INTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1999 TENTANG PEMBAHARUAN KEBIJAKSANAAN PENGELOLAAN IRIGASI PRESIDEN REBUBLIK INDONESIA,

dokumen-dokumen yang mirip
PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 77 TAHUN 2001 TENTANG I R I G A S I

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 77 TAHUN 2001 TENTANG I R I G A S I

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 77 TAHUN 2001 TENTANG IRIGASI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hasil pertanian. Jumlah penduduk Idonesia diprediksi akan menjadi 275 juta

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG

ORGANISASI IRIGASI DALAM OPERASIONAL DAN PERAWATAN IRIGASI i

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BREBES NOMOR 13 TAHUN 2008 TENTANG

RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) DIREKTORAT PERLUASAN DAN PENGELOLAAN LAHAN TA. 2014

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 28 TAHUN 2010 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEPARA,

PEMERINTAH KABUPATEN LUWU TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 14 TAHUN 2010 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 77 TAHUN 2001 TENTANG I R I G A S I PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. pemeliharaan yang dilakukan. Seperti halnya yang terjadi di Bali.

NO SERI. C PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA BARAT NOMOR : 2 TAHUN 2004 TENTANG I R I G A S I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI TENGAH NOMOR : 02 TAHUN 2009 TENTANG I R I G A S I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SULAWESI TENGAH,

I. PENDAHULUAN. menggalakkan pembangunan dalam berbagai bidang, baik bidang ekonomi,

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURBALINGGA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2006 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PROFIL BADAN KETAHANAN PANGAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2006 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2006 TENTANG IRIGASI

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2006 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PEMERINTAH KABUPATEN CILACAP PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR 1 TAHUN 2009

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PEMERINTAH KABUPATEN SINJAI PERATURAN DAERAH KABUPATEN SINJAI NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG I R I G A S I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB 2 DASAR KEBIJAKAN BAGI PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI. 2.1 Rencana Pembangunan Nasional dan Regional

Artikel Perencanaan Pembangunan Daerah Karya : Said Zainal Abidin BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

PEMERINTAH KABUPATEN SUMBAWA BARAT

RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) DIREKTORAT PENGELOLAAN AIR IRIGASI TA. 2014

PERATURAN DAERAH PROVINSI BANTEN NOMOR 15 TAHUN 2008 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANTEN,

1. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1950 tentang Pembentukan Propinsi Jawa Barat (Berita Negara tanggal 4 Juli Tahun 1950);

BAB VI STRATEGI DAN KEBIJAKAN

BAB I PENDAHULUAN. investasi. Dengan demikian nilai modal ( human capital ) suatu bangsa tidak hanya

KEPUTUSAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR : 50 TAHUN 2001 TENTANG PEDOMAN PEMBERDAYAAN PERKUMPULAN PETANI PEMAKAI AIR MENTERI DALAM NEGERI,

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 21 TAHUN 2010 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, GUBERNUR SUMATERA SELATAN,

WALIKOTA MADIUN SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 13 TAHUN 2012 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN DAN PEMBERDAYAAN HIMPUNAN PETANI PEMAKAI AIR

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 15 Tahun : 2012 Seri : E

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 1999 TENTANG ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMBAWA NOMOR 19 TAHUN 2007 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI BARAT NOMOR 13 TAHUN 2009 TENTANG I R I G A S I

PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 22 TAHUN 2007 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI INDRAMAYU,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 52 TAHUN 2001 TENTANG PENYELENGGARAAN TUGAS PEMBANTUAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

/_?,tr"_:r:?7. lcfld PEMBAHARUAN KEBIJAKSANAAN PENGELOLAAN IRIGASI *)

PERATURAN DAERAH KABUPATEN REMBANG NOMOR 9 TAHUN 2007 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI REMBANG,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 14 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG BARAT,

PERATURAN WALIKOTA KEDIRI NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG SISTEM MANAJEMEN PEMBANGUNAN PARTISIPATIF KOTA KEDIRI

KEBIJAKAN PENDANAAN KEUANGAN DAERAH Oleh: Ahmad Muam

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG PENGAMANAN PRODUKSI BERAS NASIONAL DALAM MENGHADAPI KONDISI IKLIM EKSTRIM

KEPUTUSAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR : 50 TAHUN 2001 TENTANG PEDOMAN PEMBERDAYAAN PERKUMPULAN PETANI PEMAKAI AIR MENTERI DALAM NEGERI,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PEMERINTAH KABUPATEN SRAGEN

