. Secara umum perkembangan klinis filariasis dapat dibagi menjadi fase dini dan fase lanjut. Pada fase dini timbul gejala klinis akut karena infeksi cacing dewasa bersama-sama dengan infeksi oleh bakteri dan jamur. Pada fase lanjut terjadi kerusakan saluran limfe kecil yang terdapat di kulit. Pada dasarnya perkembangan klinis filariasis tersebut disebabkan karena cacing filaria dewasa yang tinggal dalam saluran limfe menimbulkan pelebaran (dilatasi) saluran limfe dan penyumbatan (obstruksi), sehingga terjadi gangguan fungsi sistem limfatik (Depkes RI, 2009).

1. Penimbunan cairan limfe menyebabkan aliran limfe menjadi lambat dan tekanan hidrostatiknya meningkat, sehingga cairan limfe masuk ke jaringan menimbulkan edema jaringan. Adanya edema jaringan akan meningkatkan kerentanan kulit terhadap infeksi bakteri dan jamur yang masuk melalui luka-luka kecil maupun besar. Keadaan ini dapat menimbulkan peradangan akut (acute attack). 2. Terganggunya pengangkutan bakteri dari kulit atau jaringan melalui saluran limfe ke kelenjar limfe. Akibatnya bakteri tidak dapat dihancurkan (fagositosis) oleh sel Reticulo Endothelial System (RES), bahkan mudah berkembang biak dapat menimbulkan peradangan akut (acute attack). 3. Kelenjar limfe tidak dapat menyaring bakteri yang masuk dalam kulit. Sehingga bakteri mudah berkembang biak yang dapat menimbulkan peradangan akut (acute attack). 4. Infeksi bakteri berulang menyebabkan serangan akut berulang (recurrent acute attack) sehingga menimbulkan berbagai gejala klinis sebagai berikut: a) Gejala peradangan lokal, berupa peradangan oleh cacing dewasa bersamasama dengan bakteri, yaitu : 1) Limfangitis, peradangan di saluran limfe. 2) Limfadenitis, peradangan di kelenjar limfe 3) Adeno limfangitis, peradangan saluran dan kelenjar limfe. 4) Abses 5) Peradangan oleh spesies W. bancrofti di daerah genital (alat kelamin) dapat menimbulkan epididimitis, funikulitis dan orkitis.

b) Gejala peradangan umum, berupa; demam, sakit kepala, sakit otot, rasa lemah dan lain-lainnya. 5. Kerusakan sistem limfatik, termasuk kerusakan saluran limfe kecil yang ada di kulit, menyebabkan menurunnya kemampuan untuk mengalirkan cairan limfe dari kulit dan jaringan ke kelenjar limfe sehingga dapat terjadi limfedema. 6. Pada penderita limfedema, adanya serangan akut berulang oleh bakteri atau jamur akan menyebabkan penebalan dan pengerasan kulit, hiperpigmentasi, hiperkeratosis dan peningkatan pembentukan jaringan ikat (fibrouse tissue formation) sehingga terjadi peningkatan stadium limfedema, dimana pembengkakan yang semula terjadi hilang timbul (pitting) akan menjadi pembengkakan menetap (non pitting). 2.6. Diagnosis Diagnosis pasti ditegakkan dengan ditemukannya mikrofilaria dalam darah tepi, kiluria, eksudat,varises limpe dan cairan limpe dan cairan hidrokel,atau ditemukannya cacing dewasa pada biopsi kelenjar limfe atau pada penyinaran didapatkan cacing yang sedang mengadakan kalsifikasi. Sebagai diagnosis pembantu, pemeriksaan darah menunjukkan adanya eosinofili antara 5-15% (Depkes RI, 2009). 2.7. Cara -Cara Pemberantasan 2.7.1. Cara Pencegahan a. Memberikan penyuluhan kepada masyarakat di daerah endemis mengenai cara penularan dan cara pengendalian vektor nyamuk.

