BAB I PENDAHULUAN. bijaksana. Seiring dengan bergulirnya waktu, kini bermilyar-milyar manusia

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Manusia tidak dapat hidup seorang diri karena manusia merupakan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pada bagian ini akan disajikan tabel-tabel yang menggambarkan

DAFTAR ISI. ABSTRAK... iii. KATA PENGANTAR. v. DAFTAR ISI.ix. DAFTAR SKEMA... xii. DAFTAR TABEL xiii. DAFTAR LAMPIRAN xiv

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhannya, terutama kebutuhan interpersonal dan emosional. Selain bertumbuh secara

BAB I PENDAHULUAN. dapat hidup sendiri tanpa berhubungan dengan lingkungannya atau dengan

BAB I PENDAHULUAN. dirinya adalah seorang homoseksual. Hal ini karena di Indonesia masih banyak

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. mengenai status intimacy pada pria homoseksual di X Bandung dengan

BAB I PENDAHULUAN. dalam memenuhi kebutuhannya. Salah satu tugas perkembangan seorang individu adalah

Perkembangan Sepanjang Hayat

BAB I PENDAHULUAN. Kehadiran individu lain tersebut bukan semata-mata untuk memenuhi kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. masalah yang muncul biasanya pada area sosial, emosi, kognisi, dan fungsi

BAB I PENDAHULUAN. saling mengasihi, saling mengenal, dan juga merupakan sebuah aktifitas sosial dimana dua

BAB I PENDAHULUAN. struktur nilai dan norma-norma pada masyarakat. Salah satunya, terjadi pada

Perkembangan Sepanjang Hayat

BAB I PENDAHULUAN. Lesbi merupakan suatu fenomena sosial yang tidak lagi mampu disangkal

BAB I PENDAHULUAN. hubungan dengan orang lain yang meliputi interaksi di lingkungan. sekitarnya. Salah satu bentuk hubungan yang sering terjalin dan

BAB I PENDAHULUAN. manusia pun yang dapat hidup sendiri tanpa membutuhkan kehadiran manusia lain

BAB I PENDAHULUAN. melalui tahap intimacy vs isolation. Pada tahap ini, individu berusaha untuk

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk sosial. Dalam sejarah manusia, belum. ditemukan seorang manusia yang dapat hidup sendiri tanpa membutuhkan

BAB I PENDAHULUAN. baik secara fisik maupun psikis. Menurut Paul dan White (dalam Santrock,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tuhan menciptakan jenis manusia menjadi dua yaitu pria dan wanita.

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini,

BAB I PENDAHULUAN. tentang orang lain. Begitu pula dalam membagikan masalah yang terdapat pada

BAB I PENDAHULUAN. dapat diabaikan dalam kehidupan manusia. Namun demikian, orang tua masih

COPING KAUM GAY DALAM PENYESUAIAN SOSIAL MASYARAKAT DI YOGYAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah

BAB I PENDAHULUAN. seksual umumnya dibahas seolah-olah hanya merupakan karakteristik individu,

BAB I PENDAHULUAN. istri adalah salah satu tugas perkembangan pada tahap dewasa madya, yaitu

BAB II LANDASAN TEORI. Keintiman berasal dari bahasa latin intimus yang artinya terdalam. Erikson

BAB I PENDAHULUAN. penting. Keputusan yang dibuat individu untuk menikah dan berada dalam

BAB I PENDAHULUAN. merupakan hal yang tabu bagi beberapa orang. seksualitas mereka. Kemunculan mereka bukannya datang tiba-tiba.

BAB I PENDAHULUAN. seksual kepada sesama jenisnya, disebut gay bila laki-laki dan lesbian bila

BAB I PENDAHULUAN. Manusia pada dasarnya disebut juga dengan mahluk sosial, karena. membutuhkan keberadaan individu lain untuk mendukung kelangsungan

ABSTRAK Studi Kasus mengenai Status Intimacy pada Istri yang Memiliki Anak Autistik di Pondok Terapi X, di Kota Bandung

BAB II LANDASAN TEORI. A. Kepuasan Pernikahan. 1. Pengertian Kepuasan Pernikahan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

Bab 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

PERKEMBANGAN SOSIO-EMOSIONAL PADA MASA DEWASA AWAL

I. PENDAHULUAN. Pada dasarnya sebagai manusia, kita membutuhkan untuk dapat berinteraksi

BAB I PENDAHULUAN. cinta, seiring dengan perkembangan dan pertumbuhan individu dewasa.