BAB I PENDAHULUAN. lipat pada tahun Upaya pencapaian terget membutuhkan dukungan dari

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2009 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN KAWASAN PERKOTAAN

BUPATI KEPULAUAN SELAYAR PROVINSI SULAWESI SELATAN

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG IRIGASI

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Otonomi daerah adalah suatu pemberian hak dan kewajiban kepada daerah

BAB I PENDAHULUAN. memberikan proses pemberdayaan dan kemampuan suatu daerah dalam. perekonomian dan partisipasi masyarakat sendiri dalam pembangunan

BUPATI BANGLI, PROVINSI BALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGLI NOMOR 8 TAHUN 2016 TENTANG

SAMBUTAN KEPALA BAPPENAS Dr. Djunaedi Hadisumarto

WALIKOTA TASIKMALAYA,

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2013 NOMOR 4 SERI E

PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN TEMANGGUNG NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. penting yang dilakukan yaitu penggantian sistem sentralisasi menjadi

BAB I PENDAHULUAN. pengertian dari irigasi adalah usaha penyediaan, pengaturan, dan pembuangan air

PEMERINTAH KABUPATEN BULUKUMBA

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal bukan konsep baru di Indonesia.

I. PENDAHULUAN. Jawa Barat. Daerah Irigasi Jatiluhur dibangun oleh Pemerintah Republik

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN POLEWALI MANDAR TAHUN 2008 NOMOR 2 PERATURAN DAERAH KABUPATEN POLEWALI MANDAR NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. sekarang telah dikembangkan seluas Ha yang terdiri dari irigasi

PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARAWANG NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

III. KERANGKA PENDEKATAN STUDI DAN HIPOTESIS

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 29 TAHUN 2008 TENTANG I R I G A S I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANTUL,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

- 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi berasal dari kata autonomos atau autonomia (yunani) yang

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CIREBON

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

VISI DAN MISI PEMBANGUNAN TAHUN A. VISI DAN MISI PEMBANGUNAN TAHUN

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 123 TAHUN 2001 TENTANG TIM KOORDINASI PENGELOLAAN SUMBERDAYA AIR PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGGAI NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG PENGEMBANGAN DAN PENGELOLAAN SISTEM IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 52 TAHUN 2001 TENTANG PENYELENGGARAAN TUGAS PEMBANTUAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR

PEMERINTAH KABUPATEN MALANG

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2003 TENTANG PAKET KEBIJAKAN EKONOMI MENJELANG DAN SESUDAH BERAKHIRNYA

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DAN UPAYA PENINGKATANNYA DALAM PENGELOLAAN JARINGAN IRIGASI MENDUT KABUPATEN SEMARANG TUGAS AKHIR

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 175 TAHUN 2000 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI DAN TUGAS MENTERI NEGARA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah yang dikelola dan diatur dengan baik akan menjadi pemerintahan

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30/PRT/M/2015 TENTANG PENGEMBANGAN DAN PENGELOLAAN SISTEM IRIGASI

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 1999 TENTANG ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Transkripsi:

1 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA INTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1999 TENTANG PEMBAHARUAN KEBIJAKSANAAN PENGELOLAAN IRIGASI PRESIDEN REBUBLIK INDONESIA, Menimbang : 1. bahwa pengelolaan irigasi adalah salah satu faktor pendukung utama bagi keberhasilan pembangunan pertanian terutama dalam rangka peningkatan serta perluasan tujuan pembangunan pertanian dari program swasembada beras menjadi swasembada pangan; 2. bahwa Pemerimtahan telah mencanangkan pokok-pokok pembaharuan kebijaksanaan pengelolaan irigasi, petani pemakai air sesuai dengan hakekat pembangunan dari, oleh dan untuk masyarakat; 3. bahwa agar pokok-pokok pembaharuan kebijaksanaan pengelolaan irigasi tersebut dapat mencapai sasaran tepat guna, dipandang perlu mengintruksikan kepada Menteri Pekerjaan Umum sebagai ketua Tim Koordinasi Kebijaksanaan Pendayagunaan Sungai dan Pemeliharaan Kelestarian Daerah Aliran Sungai untuk Mengambil langkah-langkah pelaksanaannya; Mengingat : 1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945; 2. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 65, Tambahan lembaran Negara Nomor 3046); 3. Peraturan Pemerintahan Nomor 23 Tahun 1982 tentang Irigasi (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3226); 4. Keputusan Presiden Nomor 9 Tahun 1999 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Kebijakssanaan Pendayagunaan Sungai dan Pemeliharaan kelestarian Daerah aliran Sungai;

