Vol. 1 No. 1 Th. Jan-Des 2016 ISSN:

dokumen-dokumen yang mirip
ANALISIS KEMAMPUAN INKUIRI SISWA SMP, SMA DAN SMK DALAM PENERAPAN LEVELS OF INQUIRY PADA PEMBELAJARAN FISIKA

Penelitian dan Kajian Konseptual Mengenai Pembelajaran Sains Berbasis Kemandirian Bangsa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

PENERAPAN LEVELS OF INQUIRY UNTUK MENINGKATKAN DOMAIN KOMPETENSI DAN PENGETAHUAN SAINS SISWA SMP PADA TEMA PENCEMARAN LINGKUNGAN

2016 PENGEMBANGAN MODEL DIKLAT INKUIRI BERJENJANG UNTUK MENINGKATKAN KOMPETENSI PEDAGOGI INKUIRI GURU IPA SMP

I. PENDAHULUAN. dan kritis (Suherman dkk, 2003). Hal serupa juga disampaikan oleh Shadiq (2003)

BAB I PENDAHULUA N A.

2015 PENGARUH PEMBELAJARAN DISCOVERY LEARNING TERHADAP PENGUASAAN KONSEP SISWA PADA POKOK BAHASAN ENZIM

BAB I Pendahuluan. Internasional pada hasil studi PISA oleh OECD (Organization for

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. salah satu komponen penting dalam membentuk manusia yang memiliki

PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN LEVELS OF INQUIRY TERHADAP KETERAMPILAN PROSES SAINS TERPADU DAN PRESTASI BELAJAR FISIKA SISWA KELAS XI SMAN 2 PROBOLINGGO

Evriani Yudi Kurniawan Riski Muliyani Prodi Pendidikan Fisika, STKIP Singkawang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Skor Maksimal Internasional

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip saja

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN LEVELS OF INQUIRY UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA SMK

METODE DEMONSTRASI INTERAKTIF BERBASIS INKUIRI DALAM PEMBELAJARAN KONSEP METABOLISME PADA SISWA KELAS XII SMA ANGKASA BANDUNG.

PENERAPAN PENDEKATAN DEMONSTRASI INTERAKTIF UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN DASAR PROSES SAINS SISWA

DESAIN PENGEMBANGAN MODEL PRAKTIKUM RANGKAIAN LISTRIK BERBASIS MASALAH TERHADAP KETERAMPILAN SCIENTIFIC INQUIRY DAN KOGNISI MAHASISWA

PENGEMBANGAN MODUL FISIKA BERBASIS GUIDED INQUIRY PADA MATERI SUHU DAN KALOR UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN PROSES SAINS SISWA SMA KELAS X

PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN INKUIRI TERBIMBING DAN KREATIVITAS TERHADAP KETERAMPILAN PROSES SAINS PADA SISWA SMA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

ANALISIS BUKU AJAR IPA YANG DIGUNAKAN DI SEMARANG BERDASARKAN MUATAN LITERASI SAINS

2015 PENERAPAN LEVELS OF INQUIRY UNTUK MENINGKATKAN LITERASI SAINS PESERTA DIDIK SMP PADA TEMA LIMBAH DAN UPAYA PENANGGULANGANNYA

BAB I PENDAHULUAN. Pengaruh Pembelajaran Model Matematika Knisley Terhadap Peningkatan Kemampuan Koneksi Matematis Siswa SMA

UPAYA MENINGKATKAN KOMUNIKASI MATEMATIK SISWA DENGAN MENGGUNAKAN MODEL INQUIRY BERBANTUAN SOFTWARE AUTOGRAPH

PENGARUH MODEL DISCOVERY LEARNING TERHADAP PRESTASI BELAJAR FISIKA SISWA KELAS X SMAN 02 BATU

I. PENDAHULUAN. Ilmu Pengetahuan Alam (Sains) merupakan ilmu yang berhubungan dengan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

Tanti, S.Si., M.Si Program Studi Pendidikan Fisika IAIN STS Jambi

PENGARUH LEVELS OF INQUIRY-INTERACTIVE DEMONSTRATION TERHADAP KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA SMA PADA MATA PELAJARAN FISIKA KELAS X

BAB II LEVELS OF INQUIRY MODEL DAN KEMAMPUAN INKUIRI. guru dengan siswa dalam berinteraksi. Misalnya dalam model pembelajaran yang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan proses dimana seseorang memperoleh

