Membangun Kritisisme Generasi Indonesia 1

dokumen-dokumen yang mirip
Manusia dan Hukum 1 Sebuah Pengantar Kajian Filsafat tentang Hukum

IDEALISME (1) Idealis/Idealisme:

EPISTEMOLOGI MODERN DALAM TRADISI BARAT DAN TIMUR

BAB 5 PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI NEGARA

ETNOGRAFI KESEHATAN 1

BAB VI PENUTUP. A. Kesimpulan. Adapun kesimpulan tersebut terdapat dalam poin-poin berikut:

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN

Estetika Desain. Oleh: Wisnu Adisukma. Seni ternyata tidak selalu identik dengan keindahan. Argumen

PARADIGMA PENDIDIKAN. Bahan Kuliah S2 Sosiologi Pendidikan dan Perubahan Sosial. Ravik Karsidi 2015

BAB VII SIMPULAN DAN REKOMENDASI. dilengkapi dengan hasil wawancara, implikasi, keterbatasan, dan saran-saran

BAB V PENUTUP. kebangkitan gerakan perempuan yang mewujud dalam bentuk jaringan. Meski

KONSEP ETIKA DI RUANG PUBLIK

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan memiliki keistimewaan dan

BAB I PENDAHULUAN. Praktik, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), hlm Fathul Mu in, Pendidikan Karakter: Konstruksi Teoretik dan

EKSISTENSIALISME (1) Eksistensialisme:

Pertemuan 1 TINJAUAN UMUM

Sosialisme Indonesia

1. Seseorang yang menerima ukuran moral yang tinggi, estetika, dan agama serta menghayatinya;

Bab 5. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Metodologi penelitian

MASALAH-MASALAH POKOK TEORITIS

BAB I PENDAHULUAN. Jürgen Habermas dalam bukunya Faktizitat und Geltung mengungkapkan

Pendekatan penelitian disebut juga dengan desain penelitian yakni rancangan, pedoman ataupun acuan penelitian yang akan dilaksanakan (Soemartono,

Beberapa Pertanyaan Mendasar

PANCASILA SEBAGAI SISTEM FILSAFAT

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

SOSIOLOGI PENDIDIKAN

Resensi Buku EKONOMI POLITIK: Peradaban Islam Klasik, karangan Suwarsono Muhammad Oleh: Musa Asy arie

otaknya pasti berbeda bila dibandingkan dengan otak orang dewasa. Tetapi esensi otak manusia tetap ada pada otak bayi itu, sehingga tidak pernah ada

NATURALISME (1) Naturalisme 'natura' Materialisme

BAB I PENDAHULUAN. Setiap individu yang hidup di dunia ini pasti selalu berharap akan

MAKALAH PENDIDIKAN SEBAGAI ILMU

Teori Kebudayaan Menurut E.K.M. Masinambow. Oleh. Muhammad Nida Fadlan 1

BAB I SOSIOLOGI SEBAGAI ILMU

BAB V PENUTUP. mengenai program Kampung Ramah Anak, lahir melalui proses yang simultan dan

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasaran pembahasan yang telah dipaparkan pada bab-bab sebelumnya,

MANUSIA, NILAI DAN MORAL

Telaahan Kritis Masyakat Sipil Rancangan Teknokratik RPJMN

proses sosial itulah terbangun struktur sosial yang mempengaruhi bagaimana China merumuskan politik luar negeri terhadap Zimbabwe.

SOSIOLOGI PENDIDIKAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENGERTIAN FILSAFAT (1)

BAB V PENUTUP. Penelitian ini pada akhirnya menunjukan bahwa pencapaian-pencapaian

BAB I PENDAHULUAN. Dalam telaah-telaah ilmu sosial, bahasa menempati posisi yang sangat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

2015 PEMBINAAN KECERDASAN SOSIAL SISWA MELALUI KEGIATAN PRAMUKA (STUDI KASUS DI SDN DI KOTA SERANG)

KELAHIRAN SOSIOLOGI Pertemuan 2

AGAMA dan PERUBAHAN SOSIAL. Oleh : Erna Karim

ILMU DAN ILMU PENGETAHUAN

BAB 1 PENGANTAR Latar Belakang. demokrasi sangat tergantung pada hidup dan berkembangnya partai politik. Partai politik