Mengintruksikan : 2 Kepada : Menteri Pekerjaan Umum Sebagai Ketua Tim Koordinasi Kebijaksanaan Pendayagunaan Sungai dan Pemeliharaan daerah Aliran sungai. Untuk : Pertama : Mengkoordinasikan penyiapan peraturan perundang-undangan serta langkah-langkah yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan pembaharuan kebijaksanaan pengelolaan irigasi. Kedua : Pembaharuan kebijaksanaan pengelolaan irigasi sebagaimana dimaksud dalam diktum PERTAMA meliputi: 1. Pengaturan kembali tugas dan tanggung jawab lembaga pengelola irigasi, dengan memberikan peran yang lebih besar kepada masyarakat petani sebagai pengambil keputusan di dalam pengelolaan jaringan irigasi yang menjadi tanggung jawabnya. 2. Pemberdayaan masyarakat petani pengelola air melalui pengembangan kelembagaan Perkumpulan Petani Pemakai Air yang otonom, mandiri dan mengakar dimasyarakat, bersifat sosial budaya dan berwawasan lingkungan, serta pemberian kemudahan dan peluang kepada masyarakat petani untuk secara demokratis membentuk unit usaha ekonomi dan bisnis yang berbadan hukum ditingkat usaha tani. 3. Pengaturan penyerahan pengelolaan irigasi secara bertahap, selektif, dan demokratis kepada Perkumpulan Petani Pemakai Air dengan prinsif satu jaringan irigasi satu kesatuan pengelolaan, dan untuk jaringan irigasi yang belum diserahkan kepada Perkumpulan Petani Pemakai Air, pengelolaan dan pembiayaannya dilakukan secara bersama antara Pemerintah dengan Perkumpulan Petani Pemakai Air secara joint management sampai pengelolaan dan pembiayaan dapat diserahkan sepenuhnya kepada Perkumpulan Petani Pemakai Air. 4. Penggalian sumber pendapatan untuk membiayai operasi dan pemeliharaan, rehabilitasi dan pembangunan prasaranan irigasi yang dikumpulkan, dikelola dan ditetapkan pengunaannya oleh Perkumpulan Petani Pemakai Air yang bersangkutan melalui pemberlakuan iuran pelayanan air irigasi secara serentak untuk seluruh jaringan irigasi di Indonesia.

5. Penetapan kebijaksanaan umum tentang kelestarian sumberdaya air dan pencegahan alih fungsi lahan beririgasi, sehingga berkelanjutan jaringan irigasi dapat terjaga. 3 Instruksi Presiden ini mulai berlaku pada tanggal dikeluarkan Dikeluarkan di Jakarta Pada tanggal 26 April 1999 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE Salinan sesuai dengan aslinya SEKRETARIAT KABINET RI Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan I Lambock V. Nahattands

PENJELASAN PEMBAHARUAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN IRIGASI INPRES NO.3. TAHUN 1999 4 Latar Belakang 1. Krisis moneter yang kemudian berkembang menjadi krisis ekonomi yang menimpa bangsa Indonesia, telah membuka kesadaran kembali bahwa peran sektor pertanian dalam struktur perekonomian nasional sangatlah strategis. Mengingat kegiatan pertanian tidak dapat terlepas dari air, maka irigasi sebagai salah satu sektor pendukung keberhasilan pembangunan pertanian akan tetap mempunyai peran yang sangat penting. 2. Adanya perubahan tujuan pembangunan pertanian dari meningkatkan produksi untuk swasembada beras menjadi melestarikan swasembada pangan, meningkatkan pendapatan petani dan meningkatkan kesempatan kerja di pedesaan, serta perbaikan gizi keluarga, menuntut penyesuaian-penyesuaian arah dan langkah kerja kegiatan dan pendekatan pembangunan keirigasian. 3. Adanya pergeseran nilai air, dari sumberdaya milik bersama (public goods) yang melimpah dan dapat dikonsumsi tanpa biaya, menjadi sumberdaya ekonomi (economic goods) yang mempunyai fungsi sosial; terjadinya kerawanan ketersediaan air secara nasional; adanya persaingan pemanfaatan air antara irigasi dengan penggunaan oleh sektor-sektor lain; dan konversi lahan beririgasi untuk kepentingan lainnya, memerlukan adanya kebijakan kebijakan pengelolaan irigasi yang efektif, sehingga keberlanjutan sistem irigasi dan hak-hak atas air bagi semua pengguna dapat terjamin. 4. Mengingat irigasi tidak terlepas dari pengelolaan sumberdaya air secara keseluruhan, maka reformasi kebijakan dalam bidang keirigasian harus dilaksanakan secara simultan dan konsisten dengan reformasi pengelolaan sumberdaya air secara keseluruhan. 5. Pelaksanaan pembangunan dan pengelolan irigasi yang dilakukan selama ini mempunyai berbagai kelemahan yang ditunjukkan oleh rendahnya partisipasi masyarakat, rendahnya efisiensi dan efektifitas pengelolaan dan cepatnya terjadi kerusakkan pada jaringan irigasi. 6. Pendekatan atas bawah (top down) di dalam pembangunan keirigasian, tidak sesuai dengan sifat irigasi yang memiliki karakteristik sosioteknis. Dengan pendekatan atas bawah ters