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa

BAB I PENDAHULUAN. bergaul, bersosialisasi seperti masyarakat pada umumnya. Tidak ada salahnya

Bab I Pendahuluan. Mahasiswa masuk pada tahapan perkembangan remaja akhir karena berada pada usia 17-

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan

BAB I PENDAHULUAN. individu saling mengenal, memahami, dan menghargai satu sama lain. Hubungan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan ini, kita dituntut untuk menjalani aktifitas hidup yang

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam proses kehidupan manusia mengalami tahap-tahap perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. (Papalia, 2009). Menurut Undang-Undang Republik Indonesia nomor 1 pasal 1

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Beberapa teori akan dipaparkan dalam bab ini sebagai pendukung dari dasar

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membahas mengenai kualitas komunikasi yang dijabarkan dalam bentuk pengertian kualitas

BAB I PENDAHULUAN. Mahasiswa adalah individu yang menempuh perkuliahan di Perguruan Tinggi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. (UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dalam Libertus, 2008). Keputusan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara majemuk yang terdiri atas berbagai macam

BAB I PENDAHULUAN. berubah dari perubahan kognitif, fisik, sosial dan identitas diri. Selain itu, terjadi pula

Sosialisasi sebagai proses belajar seorang individu merupakan salah. satu faktor yang mempengaruhi bagaimana keberlangsungan proses

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkembangan isu gay di Indonesia meskipun tidak dikatakan pesat, kini

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini perkembangan dunia dalam berbagai aspek menyebabkan mudahnya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Seks selalu menarik untuk dibicarakan, tapi selalu menimbulkan kontradiksi

PENERIMAAN DIRI PADA WANITA BEKERJA USIA DEWASA DINI DITINJAU DARI STATUS PERNIKAHAN

HUBUNGAN ANTARA PERILAKU ASERTIF DENGAN PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH PADA REMAJA PUTRI. Skripsi

BAB I PENDAHULUAN. pada masa remaja, salah satunya adalah problematika seksual. Sebagian besar

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menikmati masa remajanya dengan baik dan membahagiakan, sebab tidak jarang

BAB I PENDAHULUAN. pada rentang usia tahun mulai membangun sebuah relasi yang intim

BAB I PENDAHULUAN. mempengaruhi perkembangan psikologis individu. Pengalaman-pengalaman

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat melekat pada diri manusia. Seksualitas tidak bisa dihindari oleh makhluk

BAB I PENDAHULUAN. akan tergantung pada orangtua dan orang-orang yang berada di lingkungannya

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan jaman yang melaju sangat pesat dan persaingan global

BAB 1 PENDAHULUAN. masa dewasa yang berkisar antara umur 12 tahun sampai 21 tahun. Seorang remaja, memiliki tugas perkembangan dan fase

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan

BAB I PENDAHULUAN. Istilah ini menyangkut hal-hal pribadi dan dipengaruhi oleh banyak aspek kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. I. A. Latar Belakang Masalah

BAB V KESIMPULAN DISKUSI DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pada dasarnya manusia merupakan makhluk sosial, dimana

Disusun oleh Ari Pratiwi, M.Psi., Psikolog & Unita Werdi Rahajeng, M.Psi., Psikolog

2015 INTIMACY WANITA KORBAN KEKERASAN DALAM BERPACARAN

BAB I PENDAHULUAN. matang dari segi fisik, kognitif, sosial, dan juga psikologis. Menurut Hurlock

BAB I PENDAHULUAN. pembuahan hingga akhir kehidupan selalu terjadi perubahan, baik dalam

BAB II TINJAUAN TEORI. memiliki arti innermost, deepest yang artinya paling dalam. Intimacy

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. topik yang menarik untuk dibicarakan. Topik yang menarik mengenai masalah

BAB I PENDAHULUAN. hubungan sosial yaitu hubungan berpacaran atau hubungan romantis.

BAB I PENDAHULUAN. 2001). Untuk selanjutnya kaum homoseksual yang berjenis kelamin pria dan

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN

BAB I PENDAHULUIAN. A. Latar Belakang Masalah. meningkat. Remaja menjadi salah satu bagian yang sangat penting terhadap

BAB I PENDAHULUAN. Berpacaran sebagai proses dua manusia lawan jenis untuk mengenal dan

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan zaman dan kemajuan teknologi yang terus berkembang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Beberapa dekade lalu, orang tua sering menjodohkan anak mereka dengan

Erikson berpendapat bahwa perkembangan manusia melalui tahap tahap. psikososial dan tahap tahap perkembangan tersebut terus berlanjut sampai

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya, manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup tanpa

BAB I PENDAHULUAN. sosialnya. Pengertian dari pacaran itu sendiri adalah hubungan pertemanan antar lawan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa transisi dari masa anak menuju masa dewasa, dan

BAB I PENDAHULUAN. Setiap manusia memiliki hak untuk dapat hidup sehat. Karena kesehatan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

2015 IMPLEMENTASI PENDIDIKAN SEKSUAL UNTUK ANAK USIA DINI

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Subjek berasal dari keluarga tidak harmonis, sejak kecil subjek berada dalam

