Bab V Hasil dan Pembahasan

dokumen-dokumen yang mirip
Bab IV Metodologi Penelitian

Bab III Metodologi Penelitian

ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN DEBU TERHADAP NILAI FEV 1.0 PEKERJA DI LINGKUNGAN KERJA PT. X TESIS

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Perkembangan teknologi dan industri berdampak pula pada kesehatan.

BAB I PENDAHULUAN. manusia dapat lebih mudah memenuhi kebutuhan hidupnya. Keadaan tersebut

BAB 1 PENDAHULUAN. akibat penggunaan sumber daya alam (Wardhani, 2001).

BAB V HASIL PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. perdagangan bebas sehingga jumlah tenaga kerja yang berkiprah disektor

Daftar Pustaka. American Lung Association (2007), Air Quality, Januari 2008.

BAB III METODE PENELITIAN

BAB 1 : PENDAHULUAN. kendaraan bermotor. Kendaraan bermotor mengeluarkan zat-zat berbahaya yang

BAB I PENDAHULUAN. kerjanya. Potensi bahaya menunjukkan sesuatu yang potensial untuk mengakibatkan

BAB 1 : PENDAHULUAN. Setiap tempat kerja selalu mengandung berbagai potensi bahaya yang dapat

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Penyakit saluran nafas banyak ditemukan secara luas dan berhubungan

Bab II Tinjauan Pustaka

BAB 1 : PENDAHULUAN. Pencemaran udara telah lama menjadi masalah kesehatan pada masyarakat, terutama

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan pekerja di suatu perusahaan penting karena menjadi salah

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia

Bandung 1 dan 2 ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. bahaya tersebut diantaranya bahaya faktor kimia (debu, uap logam, uap),

BAB I PENDAHULUAN. berbahaya bagi kesehatan pekerja (Damanik, 2015). cacat permanen. Jumlah kasus penyakit akibat kerja tahun

BAB I PENDAHULUAN. membahayakan terhadap keselamatan dan kesehatan para pekerja di tempat

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pneumokoniosis merupakan penyakit paru yang disebabkan oleh debu yang masuk ke dalam saluran pernafasan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN. Setiap tempat kerja terdapat berbagai potensi bahaya yang dapat

BAB I PENDAHULUAN. keselamatan kerja ditempat kerja. Dalam pekerjaan sehari-hari pekerjaan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki banyak pabrik yang mengolah bahan mentah. menjadi bahan yang siap digunakan oleh konsumen. Banyaknya pabrik ini

BAB I PENDAHULUAN. berkembang dari tahun ke tahun. Peningkatan dan perkembangan ini

BAB 1 : PENDAHULUAN. lainnya baik dalam bidang ekonomi, politik dan sosial. (1)

Rimba Putra Bintara Kandung E2A307058

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

Bab III Gambaran Umum PT. X

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan pekerja dan akhirnya menurunkan produktivitas. tempat kerja harus dikendalikan sehingga memenuhi batas standard aman,

BAB 1 : PENDAHULUAN. Udara tersebut berbentuk gas dan terdapat dimana-mana, sehingga akibatnya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. kebiasaan lain, perubahan-perubahan pada umumnya menimbulkan beberapa

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Bab IV ini membahas hasil penelitian yaitu analisa univariat. dan bivariat serta diakhiri dengan pembahasan.

BAB 1 PENDAHULUAN. dengan tuntutan berbagai kebutuhan bermacam produk bagi kehidupan.

BAB 1 PENDAHULUAN. solusi alternatif penghasil energi ramah lingkungan.

BAB I PENDAHULUAN. dijadikan tanaman perkebunan secara besar-besaran, maka ikut berkembang pula

BAB 1 PENDAHULUAN. Faktor lingkungan kerja merupakan salah satu penyebab timbulnya penyakit

BAB IV DATA DAN ANALISIS

BAB I PENDAHULUAN. manusia perlu mendapat perhatian khusus baik kemampuan, keselamatan, berbagai faktor yaitu tenaga kerja dan lingkungan kerja.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. menggunakan mesin, mulai dari mesin yang sangat sederhana sampai dengan

Beberapa jenis penyakit pneumoconiosis yang banyak dijumpai di daerah yang memiliki banyak kegiatan konstruksi dan manufaktur, yaitu:

kenaikan tekanan darah atau hipertensi. [1]

BAB V PEMBAHASAN. A. Karakteristik Responden. Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui karakteristik subjek. penelitian tenaga kerja meliputi :

BAB 1 PENDAHULUAN. sebagai daerah penghasilan furniture dari bahan baku kayu. Loebis dan

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan terjadinya penyakit paru kronik (Kurniawidjaja,2010).

OP-005 ANALISIS KONSENTRASI KRISTAL SILIKA TERINHALASI DI LINGKUNGAN KERJA PANDAI BESI DESA MEKARMAJU, KABUPATEN BANDUNG

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan suatu bangsa dan negara tentunya tidak bisa lepas dari peranan

BAB 1 : PENDAHULUAN. penting bagi kehidupan manusia. Proses metabolisme dalam tubuh tidak akan dapat

ASHFALL VULKANIK: VERSI BAHASA INDONESIA ABSTRACT. Terjamahn dari dokumen di bawah:

TIN206 - Pengetahuan Lingkungan Materi #3 Genap 2015/2016. TIN206 - Pengetahuan Lingkungan

Novie E. Mauliku. (Kata Kunci : lama kerja, APD (masker), Kapsitas Vital Paksa paru). Jurnal Kesehatan Kartika/ LPPM 70

BAB III METODE PENELITIAN

BAB 1 : PENDAHULUAN. udara, dan paling banyak terjadi pada negara berkembang. (1) Udara merupakan salah

BAB I PENDAHULUAN. di seluruh dunia telah mendorong lahirnya era industrialisasi. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pada era globalisasi telah terjadi perkembangan di berbagai aspek

BAB I PENDAHULUAN. dengan pekerjaan manual handling. Suatu hal yang sangat beralasan,

BAB I PENDAHULUAN. terkontaminasinya udara, baik dalam ruangan (indoor) maupun luar ruangan

BAB 1 : PENDAHULUAN. Peraturan Pemerintah No 66 Tahun 2014 pada pasal 1 ayat 9 yang menyatakan

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan kerjanya. Resiko yang dihadapi oleh tenaga kerja adalah bahaya

Lembar Data Keselamatan Bahan (MSDS)

BAB I PENDAHULUAN. lingkungannya, serta cara-cara melakukan pekerjaan. Keselamatan kerja

BAB I PENDAHULUAN. untuk keperluan suatu usaha dimana terdapat sumber-sumber bahaya (UU no. 1/

BAB III METODE PENELITIAN

BAB 4 ANALISIS DAN BAHASAN

BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP PENELITIAN DAN HIPOTESIS. keselamatan kerja yaitu : (1) lingkungan kerja, (2) pekerjaan, dan (3) manajemen

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. yang sedang berjalan saat ini di Indonesia. Pemerintah pusat, dalam hal ini Departemen

BAB I PENDAHULUAN. maupun di luar rumah, baik secara biologis, fisik, maupun kimia. Partikel

Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Gangguan Faal Paru Pada Perusahaan Galangan Kapal

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Kelurahan Buliide, Kecamatan Kota Barat merupakan salah satu mata

BAB I PENDAHULUAN. Banyak aspek kesejahteraan manusia dipengaruhi oleh lingkungan, dan banyak

No. kuesioner. I. Identitas Responden 1. Nama : 2. Umur : 3. Pendidikan : 4. Lama Bekerja : 5. Sumber Informasi :

BAB I PENDAHULUAN. berlebihan dan kondisi fisik yang lain dapat mengakibatkan gangguan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

ANALISIS TINGKAT KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA PADA PT. BISMA KONINDO DENGAN MENGGUNAKAN METODE JOB SAFETY ANALYSIS

BAB I PENDAHULUAN. lagi dengan diberlakukannya perdagangan bebas yang berarti semua produkproduk

BAB I PENDAHULUAN. permasalahan pun muncul seiring semakin padatnya jumlah penduduk. Salah. satunya permasalahan di bidang transportasi.

BAB I PENDAHULUAN. ini. Udara berfungsi juga sebagai pendingin benda-benda yang panas, penghantar bunyi-bunyian,

BAB I PENDAHULUAN. tahunnya di dunia (Sugiato, 2006). Menurut Badan Kependudukan Nasional,

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan meningkatnya tingkat kesejahteraan masyarakat di

HUBUNGAN PAPARAN DEBU DENGAN KAPASITAS VITAL PARU PADA PEKERJA PENYAPU PASAR JOHAR KOTA SEMARANG. Audia Candra Meita

KUAT TEKAN MORTAR DENGAN MENGGUNAKAN ABU TERBANG (FLY ASH) ASAL PLTU AMURANG SEBAGAI SUBSTITUSI PARSIAL SEMEN


BAB I PENDAHULUAN. keselamatan kerja ditempat kerja. Dalam pekerjaan sehari - hari pekerjaan

Hubungan Lama Bekerja dengan Kapasitas Vital Paru pada Operator SPBU Sampangan Semarang

BAB 1 : PENDAHULUAN. Akan tetapi udara yang benar-benar bersih saat ini sudah sulit diperoleh, khususnya

BAB I PENDAHULUAN. sumberdaya manusia yang dimiliki perusahaan. Faktor-faktor produksi dalam

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di beberapa tempat sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN. Hubungan parameter..., Duniantri Wenang Sari, FKM 2 UI, Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Hubungan antara..., Dian Eka Sutra, FKM UI, Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Silika adalah senyawa kimia silikon dioksida (SiO2) yang merupakan salah

BAB IITINJAUAN PUSTAKA TINJAUAN PUSTAKA. A. Manajemen Sumberdaya Manusia Manajemen Sumberdaya Manusia adalah penarikan seleksi,

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadi perubahan yang sangat cepat, baik dalam bidang ekonomi, dan motorisasi (Dharmawan, 2004).