b. Mengidentifikasi vektor dengan mendeteksi adanya larva infektif dalam nyamuk dengan menggunakan umpan manusia; mengidentifikasi waktu dan tempat menggigit nyamuk serta tempat perkembangbiakannya. Jika penularan terjadi oleh nyamuk yang menggigit pada malam hari di dalam rumah maka tindakan pencegahan yang dapat dilakukan adalah dengan penyemprotan, menggunakan pestisida residual, memasang kawat kasa, tidur dengan menggunakan kelambu (lebih baik yang sudah dicelup dengan insektisida piretroid), memakai obat gosok anti nyamuk (repellents) dan membersihkan tempat perindukan nyamuk seperti kakus yang terbuka, ban-ban bekas, batok kelapa dan membunuh larva dengan larvasida. Jika ditemukan Mansonia sebagai vektor pada suatu daerah, tindakan yang dilakukan adalah dengan membersihkan kolam-kolam dari tumbuhan air yang menjadi sumber oksigen bagi larva tersebut. c. Pengendalian vektor jangka panjang mungkin memerlukan perubahan konstruksi rumah dan termasuk pemasangan kawat kasa serta pengendalian lingkungan untuk memusnahkan tempat perindukan nyamuk. (Soedarto,1990). d. Melakukan pengobatan dengan menggunakan diethilcarbamazine citrate (DEC, Banocide, Hetrazan, Notezine ); Diberikan DEC 3x1tablet 100mg selama 10 hari berturut-turut dan parasetamol 3x1 tablet 500 mg dalam 3 hari pertama. Pengobatan ini ini terbukti lebih efektif bila diikuti dengan pengobatan setiap tahun sekali menggunakan DEC dosis rendah (25-50 mg/kg BB) selama 5 tahun berturut-turut atau konsumsi garam yang diberi DEC (02-

0,4 mg/kg BB) selama 5 tahun. Namun pada beberapa kasus timbulnya reaksi samping dapat mengurangi partisipasi masyarakat, khususnya di daerah endemis onchocerciasis. Invermectin dan albendazole juga telah digunakan; saat ini pengobatan dosis tunggal setahun sekali dengan kombinasi obat ini akan lebih efektif. Di daerah endemis filariasis dimana onchocerciasis tidak endemis WHO menyarankan dilakukan pengobatan massal menggunakan obat dosis tunggal sekali setahun selama 5-7 tahun yaitu kombinasi DEC 6 mg/kg BB dengan 400 mg albendazole, atau garam DEC dalam bentuk fortifikasi yang biasanya diberikan secara reguler selama 5 tahun. Di daerah endemis onchocerciasis dianjurkan pemberian invermectin dengan albendazole (400 mg). Wanita hamil dan anak < 2 tahun, tidak boleh diberikan DEC + albendazole. Anak yang tingginya < 90 cm dan ibu menyusui minggu pertama tidak boleh diberikan invermectin + albendazole. Di daerah endemis loiasis tidak dilakukan pengobatan massal, ditakutkan terjadi efek samping berat (Depkes RI,2009) 2.7.2. Penanganan Penderita, Kontak dan Lingkungan Sekitarnya a. Laporkan kepada instansi kesehatan yang berwenang; di daerah endemis tertentu di kebanyakan negara, bukan merupakan penyakit yang wajib dilaporkan, kelas 3 C. Laporan penderita disertai dengan informasi tentang ditemukannya mikrofilaria memberikan gambaran luasnya wilayah transmisi di suatu daerah.