PERSEPSI MASYARAKAT MENGENAI HUBUNGAN SEKSUAL PRANIKAH DI KALANGAN REMAJA (Studi Kasus di Desa Kuwu, Kecamatan Kradenan, Kabupaten Grobogan)

BAB I PENDAHULUAN. ketika ia dilahirkan, baik ia dilahirkan sebagai orang kaya atau miskin, berkulit

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tuhan menciptakan bumi dengan segala isinya, termasuk manusia yang dipercaya Tuhan untuk hidup di dunia dan memanfaatkan segala yang ada dengan bijaksana. Seiring dengan bergulirnya waktu, kini bermilyar-milyar manusia hidup dan mendapatkan penghidupannya dengan memanfaatkan sumber daya yang telah disediakan Tuhan di dunia ini. Proses demi proses berlangsung, manusia bekerjasama dengan manusia lain untuk mendapatkan kehidupan yang layak di lingkungannya. Oleh karena itu muncul istilah manusia sebagai makhluk sosial yang memiliki kebutuhan untuk menjalin hubungan dengan individu lain sepanjang hidupnya. Individu selalu membutuhkan individu lain untuk dapat hidup di lingkungannya. Untuk itu mereka harus melakukan suatu relasi sosial. Dimulai dari nafas pertama di dunia ini, individu sudah mulai membutuhkan orang lain untuk dapat bertahan hidup. Ketika seorang bayi lahir itulah titik awal dari relasi sosial yaitu relasi antara anak dengan ibunya. Dengan bertambahnya umur maka relasi seseorang pun akan semakin luas. Cakupannya tidak hanya dalam lingkup anggota keluarga saja namun juga dengan individu lain di lingkungan yang lebih luas. Relasi yang dijalin memiliki kualitas kedalaman yang berbeda-beda, mulai dari tahu, kenal, berteman sampai dengan bersahabat. Pada tahap bersahabat, baik dengan lawan jenis maupun dengan sesama jenis diharapkan adanya perkembangan perasaan hangat dan kedekatan yang lebih 1

2 intim. Di dalam relasi sosial yang terjalin, ada satu kualitas hubungan yang melibatkan kedalaman emosi individu, diawali oleh ketertarikan seksual diantara dua individu. Ketertarikan seksual memiliki arti ketertarikan secara erotis, psikologis, emosional dan sosial pada individu lain (Crooks & Baur, 1983). Ketika individu menginjak usia dewasa awal, persahabatan dapat berubah menjadi suatu relasi berpacaran. Di dalam budaya manusia secara umum hanya memperbolehkan hubungan ketertarikan secara seksual yang terjadi antara satu individu dengan individu lain dari jenis kelamin yang berbeda, atau yang dikenal dengan istilah heteroseksual. Namun pada kenyataanya, ada individu yang memiliki ketertarikan pada individu lain dari jenis kelamin yang sama atau homoseksual. Homoseksual adalah individu yang memiliki ketertarikan secara erotis, psikologis, emosional dan sosial pada individu lain dari jenis kelamin yang sama, meskipun ketertarikan itu terkadang tidak diekspresikan secara overt (Martin & Lyon, dalam Crooks & Baur, 1983). Homoseksual dianggap sebagai perilaku yang menyimpang sehingga tabu untuk dibicarakan. Selama lebih dari dua puluh lima tahun, homoseksual dinyatakan sebagai bentuk abnormalitas dalam DSM III-R. American Psychologist Association (APA) pada saat itu menyatakan homoseksual merupakan perilaku patologis atau perilaku seksual yang menyimpang bersama dengan orang-orang yang melakukan pelecehan seksual pada anak-anak, atau disebut voyeurism dan exhibionism (Sang dalam Matlin, 1987). Tetapi sejak

3 tanggal 15 Desember 1973 APA tidak lagi menggolongkan homoseksual sebagai perilaku patologis. Di Indonesia homoseksual tidak digolongkan sebagai bentuk pelanggaran hukum, namun prejudice terhadap kaum ini sering terjadi dalam masyarakat. Keadaan ini dikarenakan perspektif masyarakat Indonesia yang masih menganggap kaum homoseksual identik dengan pelaku seks bebas dan sumber HIV / AIDS (FORUM, 2004). Begitu pula dengan ajaran-ajaran agama, seperti Yahudi, Kristen dan Islam juga menganggap homoseksual sebagai sebuah dosa (Chua-Eoan dalam Kelly, 2001). Tidak dapat dipungkiri bahwasanya homoseksualitas kini kian bertambah dan berkembangnya di masyarakat. Meskipun belum dapat dibuktikan secara statistik karena pada umumnya masyarakat di Indonesia tidak mudah membuka diri pada lingkungan, namun dapat dilihat dari semakin maraknya situs-situs di internet yang dirancang secara khusus bagi kaum homoseksual. Selain itu, kafekafe dan klub-klub malam di kota-kota besar seperti Bandung setiap bulan menyajikan acara khusus bagi kaum homoseksual untuk berkumpul dan mencari hiburan. Tidak hanya itu, semakin banyak bermunculan organisasi-organisasi homoseksual, termasuk salah satunya adalah komunitas X di Bandung. Komunitas X merupakan organisasi nirlaba yang didirikan pada tahun 2003 dan dimulai dari pengumpulan massa dengan pembuatan website di internet oleh lima orang homoseksual. Sampai saat ini anggota komunitas X baru mencapai 123 orang, anggota yang boleh masuk di dalam komunitas ini minimal