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Gorontalo dengan batas-batas wilayah sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kesehatan kerja merupakan salah satu faktor penunjang untuk

SL : Selalu KD : Kadang-kadang SR : Sering TP : Tidak Pernah

Transkripsi:

Bab V Hasil dan Pembahasan Studi lapangan mengenai analisis risiko kesehatan terhadap pajanan debu telah dilakukan mulai Januari sampai dengan Februari 2008 di PT. X. Penelitian ini dilakukan di PT. X, karena berdasarkan hasil survei, perusahaan ini memiliki sumber bahaya debu yang berpotensi menurunkan tingkat kesehatan paru-paru pekerja. Subjek yang diteliti dibagi menjadi 2 bagian yaitu kelompok terpajan yang terdiri dari pekerja bengkel Cor 1 dan Cor 2, serta pekerja di bagian Perkakas tempa yang masing-masing berjumlah 30 orang. Penentuan sampel sebanyak masingmasing 30 orang, dikarenakan berbagai keterbatasan dalam penelitian ini. Sampel yang dimasukan dalam penelitian adalah laki-laki berusia 20-55 tahun yang merupakan usia kerja dengan masa kerja minimal 2 tahun di bagian bengkel yang sama (khusus kelompok terpajan), serta mampu melakukan uji paru-paru. Tidak dimasukkan ke dalam penelitian ini jika terdapat pekerja dengan riwayat pekerjaan yang mengandung bahaya debu silika di tempat kerjanya terdahulu, seperti pengecoran logam, pabrik semen, tukang las, dan pekerjaan lain yang dapat mempengaruhi uji fungsi paru-paru yang akan dinilai (Yunus, 1996). Karakteristik responden yang terlibat dalam penelitian didapatkan berdasarkan kuesioner. Hasil kuesioner untuk setiap pekerja dapat dilihat pada Tabel 5.1. Tabel 5.1 Karakteristik Pekerja PT. X yang Disertakan dalam Penelitian Kelompok Pekerja Atribut Jawaban Tidak Terpajan Terpajan I. Data Umum Responden Jenis Kelamin Laki-laki 100% 100% Kebangsaan Indonesia 100% 100% Pendidikan Terakhir STM 96,67% 80% D1 3,33% 0% D2 0% 3,33% D3 0% 10% S1 0% 6,67% II. Perilaku Responden Kebiasaan Merokok / Hari Tidak Merokok 23,33% 23,33% < 6 Batang 16,67% 20% 41

Tabel 5.1 (lanjutan) Atribut Jawaban Kelompok Pekerja Tidak Terpajan Terpajan 6-12 Batang 40% 30% > 12 Batang 20% 26,67% Kebiasaan Minum Susu Ya 93,33% 90% Tidak 6,67% 10% Kebiasaan Olah Raga / Bulan Tidak Berolah-raga 30% 23,33% 1 kali 10% 20% 2 kali 6,67% 10% 3 kali 3,33% 6,67% 4 kali 40% 36,66% 5 kali 3,33% 0% 8 kali 6,66% 3,33% Kebiasaan Makan / Hari 1 kali 0% 0% 2 kali 13,33% 23,33% 3 kali 76,67% 70% > 3 kali 10% 6,67% Penggunaan Masker Selama Bekerja Tidak 56,67% 100% Selalu 0% 0% Sesekali 26,66% 0% Saat Banyak Debu 16,67% 0% III. Atribut Responden Pernah Bekerja di Perusahaan Lain Tidak 83,33% 83,33% Buruh 3,33% 0% Operator Mesin 6,67% 0% Sales 3,33% 0% Office Boy 3,33% 0% Maintenance 0% 6,67% Pengembangan Prod. 0% 3,33% Tekstil (Dyeing) 0% 6,67% Jarak Antara Rumah-Tempat Kerja < 5 Km 70,00% 63,33% 5-10 Km 16,67% 10,00% > 10 Km 13,33% 26,67% Cara Pergi ke Tempat Kerja Jalan Kaki 0% 3,33% Naik Angkutan Umum 16,67% 6,67% Naik Sepeda 3,33% Naik Sepeda Motor 80% 90% Naik Mobil 0% 0% Pernah Mengalami Keluhan Kesehatan Tidak 70% 100% Sesak 3,33% 0% Batuk 26,67% 0% Gangguan Kesehatan Tersebut Ya 25% 0% Masih Diderita Tidak 75% 0% Berdasarkan Tabel 5.1, terlihat bahwa secara umum karakteristik pekerja kelompok terpajan dan tidak terpajan debu, memiliki kesamaan satu sama lain, 42

dan memenuhi kriteria yang ditetapkan sebelumnya. Sehingga dapat diasumsikan bahwa semua pekerja tersebut layak untuk diikutsertakan dalam penelitian. Analisis risiko kesehatan yang dilakukan di perusahaan ini meliputi beberapa tahap antara lain: Identifikasi bahaya Evaluasi pajanan Evaluasi dosis-respon Karakterisasi risiko 5.1 Identifikasi Bahaya Identifikasi bahaya dilakukan untuk mengetahui sejauh mana sumber bahaya dapat membahayakan kesehatan pekerja. Proses identifikasi bahaya dalam penelitian ini dibagi beberapa tahap, yaitu: Analisis bahaya SiO 2 terhadap kesehatan Menghitung kesepadanan antara kedua kelompok terpajan dan tidak terpajan debu Menentukan nilai indeks bahaya 5.1.1 Bahaya SiO 2 Terhadap Kesehatan Seperti telah disebutkan dalam tinjauan pustaka bahwa SiO 2 (kristalin silika) sangat berbahaya terhadap kesehatan paru-paru. SiO 2 dapat masuk ke saluran pernapasan sehingga dapat menyebabkan fibrosis jaringan paru-paru dan dapat mempengaruhi volume paru-paru (Yunus, 1997). Beberapa hasil penelitian menduga bahwa dalam jangka panjang silika dapat menyebabkan kanker, namun penelitian tersebut masih terus dikembangkan sehingga kristalin silika tidak termasuk ke dalam tabel tentang daftar bahan yang karsinogenik (NIOSH, 2002). Dengan demikian kristalin silika merupakan material yang tidak bersifat karsinogenik sehingga dapat digolongkan ke dalam treshold substances (OSHA, 1997). 43

Nilai ambang batas (NAB) kristalin silika (quartz) di tempat kerja menurut ACGIH adalah sebesar 0,05 mg/m 3 (NIOSH, 2002). Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa NAB kristalin silika sangat tergantung dari persentase SiO 2 dalam debu, sehingga NAB silika berkisar antara 0,1-5 mg/m 3 (Sheehy, 1996). Perhitungan untuk NAB silika dapat diperoleh berdasarkan Persamaan 2.2. Sehingga berdasarkan persamaan tersebut, untuk mengetahui NAB silika diperlukan metode X-ray diffraction (XRD) untuk mengetahui persentase SiO 2 dalam debu. 5.1.2 Menghitung Kesepadanan Antar Kedua Kelompok Seperti telah disebutkan dalam tinjauan pustaka, bahwa nilai FEV 1.0 seseorang sangat dipengaruhi oleh banyak faktor (Pringadi, 1992). Untuk membandingkan nilai FEV 1.0 dari kedua kelompok pekerja, maka harus dipastikan bahwa kedua kelompok pekerja tersebut memiliki karakteristik yang serupa. Penghitungan nilai kesepadanan antara kedua kelompok dilakukan dengan menggunakan ANOVA dengan α = 0,05, meliputi faktor-faktor yang dapat mempengaruhi volume paruparu seseorang, yaitu: kebiasaan merokok, tinggi badan, berat badan, lamanya pajanan (lama kerja) dan usia (Koo et al., 2000). Berdasarkan hal tersebut dapat ditentukan hipotesis yaitu: Ho = Tidak terdapat perbedaan nilai rata-rata parameter untuk kelompok pekerja terpajan dibandingkan dengan kelompok tidak terpajan. Ha = Terdapat perbedaan nilai rata-rata parameter untuk kelompok pekerja terpajan dibandingkan dengan kelompok tidak terpajan. Sehingga dari hipotesis di atas dapat dibuat kriteria keputusan yaitu: Jika F hitung < F tabel, maka Ho diterima, dan Jika F hitung F tabel, maka Ho ditolak Hasil ANOVA untuk setiap atribut pekerja selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 5.2. 44