b. Isolasi tidak dilakukan. Kalau memungkinkan penderita dengan mikrofilaria harus dilindungi dari gigitan nyamuk untuk mengurangi penularan. c. Karantina tidak ada. d. Penyelidikan kontak dengan sumber infeksi; dilakukan sebagai bagian dari gerakan yang melibatkan masyarakat. e. Pengobatan spesifik: pemberian diethilcarbamazine citrate (DEC, Banocide, Hetrazan, Notezine) dan Invermectin hasilnya membuat sebagian atau seluruh mikrofilaria hilang dari darah, namun tidak membunuh seluruh cacing dewasa. Mkrofilaria dalam jumlah sedikit hanya dapat dideteksi dengan teknik konsentrasi. DEC umumnya menimbulkan reaksi umum akut dalam 24 jam pertama dari pengobatan sebagai akibat dari degenerasi dan matinya mikrofilaria; reaksi ini biasanya diatasi dengan Parasetamol, anti histamine atau kortikosteroid. Limfadenitis dan limfangitis lokal mungkin juga terjadi karena matinya cacing dewasa. Antibiotik pada stadium awal infeksi dapat mencegah terjadinya gejala sisa pada sistem limfe yang disebabkan oleh infeksi bakteri. Perawatan kulit untuk mencegah terjadinya lesi, latihan gerak, elevasi tungkai yang kena, kalau terjadi infeksi jamur atau bakteri, berikan salep anti jamur atau anti bakteri untuk mencegah terjadinya dermatoadenolimfangitis yang dapat berkembang menjadi limfoedema. Manajemen limfoedema antara lain perawatan lokal tungkai yang terkena; dekompresi bedah. Tindakan bedah diperlukan pada hydrocele. (Depkes RI, 2009).

2.7.3. Pengendalian Vektor Pengendalian vektor adalah upaya yang paling utama. Di daerah dengan tingkat endemisitas tinggi, penting sekali mengetahui dengan tepat bionomik dari nyamuk vektor, prevalensi dan insidensi penyakit, dan faktor lingkungan yang berperan dalam mendukung penularan di setiap daerah. Bahkan dengan upaya pengendalian vektor yang tidak lengkappun dengan menggunakan obat anti nyamuk masih dapat mengurangi insiden dan penyebaran penyakit. Hasil yang diperoleh sangat lambat karena masa inkubasi yang panjang. 2.8. Faktor-faktor Risiko Kejadian Filariasis 2.8.1. Karakteristik Manusia 1). Umur Filariasis menyerang pada semua kelompok umur. Pada dasarnya setiap orang dapat tertular filariasis apabila mendapat tusukan nyamuk infektif (mengandung larva stadium 3) ribuan kali. (Depkes RI, 2009). 2). Jenis Kelamin Semua jenis kelamin dapat terinfeksi mikrofilaria. insiden filariasis pada laki-laki lebih tinggi daripada insiden filariasis pada perempuan karena umumnya laki-laki lebih sering kontak dengan vektor karena pekerjaannya (Depkes RI, 2009) 3). Imunitas Orang yang pernah terinfeksi filariasis sebelumnya tidak terbentuk imunitas dalam tubuhnya terhadap filaria demikian juga yang tinggal di daerah endemis

biasanya tidak mempunyai imunitas alami terhadap penyakit filariasis. Pada daerah endemis filariasis, tidak semua orang terinfeksi filariasis dan orang yang terinfeksi menunjukkan gejala klinis. Seseorang yang terinfeksi filariasis tetapi belum menunjukkan gejala klinis biasanya terjadi perubahan perubahan patologis dalam tubuhnya (Depkes RI, 2009). 4). Ras Penduduk pendatang pada suatu daerah endemis filariasis mempunyai risiko terinfeksi filariasis lebih besar dibanding penduduk asli. Penduduk pendatang dari daerah non endemis ke daerah endemis, misalnya transmigran, walaupun pada pemeriksaan darah jari belum atau sedikit mengandung mikrofilaria, akan tetapi sudah menunjukkan gejala klinis yang lebih berat (Depkes RI, 2009). 2.8.2. Sanitasi Rumah Rumah Sehat adalah tempat untuk berlindung atau bernaung dan tempat untuk beristirahat sehingga menumbuhkan kehidupan yang sempurna, baik fisik, rohani maupun sosial. Rumah disebut sehat apabila memenuhi syarat syarat : a. Kesehatan, suatu rumah disebut memenuhi syarat kesehatan apabila : Cukup hawa dan aliran udara segar, berarti mempunyai ventilasi yang cukup. b. Kekuatan bangunan, 1). Rumah dengan struktur dan kontruksi bangunan yang cukup kuat sesuai dengan keadaan setempat. 2). Rumah yang menggunakan bahan yang cukup kuat, tidak mudah rapuh dan tidak khawatir dapat ambruk sewaktu waktu.