Jurnal Titian Ilmu Vol. IX, No. 1, 2015

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

Prosiding Seminar Nasional Biotik 2017 ISBN:

I. PENDAHULUAN. Pada hakikatnya, Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dibangun atas dasar produk

BAB I PENDAHULUAN. menghadapi tantangan-tantangan global. Keterampilan berpikir kritis

BAB I PENDAHULUAN. memiliki kemampuan atau skill yang dapat mendorongnya untuk maju dan terus

PENGARUH PEMBELAJARAN GUIDED INQUIRY

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Helen Martanilova, 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Rosa Nika Agusta,2014

BAB I PENDAHULUAN. melalui serangkaian proses ilmiah (Depdiknas, 2006). Pembelajaran IPA tidak

I. PENDAHULUAN. inovatif. Menyadari bagaimana cara memikirkan pemecahan permasalahan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Nur Yetty Wadissa, 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Siti Nurhasanah, 2013

I. PENDAHULUAN. Perkembangan zaman dan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) menghadapi persaingan khususnya dalam bidang IPTEK. Kemajuan IPTEK yang

tingkatan yakni C1, C2, C3 yang termasuk dalam Lower Order Thinking dan C4, C5, C6 termasuk dalam Higher Order Thinking Skills.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Pendidikan menurut UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 merupakan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Azza Nuzullah Putri, 2013

BAB I PENDAHULUAN. teknologi tidak dapat kita hindari. Pengaruh perkembangan ilmu pengetahuan

I. PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin pesat. menyebabkan arus informasi menjadi cepat dan tanpa batas.

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. depan yang lebih baik. Melalui pendidikan seseorang dapat dipandang terhormat,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Mata pelajaran Fisika sebagai bagian dari Ilmu Pengetahuan Alam (IPA)

BAB I PENDAHULUAN. dalam bidang pendidikan nasional. Sesuai dengan fungsi pendidikan nasional

Penggunaan Inquiry Lab dalam Pembelajaran IPA Berbasis Inquiry Untuk Meningkatkan Keterampilan Proses Sains Siswa

BAB I PENDAHULUAN. Fisika dan sains secara umum terbentuk dari proses penyelidikan secara sistematis

BAB I PENDAHULUAN. suatu Negara dipengaruhi oleh banyak faktor misalnya dari siswa, pengajar,

Education and Human Development Journal, Vol. 02. No. 01, April 2017

I. PENDAHULUAN. Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan ilmu yang berkaitan dengan cara

I. PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan suatu hal penting dalam kehidupan karena dapat

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan kualitas sumber daya manusia bagi suatu bangsa. Dengan adanya

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Suryosubroto, 2009:2).

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

1.1 LATAR BELAKANG PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. dan teori-teori sains semata, siswa kurang dilatih untuk melakukan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan proses utama dalam menghasilkan SDM yang

I. PENDAHULUAN. Pendidikan mempunyai arti penting dalam kehidupan. Melalui pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan menjadi salah satu fokus dalam penyelenggaraan negara. Menurut

PENGARUH PENERAPAN INKUIRI TERBIMBING PADA MATERI POKOK BANGUN RUANG SISI LENGKUNG TERHADAP HASIL BELAJAR SISWA SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. dari diajarkannya matematika di setiap jenjang pendidikan. Selain itu, untuk

Jurnal Pendidikan IPA Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. daya manusia yang berkualitas. Yaitu sumber daya yang dapat bersaing dan. menetapkan keputusan dengan daya nalar yang tinggi.

BAB I PENDAHULUAN. dilaksanakan dalam kegiatan pembelajaran.

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. sarana dalam membangun watak bangsa. Tujuan pendidikan diarahkan pada

BAB I PENDAHULUAN. pergantian zaman, pendidikan juga mengalami perkembangan, yaitu. menyesuaikan dengan keadaan yang sedang berlangsung.