Parameter Tinggi Badan (cm) Kebiasaan Merokok Berat Badan (kg) Lama Kerja (thn) Tabel 5.2 ANOVA Karakteristik Pekerja Nilai Rata-rata Terpajan n=30 Tidak Terpajan n=30 F hitung F tabel 167,10 165,20 3,468 4,007 0,067 1,57 1,60 0,014 4,007 0,907 58,17 62,00 3,371 4,007 0,071 10,10 10,22 0,004 4,007 0,950 32,53 33,13 0,072 4,007 0,789 Usia (thn) Keterangan : α = 0,05 P Keterangan Tidak berbeda nyata Tidak berbeda nyata Tidak berbeda nyata Tidak berbeda nyata Tidak berbeda nyata Berdasarkan Tabel 5.2 terlihat bahwa nilai F hitung untuk parameter tinggi badan, kebiasaan merokok, berat badan, lamanya pajanan (lama kerja) dan usia lebih kecil dari F tabel. Dengan demikian Ho diterima, yang artinya tidak terdapat perbedaan yang nyata antara nilai rata-rata seluruh parameter tersebut untuk kelompok pekerja terpajan dibandingkan dengan kelompok pekerja tidak terpajan. Nilai rata-rata FEV 1.0 untuk kelompok tidak terpajan dan kelompok terpajan masing-masing 3,70 dan 3,26 liter. Nilai tersebut kemudian dibandingkan dengan menggunakan ANOVA (α=0,05), sehingga didapatkan hipotesis sebagai berikut: Ho = Tidak terdapat perbedaan nilai rata-rata FEV 1.0 untuk kelompok pekerja terpajan dibandingkan dengan kelompok tidak terpajan. Ha = Terdapat perbedaan nilai rata-rata FEV 1.0 untuk kelompok pekerja terpajan dibandingkan dengan kelompok tidak terpajan. Sehingga dari hipotesis di atas dapat dibuat kriteria keputusan yaitu: Jika F hitung < F tabel, maka Ho diterima, dan Jika F hitung F tabel, maka Ho ditolak Perbandingan nilai FEV 1.0 antara kedua kelompok tersebut dapat dilihat pada Tabel 5.3. 45

Parameter Tabel 5.3 Rata-rata FEV 1.0 Kelompok Tidak Terpajan dan Kelompok Terpajan Nilai Rata-rata Terpajan n=30 Tidak Terpajan n=30 F hitung F tabel FEV 1.0 (liter) 3,26 3,70 8,853 4,007 0,004 Keterangan : α = 0,05 P Keterangan Berbeda nyata Dari Tabel 5.3 diperoleh nilai F hitung sebesar 8,853, sehingga jika dibandingkan dengan F tabel sebesar 4,007, maka nilai F hitung > dari F tabel. Dengan demikian Ho ditolak, artinya terdapat perbedaan nilai rata-rata FEV 1.0 untuk kelompok pekerja terpajan dibandingkan dengan kelompok tidak terpajan. Menurut Dirgawati (2007), semakin besar nilai FEV 1.0 seseorang, maka semakin baik tingkat kesehatan paru-parunya, sebaliknya semakin kecil nilai FEV 1.0, maka semakin buruk tingkat kesehatan paru-parunya. Berdasarkan Tabel 5.2 dan 5.3, dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan nilai FEV 1.0 yang signifikan antara kedua kelompok pekerja terpajan dan tidak terpajan debu silika, yang keduanya memiliki karakteristik yang serupa. Untuk mengetahui sejauh mana bahaya debu terhadap tingkat kesehatan pekerja, maka dilakukan analisis risiko kesehatan secara kuantitatif yaitu dengan menghitung indeks bahaya. 5.1.3 Indeks Bahaya Penentuan indeks bahaya dilakukan dengan mencari nilai HQ (hazard quotient) terlebih dahulu dengan menggunakan Persamaan 3.1. Berdasarkan persamaan tersebut, terlihat bahwa HQ merupakan hasil bagi antara ADD (average daily dose) dengan RfD (reference dose) atau dikenal dengan NAB. Dalam penelitian ini ADD dapat diketahui dengan menggunakan persamaan intake partikulat (Persamaan 4.2). 46

Sedangkan NAB silika didapatkan dengan menggunakan Persamaan 2.2. Karena berbagai keterbatasan dalam penelitian ini, maka pemeriksaan kandungan debu hanya dilakukan terhadap 3 sampel yang berasal dari 3 tempat yang berbeda yaitu gedung Cor 1, gedung Cor 2 dari kelompok terpajan, dan gedung Perkakas tempa dari kelompok tidak terpajan. Pengukuran kandungan silika dalam debu, dilakukan di Pusat Survei Geologi dengan metode XRD. Hasil pengukuran silika dengan XRD untuk ketiga tempat tersebut dapat dilihat pada Tabel 5.4 Tabel 5.4 Hasil Analisis SiO 2 dengan Metode XRD Tempat Jenis Silika Persentase Kristalin Silika dalam Debu Sampel Gedung Cor 1 Quartz 43,8 % Sampel Gedung Cor 2 Quartz 80,7 % Sampel Gedung Perkakas tempa Low Quartz 55,8 % Pada Tabel 5.4 terlihat bahwa kandungan SiO 2 di Cor 2 memiliki persentase tertinggi yaitu 80,7 % diikuti oleh bagian Perkakas tempa dan Cor 1 masingmasing 55,8 % dan 43,8 %. Dari Tabel terlihat juga bahwa persentase SiO 2 untuk bagian Cor 1 (kelompok terpajan) lebih kecil dibandingkan dengan persentase SiO 2 di bagian Perkakas tempa (kelompok tidak terpajan). Hal ini kemungkinan disebabkan hasil metode XRD kurang akurat terutama untuk jumlah debu yang sedikit (NIOSH, 2002). Dengan menggunakan Persamaan 2.2, maka didapatkan NAB untuk masingmasing tempat (Tabel 5.5). Tabel 5.5 NAB Silika untuk Ketiga Tempat Penelitian Tempat NAB (mg/m 3 ) Sampel Gedung Cor 1 0,218 Sampel Gedung Cor 2 0,120 Sampel Gedung Perkakas tempa 0,173 Berdasarkan Tabel 5.5, terlihat bahwa NAB silika di gedung Cor 2 memiliki konsentrasi terendah, yaitu 0,120 mg/m 3, diikuti oleh NAB silika di gedung 47

Perkakas tempa dan Cor 1, masing-masing 0,173 dan 0,218 mg/m 3. Dengan demikian, dapat diasumsikan bahwa kandungan debu silika pada pekerja Cor 2 lebih berbahaya dibandingkan dengan kandungan debu silika di Perkakas tempa dan Cor 1. Untuk mendapatkan nilai NAB dalam satuan (mg/kg.hari), maka dilakukan pendekatan dengan menggunakan rumus intake dari Persamaan 3.2. Hasil lengkap hubungan antara ADD, RfD, HQ dan HI untuk masing-masing sampel pada kedua kelompok dapat dilihat pada Lampiran B, sedangkan grafik rata-rata HI untuk setiap kelompok terpajan dan tidak terpajan dapat dilihat pada Gambar 5.1. 35,00 30,00 30,74 Indeks Bahaya 25,00 20,00 15,00 10,00 Terpajan Tidak Terpajan 5,00 0,00 0,38 Gambar 5.1 Perbandingan Nilai Indeks Bahaya Untuk Kelompok Terpajan dan Tidak Terpajan Dari Gambar 5.1 terlihat bahwa rata-rata nilai HI untuk kelompok terpajan yaitu sebesar 30,74. Karena nilai HI lebih besar dari 1, maka pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja kelompok terpajan termasuk ke dalam pekerjaan yang membahayakan kesehatan paru-paru. Sedangkan nilai HI untuk kelompok tidak terpajan yaitu 0,38, sehingga dapat asumsikan bahwa aktivitas yang dilakukan di kelompok tersebut tidak membahayakan kesehatan paru-paru pekerja (Gratt, 1996). 48

5.2 Evaluasi Pajanan Evaluasi pajanan dilakukan dengan cara menganalisis proses kerja yang dapat menimbulkan sumber bahaya debu terhadap pekerja. Analisis dilakukan secara deskriptif terhadap proses yang terdapat dalam tempat kerja yang dianggap berbahaya, berdasarkan nilai indeks bahaya (HI > 1). Dengan demikian, evaluasi pajanan hanya dilakukan terhadap pekerja dari bagian Cor 1 dan Cor 2. 5.2.1 Evaluasi Pajanan Cor 1 Cor 1 merupakan tempat pengecoran logam terutama logam berukuran besar. Secara umum proses yang terjadi di Cor 1 antara lain: melting (proses pelelehan logam), pencetakan logam, dan finishing. Proses pencetakan logam di tempat ini terdiri atas dua bagian utama, yaitu disamatic line (dise line) dan furan line. Denah ruangan Cor 1 secara umum dapat dilihat pada Gambar 5.2. Disamatic Line Shake Out Melting Furan Line Shake Out Finishing 1'-2 1/4" Gambar 5.2 Denah Ruangan Cor 1 Berdasarkan Gambar 5.2, terlihat bahwa bagian pencetakan logam terletak diantara bagian melting dan finishing. Dari hasil pengamatan, terlihat bahwa 49

