BAB II TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 1 PENDAHULUAN. kelenjar saliva, dimana 93% dari volume total saliva disekresikan oleh kelenjar saliva

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Madu merupakan salah satu sumber makanan yang baik. Asam amino,

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Karies gigi merupakan salah satu penyakit kronis yang paling umum terjadi di

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Gambar 1. Kelenjar saliva 19

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. melalui makanan yang dikonsumsi sehari-hari. Berbagai macam bakteri ini yang

BAB I PENDAHULUAN. indeks caries 1,0. Hasil riset kesehatan dasar tahun 2007 melaporkan bahwa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Mulut memiliki lebih dari 700 spesies bakteri yang hidup di dalamnya dan. hampir seluruhnya merupakan flora normal atau komensal.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Dalam bidang kedokteran gigi, masalah kesehatan gigi yang umum terjadi di

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kelenjar ludah besar dan kecil yang ada pada mukosa oral. Saliva yang terbentuk

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. dan akan berlanjut ke dalam lapisan gigi serta diikuti dengan kerusakan bahan

BAB I PENDAHULUAN. Karies gigi merupakan masalah kesehatan gigi dan mulut yang paling dominan

BAB I PENDAHULUAN. seperti kesehatan, kenyamanan, dan rasa percaya diri. Namun, perawatan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Dinas Kesehatan Kota Padang tahun 2013 menunjukkan urutan pertama pasien

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Karies gigi adalah penyakit infeksi dan merupakan suatu proses

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. dapat dialami oleh setiap orang, dapat timbul pada satu permukaan gigi atau lebih dan

BAB I PENDAHULUAN. Madu adalah pemanis tertua yang pertama kali dikenal dan digunakan oleh

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Semen Ionomer Kaca Modifikasi Resin (SIKMR) ionomer kaca. Waktu kerja yang singkat dan waktu pengerasan yang lama pada

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. gigi dan mulut di Indonesia. Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)

BAB 1 PENDAHULUAN. Kerusakan pada gigi merupakan salah satu penyakit kronik yang umum

BAB I PENDAHULUAN. dan mulut yang memiliki prevalensi tinggi di masyarakat pada semua

SATUAN ACARA PENYULUHAN KKEMAMPUAN PENCEGAHAN KARIES

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 PENGARUH PLAK TERHADAP GIGI DAN MULUT. Karies dinyatakan sebagai penyakit multifactorial yaitu adanya beberapa faktor yang

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan tubuh, baik bagi anak-anak, remaja maupun orang dewasa. 1,2

BAB II TINJAUAN TEORETIS. renik dalam suatu karbohidrat yang dapat diragikan. Tandanya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Pengetahuan ibu tentang pencegahan karies gigi sulung

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2007, prevalensi

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. bahan baku utamanya yaitu susu. Kandungan nutrisi yang tinggi pada keju

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dalam rongga mulut. Hasil survei Kesehatan Rumah Tangga (2006) menunjukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. karies gigi (Anitasari dan Endang, 2005). Karies gigi disebabkan oleh faktor

SALIVA SEBAGAI CAIRAN DIAGNOSTIK RESIKO TERJADINYA KARIES PUTRI AJRI MAWADARA. Dosen Pembimbing : drg. Shanty Chairani, M.Si.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Kavitas oral ditempati oleh bermacam-macam flora mikroba, yang berperan

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. dari sisa makanan, menghilangkan plak dan bau mulut serta memperindah

BAB 5 HASIL PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. DMF-T Indonesia menurut hasil Riskesdas pada tahun 2013 adalah 4,6% yang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam dekade terakhir, sebanyak 80% orang didunia bergantung pada

BAB 1 PENDAHULUAN. RI tahun 2004, prevalensi karies gigi mencapai 90,05%. 1 Karies gigi merupakan

BAB I PENDAHULUAN. ata terbaru yang dikeluarkan Departemen Kesehatan (Depkes) Republik

BAB I PENDAHULUAN. merupakan kelompok mikroba di dalam rongga mulut dan dapat diklasifikasikan. bakteri aerob, anaerob, dan anaerob fakultatif.