PENERAPAN LEVELS OF INQUIRY PADA PEMBELAJARAN IPA TEMA PEMANASAN GLOBAL UNTUK MENINGKATKAN LITERASI SAINS

I. PENDAHULUAN. Keseluruhan dalam proses pendidikan di sekolah, pembelajaran merupakan

I. PENDAHULUAN. Karakteristik abad 21 berbeda dengan abad-abad sebelumnya. Pada abad 21 ini

II. TINJAUAN PUSTAKA. Model pembelajaran problem solving merupakan salah satu model pembelajaran

BAB I PENDAHULUAN. sangat banyak. Tuntutan tersebut diantaranya adalah anak membutuhkan

DESAIN MODEL GUIDED INQUIRY UNTUK EKSPLORASI KESULITAN BELAJAR DAN PENGARUHNYA TERHADAP HASIL BELAJAR SERTA KETERAMPILAN PEMECAHAN MASALAH

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rizky Fauziah Nurrochman, 2015

KETERAMPILAN KERJA ILMIAH PADA MATERI INDIKATOR ASAM BASA MENGGUNAKAN MODEL PEMBELAJARAN INKUIRI TERBIMBING

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Denok Norhamidah, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Heri Sugianto, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Keywords: Problem analysis, learning tools, Inquiry, problem-solving skills

Yosico Indagiarmi 1 and Abd Hakim S 2

Prosiding Semirata FMIPA Universitas Lampung, 2013

PENERAPAN PEMBELAJARAN IPA TERPADU DENGAN LEVEL OF INQUIRY UNTUK MELATIH KETERAMPILAN BERPIKIR KRITIS SISWA DALAM IMPLEMENTASI KURIKULUM 2013

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan sains dan teknologi adalah suatu keniscayaan. Fisika adalah

Tersedia online di EDUSAINS Website: EDUSAINS, 9 (1), 2017, 14-23

Transkripsi:

Potensi Model Pembelajaran Pure Hypothetical Inquiry untuk Mengembangkan Kemampuan Kreatif Peserta didik pada Abad 21 di Palembang Dyna Natalia Universitas Muhammadiyah Palembang Email: dynanatalia@ymail.com Abstrak Pembelajaran abad 21 merupakan pembelajaran yang menekankan peserta didik untuk berpikir kritis dan mampu menggunakan pengetahuan untuk menganalisis, menilai, mengevaluasi, memecahkan masalah dengan menggunakan kemampuan berpikir kreatif. Peserta didik pada abad 21 tidak hanya dituntut untuk menguasai pengetahuan secara konseptual saja, tetapi peserta didik juga harus mampu mengembangkan kemampuan kreatifnya. Kajian ini bertujuan untuk mengembangkan kemampuan kreatif peserta didik pada abad 21 di Palembang melalui model pembelajaran Pure Hypothetical Inquiry (PHI). Model PHI diduga memiliki potensi yang sama jika diterapkan pada peserta didik lain untuk mengembangkan kemampuan berpikir kreatifnya, karena pada model tersebut peserta didik diberi kebebasan penuh dalam mengembangkan ide-ide dan kemampuan untuk menemukan sendiri pengetahuan. Kata kunci: Berpikir Kreatif, Model Pure Hypothetical Inquiry 1. Pendahuluan Pembelajaran merupakan perkembangan dari istilah pengajaran. Pembelajaran merupakan suatu usaha yang dilakukan oleh pendidik untuk mengajarkan dan memberikan pembelajaran kepada peserta didik yang belajar. Pendidik sebagai tenaga professional mempunyai tugas mengajar yang harus dipersiapkan dalam menghadapi abad 21. Pembelajaran abad 21 menekankan kemampuan peserta didik untuk berpikir kritis yang mampu menggunakan pengetahuan untuk menganalisis, menilai, mengevaluasi, memecahkan masalah dengan menggunakan kemampuan berpikir kreatif. Robson (2014) menyatakan bahwa kemampuan berpikir kreatif merupakan suatu proses berpikir yang dilakukan oleh individu (peserta didik) untuk menghasilkan ide-ide yang baru dan tidak ditemukan oleh orang lain. Berpikir kreatif merupakan salah satu pembelajaran yang umum dan penting dilakukan USA, karena salah satu tujuan belajar di USA adalah mengembangkan keterampilan berpikir kreatif, penemuan ide baru kemudian dapat menghasilkan produk baru (Shaheen, 2010). Dalam menghadapi permasalahan sehari-hari perlu dikembangkan kemampuan berpikir kreatif pada diri peserta didik. Kemampuan berpikir kreatif berhubungan juga dengan kemampuan berpikir divergen. Pembelajaran melibatkan proses berpikir yaitu berpikir divergen dan berpikir konvergen (Molle, 1999). Proses berpikir yang menggunakan logika menghasilkan satu ide 247