bagian pencetakan logam berpotensi memajani pekerja terhadap debu, sehingga pada bagian ini terdapat 2 buah sistem ventilasi lokal (LEV) yang masing-masing ditempatkan di bagian shake out disamatic dan furan line. Gedung ini memiliki luas kurang lebih 5700 m 2, dengan jumlah pekerja sekitar 76 orang. Hasil pengukuran terhadap faktor fisik lingkungan kerja selama penelitian di Cor 1 dapat dilihat pada Tabel 5.6. Tabel 5.6 Faktor Fisik Lingkungan Kerja Cor 1 Selama Penelitian Faktor Fisik Lingkungan Kerja Min. Max. Kecepatan Angin (m/detik) 0 1,3 Temperatur Ruangan ( o C) 30 34 Kelembaban (%) 51 82 Tekanan Udara (mmhg) 638 640 Dari Tabel 5.6 terlihat bahwa kecepatan angin tergolong cukup rendah yaitu berkisar 0 sampai 1,3 m/detik. Dengan demikian, dapat diasumsikan bahwa sumber bahaya debu lebih terpusat pada proses yang menghasilkan debu, yaitu di bagian disamatic line dan furan line. Berdasarkan pengamatan di lapangan, penggunaan APD masker oleh pekerja yang berada di tempat ini tidak dilakukan secara konsisten. Hasil wawancara berdasarkan kuesioner terhadap 15 orang pekerja, menyatakan bahwa 67% pekerja selama bekerjanya tidak menggunakan masker, 20% menyatakan sesekali memakai masker, sedangkan 13% lainnya menyatakan memakai masker jika diperlukan (Gambar 5.3). 50

Saat banyak debu 13% Selalu menggunakan masker 0% n=15 Sesekali 20% Tidak menggunakan masker 67% Gambar 5.3 Hasil Kuesioner Penggunaan Masker pada Pekerja Cor 1 Berdasarkan Gambar 5.3, sebagian besar pekerja di Cor 1 tidak menggunakan APD masker selama bekerja. Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa salah satu sumber bahaya dominan yang berada di tempat ini adalah debu. Debu dihasilkan oleh proses pencetakan logam, terutama berasal dari pasir kuarsa dan bentonit yang digunakan sebagai bahan cetakan logam (Labaik, 2008). Debu silika dapat masuk ke tubuh pekerja melalui inhalasi. Menurut Pudjiastuti tahun 2002, debu respirabel akan masuk melalui inhalasi ke saluran pernapasan pekerja, dan akan mengendap di alveoli. Dengan demikian, pekerja yang tidak menggunakan APD masker akan sangat berpotensi terpajan debu silika yang berasal dari proses produksi. Berdasarkan hal tersebut, maka pengukuran lebih difokuskan terhadap 15 orang pekerja yang tidak menggunakan APD dan tersebar di bagian disamatic line dan furan line. Hal ini sesuai dengan konsep maximum risk employees tentang strategi pengukuran pajanan, dimana pekerja yang diukur adalah pekerja yang diasumsikan memiliki pajanan debu terbanyak (OSHA, 2008). 51

5.2.1.1 Disamatic Line Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa disamatic line merupakan salah satu unit dalam pencetakan logam di Cor 1. Proses pengecoran logam di disamatic line dilakukan secara semi otomatis dengan menggunakan mesin disamatic. Secara umum, proses ini dikendalikan oleh pekerja yang berada di ruang kontrol utama. Sejumlah pekerja lainnya berada di luar ruang kontrol utama bertugas mengawasi proses kerja, mengoperasikan mesin di luar ruang kontrol, serta secara langsung terlibat dalam proses pencetakan logam. Hasil pengamatan terhadap proses kerja yang terjadi di bagian disamatic line dapat dilihat pada Gambar 3.1. Selama pengamatan, pekerja yang dijadikan subjek penelitian adalah pekerja yang selama bekerja tidak menggunakan APD masker. Konsentrasi debu respirabel untuk pekerja di bagian disamatic line dapat dilihat pada Tabel 5.7. Kode Pekerja Tabel 5.7 Konsentrasi Debu Silika Respirabel pada Pekerja Bagian Disamatic Line Konsentrasi Debu Silika Respirabel (mg/m 3 ) D1 0,124 D2 0,129 D3 0,146 D4 0,104 D5 0,115 D6 0,105 Jenis Kerja Shake out Operator mesin Rata-rata Konsentrasi Debu Silika Respirabel (mg/m 3 ) 0,133 0,108 Pada Tabel 5.7 terlihat bahwa terdapat 6 orang pekerja yang dijadikan sebagai sampel di bagian disamatic line. Pekerja dengan kode D1, D2, D3 terlibat langsung dalam proses shake out, sedangkan pekerja dengan kode D4, D5, D6 tidak terlibat langsung dalam proses shake out (bekerja sebagai operator mesin). Berdasarkan Tabel 5.7, terlihat pula bahwa konsentrasi debu silika respirabel tertinggi ditemukan pada pekerja D3 yang bekerja di bagian shake out, yaitu 0,146 mg/m 3. Rata-rata konsentrasi debu silika respirabel untuk pekerja di bagian ini menunjukkan nilai lebih besar dibandingkan dengan konsentrasi rata-rata debu 52

silika respirabel untuk pekerja di bagian operator mesin, masing-masing 0,133 dan 0,108 mg/m 3. Proses shake out dilakukan dengan cara vibrasi terhadap cetakan dan logam secara bersamaan dengan menggunakan mesin. Para pekerja yang bekerja di tempat ini bertugas untuk membantu memisahkan antara barang setengah jadi dengan cetakan pasir. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa proses ini merupakan proses utama yang berpotensi memajani pekerja bagian disamatic line dengan sumber bahaya debu silika. Intake (ADD) debu silika respirabel dihitung untuk memperkirakan konsentrasi yang masuk melalui inhalasi ke dalam tubuh pekerja di bagian disamatic line. Nilai ADD pada setiap pekerja dapat dilihat di Tabel 5.8. Kode Pekerja Tabel 5.8 ADD Debu Silika Respirabel pada Pekerja Bagian Disamatic Line ADD Debu Silika Respirabel (mg/kg.hari) D1 0,018 D2 0,022 D3 0,019 D4 0,012 D5 0,016 D6 0,014 Jenis Kerja Shake out Operator mesin Rata-rata ADD Debu Silika Respirabel (mg/m 3 ) 0,020 0,014 Berdasarkan Tabel 5.8 terlihat bahwa pekerja dengan kode D2 memiliki nilai intake tertinggi, yaitu 0,022 mg/kg.hari. Berbeda dengan hasil sebelumnya, konsentrasi debu silika respirabel tertinggi diperoleh oleh pekerja dengan kode D3. Hal ini disebabkan berdasarkan Persamaan 4.2 nilai ADD dipengaruhi oleh beberapa hal, salah satunya berat badan dan lama kerja. Berdasarkan Lampiran B diketahui bahwa lama kerja untuk kedua pekerja tersebut sama, yaitu 7 tahun, sedangkan berat badan pekerja dengan kode D2 lebih kecil dibandingkan dengan berat badan pekerja D3. Karena hal tersebut nilai intake pekerja D2 lebih besar dibandingkan dengan nilai intake debu untuk pekerja D3. Secara umum rata-rata intake debu silika pekerja di bagian shake out adalah 0,02 mg/kg.hari. Hal ini menunjukkan nilai yang lebih besar dibandingkan dengan nilai 53

rata-rata intake debu silika untuk pekerja yang tidak terlibat shake out, yaitu 0,014 mg/kg.hari. Berdasarkan hal tersebut dapat diasumsikan bahwa kelompok pekerja yang terlibat proses shake out akan memiliki nilai FEV 1.0 yang lebih kecil dibandingkan dengan pekerja yang tidak terlibat langsung proses shake out. Hal ini sesuai dengan pendapat Koo et.al (2000), bahwa semakin besar intake terhadap debu, maka nilai FEV 1.0 akan semakin kecil. 5.2.1.2 Furan Line Furan line merupakan unit lain di Cor 1 yang berfungsi dalam proses pencetakan logam. Bagian ini terdiri atas 20 orang pekerja yang memiliki tugas spesifik untuk masing-masing proses kerja. Pengamatan dilakukan terhadap 9 orang pekerja yang selama pekerjaannya tidak menggunakan APD masker. Proses kerja yang terjadi di bagian furan line dilakukan secara semi otomatis. Secara umum proses kerja di bagian furan line dapat dilihat pada Gambar 3.2. Berbeda dengan proses di disamatic line, proses pencetakan logam yang terjadi di furan line disebut juga dengan teknik kering. Hal ini disebabkan pada proses pembuatan cetakan tidak digunakan air dan bentonit, tetapi digunakan binder yang berasal dari senyawa alkohol. Konsentrasi debu silika respirabel untuk masingmasing pekerja di bagian furan line dapat dilihat pada Tabel 5.9. Tabel 5.9 Konsentrasi Debu Silika Respirabel pada Pekerja Bagian Furan Line Kode Pekerja Konsentrasi Debu Silika Respirabel (mg/m 3 ) F1 0,573 F2 0,346 F3 0,383 F4 0,155 F5 0,193 F6 0,050 F7 0,139 F8 0,038 F9 0,092 Jenis Kerja Shake out Membuka cetakan & Persiapan pola Pengisian pasir Rata-rata Konsentrasi Debu Silika Respirabel (mg/m 3 ) 0,460 0,244 0,094 Setting cetakan 0,065 54