c. Keterjangkauan Secara sosial ekonomis, terjangkau oleh pemilik atau penghuni, baikongkos / biaya sewa, membeli atau membangun. 2.8.2.1. Kriteria Rumah Sehat Rumusan yang dikeluarkan oleh APHA (American Public Health Association) bahwa persyaratan rumah sehat : a. Harus memenuhi kebutuhan kebutuhan physiologis b. Harus memenuhi kebutuhan kebutuhan psycologis c. Harus terhindar dari penyakit menular d. Harus terhindar dari kecelakaan kecelakaan. Secara umum rumah dapat dikatakan sehat apabila memenuhi kriteria sebagai berikut : a. Memenuhi kebutuhan fisiologis antara lain pencahayaan, penghawaan dan ruang gerak yang cukup, terhindar dari kebisingan yang mengganggu. b. Memenuhi kebutuhan psikologis antara lain privacy yang cukup, komunikasi yang sehat antar anggota keluarga dan penghuni rumah. c. Memenuhi persyaratan pencegahan penularan penyakit antar penghuni rumah dengan penyediaan air bersih, pengelolaan tinja dan air limbah rumah tangga, bebas vektor penyakit dan tikus, kepadatan hunian yang berlebihan, cukup sinar matahari pagi, terlindungnya makanan dan minuman dari pencemaran, disamping pencahayaan dan penghawaan yang cukup. d. Memenuhi persyaratan pencegahan terjadinya kecelakaan baik yang timbul karena keadaan luar maupun dalam rumah antara lain persyaratan garis

sempadan jalan, konstruksi yang tidak mudah roboh, tidak mudah terbakar, dan tidak cenderung membuat penghuninya jatuh tergelincir. 2.8.2.2. Syarat Rumah Sehat Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor : 829/Menkes/SK/VII/1999 (Depkes RI, 2002): a. Lokasi, - Tidak terletak pada daerah rawan bencana alam seperti bantaran sungai, aliran lahar, gelombang tsunami, longsor, dan sebagainya. - Tidak terletak pada daerah bekas tempat pembuangan akhir sampah dan bekas lokasi pertambangan. - Tidak terletak pada daerah rawan kecelakaan dan daerah kebakaran seperti jalur pendaratan penerbangan. b. Sarana dan Prasarana Lingkungan: - Memiliki taman bermain untuk anak, sarana rekreasi keluarga dengan konstruksi yang aman dari kecelakaan. - Memiliki sarana drainase yang tidak menjadi tempat perindukan vektor penyakit dan memenuhi persyaratan teknis sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. - Memiliki sarana jalan lingkungan dengan ketentuan sebagai berikut yaitu konstruksi jalan tidak membahayakan kesehatan, konstruksi trotoar jalan tidak membahayakan pejalan kaki dan penyandang cacat, bila ada

jembatan harus diberi pagar pengaman, lampu penerangan jalan tidak menyilaukan. - Tersedia sumber air bersih yang menghasilkan air secara cukup sepanjang waktu dengan kualitas air yang memenuhi persyaratan kesehatan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. - Pengelolaan pembuangan kotoran manusia dan limbah rumah tangga harus memenuhi persyaratan kesehatan, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. - Pengelolaan pembuangan sampah rumah tangga harus memenuhi persyaratan kesehatan, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. - Memiliki akses terhadap sarana pelayanan umum dan sosial seperti keamanan, kesehatan, komunikasi, tempat kerja, tempat hiburan, tempat pendidikan, kesenian, dan lain sebagainya. - Pengaturan instalasi listrik harus menjamin keamanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. - Tempat pengelolaan makanan (TPM) harus menjamin tidak terjadinya kontaminasi yang dapat menimbulkan keracunan, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Menurut Winslow dan APHA, pemukiman sehat dirumuskan sebagai suatu tempat untuk tinggal secara permanen, berfungsi sebagai tempat untuk bermukim, beristirahat, berekreasi (bersantai) dan sebagai tempat berlindung dari pengaruh