jawaban disebut berpikir konvergen, sedangkan berpikir untuk mencari dan meramalkan beberapa solusi dalam menyelesaikan suatu permasalahan yang memiliki banyak ide-ide unik disebut berpikir divergen. Kemampuan berpikir konvergen dapat mendukung peserta didik dalam mengambil keputusan dan pola berpikir tersebut dapat menyebabkan berpikir kreatif pada mahasiswa terhambat, menyebabkan kreativitas peserta didik kurang berkembang dalam pembelajaran. Pendidik seharusnya mengarahkan mahasiswa untuk berpikir divergen, bukan berpikir konvergen, pendidik dalam pembelajaran di kelas cendrung mengarahkan peserta didik untuk berfikir konvergen bukan berpikir divergen. Terkait dengan hal tersebut, pendidik perlu membiasakan mahasiswa untuk berpikir menggunakan pola berpikir divergen agar peserta didik memiliki wawasan yang luas dan mampu berpikir dan berusaha mencari jawaban yang lain dari jawaban yang sudah ada Guilford (Bacanl et al. 2011). Guilford (Kind & Kind, 2009) menyatakan bahwa berpikir divergen merupakan berpikir ke berbagai arah untuk menemukan solusi atau alternatif dari suatu masalah. Berpikir divergen merupakan berpikir untuk menghasilkan ide sebanyak mungkin, menghasilkan suatu jawaban bermacam-macam yang merupakan bagian dari sustu proses berpikir kreatif (Unal & Demir, 2009). Kemampuan berpikir divergen dapat dinyatakan sebagai keterampilan peserta didik dalam mengembangankan suatu gagasan kreatif yang muncul karena adanya suatu rangsangan. Berfikir divergen akan menghasilkan banyak gagasan atau ide yang berbeda tentang suatu topik di dalam suatu waktu tertentu. Pola berfikir divergen ini sangat cocok digunakan dalam menyelesaikan suatu permasalahan karena memiliki banyak alternative jawaban. Untuk mencapai tujuan tersebut, model pembelajaran yang dapat digunakan untuk mengembangkan kemampuan berpikir kreatif pada peserta didik dalam menghadapi abad 21 di Palembang adalah dengan menggunakan model pembelajara PHI. Model PHI diyakini dapat melatih dan mengembangkan keterampilan berpikir kreatif pada peserta didik di Palembang. Wenning (2011) menyatakan bahwa PHI merupakan suatu kegiatan dimana peserta didik dilibatkan dalam memecahkan suatu permasalahan dan dapat menjelaskan suatu fenomena yang diamati. PHI melibatkan aktivitas kelas dan berpusat pada peserta didik karena peserta didik dapat belajar memanfaatkan banyak berbagai sumber belajar. Guru tidak hanya satu-satunya sebagai sumber belajar (Astiti, Sadia & Suma, 2013). Pada penerapan model PHI, Peserta didik dianggap sebagai seorang ilmuwan dan diberikan kebebasan penuh dalam menggali ide- 248