Berdasarkan Tabel 5.9 terlihat bahwa terdapat 9 orang pekerja yang dijadikan sebagai sampel di bagian furan line. Dari Tabel 5.9, terlihat pula bahwa konsentrasi debu silika respirabel untuk pekerja di bagian ini cukup beragam. Hal tersebut disebabkan pekerja di bagian ini memiliki jenis pekerjaan yang spesifik untuk setiap pekerjanya. Pekerja dengan kode F1 dan F2 bekerja di bagian shake out, pekerja F3, F4 dan F5 bekerja membuka cetakan dan persiapan pola, pekerja F6 dan F7 bekerja mengisi pasir (bahan cetakan) dari mixer sedangkan pekerja F8 dan F9 bertugas mengatur (setting) cetakan. Sama halnya dengan proses disamatic line, pekerja yang paling berpotensi terpajan debu di furan line adalah pekerja yang melakukan proses shake out. Hal ini ditunjukkan oleh konsentrasi debu silika respirabel pekerja F1 yang bekerja di bagian ini yaitu 0,573 mg/m 3. Sedangkan rata-rata konsentrasi debu silika respirabel pada pekerja yang melakukan aktivitas ini, yaitu 0,46 mg/m 3. Proses lain yang berpotensi memajani pekerja dengan debu adalah proses membuka cetakan dan persiapan pola. Pada proses ini terlihat sejumlah debu mengumpul pada zona pernapasan pekerja. Hal ini ditunjukkan oleh rata-rata konsentrasi debu silika respirabel di tempat ini yaitu 0,244 mg/m 3. Sedangkan konsentrasi rata-rata debu silika respirabel pada pekerja dengan jenis kerja pengisian pasir dan setting cetakan masing-masing menunjukkan konsentrasi 0,094 dan 0,065 mg/m 3. Intake (ADD) debu silika respirabel dihitung untuk memperkirakan konsentrasi yang masuk melalui inhalasi ke dalam tubuh pekerja di bagian furan line. Nilai ADD pada setiap pekerja dapat dilihat di Tabel 5.10. 55

Kode Pekerja Tabel 5.10 ADD Debu Silika Respirabel pada Pekerja Bagian Furan Line ADD Debu Silika Respirabel (mg/kg.hari) F1 0,106 F2 0,055 F3 0,066 F4 0,023 F5 0,035 F6 0,010 F7 0,025 F8 0,006 F9 0,012 Jenis Kerja Shake out Membuka cetakan & Persiapan pola Pengisian pasir Setting cetakan ADD Konsentrasi Debu Silika Respirabel (mg/kg.hari) 0,080 0,041 0,018 0,009 Sama halnya dengan konsentrasi debu silika respirabel, berdasarkan Tabel 5.10 nilai intake untuk pekerja yang bekerja di bagian shake out (F1), tetap menunjukkan nilai tertinggi, yaitu 0,106 mg/kg.hari. Secara keseluruhan urutan rata-rata konsentrasi debu silika respirabel menunjukkan urutan yang sama dengan rata-rata intake untuk setiap kelompok kerja. Nilai rata-rata intake untuk setiap jenis kerja yaitu 0,080, 0,041, 0,018, dan 0,009 mg/kg.hari, masing-masing untuk pekerja di bagian shake out, persiapan pola, pengisian pasir, dan setting cetakan. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pekerja dengan jenis kerja shake out memiliki kecenderungan tertinggi untuk terkena penyakit pernapasan akibat kerja di bagian disamatic line. Pajanan debu silika secara terus menerus akan menimbulkan fibrosis paru-paru yang akan menimbulkan silikosis (NIOSH, 2002). 5.2.2 Evaluasi Pajanan Cor 2 Cor 2 merupakan salah satu tempat pengecoran yang terdapat di PT. X. Gedung Cor 2 terletak di sebelah barat dari Cor 1, dan merupakan gedung yang pertama didirikan. Denah Cor 2 secara umum dapat dilihat pada Gambar 5.4. 56

Gambar 5.4 Denah Ruangan Cor 2 Berdasarkan Gambar 5.4 terlihat bahwa proses pencetakan logam terletak diantara bagian finishing dan melting. Berbeda dengan kondisi ruang kerja di Cor 1, pada gedung Cor 2 tidak dilengkapi dengan sistem ventilasi lokal (LEV), namun gedung ini memiliki banyak jendela di sepanjang salah satu sisinya yang selalu dibiarkan terbuka selama proses kerja berlangsung. Gedung ini memiliki luas kurang lebih 2800 m 2 dengan jumlah pekerja 52 orang. Hasil pengukuran terhadap faktor fisik di lingkungan kerja selama penelitian di Cor 2 dapat dilihat pada Tabel 5.11. Tabel 5.11 Faktor Fisik Lingkungan Kerja Cor 2 Selama Penelitian Faktor Fisik Lingkungan Kerja Min. Max. Kecepatan Angin (m/detik) 0 1,1 Temperatur Ruangan ( o C) 24 32 Kelembaban (%) 40 81 Tekanan Udara (mmhg) 638,04 639,31 Dari Tabel 5.11 terlihat bahwa kecepatan angin di tempat tersebut berkisar antara 0 sampai dengan 1,1 m/detik. Dengan demikian sama seperti di Cor 1 bahwa tempat ini memiliki kecepatan angin yang rendah, sehingga sumber bahaya debu yang dihasilkan oleh suatu proses cenderung berkumpul dekat dengan sumber 57

bahaya. Hasil kuesioner penggunaan APD pada pekerja Cor 2 selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 5.5. Saat banyak debu 20% Selalu menggunakan masker 0% n=15 Tidak menggunakan masker 47% Sesekali 33% Gambar 5.5 Hasil Kuesioner Penggunaan Masker pada Pekerja Cor 2 Berdasarkan kuesioner pada pekerja Cor 2, masker yang disediakan oleh perusahaan sebagian besar tidak digunakan. Sebanyak 47% pekerja menyatakan bahwa selama bekerja tidak menggunakan masker, 33% menyatakan sesekali memakai masker, sedangkan 20% lainnya menyatakan memakai masker jika diperlukan. Berdasarkan hasil kuesioner tersebut dapat diasumsikan bahwa pekerja di bagian proses pencetakan logam di Cor 2 berpotensi terpajan debu silika dari proses produksi. Sama halnya dengan Cor 1, di tempat ini juga terdapat 3 proses utama dalam proses pengecoran logam, yaitu: melting (proses pelelehan logam), pencetakan logam, dan finishing. Perbedaannya adalah pengecoran di Cor 2 dilakukan dalam skala yang lebih kecil dibandingkan dengan Cor 1, selain itu proses pencetakan logam yang dilakukan di bagian ini sebagian besar dilakukan secara manual. 58

Proses kerja yang berpotensi menghasilkan debu di tempat ini berasal dari proses pencetakan logam. Berdasarkan jenis kerjanya, proses pencetakan logam dibagi menjadi 2 kelompok kerja, yaitu: kelompok olah pasir dan kelompok cetak pasir. Proses kerja secara keseluruhan dalam pencetakan logam di Cor 2 dapat dilihat pada Gambar 3.3. Proses kerja di Cor 2 termasuk ke dalam proses basah, karena menggunakan air dan bentonit sebagai bahan dasar cetakan. Dengan demikian, proses ini memiliki kesamaan dengan proses kerja yang dilakukan di bagian disamatic line Cor 1. 5.2.2.1 Olah Pasir Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa bagian olah pasir terdiri atas 4 orang dan masing-masing memiliki jenis pekerjaan yang relatif sama. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa proses pencetakan logam di Cor 2 secara umum masih dilakukan secara manual. Dari Gambar 3.3, tampak bahwa aktivitas utama yang dilakukan oleh bagian ini antara lain: proses pencampuran antara pasir baru dan pasir bekas ke conveyor, penambahan bahan cetakan secara manual ke dalam mixer, dan penurunan bahan cetakan ke mesin cetak. Konsentrasi debu respirabel untuk pekerja di bagian olah pasir dapat dilihat pada Tabel 5.12. Tabel 5.12 Konsentrasi Debu Silika Respirabel pada Pekerja Bagian Olah Pasir Konsentrasi Debu Rata-rata Konsentrasi Silika Respirabel Jenis Kerja Debu Silika Respirabel (mg/m 3 ) (mg/m 3 ) Kode Pekerja O1 1,921 O2 2,188 O3 2,052 O4 1,804 Pencampuran, penambahan pasir, serta penurunan bahan cetakan. 1,991 Berdasarkan Tabel 5.12, terlihat bahwa konsentrasi debu silika respirabel untuk aktivitas olah pasir berkisar antara 1,804 sampai dengan 2,188 mg/m 3, dengan rata-rata.1,991 mg/m 3. Dari konsentrasi tersebut dapat disimpulkan bahwa 59