BAB I PENDAHULUAN. aktifitas mikroorganisme yang menyebabkan bau mulut (Eley et al, 2010). Bahan yang

Bayyin Bunayya Cholid*, Oedijani Santoso**, Yayun Siti Rochmah***

BAB 1 PENDAHULUAN. Berdasarkan hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) Departemen Kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. mulut. Ketidakseimbangan indigenous bacteria ini dapat menyebabkan karies gigi

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pada permukaan basis gigi tiruan dapat terjadi penimbunan sisa makanan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Keberhasilan terapi saluran akar bergantung pada debridement

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. cukup tinggi. Menurut hasil Riskesdas tahun 2013, indeks DMF-T Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. (SKRT, 2004), prevalensi karies di Indonesia mencapai 90,05%. 1 Riset Kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. Sebanyak 14 provinsi mempunyai prevalensi masalah gigi dan mulut di atas

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Karies adalah penyakit jaringan keras gigi, yaitu enamel, dentin dan

BAB I PENDAHULUAN. Karies gigi atau yang biasanya dikenal masyarakat sebagai gigi berlubang,

BAB I PENDAHULUAN. Community Dental Oral Epidemiologi menyatakan bahwa anakanak. disebabkan pada umumnya orang beranggapan gigi sulung tidak perlu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sehingga didapatkan fungsi dan estetik geligi yang baik maupun wajah yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. rendah (Depkes RI, 2005). Anak yang memasuki usia sekolah yaitu pada usia 6-12

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

Bab 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Kismis adalah buah anggur (Vitis vinivera L.) yang dikeringkan dan

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. disebabkan oleh penggunaan susu botol atau cairan lainnya yang termasuk karbohidrat seperti

BAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat Indonesia. Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun prevalensi masalah kesehatan gigi dan mulut penduduk

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia saat ini sedang menggalakkan pemakaian bahan alami sebagai bahan obat,

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Saliva merupakan cairan rongga mulut yang memiliki peran penting dalam

BAB 1 PENDAHULUAN. Saliva merupakan cairan rongga mulut yang kompleks yang terdiri atas

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. anak-anak sampai lanjut usia. Presentase tertinggi pada golongan umur lebih dari

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 5 HASIL PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. cenderung meningkat sebagai akibat meningkatnya konsumsi gula seperti sukrosa.

BAB I PENDAHULUAN. atau biofilm dan diet (terutama dari komponen karbohidrat) yang dapat

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. meningkatnya permintaan perawatan ortodontik (Erwansyah, 2012). Perawatan

BAB 1 PENDAHULUAN. saliva yaitu dengan ph (potensial of hydrogen). Derajat keasaman ph dan

BAB I PENDAHULUAN. 90% dari populasi dunia. Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) Departemen

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang. dapat dipisahkan satu dengan lainnya sebab kesehatan gigi dan mulut akan

I. PENDAHULUAN. A.Latar Belakang Masalah. mengenai , dentin, dan sementum. Penyakit ini disebabkan oleh aktivitas

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit periodontal adalah penyakit yang umum terjadi dan dapat ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Pengertian dan Gambaran Klinis Karies Botol. atau cairan manis di dalam botol atau ASI yang terlalu lama menempel pada

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. American Association of Orthodontists menyatakan bahwa Ortodonsia

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. karbohidrat dari sisa makanan oleh bakteri dalam mulut. 1

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. tujuan mengatasi maloklusi. Salah satu kekurangan pemakaian alat ortodonti cekat

BAB 5 HASIL PENELITIAN. Tabel 1 : Data ph plak dan ph saliva sebelum dan sesudah berkumur Chlorhexidine Mean ± SD