ide baru dan mengembangkan untuk menemukan sendiri pengetahuannya dalam memecahkan dan menjelaskan fenomena yang diamati (Wenning, 2004). 2. IDE UTAMA a. Konsep Model Pembelajaran Pure Hypothetical Inquiry (PHI) National Science Education Standards (NSES) menyatakan bahwa inquiry merupakan suatu model praktek ilmiah yang dapat mendorong peserta didik untuk mendapatkan pengetahuan. National Research Council (NRC, 1996) mendefinisikan bahwa inquiry ilmiah merupakan berbagai cara untuk melakukan penyelidikan ilmiah, mempelajari alam dan menjelaskannya berdasarkan bukti hasil kerja mereka. Inquiry juga mengacu kepada kegiatan peserta didik untuk mengembangkan pengetahuan dan pemahaman ide-ide ilmiah serta pemahaman bagaimana para ilmuwan mempelajari alam (Banerjee, 2010). Model Hipothetical Inquiry merupakan model pembelajaran yang mengibaratkan peserta didik sebagai ilmuwan, peserta didik diberi kebebasan dalam mengembangkan ide-ide, pemikiran dan kemampuannya agar peserta didik dapat menemukan pengetahuannya sendiri dan menjelaskan fenomena yang di amati. PHI merupakan kegiatan pembelajaran, peserta didik dilibatkan untuk menciptakan atau menemukan dalam memecahkan suatu permasalahan dan mampu menjelaskan fenomena yang diamati (Wenning, 2011). Astiti, Sadia & Suma (2013) menyatakan bahwa Hipothetical Inquiry berorientasi pada aktivitas kelas, berpusat pada peserta didik, memungkinkan mereka belajar memanfaatkan berbagai sumber belajar, tidak hanya menjadikan pendidik sebagai satu-satunya sumber belajar. Peserta didik diibaratkan sebagai seorang peneliti yang diberi kebebasan untuk mengembangkan segala ide dan kemampuan dalam menemukan sendiri pengetahuannya. Khan (2009) Hipothetical Inquiry merupakan model yang paling tinggi tingkatannya sehingga sebelum Hypothetical inquiry diterapkan lebih baik kalau dimulai dari proses penyelidikan dasar seperti penyelidikan sebagai demonstration, sehingga peserta didik secara bertahap dapat memahami proses penyelidikan. Peserta didik belajar mulai dari tingkatan paling dasar menuju tingkatan tertinggi yaitu Hypothetical inquiry. Menurut Wenning (2010) Hipothetical Inquiry dibagi menjadi dua Pure hypothetical inquiry and Applied hypothetical. Pada Pure hypothetical inquiry peserta didik ditempatkan untuk berperan aktif dalam memecahkan suatu permasalah, melakukan riset atau penelitian, menjelasan hipotesis dan menggunakan hipotesis tersebut untuk menjelaskan berbagai fenomena sedangkan pada Applied hypothetical peserta didik 249

ditempatkan untuk berperan aktif dalam memecahkan permasalahan dalam kehidupan nyata. Peserta didik harus membangun sebuah masalah untuk memformulasikan hipotesis dari fakta-fakta, kemudian memberikan pendapat yang logis untuk mendukung hipotesisnya. Langkah model pembelajaran PHI pada kajian ini berdasarkan pada model pembelajaran yang telah dikembangkan oleh Wenning (2011) dalam (Natalia, 2015). Langkah-langkah model pembelajaran adalah sebagai berikut: 1) Observasi: a) Peserta didik mengungkapkan masalah dengan mengamati berbagai fenomena yang ditemukan b) Peserta didik mengumpulkan data c) Peserta didik membangun hipotesis dari fenomena yang diamati. 2) Manipulasi: peserta didik mampu mengubah-ubah variabel untuk membuktikan hipotesis. 3) Generalisasi: peserta didik mampu menggambarkan dan menarik kesimplan. 4) Verifikasi: peserta didik mengkonfirmasikan hasil kegiatan. 5) Applikasi: peserta didik menjelaskan peristiwa baru dengan menggunakan konsep yang telah dimiliki. b. Potensi Model Pembelajaran Pure Hypothetical Inquiry (PHI) untuk Mengembangkan Kemampuan Berpikir Kreatif pada peserta didik pada Abad 21 Educational Testing Service (ETS) (2007), mendefinisikan bahwa abad 21 merupakan suatu kegiatan pembelajaran yang dilakukan agar peserta didik mempunyai kemampuan untuk mengumpulkan data atau mengambil informasi, mengatur dan mengelola informasi, mengevaluasi dan menghasilkan informasi yang akurat sesuai dengan dengan sumber daya yang digunakan. Abad 21 juga didukung oleh Assesment and Teaching 21 st Century Skills (ACT21S). ACT21S merupakan suatu kegiatan penelitian yang melandasi rumusan kompetensi bagi peserta didik di abad 21. ACT21S dapat mendorong peserta didik untuk belajar melakukan penelitian. Empat hal pokok yang berkaitan dengan kecakapan abad 21 yaitu cara berpikir, cara bekerja, alat yang digunakan untuk bekerja, dan kecakapan hidup. Cara belajar mencakup kreativitas, berpikir kreatif, berpikir kritis, pemecahan masalah, pengambilan keputusan dan belajar secara mandiri. Cara kerja mencakup komunikasi dan 250