lingkungan yang memenuhi persyaratan fisiologis, psikologis, dan bebas dari penularan penyakit. Penjelasannya adalah sbb: a. Memenuhi kebutuhan fisiologis, antara lain : - Pencahayaan. 1. Pencahayaan alam. Pencahayaan alam diperoleh dengan masuknya sinar matahari kedalam ruangan melalui jendela, celah-celah dan bagian-bagian bangunan yang terbuka.cahaya matahari berguna selain untuk penerangan juga dapat mengurangi kelembaban ruang, mengusir nyamuk, membunuh kuman-penyakit tertentu seperti TBC, influenza, penyakit mata dan lain-lain.kebutuhan standar minimum cahaya alam yang memenuhi syarat kesehatan untuk berbagai keperluan menurut WHO dimana salah satunya adalah untuk kamar keluarga dan tidur dalam rumah adalah 60 120 Lux.Untuk memperoleh jumlah cahaya matahari pada pagi hari secara optimal sebaiknya jendela kamar tidur menghadap ketimur. Luas jendela yang baik paling sedikit mempunyai luas 10 20 % dari luas lantai. 2. Pencahayaan buatan. Pencahayaan buatan yang baik dan memenuhi standar dapat dipengaruhi oleh : 1). Cara pemasangan sumber cahaya pada dinding atau langit- langit. 2). Konstruksi sumber cahaya dalam ornamen yang dipergunakan. 3). Luas dan bentuk ruangan. 4) Penyebaran sinar dari sumber cahaya.

- Ventilasi (penghawaan), Ventilasi digunakan untuk pergantian udara, udara perlu diganti agar mendapat kesegaran badan selain itu agar kumankuman penyakit dalam udara antara lain bakteri dan virus dapat keluar dari ruangan. sehingga tidak menjadikan penyakit. Orang-orang yang batuk dan bersin-bersin mengeluarkan udara yang penuh dengan kuman-kuman penyakit (TBC, pneumonia,dll) yang dapat meninfecteer udara di sekelilingnya. Penyakit-penyakit menular yang penularannya dengan perantara udara, antara lain : TBC, bronchitis, pneumonia, dll.hawa segar diperlukan dalam rumah untuk mengganti udara ruangan yang sudah terpakai. Udara segar diperlukan untuk menjaga temperatur dan kelembaban udara dalam ruangan. Umumnya temperatur kamar 22 o C 30 o C sudah cukup segar. Untuk memperoleh kenyamanan udara seperti dimaksud diatas diperlukan adanya ventilasi yang baik.membuat sistem ventilasi harus dipikirkan masak-masak, jangan sampai orang-orang yang ada di dalam rumah menjadi kedinginan dan sakit. Pembuatan lubanglubang ventilasi dan jendela harus serasi dengan luas kamar dan sesuai dengan iklim ditempat itu. Didaerah yang berhawa dingin dan banyak angin, jangan membuat lubang-lubang ventilasi yang lebar. Cukup yang kecil-kecil saja. Tetapi di daerah yang berhawa panas dan tidak banyak angin, lubang ventilasi dapat dibuat agak lebih besar.ventilasi yang baik dalam ruangan harus mempunyai syarat lainnya, diantaranya :

1. Luas lubang ventilasi tetap, minimum 5 % dari luas lantai ruangan. Sedangkan luas lubang ventilasi insidentil (dapat dibuka dan ditutup) minimum 5 %. Jumlah keduanya menjadi 10 % kali luas lantai ruangan. Ukuran luas ini diatur sedemikian rupa sehingga udara yang masuk tidak terlalu deras dan tidak terlalu sedikit. 2. Udara yang masuk harus udara bersih, tidak dicemari oleh asap dari sampah atau dari pabrik, dari knalpot kendaraan, debu dan lain-lain. 3. Aliran udara diusahakan CROSS VENTILATION dengan menempatkan lubang hawa berhadapan antara 2 dinding ruangan. Aliran udara ini jangan sampai terhalang oleh barang-barang besar misalnya almari, dinding sekat dan lain-lain. Unsur udara bebas pada umumnya terdiri : 1) Nitrogen (zat lemas) 78,8 %. 2.) Oksigen (zat asam) 20,7 %. 3.) Karbondioksida (Gas asam arang) 0,04 %. 4) Uap air 0,46 %.c.5.) Ozon (0.3%), Amoniak (NH3), Gas cair (H2) dan lain-lain. Unsur yang bermanfaat bagi kesehatan yaitu Oksigen (O2). b. Memenuhi kebutuhan psikologis, antara lain : - Cukup aman dan nyaman bagi masing-masing penghuni (Kepadatan hunian). Kepadatan hunia di dalam rumah dapat menimbulkan efek negatif terhadap fisik, mental maupun moril bagi penghuninya. kepadatan memudahkan terjadinya penularan penyakit terutama melalui saluran pernafasan.