URGENSI FILSAFAT PENELITIAN TINDAKAN KELAS DALAM UPAYA PENINGKATAN KUALITAS BELAJAR SISWA. Dr. Y. Suyitno MPd Dosen Filsafat Pendidikan UPI

ANALITIK (1) Analitik:

BAB III PROSEDUR PENELITIAN. kewilayahan dalam penelitian ini merujuk desain penelitian deskriptifkualitatif,

MENYANGKAL TUHAN KARENA KEJAHATAN DAN PENDERITAAN? Ikhtiar-Filsafati Menjawab Masalah Teodise M. Subhi-Ibrahim

B A B V P E N U T U P. Fakta-fakta dan analisis dalam tulisan ini, menuntun pada kesimpulan

PUSAT KAJIAN ADMINISTRASI INTERNASIONAL LAN (2009)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Hana Nailul Muna, 2016

PARADIGMA PENDIDIKAN LIBERAL

DIKTAT PENELITIAN SENI

Kesimpulan. Bab Sembilan

BAB I PENDAHULUAN. untuk dibahas. Sebuah perubahan apapun bentuknya, senantiasa akan mengacu

BAB II KAJIAN TEORI. maupun mempaparkan dua konsep diantaranya definisi yang berkaitan erat

School of Communication &

BAB I PENDAHULUAN. bangsa yang siap menghadapi masa depan. Salah satu jenjang pendidikan yang

MEMBANGUN ILMU PENGETAHUAN DENGAN KECERDASAN EMOSI DAN SPIRITUAL

BAB V PENUTUP. ini. Varian fundamentalisme sudah banyak dikategorisasikan oleh para

STMIK AMIKOM YOGYAKARTA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Andriyana, 2015

BAB I PENDAHULUAN A. Pengertian Filsafat dan Filsafat Ketuhanan

Apa itu Penelitian Kualitatif???

BAB V PENUTUP. 1. Filsafat Perennial menurut Smith mengandung kajian yang bersifat, pertama, metafisika yang mengupas tentang wujud (Being/On) yang

PANCASILA SEBAGAI SISTEM FILSAFAT

Ilmu sosial adalah ilmu yang mempelajari tentang manusia sosial. yang mempelajari tentang manusia sebagai makhluk sosial.

BAB I PENDAHULUAN. Sastra adalah seni yang tercipta dari tangan-tangan kreatif, yang merupakan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Metode adalah suatu cara yang dipakai untuk mencapai tujuan. Sedangkan penelitian

SOSIOLOGI PENDIDIKAN

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan kualitas pada berbagai jenis dan jenjang pendidikan termasuk

PENELITIAN KUALITATIF DAN KUANTITATIF

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sastra merupakan hasil imajinasi pengarang yang didasarkan oleh realitas

M. Hamid Anwar, M. Phil.

BULETIN ORGANISASI DAN APARATUR

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengadaan Proyek

FILSAFAT SEJARAH BENEDETTO CROCE ( )

I. PENDAHULUAN. kehidupan baru yang penuh harapan akan terjadinya berbagai langkah-langkah

PSIKOLOGI UMUM 1. Pertemuan VI: Fungsionalisme

Mengapa Sosialisme? Albert Einstein

FILSAFAT ILMU DAN PENDAHULUAN. Dr. H. SyahrialSyarbaini, MA. Modul ke: 01Fakultas PSIKOLOGI. Program Studi Psikologi

PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI BANGSA

BAB III KERANGKA TEORI ANALISIS

I. PENDAHULUAN II. PENDEKATAN FILSAFATI

BAB V PENUTUP. 1. Rekonstruksi teologi antroposentris Hassan Hanafi merupakan

KONFLIK HORIZONTAL DAN FAKTOR PEMERSATU

TEORI KONFLIK DAN INTEGRASI SOSIAL

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan di Indonesia dewasa ini telah mendapat perhatian yang