5 7. ebut, Perkumpulan Petani Pengelola Air (P3A) --- yang diharapkan dapat memainkan peran yang lebih besar dalam pengelolaan irigasi --- belum berkembang sesuai yang diharapkan. 8. Belum berhasilnya upaya mendorong berkembangnya kelembagaan petani, keterbatasan dana dan efektifitas dan efisiensi penggunaannya, dan keterbatasan sumberdaya manusia pelaksananya telah menyebabkan pelaksanaan O&P irigasi belum optimal sehingga menyebabkan kebutuhan rehabilitasi meningkat. 9. Dalam kaitan dengan pendanaan O&P, keikutsertaan petani melalui pengumpulan IPAIR belum berjalan dengan efektif. Mekanisme dan pengorganisasian IPAIR yang dirasakan cukup rumit, iuran P3A dan IPAIR yang diorganisasikan oleh lembaga yang berbeda sehingga petani merasa membayar iuran air dua kali, transparansi dan akuntabilitas dalam penggunaannya yang masih rendah, dan manfaat IPAIR yang belum dirasakan secara langsung oleh petani merupakan beberapa faktor utama yang menyebabkan rendahnya keberhasilan pengumpulan IPAIR ini. 10. Program Penyerahan Irigasi Kecil (PIK) kepada P3A yang telah dilaksanakan sejak tahun 1988, belum berjalan seperti yang diharapkan. Hal ini diantaranya disebabkan oleh belum adanya kesamaan pemahaman tentang makna dan tujuan penyerahan irigasi antara pemerintah dengan petani, metoda pelaksanaan penyerahan yang belum sepenuhnya partisipatif dan kurangnya dukungan dan pembinaan pada periode pasca penyerahan. 11. Untuk mencapai keberlanjutan sistem irigasi, diperlukan penataan kembali tugas dan tanggung jawab pemerintah dan petani dalam pengelolaan irigasi dan pengembangan organisasi P3A yang dapat berperan dalam memberdayakan ekonomi anggotanya, bersifat otonom, mandiri dan menjadi pengambil keputusan yang menyangkut pelaksanaan pengelolaan sistem irigasi dengan tetap memperhatikan kepentingan negara dan kepentingan pengguna air lainnya. 12. Sesuai dengan semangat reformasi, maka diperlukan adanya perubahan paradigma untuk melaksanakan kegiatan keirigasian, dengan sistem nilai sebagai berikut : Peningkatan kesejahteraan petani Pemanfaatan irigasi bukan hanya untuk tanaman padi Desentralisasi, debirokratisasi dan devolusi Demokratisasi, partisipasi dan pemberdayaan petani