kolaborasi. Alat kerja mencakup teknologi informasi dan komunikasi. Kecakapan hidup mencakup kehidupan, karir dan tanggung jawab pribadi dan sosial. Berdasarkan kajian referensi dapat diketahui bahwa kesuksesan peserta didik tergantung pada kecakapan abad 21 yang menuntut peserta didik untuk belajar dan memahami (Rotherdam & Willingham, 2009). Kecakapan abad 21 meliputi berpikir kritis dan berpikir kreatif, pemecahan masalah, komunikasi dan kolaborasi. Pertama, Berpikir kritis berarti peserta didik mampu memahami ilmu pengetahuan dengan kritis, mampu mengembangkan ilmu pengetahuan agar bermanfaat bagi orang lain. Berpikir kreatif peserta didik mampu menghasilkan banyak jawaban dan berbeda-beda. Kedua, cakap dalam pemecahan masalah berarti peserta didik mampu mengatasi dan memecahkan suatu persoalan atau permasalah yang dihadapi. Hal ini sesuai dengan konsep sintak observasi (Peserta didik mengungkapkan suatu masalah dengan mengamati berbagai fenomena yang ditemukan). Sehingga dengan adanya sintaks tersebut, model PHI mampu mengasah dan mengembangkan pola berpikir divergen dan kreatif ketika menghadapi suatu persoalan atau permasalahan. Ketiga, terampil komunikasi berarti kemampuan peserta didik dalam menyampaikan suatu informasi yang diperoleh. Hal ini sesuai dengan konsep sintak verifikasi yaitu peserta didik mampu mengkonfirmasikan atau menyampaikan hasil kegiatan yang telah diperoleh. Keempat, terampil melakukan kolaborasi, peserta didik mampu bekerja sama dalam kelompok. Dari penjelasan diatas dapat diketahui bahwa model pembelajaran PHI dapat digunakan untuk mengembangkan kemampuan berpikir kreatif pada abad 21 di Palembang karena berpikir kereatif termasuk dalam konsep yang terdapat di dalam abad 21. c. Kajian Penelitian yang Relevan Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Natalia (2015) menunjukkan bahwa model pembelajaran Pure Hypothetical Inquiry lebih efektif digunakan untuk mengembangkan kemampuan berpikir divergen dan kemampuan berpikir kreatif dalam keterampilan proses sains pada peserta didik kelas XI IPA SMA Negeri 2 Banguntapan Bantul Yogyakarta. Keberhasilan model pembelajaran Pure Hypothetical Inquiry dalam mengembangkan kemampuan berpikir divergen dan kemampuan berpikir kreatif keterampilan proses sains disebabkan oleh pola pembelajaran yang berpusat pada peserta didik. Peserta didik dibaratkan sebagai seorang ilmuwan dalam menemukan, melakukan 251

pengamatan, membuat penjelasan dari fenomena yang diamatinya. Peserta didik diberi kekebasan Penelitian yang dilakukan oleh Astiti, dkk (2013) dengan tujuan untuk menganalisis perbedaan Keterampilan Berpikir Kritis (KBK) dan Keterampilan Proses Sains (KPS) antara kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran inkuiri hipotetik dan konvensional, untuk mengetahui perbedaan KBK antara kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran inkuiri hipotetik dan konvensional, untuk mengetahui perbedaan KPS antara kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran inkuiri hipotetik dan konvensional. Hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat perbedaan antara KBK dan KPS siswa yang belajar dengan model inkuiri hipotetik dan model pembelajaran konvensional (F=59,161; p<0,05), terdapat perbedaan KBK siswa yang belajar dengan model inkuiri hipotetik dan model pembelajaran konvensional (F=22,219; p<0,05), terdapat perbedaan KPS siswa yang belajar dengan model inkuiri hipotetik dan model pembelajaran konvensional (F=113.559; p<0,05). Penelitian yang dilakukan oleh Liliawati, dkk. (2014) dengan tujuan untuk memperoleh gambaran kemampuan inkuiri siswa SMP, SMA, dan SMK setelah diterapkannya levels inquiry model. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemampuan inkuiri siswa SMP pada level hypothetical inquiry termasuk kategori kurang terampil, siswa SMA pada level hypothetical inquiry termasuk kategori terampil, dan siswa SMK pada level hypothetical inquiry termasuk kategori terampil. 3. KESIMPULAN DAN SARAN a. Kesimpulan Berdasarkan uraian dan penjelasan yang telah disampaikan maka dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran Pure Hypothetical Inquiry mempunyai potensi untuk mengembangkan kemampuan berpikir kreatif pada peserta didik jika diterapkan di sekolah yang ada di Palembang. Diharapkan penggunaan model pembelajaran ini dapat menjadikan kemampuan berpikir kreatif perserta didik semakin meningkat dan kreativitas peserta didik semakin berkembang. b. Saran Model Pure hypothetical inquiry dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif media pembelajaran yang dapat dimanfaatkan sebagai sarana untuk mengembangkan kemampuan berpikir kreatif pada peserta didik 252