BAB I PENDAHULUAN. Hijab merupakan simbol komunikasi dan sebagai identitas bagi wanita,

BAB VI PENUTUP. A. Kesimpulan. terhadap api dan segala bentuk benda tajam. Seni dan budaya debus kini menjadi

BAB I PENDAHULUAN. Sebagaimana ilmu pengetahuan bidang lain, sastra sebagai ilmu memiliki

KODE ETIK, PELAKSANAAN DAN EFEKTIFITAS PENGAWASANNYA

Disusun Oleh : LINA FIRIKAWATI A

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan sesuatu yang sangat penting dan merupakan

Transkripsi:

Membangun Kritisisme Generasi Indonesia 1 Sebuah Telaah Singkat tentang Filsafat Kritisisme Pendahuluan: Manusia dan Hakekat Kritisisme ÉÄx{M Joeni Arianto Kurniawan 2 Perubahan adalah keniscayaan, itulah hukum dialektika sejarah. Artinya, kehidupan manusia secara niscaya akan selalu bersifat dinamis, senantiasa berkembang menuju ke arah yang lebih baik. Keterbatasan dan segala persoalan yang di hadapi manusia di masa yang lalu adalah sebuah thesis lama yang telah dipecahkan dan diubah oleh manusia di masa kini (anti thesis) sehingga tercipta tatanan kehidupan yang secara kualitatif dapat dipandang lebih baik (synthesis) dari masa lalu. Dan tatanan kehidupan manusia masa kini akan menjadi thesis lama bagi kehidupan selanjutnya (anti thesis) sehingga tercipta tatanan kehidupan yang lebih baik lagi di masa mendatang (sysnthesis), begitu seterusnya. Namun, hukum dialektika sejarah di atas kiranya tidak serta merta bersifat materialisdetermenistik, dimana evolusi sejarah tersebut berjalan begitu saja dan manusia hanyalah bersifat sebagai obyek dari perubahan itu. Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa perubahan sejarah manusia pada hakekatnya adalah suatu daya upaya manusia dalam membentuk realitas kehidupannya menuju ke arah yang lebih baik dalam linear waktu, sehingga jelas bahwa dalam evolusi sejarah manusia bukanlah obyek melainkan subyek aktif. Oleh karena itu, bukanlah manusia yang dideterminasi oleh sejarah, melainkan manusialah yang merupakan determinan sejarah. Jika manusialah yang merupakan pen-determinan sejarah, maka sejarah adalah sepenuhnya bagian dari kesadaran manusia. Artinya, hendak ke manakah sejarah dibentuk dan diarahkan, hal itu sepenuhnya bergantung pada kehendak manusia sebagai subyek dari sejarah itu sendiri. Walaupun sebelumnya telah disebutkan bahwa hakekat perubahan sejarah adalah 1 Disampaikan pada Advocation Training BEM ITS, Surabaya 4 Mei 2008. 2 Staf pengajar Fakultas Hukum Unair Surabaya; Anggota pengurus Unit Konsultasi dan Bantuan Hukum (UKBH) FH Unair; Pemuda Indonesia aktivis advokasi masyarakat marjinal. 1