kegiatan olah pasir merupakan kegiatan yang lebih berbahaya dibandingkan dengan dengan kegiatan pengecoran di bagian disamatic line maupun furan line yang memiliki konsentrasi masing-masing 0,120 dan 0,219 mg/m 3. Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa setiap pekerja yang bertugas di bagian olah pasir memiliki jenis kerja yang sama, yaitu pencampuran pasir baru dan pasir bekas, penambahan bahan cetakan ke dalam mixer, penurunan bahan cetakan ke roda, serta bersama-sama dengan bagian cetak pasir melakukan pembongkaran cetakan pasir (shake out manual). Hal ini terlihat dari Tabel 5.12 bahwa konsentrasi debu silika respirabel untuk masing-masing pekerja menunjukkan nilai yang hampir sama. Tingginya rata-rata konsentrasi debu di bagian ini kemungkinan disebabkan ketiga aktivitas yang dilakukan oleh para pekerja sangat berpotensi menimbulkan bahaya debu. Proses pemindahan pasir baru dan bekas ke conveyor dilakukan secara manual dengan menggunakan sekop sehingga terlihat sejumlah debu berkumpul pada proses ini. Sama halnya dengan proses pemindahan pasir, proses penambahan bahan ke mixer juga sangat berpotensi menghasilkan debu. Aktivitas ini dilakukan dengan cara memasukan bahan (bentonit) menggunakan sekop kecil ke dalam mixer yang sedang beroperasi, sehingga debu yang dihasilkan sangat dekat dengan zona pernapasan pekerja. Sedangkan aktivitas pengambilan pasir dari mixer dilakukan dengan menggunakan roda. Intake (ADD) debu silika respirabel dihitung untuk memperkirakan konsentrasi yang masuk melalui inhalasi ke dalam tubuh pekerja di kelompok olah pasir. Nilai ADD pada setiap pekerja dapat dilihat di Tabel 5.13. Kode Pekerja Tabel 5.13 ADD Debu Silika Respirabel pada Pekerja Bagian Olah Pasir ADD Debu Silika Respirabel Jenis Kerja (mg/kg.hari) O1 0,345 O2 0,355 O3 0,425 O4 0,256 Pencampuran, penambahan pasir, dan penurunan bahan cetakan. ADD Konsentrasi Debu Silika Respirabel (mg/kg.hari) 0,345 60

Berdasarkan Tabel 5.13 terlihat bahwa pekerja dengan kode O3 memiliki intake tertinggi, yaitu 0,425 mg/kg.hari. Berbeda dengan hasil sebelumnya, konsentrasi debu silika respirabel tertinggi diperoleh oleh pekerja dengan kode O2. Perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan berat badan antara kedua pekerja tersebut (Lampiran B), di mana berat badan pekerja dengan kode O2 lebih besar dibandingkan dengan berat badan O3, masing-masing 55 dan 46 kg. Secara umum nilai intake rata-rata debu silika respirabel untuk kelompok ini adalah 0,345 mg/kg.hari. Nilai ini lebih tinggi dari rata-rata intake debu silika respirabel di bagian disamatic line dan furan line, yaitu 0,017 dan 0,038 mg/kg.hari. Dengan demikian, pekerja yang bertugas di bagian ini lebih berpotensi terkena penyakit paru-paru akibat kerja, dibandingkan dengan kelompok pekerja di Cor 1. 5.2.2.2 Cetak Pasir Proses cetak pasir merupakan lanjutan dari proses olah pasir (Gambar 5.12). Pekerja di kelompok ini berjumlah kurang lebih 20 orang. Berdasarkan Gambar 5.12, aktivitas utama pekerja di bagian ini antara lain: membuat cetakan logam di mesin Jolt-quis (mesin cetak), penghalusan dan setting cetakan dan proses pengecoran logam. Proses pembuatan dan penghalusan cetakan dilakukan oleh pekerja tertentu, sedangkan proses pengecoran logam dilakukan dengan menggunakan crane secara bersama-sama oleh semua pekerja yang ada di bagian ini. Hasil debu silika respirabel untuk kelompok ini dapat dilihat pada Tabel 5.14. Tabel 5.14 Konsentrasi Debu Silika Respirabel pada Pekerja Bagian Cetak Pasir Kode Pekerja Konsentrasi Debu Silika Respirabel (mg/m 3 ) C1 1,862 C2 1,474 C3 1,435 C4 1,698 C5 1,225 Jenis Kerja Pencetakan pasir Rata-rata Konsentrasi Debu Silika Respirabel (mg/m 3 ) 1,539 61

Tabel 5.14 (lanjutan) Kode Pekerja Konsentrasi Debu Silika Respirabel (mg/m 3 ) C6 1,359 C7 1,182 C8 1,335 C9 0,801 C10 1,032 Jenis Kerja Penghalusan cetakan pasir Rata-rata Konsentrasi Debu Silika Respirabel (mg/m 3 ) 1,142 C11 0,065 Crane 0,065 Berdasarkan Tabel 5.14, terlihat bahwa terdapat 11 orang pekerja yang dijadikan sebagai sampel di bagian cetak pasir. Pekerja yang dijadikan sampel di bagian ini memiliki jenis pekerjaan yang berbeda. Pekerja dengan kode C1, C2, C3, C4, C5 melakukan pencetakan pasir, pekerja dengan kode C6, C7, C8, C9, C10 melakukan penghalusan cetakan pasir, sedangkan pekerja dengan kode C11 bekerja sebagai operator crane. Berdasarkan pengamatan, pekerja dengan kode C1 sampai dengan C10 melakukan akvitas tambahan bersama dengan pekerja bagian olah pasir yaitu pembongkaran cetakan pasir (shake out manual), sedangkan pekerja C11 tidak terlibat langsung dalam proses shake out. Konsentrasi debu silika respirabel tertinggi didapatkan oleh pekerja yang melakukan pencetakan pasir (C1), dengan konsentrasi 1,862 mg/m 3. Rata-rata konsentrasi debu silika respirabel pada pekerja cetak pasir menunjukkan konsentrasi tertinggi yaitu 1,539 mg/m 3. Dengan demikian, proses ini merupakan proses yang sangat potensial menghasilkan debu di bagian olah pasir. Proses pencetakan pasir dilakukan dengan cara memasukan pasir ke dalam pola cetakan, kemudian diproses dengan cara digetarkan. Ketika cetakan digetarkan, debu yang terdapat di cetakan berpotensi terlepas dan masuk melalui inhalasi ke saluran pernapasan pekerja. Proses lain yang berpotensi memajani pekerja dengan debu, adalah proses penghalusan cetakan. Hal ini ditunjukkan oleh rata-rata konsentrasi debu silika respirabel pada pekerja di bagian ini, yaitu 1,142 mg/m 3. Berdasarkan pengamatan, proses penghalusan cetakan dilakukan secara manual dengan 62

bantuan sekop kecil dan kompresor, sehingga pada saat penghalusan, terdapat sejumlah debu berkumpul dekat dengan zona pernapasan pekerja. Konsentrasi debu silika respirabel yang terendah di bagian ini didapatkan oleh pekerja T15 yang bekerja sebagai operator crane, yaitu 0,065 mg/m 3. Pekerja bagian ini bertugas untuk membantu mengangkat cetakan pada saat proses pencetakan dan penghalusan cetakan dengan cara mengoperasikan crane dari ketinggian 7 meter di atas permukaan lantai. Sehingga semakin tinggi dan jauh posisi pekerja dari sumber bahaya debu, maka kemungkinan terpajan debu akan semakin kecil. Intake (ADD) debu silika respirabel dihitung untuk memperkirakan konsentrasi yang masuk melalui inhalasi ke dalam tubuh pekerja di kelompok cetak pasir. Nilai ADD pada setiap pekerja dapat dilihat di Tabel 5.15. Kode Pekerja Tabel 5.15 ADD Debu Silika Respirabel pada Pekerja Bagian Cetak Pasir ADD Debu Silika Respirabel (mg/kg.hari) C1 0,328 C2 0,238 C3 0,253 C4 0,317 C5 0,220 C6 0,239 C7 0,176 C8 0,195 C9 0,132 C10 0,156 Jenis Kerja Pencetakan pasir Penghalusan pasir ADD Konsentrasi Debu Silika Respirabel (mg/kg.hari) 0,271 0,180 C11 0,009 Crane 0,009 Berdasarkan Tabel 5.15, nilai intake debu silika respirabel tertinggi pada bagian cetak pasir didapatkan pada sampel pekerja C1, yaitu 0,328 mg/kg.hari. Secara keseluruhan urutan rata-rata konsentrasi debu silika respirabel untuk setiap kelompok pekerja menunjukkan urutan yang sama dengan nilai rata-rata intake 63

untuk setiap jenis kerja, yaitu 0,271, 0,180 dan 0,009 mg/kg.hari, masing-masing untuk pekerja di bagian pembuatan cetakan, penghalusan cetakan, dan operator crane. Dengan demikian, pekerja di bagian pembuatan cetakan memiliki kecenderungan tertinggi untuk terkena penyakit paru-paru akibat kerja. 5.3 Evaluasi Dosis-Respon Pada tahap ini dilakukan analisis terhadap hubungan dosis (intake) debu silika yang masuk ke sistem pernapasan dengan respon berupa nilai FEV 1.0. Analisis ini bertujuan untuk melihat konsistensi antara intake debu silika dengan respon FEV 1.0 pekerja. 5.3.2 Hubungan antara Dosis Debu Silika dengan Nilai FEV 1.0 untuk Setiap Aktivitas Kerja Analisis yang dilakukan untuk melihat hubungan dosis-respon, dilakukan dengan membandingkan antara dosis debu silika dengan respon FEV 1.0 untuk setiap aktivitas kerja. Hubungan antara kedua hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 5.16. Tabel 5.16 Hubungan antara Log Dosis Debu Silika dengan FEV 1.0 Aktivitas kerja Log Dosis Debu Silika FEV 1.0 (µg/kg.hari) (liter) Olah Pasir 2,531987 3,18465 Cetak Pasir 2,214794 3,20375 Furan line 1,428624 3,25482 Disamatic line 1,231336 3,46515 Kontrol (Perkakas tempa) 0,352754 3,74723 Dari Tabel 5.16, dibuat grafik hubungan antara dosis debu silika dengan nilai FEV 1.0, setelah itu dihitung nilai koefisien korelasi antara kedua parameter tersebut (Gambar 5.6). 64