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karies Karies gigi merupakan penyakit kronis yang mempengaruhi sejumlah besar populasi. Proses karies mempengaruhi mineralisasi gigi, enamel, dentin, dan sementum, serta disebabkan oleh mikroorganisme pada fermentasi karbohidrat dalam makanan (Samarrai, 2012, p. 1). Suatu karies mempunyai tanda yaitu adanya demineralisasi jaringan keras gigi, diikuti oleh kerusakan bahan organik sehingga mengakibatkan terjadinya invasi bakteri dan kematian pulpa serta penyebaran infeksi ke jaringan periapikal yang dapat menyebabkan nyeri. Selain faktor penyebab yang langsung berhubungan dengan karies gigi, ada beberapa faktor tidak langsung yang berhubungan dengan karies, disebut sebagai faktor resiko, seperti usia, jenis kelamin, gangguan emosi, pengetahuan, kesadaran dan perilaku yang berhubungan dengan kesehatan gigi, misalnya pengetahuan mengenai jenis makanan dan minuman yang menyebabkan karies, cara makan dan minum serta cara membersihkan gigi (Samarrai, 2012, p. 1). 2.1.1 Etiologi Karies Ada tiga faktor utama yang memegang peranan yaitu faktor host atau tuan rumah, agen atau mikroorganisme, substrat atau diet dan ditambah faktor waktu, yang digambarkan sebagai tiga lingkaran yang bertumpang-tindih. Untuk terjadinya karies, maka kondisi setiap faktor tersebut harus saling mendukung xx

yaitu tuan rumah yang rentan, mikroorganisme yang kariogenik, substrat yang sesuai dan waktu yang lama (Decker, 2003, p.882). 1. Host a. Gigi Struktur enamel, dentin dan akar gigi sangat penting untuk diketahui. Pada beberapa area gigi tersebut rentan mengalami karies karena adanya perbedaan komposisi mineral. Selain itu, topografi gigi juga memegang peran penting dalam terbentuknya karies melalui perlekatan plak pada daerah tersebut (Baum,1997, p.). b. Saliva Saliva memainkan peran penting dalam pemeliharaan kesehatan oral dan menciptakan keseimbangan ekologi yang tepat. Saliva mengandung elektrolit seperti sodium, potassium, kalsium, magnesium, bikarbonat, fosfat, immunoglobulin, protein, enzim, mucin, urea dan ammonia. Komponen- komponen ini memodulasi: perlekatan bakteri pada oral plaque biofilm, ph dan kapasitas buffer saliva, sifat antibakterial, demineralisasi dan remineralisasi gigi. Kemampuan saliva untuk menyebabkan perkembangan karies gigi tergantung dari kuantitas dan komposisi dari sekresi saliva. ph saliva bisa asam atau basa dan kapasitas buffer menstabilkan ph saliva. Ketika kapasitas buffer menurun, maka ph saliva akan berubah menurun. ph yang menurun (menjadi asam) menyebabkan bakteri kariogenik tumbuh pesat sehingga terjadi proses demineralisasi (Hurlbutt, 2010, p.12; Hicks, 2003, p. 48). xxi

2. Bakteri Hasil penelitian menunjukkan komposisi mikroorganisme dalam plak berbeda-beda.pada awal pembentukan plak, kokus gram positif merupakan jenis yang paling banyak dijumpai seperti streptococcus mutans, streptococcus sanguis, streptococcus mitis dan streptococcus salivarius serta beberapa strain lainnya. Selain itu, ada juga penelitian yang menunjukkan adanya lactobacillus pada plak gigi. Pada penderita karies aktif, jumlah laktobasilus pada plak gigi berkisar 104 105 sel/mg plak. Walaupun demikian, streptococcus mutans yang diakui sebagai penyebab utama karies oleh karena streptococcus mutans mempunyai sifat asidogenik dan asidurik (resisten terhadap asam). Akumulasi plak menyebabkan mikroorganisme tersebut menghasilkan asam- asam pada permukaan gigi yang dapat mengeluarkan ion kalsium dan fosfat dari dalam kristal hidroksiapatit (mineral pembentuk enamel dan dentin) sehingga terjadi proses demineralisasi (Decker, 2003, p.882; Hicks, 2003, p. 51). 3. Diet makanan Faktor substrat atau diet dapat mempengaruhi pembentukan plak karena membantu perkembangbiakan dan kolonisasi mikroorganisme yang ada pada permukaan enamel. Selain itu, diet makanan dapat mempengaruhi metabolisme bakteri dalam plak dengan menyediakan bahan-bahan yang diperlukan untuk memproduksi asam serta bahan lain yang aktif yang menyebabkan timbulnya karies. Faktor makanan yang dihubungkan dengan terjadinya karies adalah jumlah fermentasi, konsentrasi dan bentuk fisik (bentuk cair, tepung, padat) dari karbohidrat yang dikonsumsi, retensi di mulut, frekuensi makan dan snacks serta lamanya interval waktu makan. Anak yang berisiko karies tinggi xxii