usaha manusia dalam membangun kehidupannya menuju ke arah yang lebih baik, namun tidak serta merta perubahan yang akan terjadi adalah benar-benar bersifat demikian. Kiranya hal itu dapat dipahami bahwa manusia selalui berkecenderungan membangun kehidupannya secara lebih baik, namun hal itu hanyalah sebatas kehendak yang merupakan kesadaran dalam dunia idea saja. Ketika kehendak tersebut berusaha direalisasikan dalam dunia material, maka hasil yang diperoleh tidak serta merta sesuai dengan apa yang diidealkan. Dengan kata lain, usaha perubahan yang dimaksudkan guna menciptakan realitas hidup yang lebih baik dapat berimplikasi sebaliknya, atau bahkan mungkin berujung pada kegagalan. Mengapa demikian? Kehendak manusia yang cenderung selalu berusaha menciptakan keadaan yang lebih baik bagi dirinya pada hakekatnya adalah hasil pemahaman dan pembelajaran manusia tersebut akan kesulitan dan persoalan-persoalan yag dihadapinya dalam pengalaman di masa kini ataupun di masa lalu. Sejauh mana manusia mampu mengatasi persoalan-persoalan yang dihadapi dalam pengalaman hidupnya sepenuhnya bergantung pada sejauh mana manusia tersebut mampu memahami persoalan yang dihadapinya. Kemampuan manusia untuk membaca persoalan secara tajam dan jeli, kemudian memahami persoalan yang dihadapinya secara mendalam, koheren, dan sistemis adalah hal yang dapat disebut di sini sebagai istilah kritisisme. Kritisisme dan Lapisan Kesadaran Manusia Jika kritisisme di sini disepakati sebagai konsep yang menunjukkan kemampuan manusia untuk melakukan pembacaan persoalan secara tajam dan jeli, untuk kemudian ditindak lanjuti dengan pemahaman persoalan tersebut secara mendalam, koheren, dan sistemis, maka secara tidak langsung diperoleh gambaran tentang ukuran kualitatif tertentu dari tingkatan kesadaran manusia. Artinya, manusia yang gagal dalam melakukan pembacaan persoalan, ataupun yang gagal dalam proses pemahaman persoalan yang dihadapinya (yang pada akhirnya berresultante-kan kegagalan dalam proses perubahan sejarah yang dilakukannya menuju ke arah tataran kualitas peradaban yang lebih baik) dapat dikualifisir sebagai manusia yang tidak atau kurang memiliki kritisisme dalam kesadarannya. 2

Kritisisme memang berkaitan langsung dengan kesadaran, atau bahkan merupakan bagian dari kesadaran manusia itu sendiri, sehingga kritisisme dapat juga disebut dengan istilah kesadaran kritis. Jika kesadaran kritis ini adalah bentuk kemampuan manusia melakukan pembacaan persoalan secara tajam dan jeli dalam realitas hidupnya, serta untuk kemudian melakukan pemahaman dengan baik (mendalam, koheren, dan sistemis) atas persoalan itu, maka kemampuan tersebut hanya dapat diperoleh berdasarkan kuantitas dan kualitas pengalaman yang mengisi kesaadaran manusia yang bersangkutan. Artinya kritisisme terdeterminasi dari kualitas pembelajaran manusia atas realitas kesejarahannya. Dengan kata lain, sejauh mana manusia belajar 3, maka sejauh itu pulalah kualitas kesadarannya (apakah kritis atau tidak). Berdasarkan kualitas pembelajaran manusia akan pengalaman realitasnya, maka kesadaran manusia secara teoretis dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa lapisan kualitatif. Lapisan kualitatif yang pertama adalah lapisan kesadaran yang dinamakan dengan kesadaran magis. Kesadaran magis ini adalah kesadaran dimana manusia dalam melakukan pembacaan akan realitas sekitarnya hanya mampu mengaitkan segala fenomena yang dihadapinya dengan segala entitas yang bersifat transenden dan metafisik. Pada lapisan kesadaran ini, manusia hanya memandang dirinya sebagai obyek dari realitas, karena segala hal yang berlangsung dalam realitas sekitarnya (fenomena) termasuk realitas kehidupan manusia yang bersangkutan itu sendiri, masih dianggap berada di luar kesadaran dan kekuasaannya. Memandang jalan kehidupan sebagai garis takdir adalah contoh kongkrit dari lapisan kualitatif kesadaran ini. Lapisan kesadaran yang kedua adalah apa yang dinamakan sebagai kesadaran naif. Di sini faktor eksistensial diri manusia sudah sangat mengemuka, dan kesadaran manusia akan realitasnya sudah demikian berkembang. Lapisan kesadaran ini adalah suatu kualitas kesadaran manusia dimana dia mengaitkan segala fenomena yang muncul berkait pengalaman dirinya dengan eksistensinya sendiri. Pola berpikir bahwa jalan kehidupan manusia adalah resultante akhir dari segala usaha yang dilakukannya dalam menyikapi realitas adalah ciri khas dari kesadaran naif ini. 3 Bahwa istilah belajar di sini tidak sekali-kali dimaknai sebagai suatu proses formal dalam ruang institusi yang khusus, elitis, dan formal pula (sekolah, kampus), melainkan suatu prosesi upaya pemahaman manusia akan realitasnya (di mana pemahaman problematika dalam realitas itu termasuk di dalamnya). 3