4 memiliki taraf pendidikan SMU, memiliki kreativitas dalam bidang musik, seni dan desain serta mau bekerja sama dalam mencapai kemajuan organisasi. Di umurnya yang kelima, komunitas X mampu menarik perhatian para homoseksual khususnya di Bandung, karena komunitas ini bukan hanya berfungsi sebagai sarana berkumpul bagi homoseksual tetapi juga memiliki tujuan untuk membuka pemahaman yang lebih baik bagi masyarakat tentang kehidupan homoseksual. Mereka berusaha mengubah persepsi negatif masyarakat dengan mengadakan kegiatan-kegiatan yang berguna melalui pendekatan seni, dengan berusaha menampilkan potensi yang mereka miliki agar masyarakat menyadari bahwa kaum homoseksual memiliki kemampuan untuk berkarya dan berprestasi. Dengan kegiatan-kegiatan yang mendukung terbentuknya suatu jaringan homoseksual yang lebih luas, kegiatan pencarian pasangan antara sesama kaum homoseksual di komunitas X pun semakin terfasilitasi dan mendukung tumbuhnya populasi homoseksual. Banyak pula pasangan dari sesama jenis yang terjalin dan menjadikan suatu hubungan yang memiliki kualitas yang lebih dalam. Kualitas yang dalam akan membuat suatu hubungan yang lebih intim diantara pasangan homoseksual di komunitas X. Salah satu penentu awetnya suatu relasi berpacaran adalah kemampuan individu homoseksual untuk membuka diri kepada pasangannya dan menjalin suatu relasi yang hangat. Kemampuan ini yang disebut dengan intimacy, yaitu kemampuan individu untuk melibatkan dirinya dalam suatu relasi afiliasi dan relasi berpasangan, serta bertahan dalam komitmen itu, meskipun hal tersebut

5 mungkin membutuhkan adanya pengorbanan dan kompromi. (Erikson, 1963 yang telah dikembangkan oleh J.L Orlofsky, 1993) Status intimacy setiap individu dapat berbeda-beda derajat kedalamannya. Begitupun pada individu homoseksual komunitas X yang berpacaran, mereka diharapkan mampu untuk bersikap terbuka kepada pasangannya dan memilki komitmen untuk mempertahankan serta melanjutkan relasi itu ke tahap yang lebih serius. Dengan kata lain, individu homoseksual diharapkan untuk memiliki keterbukaan dan komitmen yang tinggi. Namun dalam kenyataannya, perilaku homoseksual masih menjadi hal yang tabu bahkan dilarang di negeri ini, sehingga sulit bagi seorang individu untuk melibatkan diri secara mendalam dan terbuka dengan individu lain di dalam maupun diluar komunitas mereka. Kenyataan ini yang menyebabkan individu tidak mencapai status intimacy yang sesuai dengan tuntutan relasi sosialnya dalam menjalin suatu hubungan yang intim dengan seseorang. Di komunitas X ditemukan adanya perbedaan penghayatan pada masing-masing homoseksual dalam menjalin relasi berpacaran. Berdasarkan hasil wawancara yang telah dilakukan kepada lima orang dari anggota komunitas X yang tengah berpacaran, terdapat satu orang yang telah yakin terhadap pasangannya. Sedari kecil ia telah menyukai individu dari jenis kelamin yang sama. Ia telah mempunyai tujuan dan komitmen yang jelas untuk dapat hidup bersama dengan pasangannya sebagai pasangan homoseksual. Disamping itu, ia juga telah berani mengumumkan kepada keluarganya bahwa ia mempunyai maksud serius sebagai layaknya pasangan heteroseksual, didukung oleh