Akuntabilitas dan transparansi 6 Efisiensi dan efektifitas Keberlanjutan dan berwawasan lingkungan Terintegrasi dengan kegiatan pembangunan lainnya (holistik) Satu sistem irigasi -- satu sistem pengelolaan 13. Dengan merujuk dasar pemikiran di atas, dan dalam upaya menyempurnakan Kebijaksanaan Operasi dan Pemeliharaan Irigasi 1987 (IOMP 1987), pemerintah berketetapan untuk melakukan reformasi kebijakan pembangunan dan pengelolaan irigasi sebagai berikut : Redefinisi tugas dan tanggung jawab lembaga pengelola irigasi Pengembangan kelembagaan P3A Penyerahan pengelolaan irigasi kepada P3A IPAIR dan Pembiayaan O&P, rehabilitasi sitem irigasi Keberlanjutan sistem irigasi dan pembangunan baru. Kebijakan 1: Redefenisi tugas dan tanggung jawab lembaga pengelola irigasi. Untuk melaksanakan kegiatan keirigasian yang lebih efektif dan efisien, pemerintah akan melakukan pengaturan kembali (redefinisi) tugas dan tanggung jawab lembaga pengelola irigasi dari pusat, propinsi, kabupaten/kota sampai ke tingkat petani, dengan menempatkan P3A sebagai pengambil keputusan di dalam pengelolaan sistem irigasi yang menjadi tanggung jawabnya. Sebagai perwujudan dari kebijakan pemerintah untuk melakukan desentralisasi dan otonomi yang luas; maka pemerintah pusat, propinsi, kabupaten/kota bertanggung jawab atas pemberian air baku, pelayanan dan pembinaan kepada P3A sesuai dengan kewenangannya. Sasaran : 1. Meningkatnya efektifitas dan efisiensi pengelolaan irigasi.

7 2. Adanya kejelasan tugas dan tanggung jawab dari masing-masing lembaga yang bergerak di dalam bidang keirigasian. 3. Menjadikan P3A sebagai organisasi yang mempunyai otoritas di dalam pengambilan keputusan untuk sistem irigasi yang menjadi tanggung jawabnya. 4. Meningkatkan efisiensi dan efektifitas penggunaan dana dan memperpendek jalur birokrasi dengan lebih mendekatkan pengambil keputusan kepada masalah dan kebutuhan nyata di lapangan. 5. Lebih terciptanya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan irigasi. 6. Tersebarnya sumberdaya manusia dengan kualifikasi yang sesuai ke pemerintah kabupaten/kota dan ke tingkat P3A. 7. Terciptanya suasana yang kondusif bagi tumbuh dan berkembangnya P3A. Kebijakan II : Mengembangkan Kelembagaan P3A. Sasaran : Untuk mewujudkan kelembagaan P3A yang otonom, mandiri, mengakar di masyarakat, bersifat sosial-budaya dan berwawasan lingkungan, pemerintah akan memberikan kemudahan dan peluang kepada masyarakat untuk secara demokratis membentuk organisasi/unit usaha ekonomi dan bisnis yang berbadan hukum di tingkat usahatani sesuai dengan pilihannya yang dapat mewakili kepentingan seluruh anggotanya untuk berhubungan dengan fihak luar (seperti Koperasi, Usaha kecil dan lain-lain); menyalurkan aspirasi dalam memanfaatkan sumberdaya produksi termasuk sumberdaya air dan pengelolaan sistem irigasi dengan asas kedaulatan, dan kemandirian dalam bidang sosial dan ekonomi 1. Terbentuknya organisasi dan institusi petani yang dapat melakukan pengelolaan sistem irigasi secara lebih efisien, efektif, memenuhi kepuasan anggota, mensejahterakan anggotanya, mempunyai otoritas, otonom, mandiri dan mempunyai kesetaraan kedudukan dengan organisasi-organisasi lainnya. 2. Terbentuknya P3A dengan prinsip satu sistem irigasi satu pengelolaan ( One irrigation system one management ) 3. Terbentuknya P3A sebagai lembaga yang mewakili petani di dalam Panitia Irigasi, PPTPA, PTPA dan dengan fihak lainnya.