4,00 3,80 FEV 1.0 (liter) 3,60 3,40 3,20 3,00 r = 0,9734 2,80 0 1 2 3 Log Dosis (μg/kg.hari) Gambar 5.6 Hubungan antara Dosis Debu Silika dengan FEV 1.0 Pekerja Berdasarkan Tabel 5.16 dan Gambar 5.6 tampak bahwa nilai FEV 1.0 untuk kelompok pekerja dengan berbagai aktivitas cenderung menurun seiring dengan meningkatnya dosis yang masuk ke sistem pernapasan pekerja. Korelasi antara kedua faktor tersebut menunjukkan nilai 0,9734 sehingga hubungan keduanya tergolong kuat. Hal ini sesuai dengan pendapat Antaruddin tahun 2003, bahwa semakin besar debu yang masuk ke dalam sistem pernapasan seseorang, maka nilai FEV 1.0 akan semakin kecil. 5.3.2 Hubungan antara Dosis Debu Silika dengan Persentase Penurunan FEV 1.0 Untuk mendapatkan kurva dosis respon, maka dilakukan analisis mengenai intake debu silika dengan persentase penurunan FEV 1.0. Karena nilai standar FEV 1.0 untuk orang Indonesia masih belum diketahui, maka nilai standar FEV 1.0 yang digunakan adalah volume rata-rata FEV 1.0 untuk kelompok tidak terpajan yaitu sebesar 3,7 liter. Volume rata-rata FEV 1.0 kelompok tidak terpajan digunakan sebagai standar, karena kelompok ini diasumsikan memiliki nilai FEV 1.0 yang 65

normal (cenderung tidak terpajan debu silika; nilai HI<1) serta memiliki karakteristik yang serupa dengan kelompok terpajan. Hubungan dan kurva dosisrespon untuk setiap aktivitas kerja dapat dilihat pada Tabel 5.17 dan Gambar 5.7. Tabel 5.17 Hubungan antara Log Dosis Debu Silika dengan Persentase Penurunan FEV 1.0 Aktivitas kerja Log Dosis Debu Silika Penurunan FEV 1.0 (μg/kg.hari) (liter) Olah Pasir 2,531987 13,94529 Cetak Pasir 2,214794 13,42906 Furan line 1,428624 12,04918 Disamatic line 1,231336 6,36551 Kontrol 0,352754 0 Persentase Penurunan FEV 1.0 (%) 14 13 12 11 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 0 0,5 1 1,5 2 2,5 Log dosis (μg/kg.hari) Gambar 5.7 Kurva Hubungan Dosis Debu Silika dengan Persentase Penurunan FEV 1.0 Berdasarkan Tabel 5.17 dan Gambar 5.7, terlihat bahwa terdapat konsistensi antar dosis debu silika yang masuk ke sistem pernapasan pekerja, dengan respon pekerja berupa penurunan nilai FEV 1.0. Penurunan nilai FEV 1.0 diduga disebabkan oleh terjadinya fibrosis di paru-paru pekerja yang terpajan debu. Hal ini sesuai 66

dengan pendapat Yunus (1997), bahwa silika bebas akan masuk ke saluran pernapasan pekerja kemudian akan menyebabkan autolisis makrofag dan mengarah ke terbentuknya jaringan ikat dan pengendapan hialin pada jaringan ikat tersebut. 5.4 Karakterisasi Risiko Pada penelitian ini karakterisasi risiko dilakukan dengan cara mengumpulkan informasi berdasarkan identifikasi bahaya, analisis pajanan, dan analisis dosisrespon secara deskriptif, sehingga dapat diperkirakan efek debu silika terhadap kesehatan pekerja PT. X. Sedangkan risiko dinyatakan dengan menghitung risiko relatif (RR) dengan cara membandingkan kelompok pekerja yang terpajan debu silika dengan pekerja yang tidak terpajan. 5.4.1 Analisis Pengaruh Debu terhadap Kesehatan Pekerja PT. X Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa penelitian ini dilakukan terhadap dua kelompok utama pekerja yaitu kelompok terpajan dan kelompok tidak terpajan. Berdasarkan hasil perhitungan HI, terlihat bahwa pekerja kelompok terpajan sangat berisiko terhadap menurunnya kesehatan paru-paru. Hal ini ditunjukkan nilai rata-rata HI untuk kelompok terpajan yaitu 30,74. Nilai rata-rata tersebut menguatkan bukti bahwa kandungan silika di tempat kerja kelompok terpajan dapat membahayakan kesehatan pekerja. Keadaan ini terjadi karena pada kelompok terpajan terdapat sumber bahaya debu silika respirabel yang berasal dari proses produksi, dengan rata-rata konsentrasi sebesar 0,179 mg/m 3 untuk Cor 1 dan 1,428 mg/m 3 untuk Cor 2. Berbeda dengan kelompok terpajan, nilai HI untuk kelompok tidak terpajan semuanya menunjukkan nilai kurang dari 1. Hal ini menunjukkan bahwa kandungan silika yang ada di tempat kerja kelompok tidak terpajan tidak membahayakan kesehatan paru-paru pekerja. 67

5.4.1.1 Analisis Pengaruh Debu terhadap Kesehatan Pekerja Cor 1 Berdasarkan hasil perhitungan tampak bahwa nilai rata-rata indeks bahaya untuk pekerja di bagian disamatic line adalah 2,26, sedangkan nilai rata-rata HI untuk pekerja dibagian furan line yaitu 4,96. Jika keduanya dibandingkan, terlihat bahwa nilai HI untuk pekerja di bagian disamatic line lebih kecil dibandingkan dengan pekerja di bagian furan line. Hal ini dapat diartikan bahwa dosis debu silika respirabel yang masuk ke saluran pernapasan pekerja lebih besar dari NAB silika yang telah ditentukan berdasarkan perhitungan. Dengan demikian, maka pekerja yang berada di bagian furan line lebih berisiko terhadap penyakit paruparu akibat kerja dibandingkan dengan bagian disamatic line. Hal ini kemungkinan disebabkan teknik pencetakan logam yang dilakukan di kedua bagian ini berbeda. Teknik pencetakan logam di bagian disamatic line disebut dengan teknik basah, karena pembuatan cetakan dilakukan dengan menggunakan air dengan bahan dasar berupa pasir silika, bentonit dan coal. Seperti telah disebutkan pada Bab II, bahwa pasir silika merupakan bahan dasar cetakan logam dengan kandungan silika kurang lebih 70% (NIOSH, 2002). Sedangkan bentonit merupakan nama dagang bahan pengikat yang umum digunakan dalam pasir cetak basah dan mempunyai kandungan mineral monmorilonit lebih dari 85% dengan rumus kimianya Al 2 O 3.4SiO 2. xh 2 O (Labaik, 2008). Dari hal tersebut diduga bahwa sumber silika tidak hanya berasal dari pasir silika saja, tetapi didapatkan juga dari bahan-bahan lain yang digunakan dalam proses pencetakan logam. Penggunaan teknik basah dalam pengecoran logam ini kemungkinan akan mengurangi jumlah debu yang ada di udara. Hal ini disebabkan berat jenis debu akan meningkat jika kontak dengan air, sehingga debu akan segera jatuh ke lantai (Olishifski dan McElroy, 1971). Alasan lain yang menyebabkan HI di bagian disamatic line lebih kecil adalah sebagian besar proses pembuatan cetakan di bagian disamatic line dilakukan secara otomatis. Sehingga dibandingkan dengan bagian furan line, kontak antara 68

sumber bahaya debu melalui inhalasi relatif sedikit. Hal ini ditunjukkan oleh nilai rata-rata konsentrasi debu silika respirabel untuk kelompok ini yaitu 0,120 mg/m 3. Hasil ini lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata konsentrasi debu silika respirabel untuk, bagian furan line yaitu 0,215 mg/m 3. Sama halnya dengan bagian disamatic line, bahan utama cetakan pasir di bagian furan line adalah pasir silika. Perbedaannya pasir ini tidak dicampur dengan bentonit dan air sehingga disebut teknik kering. Sebagai perekat digunakan binder yang berasal dari senyawa alkohol. Konsentrasi debu silika respirabel pada kedua bagian ini juga menggambarkan tidak efektifnya fasilitas perlindungan terhadap kesehatan paru-paru pekerja. Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa shake out merupakan proses yang paling potensial menghasilkan debu. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, gedung Cor 1 memiliki sistem ventilasi lokal pada kedua mesin shake out yang ditempatkan di bagian disamatic line dan furan line. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kinerja alat tersebut sudah tidak optimal. Hal ini ditunjukkan oleh konsentrasi debu silika respirabel pada pekerja kedua bagian tersebut tergolong cukup besar yaitu berkisar dari 0,038 mg/m 3 sampai dengan 0,573 mg/m 3. Nilai intake yang tinggi untuk kedua kelompok pekerja di Cor 1 mengindikasikan bahwa upaya pengelolaan kesehatan dan keselamatan kerja di tempat tersebut belum bekerja secara optimal. Hal ini tampak dari belum adanya pengawasan penggunaan APD pekerja. Hasil analisis dosis-respon menunjukkan adanya konsistensi antara dosis debu silika respirabel dengan respon pekerja berupa nilai FEV 1.0. Secara umum, nilai FEV 1.0 untuk kedua kelompok disamatic line berkisar antara 2,98 liter sampai dengan 3,88 liter. Sedangkan untuk kelompok furan line nilai FEV 1.0 berkisar antara 2,12 sampai 4,26 liter. 69