sering mengkonsumsi makanan minuman manis di antara jam makan (Angela, 2005, p.132). 4. Waktu Secara umum, karies dianggap sebagai penyakit kronis pada manusia yang berkembang dalam waktu beberapa bulan atau tahun. Lamanya waktu yang dibutuhkan karies untuk berkembang menjadi suatu kavitas cukup bervariasi, diperkirakan 6-48 bulan. Gambar 2.1 Skema karies sebagai penyakit multifaktorial (annonymus, 2002). 2.1.2 Patogenesis Komponen mineral pada enamel, dentin dan sementum adalah hidroksiapatit yang memiliki rumus kimia Ca 10 (PO4) 6 (OH) 2. Pertukaran ion mineral antara permukaan gigi dengan biofilm oral selalu terjadi setiap kali saat makan dan minum. Dalam keadaan normal, hidroksiapatit berada dalam kondisi seimbang dengan saliva yang tersaturasi oleh ion Ca 2+ dan PO 3-4. Hidroksiapatit akan reaktif terhadap ion- ion hidrogen pada ph 5,5 yang merupakan ph kritis bagi hidroksiapatit. Pada kondisi ph kritis tersebut, ion H + akan bereaksi dengan 3-3- ion PO 4 dalam saliva. Proses ini akan merubah PO 4 menjadi HPO 2-2- 4. HPO 4 xxiii

yang terbentuk kemudian akan mengganggu keseimbangan normal hidroksiapatit dengan saliva, sehingga kristal hidroksiapatit pada gigi akan larut. Proses ini disebut demineralisasi (Featherstone, 2008, p. 877). Proses demineralisasi dapat berubah kembali atau mengalami remineralisasi apabila ph ternetralisir dan dalam lingkungan tersebut terdapat ion Ca 2+ dan PO 4 3- yang mencukupi. Ion- ion Ca 2+ dan PO 4 3- yang terdapat dalam saliva dapat menghambat proses disolusi kristal kristal hidroksiapatit. Interaksi ini akan semakin meningkat dengan adanya ion flour yang dapat membentuk flourapatit. Flourapatit memiliki ph kritis 4,5 sehingga bersifat lebih tahan terhadap asam (Featherstone, 2008, p. 877). 2.1.3 Resiko Karies Menurut Hausen et al, risiko karies adalah peluang seseorang untuk mempunyai beberapa lesi karies selama kurun waktu tertentu. Tabel 2.1 Penilaian risiko karies menurut American Academy of Pediatrics Dentistry (Ami, 2005). Indikator risiko karies Kondisi klinis Resiko rendah Resiko sedang Resiko Tinggi Tidak ada gigi yang karies selama 24 bulan terakhir Tidak ada demineralisasi enamel (karies enamel white spot lesion) Terdapat satu area demineralisasi enamel (karies enamel white spot lesion) Ada karies selama 24 bulan terakhir xxiv Terdapat satu area demineralisasi enamel (karies enamel white spot lesion) Secara radiografi dijumpai karies enamel Dijumpai plak pada gigi anterior Tidak dijumpai Gingivitis Ada karies selama

Karakteristik lingkungan Keadaan kesehatan umum plak, tidak ada gingivitis Keadaan optimal dari penggunaan fluor secara sistemik dan topikal Mengkonsumsi sedikit gula atau makanan yang berkaitan erat dengan permulaan karies terutama pada saat makan Status sosial ekonomi yang tinggi Kunjungan berkala ke dokter gigi secara teratur Keadaan yang suboptimal pengguna fluor secara sistemik dan optimal pada penggunaan topikal aplikasi Sekali-sekali (satu atau dua) di antara waktu makan terkena gula simpel atau makanan yang sangat berkaitan terjadinya karies Status sosial ekonomi menengah Kunjungan berkala ke dokter gigi tidak teratur 12 bulan Banyak jumlah S. mutans Menggunakan alat ortodonti Penggunaan topikal fluor yang suboptimal Sering memakan gula atau makanan yang sangat berhubungan dengan karies di antara waktu makan Status sosial ekonomi yang rendah Karies aktif pada ibu Jarang ke dokter gigi Anak-anak dengan membutuhkan pelayanan kesehatan khusus Kondisi yang mempengaruhi aliran saliva 2.2 Obat Kumur Obat kumur memberikan formula yang sangat sederhana. Obat kumur biasanya dicampur dengan komponen aktif dalam air dan alkohol, dengan tambahan surfaktan dan perasa. Kebanyakan obat kumur mengandung agen antimikrobial yang cocok dengan formulanya (Fejerskov and Kidd, 2003, p. 270). 2.2.1 Chlohexidine xxv