4. REFERENSI Astiti, K.A., Sadia, I.W. & Suma, K., (2013). Pengaruh Model Pembelajaran Inkuiri Hipotetik Terhadap keterampilan Berpikir kritis dan keterampilan Proses Sains Siawa Kelas VII SMP Negeri 1 Singaraja. e-journal Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha Program Studi IPA,3,1-13. http://pasca.undiksha.ac.id /ejouenal/index.php/jurnal_ipa/article/view/753/539. Bacanl, H., Dombayc, M.A., Demir, M. et.al. (2011). Quadruple Thinking: Creative Thinking. Procedia Social and Behavioral Sciences, 12, 536 544. http://ac.els- cdn.com/s1877042811001558/1-s2.0-s1877042811001558- main.pdf?_tid=2a605c0c-3726-11e5-87ea 00000aab0f26&acdnat=1438307456_5bd0d25696ed924f8c44f42b21b6ef38. Banerjee. A. (2010). Teaching Science Using Guided Inquiry as The Central Theme: A Professional Development Model for High School Science Teachers. Science Educator, 19,(2), 1-9. http://www.nsta.org/middleschool/connections/201107banerjee.pdf Kang, M., Kim, M., Kim, B., & You, H. (n.d.). (2012). Developing an Instrumen to Measure 21st Century Skills for Elementary Student. Kind, P.M & Kind, V. (2009). Creativity in Science Education: Perspectives and Challenges for Developing School Science. Studies in Science Education, 43, 1-37. www.freepaperdownload.us.fulltext15 Molle, M., Marshall, L., Wolf, B. et.al. (1999). Complexity and Performance Measures of Creative Thinking. Psychophysiology, 36, 95 104. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/10098384 Natalia, D. (2015). Keefektifan Model Pure Hypothetical Inquiry untuk Mengembangkan Kemampuan Berpikir Divergen dan Kreatif dalam Keterampilan Proses Sains Peserta Didik Kelas xi SMA Negeri 2 Banguntapan Bantul.Universitas Negeri Yogyakarta: Yogyakarta. Robson, S. (2014). The Analysing Children s Creative Thinking Framework: Development of an Observation-led Approach to Identifying and Analyzing Young Children s Creative Thinking. British Educational Research Journal, 40, 121-134. http://web.b.ebscohost.com/ehost/pdfviewer/pdfviewer?sid=f2badbed-472f-427da03a-d4160f22f0f8%40sessionmgr198&vid=1&hid=124 Rotherham, A. J., & Willingham, D. (2009). 21st Century Skills: the challenges ahead. Educational Leadership Volume 67 Number 1, 16 21. Shaheen, R. (2010). Creativity and Education. Creative Education,1, 166-169. http://file.scirp.org/html/3369.html Unal, H. & Demir, I. (2009). Divergent Thinking and Mathematics Achievement in Turkey: Findings from the Programme for International Student Achievement (PISA-2003). Procedia Social and Behavioral Sciences, 1,1767 1770. http://www.researchgate.net/publication/248606660_divergent_thinking_and_mat 253

hematics_achievement_in_turkey_findings_from_the_programme_for_international_ student_achievement_%28pisa2003%29 Wenning, C.J. (2004). Levels of Inquiry: Hirarchies of Pedagogical Practies and Inquiry Processes. Journal Physics Teacher Education Online. http://www.dlsu.edu.ph/offices/asist/documents/levels_of_inquiry.pdf. (2010). The Levels of Inquiry: Using Inquiry Spectrum Learning Sequences to Teach Science. Journal Physics Teacher Education Online, 5, 11-20. http://www2.phy.ilstu.edu/pte/publications/learning_sequences.pdf. (2011). The Levels of Inquiry Model of Science Teaching. Journal Physics Teacher Education Online, 6, 9-16. http://www2.phy.ilstu.edu/pte/publications/loi-model-of-science-teaching.pdf 254