Lapisan kesadaran yang terakhir adalah apa yang telah kita singgung sebagai kesaadaran kritisis. Sebagaimana yang telah dijelaskan di muka, kesadaran kritis adalah lapisan lapisan kesadaran manusia untuk mampu membaca persoalan secara tajam dan jeli, serta memahami persoalan itu dengan mendalam, koheren, dan sistemis. Sifat ketajaman, koherensif, dan sistemis dalam pembacaan dan pemahaman realitas (termasuk berbagai persoalan di dalamnya) adalah sifat khas dari lapisan kualitatif kesadaran ini. Dalam kesadaran kritis ini, manusia memandang segala fenomena yang berkaitan dengan dirinya yang terhadapkan dan menjadi pengalaman dalam ruang kesadarannya sebagai suau hasil pola hubungan sistemis antara segala aspek yang ada yang berkaitan dengan eksistensi manusia yang bersangkutan. Berdasarkan hal ini, maka manusia memandang apa yang dia dapatkan dalam kehidupannya adalah resultante dari apa yang telah dia upayakan dalam menghadapi realitasnya dikaitkan dengan apa yang telah diupayakan oleh sistem sosial di mana dia berada terhadap dirinya. Sehingga, dalam kesaadaran kritis ini, manusia tidak lagi memandang segala fenomena sosial sebagai hal yang metafisik nan transenden sifatnya, serta tidak hanya memandang gejala sosial kehidupan manusia tersebut sebagai hasil dari praksis eksistensialnya saja, melainkan juga dengan memandang aspek eksistensial dirinya sebagai bagian dari sistem sosial yang juga turut bekerja atasnya, namun yang kesemua itu sepenuhnya berada dalam wilayah kesadarannya (sehingga manusia yang bersangkutan secara sepenuhnya juga mempunyai kuasa untuk mempengaruhi sistem sosial yang bekerja terhadap dirinya itu). Kritisisme Individual dan Kritisime Sosial Tokoh pencetus paham ekonomi liberal, Adam Smith, memiliki thesis bahwa hal yang terbaik yang dapat diperoleh oleh suatu kelompok sosial adalah jika masing-masing individu dalam kelompok sosial itu melakukan upaya yang terbaik bagi dirinya. Dikaitkan dengan hukum evolusi sejarah sebagaimana dijabarkan di atas, maka thesis Adam Smith tersebut dapat berkembang menjadi thesis yang menyatakan bahwa perubahan sosial menuju ke arah yang lebih baik dalam peradaban manusia dapat dilakukan dengan cara membangun kesadaran kritis pada masing-masing individu dalam suatu kelompok sosial agar indiividu-individu tersebut dapat memahami dengan baik untuk kemudian mampu memecahkan persoalan-persoalan 4