Berdasarkan hasil analisis terhadap bagian Cor 1 dapat disimpulkan bahwa debu silika di Cor 1 dapat membahayakan kesehatan pekerja. Hal ini dapat dibuktikan dengan semakin turunnya nilai FEV 1.0 pekerja seiring dengan meningkatnya dosis debu silika respirabel. 5.4.1.2 Analisis Pengaruh Debu terhadap Kesehatan Pekerja Cor 2 Berdasarkan perhitungan, rata-rata nilai indeks bahaya (HI) untuk kelompok Cor 2 yaitu 65,30. Jika dilihat berdasarkan aktivitas kerja di Cor 2, nilai HI kelompok olah pasir lebih besar dari nilai HI kelompok cetak pasir. Hal ini disebabkan dosis debu silika respirabel pada pekerja di bagian oleh pasir lebih besar dibandingkan dengan pekerja bagian cetak pasir. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pekerja olah pasir memiliki risiko lebih besar terhadap penyakit paru-paru akibat kerja dibandingkan dengan pekerja cetak pasir. Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa hal tersebut dapat terjadi karena setiap proses yang dilakukan oleh bagian ini sangat berpotensi menghasilkan debu. Hal ini menyebabkan proses ini tergolong sebagai proses yang paling berbahaya terhadap debu untuk setiap proses pencetakan logam di PT. X (lihat Tabel 5.18). Tabel 5.18 Rata-Rata Indeks Bahaya untuk Setiap Tempat Kerja yang Diukur Tempat Kerja Nilai Rata-rata Indeks Bahaya Cor 1 3,61 Cor 2 65,30 Perkakas tempa 0,38 Walaupun proses pencetakan logam di Cor 2 dilakukan dengan teknik basah, setiap pekerjaan yang dilakukan oleh bagian olah pasir masih sebagian besar dilakukan secara manual. Hal ini menyebabkan rata-rata dosis debu silika respirabel untuk kelompok ini memiliki nilai tertinggi yaitu 2,18 mg/m 3. 70

Berdasarkan pengamatan nilai HI untuk kelompok pekerja cetak pasir berkisar antara 2,28 sampai dengan 77,78. Hal ini menunjukkan bahwa pekerja kelompok cetak pasir memiliki potensi untuk terkena penyakit pernapasan akibat kerja, walaupun risikonya lebih kecil dibandingkan dengan pekerja dari kelompok olah pasir. Berdasarkan literatur, penyakit jabatan akibat debu diasanya bersifat kronis atau dapat timbul setelah pajanan selama bertahun-tahun (Olishifski dan McElroy, 1971). Kaitan antara dosis debu silika respirabel dengan nilai FEV 1.0 pekerja di Cor 2 dapat dilihat pada Tabel 5.13 dan Tabel 5.15. Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa debu silika di Cor 2 dapat membahayakan kesehatan pekerja. Hal ini disebabkan debu silika dapat menimbulkan penyakit akibat kerja berupa penurunan kesehatan paru-paru (Yunus, 1996). 5.4.1.3 Risiko Relatif (RR) Kuantifikasi efek kesehatan telah menjadi salah satu perangkat yang semakin penting untuk menentukan kebijakan dalam pengelolaan kualitas udara. Untuk dapat mengkuantifikasi besaran efek pencemaran udara, maka dilakukan penghitungan RR. RR adalah rasio risiko penyakit diantara populasi yang terpajan terhadap risiko penyakit diantara populasi yang tidak terpajan (Dirgawati, 2007). RR yang akan dihitung dalam penelitian ini bertujuan untuk memberikan informasi mengenai efek pajanan debu silika melalui inhalasi, terhadap nilai HQ dan nilai FEV 1.0 pekerja di lingkungan pekerja PT. X. Dalam penelitian ini terdapat 2 kelompok pekerja yang diperbandingkan, sehingga pada akhirnya terdapat data yang berupa matrix (2x2). Kelompok yang diperbandingkan adalah kelompok terpajan (pekerja Cor 1 dan Cor 2) terhadap kelompok tidak terpajan (pekerja Perkakas tempa). Matrik 2x2 antara kelompok pekerja di lingkungan kerja PT. X terhadap nilai HQ dapat dilihat pada Tabel 5.19 71

Tabel 5.19 Matrik 2x2 Kelompok Pekerja terhadap Nilai HQ Terpajan Tidak Terpajan HQ >1 29 0 HQ <1 1 30 Berdasarkan Tabel 5.19 diperoleh nilai RR = ~ (perhitungan dapat dilihat di Lampiran D). Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa kualitas udara yang mengandung SiO 2 berpotensi menimbulkan bahaya (hazard) yang tak terhingga besarnya. Pendekatan lain yang dilakukan untuk mengkarakterisasi risiko adalah dengan menghitung RR kelompok pekerja terpajan dibandingkan dengan kelompok pekerja tidak terpajan terhadap nilai FEV 1.0. Besarnya nilai FEV 1.0 dikelompokan menjadi 2 bagian, yaitu kelompok pekerja dengan FEV 1.0 kurang dari 3,7 liter dan kelompok pekerja dengan FEV 1.0 lebih dari 3,7 liter. Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa volume 3,7 liter diasumsikan sebagai nilai FEV 1.0 normal untuk pekerja. Berdasarkan hal tersebut didapatkan matrik 2x2 seperti pada Tabel 5.20. Tabel 5.20 Matrik 2x2 Kelompok Pekerja terhadap Nilai FEV 1.0 Terpajan Tidak Terpajan Nilai FEV 1.0 < 3,7 liter 26 16 Nilai FEV 1.0 3,7 liter 4 14 Berdasarkan Tabel 5.20 diperoleh nilai RR = 1,62. Dari nilai tersebut dapat dsimpulkan bahwa kelompok pekerja terpajan memiliki risiko 1,62 kali lebih besar dibandingkan dengan kelompok pekerja tidak terpajan untuk mengalami turunnya nilai FEV 1.0. Dari evaluasi pajanan terlihat bahwa pekerja bagian shake out paling berpotensi terpajan debu silika. Untuk melihat risiko yang disandang pekerja di bagian pembuatan cetakan logam yang terlibat proses shake out otomatis dan manual 72

(Cor 1 dan Cor 2), pekerja yang tidak terlibat proses shake out (Cor 1 dan Cor 2), dibandingkan dengan pekerja yang tidak terpajan debu silika (Perkakas tempa), maka dihitung risiko relatif antara kelompok tersebut terhadap nilai FEV 1.0 (Tabel 5.21). Tabel 5.21 Risiko Relatif Pekerja Shake Out dan Non-Shake Out terhadap Nilai FEV 1.0 Aktivitas Kerja Nilai FEV 1.0 < 3,7 liter Nilai FEV 1.0 3,7 liter Risiko Relatif Kontrol (Perkakas tempa) Non-shake out (Cor 1 dan Cor 2) Shake out otomatis (Disamatic dan Furan line Cor 1) Shake out manual (Pembongkaran cetakan Cor 2) 16 14 7 4 1,18 5 0 1,88 14 0 1,88 Berdasarkan Tabel 5.21, terlihat bahwa pekerja shake out otomatis (Cor 1) dan pekerja shake out manual (Cor 2) memiliki risiko 1,88 kali lebih besar dibandingkan dengan kelompok pekerja tidak terpajan (Perkakas tempa) untuk mengalami turunnya nilai FEV 1.0. Sedangkan risiko penurunan FEV 1.0 pekerja yang tidak terlibat langsung proses shake out (non-shake out) dari Cor 1 dan Cor 2 menunjukkan 1,18 kali lebih besar dibandingkan dengan kelompok pekerja tidak terpajan. Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa pekerja shake out memiliki risiko penurunan FEV 1.0 lebih besar dibandingkan dengan pekerja non-shake out. Hal ini sesuai dengan evaluasi pajanan, dimana proses shake out memiliki konsentrasi debu silika respirabel lebih besar dibandingkan dengan proses nonshake out. Dengan demikian pekerja yang terlibat langsung proses shake out sangat berpotensi terpajan debu silika dan berisiko mengalami penurunan nilai FEV 1.0 (Koo et al., 2000). 73