6 lingkungan tempat ia dibesarkan yang menganggap homoseksual bukan sebagai hal yang abnormal sehingga ia mampu mengambil keputusan dan mengekspresikan dirinya sebagai homoseksual. Ia mengatakan bahwa ketertarikannya terhadap lawan jenis sudah sangat rendah, sehingga ia sangat yakin untuk mengambil keputusan hidup bersama. Didasarkan atas teori plato yang diyakininya, bahwa kecenderungan homoseksual tidak bisa diubah melalui proses terapi. Dalam hubungan ini ia merasakan adanya kehangatan dan perhatian yang tumbuh dari proses berpacaran yang sudah terjalin selama hampir empat tahun. Selain itu dukungan untuk dapat membangun karir semakin lebih baik pun mewarnai hubungan mereka. Semakin hari ia semakin mengenal pasangannya dengan baik. Proses komunikasi yang ia lakukan dari cara dan isi pembicaraanpun semakin mendalam. Hal tersebut yang membuat mereka merasa nyaman dengan segala kekurangan dan kelebihan yang dimiliki masing-masing pasangan. Selain itu ada dua orang homoseksual yang masih ragu dan berusaha mencari jalan untuk mendapatkan komitmen yang jelas dan pasti terhadap pasangannya. Berbeda dengan individu homoseksual yang pertama, mereka belum cukup berani mengungkapkan dan mengekspresikan diri sebagai homoseksual. Namun perlahan mereka telah berusaha jujur terhadap teman-teman dekatnya dan kini mereka sudah tidak merasa malu untuk berjalan berdua seperti pasangan individu dari jenis kelamin yang berbeda. Adanya komunikasi dan kompromi serta kesediaan untuk mau berkorban terhadap pasangannya memperlihatkan kualitas dari hubungan yang semakin baik. Mereka mulai biasa berbagi cerita tentang kehidupan keluarga mereka, lingkungan sosial di luar komunitas, hingga

7 me-manage kehidupan finansial bersama. Rasa cemburu masih mereka rasakan, baik terhadap sesama maupun lawan jenis. Dua individu homoseksual yang terakhir justru lebih merasa bingung terhadap relasi pacaran yang dijalin dengan pasangannya. Mereka sangat takut apabila identitas dirinya terkuak sebagai seorang homoseksual. Beberapa alasan yang diungkapkannya adalah lingkungan keluarga yang sangat membenci kaum homoseksual dan masih ada rasa ketertarikan terhadap pasangan lawan jenis yang cukup tinggi. Setelah dilakukan wawancara lebih lanjut, ternyata ada kesamaan dari dua individu homoseksual tersebut, mereka untuk pertama kalinya memiliki hubungan dengan sesama jenis. Untuk saat ini yang mereka inginkan hanyalah merasakan hubungan seksual yang akan terjadi di dalam hubungan tersebut, karena yang mereka rasakan dari hubungan seksual dengan lawan jenis adalah hambar, tidak ada kepuasan apalagi kenikmatan. Usia hubungan yang mereka jalin belum genap satu tahun, mereka merasa belum bisa terbuka sepenuhnya terhadap pasangan, karena rasa percaya yang seharusnya ada tidak tumbuh di dalam hubungan ini. Dari lima individu homoseksual yang diwawancarai, individu yang pertama telah siap untuk melegalkan hubungan mereka dengan rencana menikah di Belanda. Sedangkan empat individu homoseksual lainnya masih belum ada rencana ke jenjang itu. Hukum di Indonesia yang melarang pernikahan sesama jenis menjadikan suatu rencana yang tertunda, karena untuk menikah di luar negeri perlu dana yang besar. Meskipun demikian mereka telah hidup bersama dalam satu rumah layaknya pasangan heteroseksual yang telah menikah.

8 Melihat fenomena-fenomena ini, dapat dikatakan bahwa adanya perbedaan derajat kedalaman dalam mencapai status intimacy. Individu tidak mampu terbuka dengan individu lain, tidak mampu menerima keunikan individu lain dan juga tidak berani mengambil komitmen yang serius. Dari uraian yang telah dipaparkan di atas, maka peneliti tertarik untuk melihat bagaimanakah status intimacy pria homoseksual di suatu populasi sampel. Pria homoseksual yang diambil sebagai sampel adalah individu dewasa awal yang memiliki ketertarikan seksual terhadap sesama jenis kelaminnya pada komunitas X di Bandung. Intymacy vs Isolation adalah tahap psikososial yang secara khas terjadi pada individu dewasa awal, sehingga penelitian status intimacy pada homoseksual sebagai individu dewasa awal menjadi issue yang signifikan. 1.2 Identifikasi Masalah Pada penelitian ini ingin diketahui status intimacy pada pria homoseksual di komunitas X Bandung? 1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian Maksud dari dilakukannya penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran mengenai status intimacy pada pasangan homoseksual di komunitas X Bandung. Tujuan dari dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran yang lebih mendalam mengenai aspek-aspek dan faktor apa saja yang dapat mempengaruhi status intimacy pada pasangan homoseksual di komunitas X Bandung.