individualnya, sehingga dengan demikian dapat terbangun tatanan kehidupan individual dari masing-masing anggota kelompok sosial tersebut secara lebih baik, dan dengan terbangunnya tatanan yang lebih baik dalam ruang kehidupan individual masing-masing anggota kelompok sosial itu maka diharapkan dengan sendirinya terbangun tatanan kehidupan secara kolektif yang bersifat lebih baik pula dalam kelompok sosial itu. Namun perlu disadari bahwa thesis Adam Smith di atas terdapat kecacatan. Thesis itu dibangun dari realitas kondisi alamiah manusia, di mana manusia selalu akan berusaha memenuhi kepentingan individualnya, dan kondisi inilah juga yang mendorong manusia untuk senantiasa mengupayakan perubahan kualitas hidup dengan memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapinya kini dengan kritisisme sebagai prasyaratnya (dari sini dapat terlihat penegasan bahwa kritisme dan evolusi peradaban / sejarah adalah bagian dari hakekat manusia). Namun, jika yang diupayakan adalah hanya upaya perubahan dalam konteks ruang kehidupan individual semata, maka evolusi peradaban (perubahan tatanan sosial ke arah yang lebih baik) secara riil tidak akan dapat terwujud, dikarenakan bahwa jika relitas sosial hanya dimaknai sebagai penjumlahan kepentingan individu semata hal ini pada akhirnya tidak akan menghasilkan suatu harmoni melainkan kekacauan yang diakibatkan kompetisi yang memuncak antar individu tersebut 4, dan jika masing-masing individu mengupayakan perubahan yang lebih baik dalam ruang kehidupan individualnya maka hal ini akan menghalangi upaya yang sama yang dilakukan oleh individu lain. Sehingga, dorongan untuk membangun kehidupan secara lebih baik, adalah dorongan alamiah yang ada pada setiap diri manusia, yang oleh karenanya kesadaran kritis guna mengatasi problematika sosial yang dihadapi manusia yang bersangkutan mutlak dimiliki. Namun kritisisme yang perlu dibangun adalah kritisisme sosial, yakni kesadaran kritis yang diarahkan untuk mengatasi problematika dalam ruang kehidupan sosial bersama, dan bukan sekali-kali kritisime individual yang diarahkan pada spektrum permasalahan dalam ruang kehidupan individu saja. Hanya dengan demikianlah perubahan kualitas kehidupan sosial secara riil akan terwujud dimana perubahan kualitas hidup individual dengan sendirinya juga akan terpenuhi, mengingat hal terbaik bagi suatu kelompok sosial bukanlah dengan cara 4 Lihat kembali teori-teori negara dari Thomas Hobbes, John Locke, maupun J.J Rousseou(sebagai sesama pemikir aliran Naturalisme sebagaimana juga Adam Smith) 5

mengusahakan yang terbaik (hanya) bagi individu-individu dalam kelompok itu, melainkan dengan mengusahakan hal yang terbaik bagi individu dan bagi kelompok sosial tersebut. Hegemoni: Pembunuh Kritisisme Di atas telah disinggung bahwa pencapaian kesadaran kritis bergantung pada kualitas pembelajaran manusia akan realitas sekitarnya guna mengisi pengalaman dalam ruang kesadarannya. Oleh karena itu, pembelajaran manusia terhadap realitasnya bersifat sangat menentukan kualitas kesadaran manusia yang bersangkutan, mengingat dalam pembelajaran itulah kesadaran manusia terbangun. Proses pembelajaran yang benar, dalam artian mampu menghantarkan manusia kepada fakta realitas yang sesungguhnya sebagaimana apa adanya, akan menghasilkan pengetahuan yang dapat dikategorikan sebagai suatu kebenaran (truth) sehingga kesadaran yang terbangun dalam diri manusia adalah sesuai dengan kenyataan yang terjadi dalam realitas yang ada. Namun sebaliknya, proses pembelajaran yang salah tidak akan mampu memberikan kebenaran (truth) melainkan justru suatu kesesatan (fallacy) karena tidak menghantarkan manusia yang bersangkutan pada realitas sesungguhnya sehingga kesadaran yang terbentuk tidak akan sesuai atau bahkan mungkin bertolak belakang dengan keyataan yang ada. Dalam suatu sistem sosial, sebagaimana yang telah kita singgung, segala sesuatu tidak bisa kita pandang secara a priori. Kehidupan eksistensial manusia tidak hanya dideterminasi atau terbangun dari hubungan diametral antara diri manusia itu dengan obyek realitas yang dihadapinya saja, melainkan atas hubungan kompleks antara manusia obyek yang dihadapi keseluruhan realitas lingkungan sosial yang melingkupi. Begitu pula dengan proses pembelajaran yang dilakukan oleh individu manusia. Di dalam suatu sistem sosial, dalam upayanya memahami realitas yang dilakukan oleh manusia, segala konsepsi yang terbentuk sebagai hasil pembelajaran atas realitas tersebut juga dipengaruhi konsepsi-konsepsi yang telah ada yang terbentuk dari hasil interaksi manusia yang bersangkutan dengan individu lain dan kelompok sosialnya. Di sisi lain, interaksi di antara sesama manusia senantiasa berbalut kompetisi atas adanya latar belakang self interest masing-masing, dan pola hubungan kepentingan ini pada ujungnya akan menghasilkan pola kekuasaan dimana kepentingan 6