Chlorhexidine glukonat adalah kationik bis-guanide dengan aktivitas antimikrobial spektrum luas. Obat kumur ini paling efektif untuk mengurangi plak dan gingivitis. Chlorhexidine dapat berinteraksi dengan fluoride dan natrium sulfat lauryl (deterjen dalam pasta gigi), harus digunakan setelah berkumur dengan air atau 0,5-2 jam setelah menggunakan pasta gigi (Farah et al, 2009, p. 162). Chlorhexidine mempunyai afinitas yang kuat terhadap struktur rongga mulut dan dapat mempengaruhi transportasi dinding sel dan jalur metabolik dari bakteri yang rentan. Chlorhexidine memiliki efek general pada mikroorganisme gram postif, khususnya streptococcus mutans. Sedangkan mikroorganisme gram negatif kurang sensitif terhadap chlorhexidine (GÖrankoch and Poulsen, 2009, p.99). Dosis umum yang diresepkan untuk obat kumur yang mengandung chlorhexidine adalah 10ml dari 0,2% solution, digunakan 2 kali sehari. Selain itu juga terdapat obat kumur yang mengandung 0,12% chlorhexidine (Fejerskov and Kidd, 2003, p. 271). Menurut ADA tahun 2011, obat kumur yang mengandung chlorhexidine 0,12% tidak mengurangi insiden dari karies koronal maupun akar. Obat kumur yang mengandung chlorhexidine 0,2% memiliki efek anti bakteri. Pada penelitian sebelumnya dikatakan terdapat pengurangan sebesar 30 50% koloni streptcoccus mutans setelah berkumur dengan 10ml obat kumur yang mengandung 0,2% chlorhexidine pada sekali pemakaian (ADA, 2011, p. 32; Nidhi and Manohar, 2011, p. 190). xxvi

Chlorhexidine menurunkan aktifitas metabolik pada biofilm, sehingga menurunkan serangan asam setelah konsumsi sukrosa ataupun glukosa. Chlorhexidine juga dapat menghambat enzim glucosyltransferase yang sangat penting untuk akumulasi bakteri di permukaan gigi, dan juga enzim metabolik phospoenolpyruvvat phospotransferase yang ikut terlibat dalam transpor dan fosforilasi glukosa melewati membran (Fejerskov and Kidd, 2003, p. 271). 2.2.2 Fluoride Gigi merupakan jaringan yang termineralisasi. Permukaan gigi yang dapat terlihat disebut enamel, terdiri dari 96-98% hydroxyapatite: Ca 10 (PO 4 ) 6 (OH) 2. Fluoride merupakan pencegahan yang efektif pada tanda awal dari karies. Pada paparan ion fluor, hydroxyapatite akan diubah menjadi fluoridated apatite dan fluoroapatite: Ca 10 (PO 4 ) 6 (OH) 2 + F - Ca 10 (PO 4 ) 6 (OH)F + OH - Hydroxyapatite fluoridated apatite Ca 10 (PO 4 ) 6 (OH)F + F - Ca 10 (PO 4 ) 6 (OH)F 2 + OH - fluoridated apatite fluoroapatite Senyawa terakhir tersebut kurang larut terhadap asam dan berfungsi untuk melindungi gigi dari asam yang dibentuk oleh bakteri dalam mulut. Asam terbentuk ketika bakteri dalam plak yang memetabolisme gula dan karbohidrat dari makanan. Asam yang terakumulasi ini akan merusak gigi dan menyebabkan kavitas. Fluoride juga bertindak untuk memperbaiki, atau remineralisasi pada daerah di mana terdapat asam. Efek remineralisasi fluoride sangat penting karena xxvii