9 1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Teoritik Penelitian ini diharapkan dapat membantu pemahaman mengenai status intimacy terutama dalam Psikologi Klinis, Psikologi Perkembangan dan Psikologi Sosial. Penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi untuk penelitian selanjutnya mengenai homoseksual, khususnya status intimacy. 1.4.2 Kegunaan Praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberi gambaran bagi anggota komunitas X mengenai status intimacy agar mereka dapat lebih memahami keadaan diri mereka yang sebenarnya dalam berhubungan dengan individu homoseksual lain dan penerimaan diri. Penelitian ini diharapkan dapat memberi gambaran bagi anggota komunitas X mengenai status intimacy agar komunitas X dapat mengadakan kegiatan yang bertujuan untuk memperluas pengetahuan bagi anggotanya, mengenai kedalaman dan apa yang seharusnya ada di dalam relasi berpacaran. Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan bagi orang tua, pendidik dan konselor mengenai keadaan dalam diri seorang homoseksual agar mereka dapat memahami keadaan dalam diri seorang homoseksual sehingga dapat memperlakukan homoseksual secara manusiawi. Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan bagi masyarakat mengenai status intimacy pada homoseksual sehingga mereka memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang kehidupan homoseksual.

10 1.5 Kerangka Pemikiran Manusia lahir ke dunia dengan tugas dan tanggung jawab yang akan dihadapi sepanjang hidupnya. Setiap periode mempunyai tugas perkembangan yang berbeda-beda dan harus dipenuhi agar dapat melanjutkan ke tahap perkembangan selanjutnya. Salah satu tahap perkembangan tersebut adalah tahap dewasa awal yang berlangsung mulai usia 20 hingga 35 tahun (Santrock, 2002). Tahap dewasa awal memiliki berbagai ciri khas, yaitu individu mulai menempatkan diri pada berbagai peran yang sesuai dengan harapan masyarakat dan berusaha menyesuaikan dengan cara hidup baru. Untuk itu, diharapkan individu dapat mencapai kemandirian secara personal dan ekonomi, mengembangkan karir dan juga memilih pasangan hidup (Santrock, 2002). Hal yang utama adalah aspek relasi sosial individu dewasa awal, yang dalam pencapaiannya membutuhkan kehadiran individu lain. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak terlepas dari kehadiran dan kebutuhan untuk menjalin suatu relasi yang hangat dengan individu lain. Relasi yang dijalin setiap orang berbeda-beda tingkat kedalamanya dan dapat terjadi antara jenis kelamin yang berbeda maupun dengan jenis kelamin yang sama. Terkadang relasi yang terbentuk diantara dua individu yang pada awalnya dangkal dapat berlanjut menjadi suatu relasi yang disertai suatu ikatan tertentu, hal ini seringkali disebut sebagai relasi berpacaran (De-lora, 1963 dalam Lerner & Hultsch, 1983). Dalam relasi berpacaran, kedua individu yang terlibat di dalamnya berusaha saling menjajaki, berusaha saling mengenal lebih dalam, mengetahui pandangan hidup pasangannya, mengetahui sifat dan kebiasaan

11 pasangannya serta berusaha menjembatani perbedaan-perbedaan yang ada di antara keduanya. Relasi berpacaran dimaksudkan sebagai aktivitas rekreasional atau sosialisasi dan relasi ini dapat dipakai sebagai suatu cara untuk mencari pasangan hidup (Lerner & Hultsch, 1983). Dalam budaya kita hanya melegalkan hubungan antara individu dari jenis kelamin yang berlainan. Namun dalam kenyataannya kita tidak dapat memungkiri adanya ketertarikan antara individu dari jenis kelamin yang sama atau yang disebut dengan homoseksual. Homoseksual adalah individu yang memiliki ketertarikan erotis, psikologis, emosional dan sosial pada individu lain dari jenis kelamin yang sama, meskipun ketertarikan itu tidak diekspresikan secara overt (Martin &.Lyon, dalam Crooks & Baur, 1983). Kaum homoseksual tetap mempunyai identitas gender yang sesuai dengan karakteristik biologisnya. Mereka digolongkan menjadi homoseksual karena identitas seksualnya saja, begitu pula halnya pada anggota komunitas X. Seperti halnya pasangan berlainan jenis, pasangan homoseksual juga harus menghadapi dan mengalami tugas perkembangan. Mereka melakukan hubungan dengan sesama jenisnya untuk mencari pasangan hidup yang tepat baginya, fase ini dapat dilakukan apabila individu telah membentuk identitas dirinya secara utuh ketika memasuki masa dewasa (Erikson dalam Hall, Lindzey, Loehlin, & Manosevitz,1985). Anggota komunitas X diharapkan untuk memiliki identitas seksual yang utuh dan mantap karena mereka sudah berada pada masa dewasa. Keadaan ini akan memberi peluang besar bagi diri mereka untuk berhasil