8 4. Meningkatnya kapasitas finansial P3A sehingga mampu membiayai dan melaksanakan pengelolaan sistem irigasi yang menjadi tanggung jawabnya. 5. Terciptanya iklim yang kondusif bagi pemberdayaan petani dan P3A melalui pelatihan-pelatihan, pendekatan partisipatif dan peningkatan kesejahteraan petani. 6. Terjaminnya hak guna air bagi petani yang diberikan sebagai hak kolektif melalui P3A, sesuai dengan rencana alokasi yang disepakati bersama. Kebijakan III: Menyerahkan Pengelolaan Irigasi Kepada Petani. Dengan berpegang kepada prinsip satu sistem irigasi satu kesatuan pengelolaan (One irrigation system, one management) pemerintah akan menyerahkan peran pengelolaan OP irigasi dan pembiayaan pengelolaan irigasi untuk seluruh sistem irigasi kepada P3A secara bertahap, selektif dan demokratis. Untuk sistem irigasi yang belum diserahkan kepada P3A, pengelolaan dan pembiayaannya dilakukan secara bersama antara pemerintah dengan P3A, secara joint-management sampai pengelolaan dan pembiayaan dapat diserahkan sepenuhnya. Walaupun suatu sistem irigasi sudah diserahkan, pemerintah tetap berperan di dalam melakukan monitoring, evaluasi ( audit teknis dan pembiayaan) dan memberikan bantuan teknis dan bantuan pembiayaan untuk hal-hal yang tidak dapat ditanggulangi oleh petani. Sasaran: 1. Diserahkannya pengelolaan semua sistem irigasi pemerintah kepada P3A secara bertahap dan selektif. 2. Terjaga dan meningkatnya kinerja sistem irigasi, baik yang sudah diserahkan, maupun yang dikelola bersama oleh pemerintah dan P3A secara berkelanjutan. 3. Adanya mekanisme pengelolaan irigasi bersama (joint- management) untuk sistem irigasi yang belum sepenuhnya diserahkan kepada P3A, dengan prinsip kesetaraan, transparansi dan akuntabiltas. 4. Meningkatnya partisipasi dan tanggung jawab masyarakat dalam pengelolaan irigasi.

9 Kebijakan IV : IPAIR dan Pembiayaan Pengelolaan Sistem Irigasi Pembiayaan O&P, rehabilitasi dan pembangunan sistem irigasi di wilayah kerja P3A menjadi tanggung jawab P3A yang bersangkutan. Pembiayaan O&P, rehabilitasi dan pembangunan sistem irigasi di suatu wilayah kerja P3A dan pembiayaan lain yang berkaitan dengan joint management dan alokasi air yang menjadi tanggung jawab petani dibiayai dengan dana IPAIR. Pemungutan, pengelolaan dan penggunaan IPAIR tersebut dilakukan oleh P3A yang bersangkutan. Pemberlakukan IPAIR dilakukan secara serentak untuk seluruh sistem irigasi di Indonesia. Mengingat irigasi mempunyai peran yang strategis dalam pembangunan pertanian, terutama dalam menunjang produksi beras, maka pemerintah tetap bertanggung jawab membantu dalam pembiayaan pembangunan irigasi dan membantu pembiayaan pengelolaan sistem irigasi apabila diperlukan oleh P3A. Sasaran : 1. Adanya kejelasan penanggung jawab terhadap pembiayaan pengelolaan sistem irigasi. 2. Tersedianya dana untuk pengelolaan sistem irigasi dan keperluan pembiayaan lainnya yang sesuai dengan kebutuhan nyata di lapangan. 3. Adanya satu macam iuran yang sederhana, transparan, dapat dikontrol dan dirasakan manfaatnya secara langsung oleh petani. 4. Meningkatnya kemampuan P3A dalam mengumpulkan iuran dan mengelola penggunaannya. 5. Tumbuhnya sikap bertanggung jawab dari petani dan P3A terhadap kelestarian sistem irigasi melalui pembayaran IPAIR. Kebijaksanaan V: Keberlanjutan Sistem Irigasi.

10 Mengingat investasi yang telah dilakukan oleh pemerintah untuk kegiatan keirigasian sangat besar (pembangunan, O&P, rehabilitasi, pengembangan kelembagaan dsb.) maka pemerintah akan menjaga kelestarian sumberdaya air dan mencegah terjadinya alih fungsi lahan beririgasi untuk kepentingan lain dengan mengeluarkan kebijakan makro dan melaksanakannya secara konsekuen sehingga keberlanjutan sistem irigasi dapat terjaga. Untuk mempertahankan keberlanjutan sistem irigasi maka petani/masyarakat setempat diikutsertakan dalam setiap tahapan kegiatan pembangunan irigasi. Langkah-langkah memperthankan keberlanjutan sistem irigasi, ditempuh dengan mengikuti prioritas kegiatan sebagai berikut: peningkatan kinerja pengelolaan, rehabilitasi, dan pembangunan baru yang pelaksanaannya didasarkan kepada kebutuhan (demand based). Sasaran: 1. Keberlanjutan sistem irigasi. 2. Disusunnya rencana strategis (strategic planning) pengembangan sumberdaya air pada tingkat satuan wilayah sungai (SWS). 3. Dipersiapkannya kebijaksanaan dan ditegakkannya aturan RUTR untuk menghindari konversi lahan yang tidak sesuai dengan peruntukannya. 4. Ditetapkannya mekanisme pengembalian investasi pemerintah jika terjadi alih fungsi lahan beririgasi.