dapat membuat permukaan gigi menjadi lebih resisten terhadap asam (Rakita, 2010, p.3). Demineralisasi terjadi ketika terdapat ketidakseimbangan antara proses kehilangan dan penggantian mineral gigi. Fluoride dapat berinteraksi dengan proses ini dalam beberapa cara. Interaksi fluoride dengan komponen mineral gigi akan menghasilkan fluorohydroxyapatite (FHA) oleh substitusi F - dengan OH -. Hal ini menyebabkan peningkatan ikatan hidrogen, pori-pori kristal yang lebih kecil dan penurunan kelarutan secara keseluruhan. Penggabungan fluoride ke pori-pori hydroxyapatite (HA) dapat terjadi pada saat terbentuknya gigi atau dengan pertukaran ion setelah gigi erupsi. Penurunan kelarutan akan semakin meningkat dengan penggabungan fluoride dalam jumlah yang besar. Selain untuk melindungi terhadap demineralisasi, cara lain di mana fluoride dapat berinteraksi dengan enamel untuk mengurangi kelarutan yaitu melalui remineralisasi. Akan terjadi suatu proses di mana sebagian enamel kristal terlarut bertindak sebagai substrat bagi endapan mineral dari fase larut yang memungkinkan perbaikan parsial dari kristal yang rusak. Oleh karena itu, remineralisasi akan melawan beberapa demineralisasi dan memberikan keseimbangan antara dua proses tersebut. Lesi karies merupakan hasil dari demineralisasi yang lebih besar dari remineralisasi (Wefel, 2011, pp. 3-4). Hasil dari proses remineralisasi adalah terbentuknya apatit yang tidak mudah larut. Ketika terdapat fluoride, akan terbentuk FAP atau setidaknya (FHAP) yang menghasilkan mineral yang lebih tahan asam (Wefel, 2011, pp. 3-4). xxviii

Fluoride dapat mengurangi karies dengan membantu mencegah demineralisasi dan merangsang remineralisasi pada lesi awal karies. Kuncinya adalah mengurangi hilangnya mineral selama dalam keadaan asam, dan mengembalikan mineral ke gigi. Hal ini dapat dicapai dengan adanya fluoride, kalsium dan posphat pada gigi selama dalam keadaan asam. Ketika topikal fluoride diaplikasikan ke gigi, akan terbentuk globula kalsium fluoride pada permukaan gigi, yang dapat diamati dengan mikroskop elektron. Globula ini efektif untuk membantu mencegah demineralisasi dan merangsang remineralisasi dengan melepaskan kalsium, fosfat dan fluoride setelah terjadi keadaan asam (Collin, 2009, p. 5). Pada penelitian sebelumnya, dijelaskan bahwa pengaplikasian topikal fluoride dengan konsentrasi yang lebih tinggi dan lebih lama dapat meningkatkan jumlah fluoride yang dilepaskan. Apabila keadaan ini dapat dipertahankan pada permukaan gigi sebelum dan selama keadaan asam, dapat membantu mencegah migrasi kalsium dan phospat dari gigi dan juga mengurangi potensi demineralisasi (Collin, 2009, p. 6). Fluoride juga mempunyai efek antibakteri. Fluoride dapat menghambat metabolisme bakteri. Fluoride terdapat dalam bentuk ion F -. Ion tersebut tidak dapat menembus dinding dan membran sel bakteri. Pada saat ph plak menurun, ion F - akan bergabung dengan ion H +. Kemudian akan terbentuk senyawa HF dan akan berdifusi pada sel. Setelah masuk, akan dilepaskan ion F - yang merupakan toksik bagi sel bakteri dan akan mempengaruhi sistem enzim (Islam et al, 2007, p. 203). xxix