12 menyelesaikan tugas perkembangan pada masa dewasa, yaitu menjalin hubungan yang intim. Sesuai dengan ciri pada tahap perkembangan ini, individu homoseksual komunitas X sebagai individu dewasa awal mulai membuat komitmen sehingga relasi berpacaran yang dijalaninya diharapkan lebih terarah pada pencarian pasangan hidup dan bukan sekedar untuk tujuan eksplorasi (Lerner & Hultsch, 1983). Individu homoseksual yang telah berpacaran minimal satu tahun diharapkan telah mengenali tujuannya berpacaran dan mampu menampilkan diri yang sesungguhnya sehingga kedalaman intimacy-nya lebih terlihat nyata. Individu homoseksual diharapkan dapat saling membuka diri, yaitu mereka dapat saling berbagi hal-hal pribadi yang terjadi pada dirinya dan mampu menerima keunikan pasangannya. Dengan kata lain, individu homoseksual diharapkan dapat mengembangkan intimacy-nya untuk mencapai relasi yang mendalam dan pada akhirnya akan sampai pada tujuan penetapan pasangan hidup. Sebelum menetapkan pasangan hidup, individu homoseksual terlebih dahulu harus mempertimbangan faktor-faktor yang dianggap penting dan bernilai bagi dirinya. Pertimbangan ini merupakan kerangka pikir atau frame of reference yang diharapkan dapat membantu individu untuk mengambil keputusan dalam menetapkan pasangan hidup. Sebagai individu dewasa, mereka diharapkan telah mempunyai pandangan-pandangan tertentu yang tebentuk karena status mereka di masyarakat. Individu homoseksual yang berada pada tahap dewasa awal ini menunjukkan ciri-ciri yang sesuai dengan konsep status intimacy yang

13 dikembangkan oleh Jacob L. Orlofsky (Marcia, 1993) dari tahapan psikososial Erikson, yaitu tahap intimacy vs isolation. Intimacy adalah kemampuan individu untuk melibatkan dirinya dalam suatu hubungan afiliasi dan hubungan berpasangan, serta bertahan dalam komitmen itu, meskipun hal tersebut mungkin membutuhkan adanya pengorbanan dan kompromi. Status intimacy terbagi menjadi tujuh macam yang masing masing memiki derajat kedalaman relasi yang berbeda beda, yaitu : (1) Isolate, (2) Stereotypedd Relationship, (3) Pseudointimate, (4) Merger Uncommitted, (5) Merger committed, (6) Preintimate, (7) Intimate. Penetapan status intimacy ini didasarkan pada sembilan aspek yang saling berkesinambungan, yaitu : (1) Komunikasi, (2) Perhatian dan Kasih Sayang, (3) Pengetahuan akan Sifat Sifat Pasangan, (4) Perspective-taking, (5) Komitmen, (6) Kekuasaan dan Pengambilan Keputusan, (7) Mempertahankan Minat Minat Pribadi, (8) Penerimaan terhadap Keterpisahan terhadap Pasangan, dan (9) Ketergantungan terhadap Pasangan. Individu homoseksual dengan status Isolate kurang mampu menjalin relasi sosial yang hangat dan mendalam dengan individu lain, sehingga mereka tidak berani untuk terlibat dalam relasi berpacaran. Namun hal ini tidak menutup kemungkinan adanya homoseksual dengan status isolate yang menjalin suatu relasi berpacaran. Dalam menjalin hubungan dengan pasangannya, individu homoseksual dengan status isolate lebih suka menarik diri, kurang mampu mengekspresikan perasaan kepada pasangannya, kurang mampu bersikap toleran

14 atau menerima perbedaan yang ada pada diri pasangannya serta tidak mau mempercayai dirinya sendiri maupun pasangannya. Individu homoseksual dengan status Stereotypedd relationship memiliki relasi berpacaran yang cenderung dangkal dan konvensional. Selain itu, derajat komunikasi personal dan kedekatannya berada pada taraf rendah. Hal ini berbeda pada individu homoseksual dengan status Pseudointimate yang telah memiliki relasi berpacaran yang permanen, tetapi di dalam relasinya tidak disertai kedekatan dan kedalaman. Sedangkan individu homoseksual dengan status Merger tampak mampu melibatkan dri secara mendalam, namun tidak mandiri atau masih tergantung pada individu lain dan memiliki persepsi yang tidak realistis tentang individu lain untuk mencapai pemenuhan kebutuhannya. Status Merger terbagi menjadi dua, yaitu Merger uncommitted dan Merger committed. Individu homoseksual dengan status Merger uncommitted tidak terlibat dalam suatu relasi berpacaran jangka panjang, sedangkan individu homoseksual dengan status Merger committed terlibat dalam relasi berpacaran jangka panjang. Individu homoseksual dengan status Preintimate telah mampu menjalin suatu relasi yang terbuka, penuh perhatian dan saling menghormati, namun demikian relasi ini tidak disertai suatu komitmen. Status intimacy yang paling dalam adalah status Intimate. Dalam relasi berpacaran, individu homoseksual dengan status Intimate menampilkan perilaku yang terbuka, bertanggung jawab terhadap pasangannya, menghormati integritas diri dan pasangannya. Individu homoseksual dengan status intimate juga tidak ragu untuk menjalin relasi jangka panjang dan berkomitmen pada relasi yang sedang dijalaninya tersebut.