- WC dan kamar mandi harus ada dalam suatu rumah. Suatu rumah harus mempunyai WC dan kamar mandi sendiri dan terpelihara kebersihannya. Bila tidak mempunyai WC sendiri, maka buang air besar dilakukan di sembarang tempat (sungai, kebun, empang, dan lain-lain) yang sebenarnya tidak dibenarkan karena dapat menyebabkan dan memudahkan penyakitpenyakit tertentu dapat ditularkan melalui pembuangan kotoran yang tidak sehat. c. Mencegah penularan penyakit, antara lain : Kebutuhan rumah sebagai tempat tinggal bagi keluarga harus memperhatikan pula faktor-faktor yang mempengaruhi penularan penyakit bagi penghuninya, antara lain : 1. Bebas dari serangga dan tikus.menghindari adanya kehidupan serangga (lalat, tikus dan kecoa), dengan cara atau usaha kebersihan dan kesehatan lingkungan di dalam dan di luar rumah. 2. Pembuangan sampah.sampah dibedakan menjadi : sampah basah, sampah kering dan sampah sukar busuk (kaleng, kaca, paku dan lain-lain). Sampah jangan dibuang di tempat terbuka lebih dari 24 jam karena akan menyebabkan lalat dan tikus untuk bersarang. 3. Pembuangan tinja.usahakan setiap rumah mempunyai jamban sendiri, selalu bersih dan tidak berbau (konstruksi leher angsa). Jarak cukup jauh dari sumber air dan letaknya di bagian hilir air tanah.

4. WC harus selalu bersih, mudah dibersihkan, cukup cahaya dan cukup ventilasi 2.8.3. Lingkungan Lingkungan sangat berpengaruh terhadap distribusi kasus filariasis dan mata rantai penularannya. Biasanya daerah endemis B. malayi adalah daerah dengan hutan rawa, sepanjang sungai atau badan air lain yang ditumbuhi tanaman air. Daerah endemis W. bancrofti tipe perkotaan (urban) adalah daerah-daerah perkotaan yang kumuh, padat penduduknya dan banyak genangan air kotor sebagai habitat dari vektor yaitu nyamuk Cx. quinquefasciatus. Sedangkan daerah endemis W. bancrofti tipe pedesaan (rural) secara umum lingkungannya sama dengan daerah endemis B. malayi. Lingkungan dapat menjadi tempat perindukan nyamuk, dimana di Kabupaten Bangka Barat banyak terdapat lobang bekas penambangan timah dan digenangi oleh air. Secara umum lingkungan dapat dibedakan menjadi lingkungan fisik, lingkungan biologik dan lingkungan sosial, ekonomi dan budaya (Depkes RI, 2007). a. Lingkungan Fisik Lingkungan fisik mencakup antara lain keadaan iklim, keadaan geografis, struktur geologi, suhu, kelembaban dan sebagainya. Lingkungan fisik erat kaitannya dengan kehidupan vektor, sehingga berpengaruh terhadap munculnya sumber-sumber penularan filariasis. Lingkungan fisik dapat menciptakan tempat-tempat perindukan dan beristirahatnya nyamuk. Lingkungan dengan tumbuhan air di rawa-rawa dan adanya hospes reservoir (kera, lutung dan kucing) berpengaruh terhadap penyebaran B. malayi sub periodik nokturna dan non periodik.