Obat kumur berfluoride digunakan untuk pemakaian harian yaitu 0,05% NaF atau mingguan 0,2% NaF digunakan untuk anak di atas usia 6 tahun karena kemampuan berkumurnya telah baik. Obat kumur dengan 0,05% NaF dapat dibeli secara bebas, sedangkan obat kumur 0,2% NaF harus menggunakan resep (Spolsky et al, 2007, pp. 728-729). Dari perspektif mekanis, obat kumur berfluoride lebih dapat meningkatkan retensi fluoride daripada pasta gigi berfluoride, tergantung pada aktivitas selama 2 jam setelah aplikasi. Pada kebanyakan kasus, berkumur dengan air keran setelah menyikat gigi akan mengurangi retensi fluoride. Berdasarkan penemuan dari Domenick T, 2006, menyarankan kombinasi dari pasta gigi berfluoride dengan diikuti penggunaan obat kumur berfluoride (Zero, 2006, pp.7). 2.2.3 Povidone Ioidine Povidone iodine merupakan microbicidal untuk bakteri gram positif dan gram-negatif, jamur, mycobacteria, virus, dan hewan protozoa. Tidak seperti chlorhexidine, povidone iodine memberikan efek lethal dengan cara kontak langsung dengan dinding sel mikroba. 10% povidone iodine menghasilkan 1% iodine aktif. Iodine efektif melawan streptococcus mutans dan lactobacillus pada anak-anak (Spolsky et al, 2010, pp. 726-727 ). Menurut penelitian Spolsky et al, 10% povidone iodine diberikan secara topikal sebagai profilaksis sebelum prosedur bedah pada kelompok resiko karies tinggi untuk mencegah timbulnya karies yang baru. Menurut Jayaraja et al, povidone iodine dengan konsentrasi sebesar 10% digunakan untuk topikal aplikasi. Sedangkan povidone iodine dengan konsentrasi 1% berupa obat kumur xxx

untuk infeksi rongga mulut (Kumar et al, 2009, p. 55; Spolsky et al, 2007, pp. 728-729). Untuk pencegahan karies gigi, jumlah streptococcus mutans harus dikurangi dan dicegah untuk kembali ke tingkat awalnya. Antibakterial agent yang efektif dan juga dapat diterima untuk anak-anak dapat membantu untuk memberikan lingkungan oral yang baik dan menghentikan proses karies. Pada anak-anak dengan ECC, 10% povidone iodine diaplikasikan dalam interval 3 bulan selama periode satu tahun telah menghasilkan pengurangan yang signifikan dalam streptococcus mutans (Kumar et al, 2011, p. 619). Penyerapan iodine yang signifikan melalui mukosa oral dapat membuat senyawa ini menjadi kurang menguntungkan untuk penggunaan jangka panjang pada rongga mulut. Hal ini juga dapat menimbulkan masalah pada individu yang sensitif terhadap iodine. Pada kombinasi dengan obat kumur yang mengandung chlorhexidine dan essential oil akan memberikan reversible staining dan rasa yang tidak enak (Kumar et al, 2011, p. 619). 2.3 Streptococcus mutans Streptococcus mutans dianggap sebagai salah satu bakteri yang merupakan penyebab awal karies gigi geligi. Hal ini dikarenakan bakteri ini mempunyai variasi faktor-faktor virulen yang khas sehingga berperan penting pada proses pembentukan karies gigi geligi. Bakteri ini merupakan bakteri anaerob yang dapat memproduksi asam laktat sebagai bagian dari hasil metabolismenya. Streptococcus mutans juga memiliki kemampuan untuk melekat pada permukaan gigi geligi karena adanya sukrosa (Simon, 2007, pp. 1-17). xxxi

Sel streptococcus mutans berbentuk bulat & oval serta merupakan kokus gram positif. Koloni streptococcus mutans, tampak gambaran yang berpasangan atau membentuk rantai, tidak bergerak, dan tidak membentuk spora. Bakteri ini mempunyai metabolisme yang bersifat anaerob. Jika bakteri ini ditanamkan didalam media yang solid, maka bakteri ini akan berbentuk kasar, runcing, dan berkoloni mukoid. Dalam proses tumbuh kembangnya akan membentuk CO2 jika dilakukan inkubasi didalam suhu 37 o selama 48 jam. Dalam rongga mulut, streptococcus mutans pada umumnya hidup pada permukaan yang keras dan juga solid. Permukaan-permukaan tersebut antara lain adalah permukaan gigi, gigi tiruan, ataupun alat ortodonti cekat. Habitat utama streptococcus mutans ini adalah permukaan gigi, namun mereka tidak dapat tumbuh secara bersamaan pada seluruh permukaan gigi, melainkan hanya tumbuh pada permukaan gigi tertentu saja (Regina, 2007, pp. 19-24). xxxii