15 Melalui kualitas relasi berpacaran yang dijalin, maka akan tercermin status intimacy indivividu homoseksual yang terlibat di dalam relasi itu. Individu homoseksual sebagai individu dewasa awal diharapkan telah mulai melakukan beberapa langkah untuk mempersiapkan kehidupannya sesuai dengan tugas-tugas dalam tahap perkembangannya, sehingga ia diharapkan untuk memiliki relasi berpacaran yang bersifat hangat, terbuka, mendalam dan ia juga diharapkan telah mulai membentuk komitmen antara dirinya dengan pasangannya. Lamanya masa berpacaran tidak menjamin terbentuknya relasi berpacaran yang mendalam karena yang paling menentukan adalah status intimacy diantara relasi individu homoseksual yang terlibat. Faktor-faktor yang berpengaruh pada intimacy adalah status identitas, jenis kelamin dan tipe kepribadian individu yang bersangkutan. Bila ditinjau dari jenis kelamin, pria dan wanita memiliki perbedaaan pola sosialisasi yang dapat mempengaruhi pembentukan intimacy mereka. Menurut Erikson (dalam Hall, Lindzey, Loehlin & Manosevitz, 1985), identitas seksual merupakan bagian dari identitas diri yang puncak pembentukannya terjadi pada masa remaja. Setelah melewati masa remaja, identitas seksual diharapkan sudah terbentuk secara utuh sehingga individu mampu menghadapi tugas perkembangan di masa dewasa, yaitu menjalin hubungan yang sifatnya intim dan menentukan pasangan hidup. Selain itu, identitas yang utuh akan menentukan sikap dan perilaku individu dalam berinteraksi dengan orang lain, ini penting untuk dimiliki individu agar dapat memenuhi harapan-harapan dari lingkungan sosial. Hal tersebut dapat diterapkan pada heteroseksual namun tidak selalu dapat diterapkan pada homoseksual. Pada

16 homoseksual, pembentukan identitas seksual tidak selalu terjadi pada masa remaja dan terus mengalami perkembangan sepanjang hidupnya (Kelly, 2001). Alasan ini dapat terjadi karena adanya pertentangan terhadap homoseksual dengan nilai, norma dan budaya yang menyebabkan individu homoseksual merasa bingung dan merasa takut untuk menampilkan diri. Sedangkan bila ditinjau dari tipe kepribadian, tipe kepribadian pasangan homoseksual yang introvert atau ekstrovert akan berpengaruh terhadap derajat kedalaman komunikasinya dengan pasangan yang pada akhirnya dapat berpengaruh pada status intimacy pasangan homoseksual tersebut.

17 Bagan Kerangka Pemikiran - Tipe kepribadian - Status identitas Isolate Stereotypedd Relationship Pasangan homoseksual di komunitas X Berpacaran Status intimacy Pseudointimate Merger Uncommited - Komunikasi - Perhatian dan kasih sayang - Pengetahuan akan sifat sifat pasangan - Perspective taking - Komitmen - Kekuasaan & pengambilan keputusan - Mempertahankan minat minat pribadi - Penerimaan terhadap keterpisahan dari pasangan - Ketergantungan terhadap pasangan Merger Commited Preintimate Intimate Bagan 1.1 Skema Kerangka Pemikiran

18 1.6 Asumsi -Asumsi Yang Dihasilkan : Individu homoseksual komunitas X yang menjalin relasi berpacaran memiliki status intimacy yang berbeda beda. Derajat komitmen dan keterbukaan akan menentukan status intimacy seseorang yang ditentukan oleh sembilan aspek yang saling berkaitan yaitu komunikasi, perhatian dan kasih sayang, pengetahuan akan sifat-sifat pasangan, perspective-taking, komitmen, kekuasaan dan pengambilan keputusan, mempertahankan minat-minat pribadi, penerimaan terhadap keterpisahan dengan pasangan dan ketergantungan terhadap pasangan. Individu homoseksual yang telah melewati masa pacaran satu tahun telah memiliki kesempatan untuk mengenal pasangannya sehingga relasinya semakin terbuka dan mendalam.