kelompok yang kuat akan mendominasi di atas kepentingan kelompok yang lebih lemah. 5 Hal inilah yang membuat proses pembelajaran yang dilakukan oleh seorang individu dalam suatu sistem sosial tidak lagi dapat dipandang sebagai suatu proses yang netral. Hal ini disebabkan proses itu berlangsung di dalam sistem sosial yang juga tidak sekali-kali bersifat netral. Sehingga konsepsi yang terbentuk dalam kesadaran seorang manusia dari hasil interaksi sosial yang ada bukan suatu konsepsi yang secara niscaya bersifat obyektif, melainkan justru seringkali bersifat subyektif dalam rangka usaha upaya mempertahankan dominasi kepentingan kelompok yang kuat. Konsepsi subyektif nan politis inilah yang kerapkali justru menggiring seorang individu manusia yang tengah berupaya melakukan pembacaan atas realitasnya kepada suatu kesesatan yang pada ujungnya akan membentuk suatu kesadaran yang sesat pula (false consciousness). Proses pembentukan konsepsi yang bertujuan menggiring manusia pada kesesatan kesadaran inilah yang disebut sebagai hegemoni. Dari penjabaran ini dapat diketahui, membangun kesadaran kritis bukanlah perkara mudah, karena semua itu dideterminasi dari proses pembelajaran yang dialami manusia dalam menghadapi realitasnya, dan pembelajaran yang dilakukan dalam suatu sistem sosial yang politis sangat mungkin bersifat hegemonik nan menyesatkan. Pendidikan Kritis Sebagai Prasyarat Kritisisme Jika proses pembelajaran yang dilakukan manusia justru dapat bersifat hegemonik yang justru akan menyulitkan pembentukan kritisisme, maka jelas sekali bahwa kritisisme dapat terbangun hanya dengan pelaksanaan proses pembelajaran yang sama sekali tidak bersifat hegemonik yaitu proses pembelajaran yang benar-benar dapat memberikan kebenaran bagi manusia, yaitu kesadaran yang obyektif yang sesuai dengan realitas sebagaimana adanya. Dengan demikian proses pembelajaran yang baik adalah proses pembelajaran yang dapat membangun kesadaran kritis bagi insan manusia sehingga dapat memberikan kemampuan bagi dirinya untuk melakukan perubahan menuju tatanan sosial yang lebih baik secara bersama. Namun sekali lagi, upaya pembelajaran yang demikian di tengah-tengah sistem sosial yang politis bukanlah sekali-kali suatu pekerjaan yang mudah. Proses hegemoni adalah suatu 5 Sebagaimana teori Survival of the Fittest milik Darwin yang kemudian ditarik ke ranah sosio-ekonomi oleh Adam Smith 7

kerja sistemis yang secara politis bertujuan untuk mempertahankan dominasi kekuatan kelompok sosial tertentu. Oleh karena itu, dalam rangka upaya membangun kritisisme sosial maka perlu dilakukan terlebih dahulu upaya sistemis yang memungkinkan manusia dapat melakukan proses pembelajaran yang mampu memberikan pengetahuan akan kebenaran sebagaimana kenyataan yang terjadi. Suatu proses sistemis guna memungkinkan terwujudnya proses pembelajaran yang mencerahkan. Jika proses sistemis guna memungkinkan terselenggaranya pembelajaran yang mencerahkan ini dapat disebut sebagai pendidikan, maka konsep pendidikan yang harus dibangun dalam hal ini adalah konsep pendidikan kritis, yaitu pendidikan yang mampu membangun kesadaran kritis, pendidikan yang mencerahkan dan membebaskan manusia karena mampu membawa manusia kepada tatanan kehidupan sosial yang lebih baik. Â`xÇâ}â exäéäâá UtÇzát \ÇwÉÇxá tê 8