BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Industri Barang Konsumsi merupakan salah satu bagian dari Perusahaan Manufaktur yang ada di Indonesia. Industri Barang Konsumsi masih menjadi pilihan utama para investor dalam mengivestasikan dana mereka. Hal itu dikarenakan saham-saham dari perusahaan-perusahaan dalam Industri Barang Konsumsi yang masih menawarkan potensi kenaikan. Dan juga Industri Barang Konsumsi terdiri dari 5 sub sektor, yakni Sub Sektor Makanan Dan Minuman, Sub Sektor Rokok, Sub Sektor Farmasi, Sub Sektor Kosmetik Dan Barang Rumah Tangga, Dan Sub Sektor Peralatan Rumah Tangga. Seluruh sub sektor yang ada pada Industri Barang Konsumsi merupakan para produsen dari produk-produk kebutuhan mendasar konsumen, seperti makanan, minuman, obat, daging, dan produk toiletries. Produk-produk yang dihasilkan tersebut bersifat konsumtif dan disukai orang sehingga para produsen dalam industri ini memiliki tingkat penjualan yang tinggi yang berdampak pula pertumbuhan sektor industri ini. Berdasarkan www.bps.go.id, Sektor Industri Barang Konsumsi merupakan penopang dalam Perusahaan Manufaktur. Alasannya adalah Industri Barang Konsumsi memiliki tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan Sektor Industri Aneka Industri dan Sektor Industri Dasar dan Kimia. Berikut Tabel 1.1 merupakan rata-rata pertumbuhan Industri Manufaktur Tahun 2010-2014:
Tabel 1.1 Rata-rata Pertumbuhan Industri Manufaktur Tahun 2010-2014 No Kelompok Perusahaan Manufaktur Rata-rata Pertumbuhan (%) 1. Sub Sektor Industri Makanan dan Minuman 8,7 2. Sub Sektor Elektronik 8,1 3. Sub Sektor Industri Logam dan Sejenisnya 7,4 4. Sub Sektor Industri Tekstil dan Garmen 5,2 5. Sub Sektor Industri Mesin dan Alat Berat 2,7 6. Sub Sektor Industri Plastik 2,2 Sumber: Laju Pertumbuhan Industri www.bps.go.id Pada Tabel 1.1 memperlihatkan sub sektor industri makanan & minuman berada pada posisi pertama dari laju pertumbuhan Perusahaan Manufaktur. Sub sektor makanan dan minuman merupakan sub sektor dari Industri Barang Konsumsi. Pada posisi kedua ditempati oleh sub sektor industri elektronik. Industri ini merupakan salah satu sub sektor dari Sektor Aneka Industri. Dan posisi ketiga adalah sektor industri logam dan sejenisnya. Industri ini merupakan salah satu sub sektor dari Sektor Industri Dasar dan Kimia. Tingginya laju pertumbuhan yang dimiliki Industri Barang Konsumsi berdampak pada tingginya nilai perusahaan dalam industri tersebut. Penggunaan Price Earning Ratio (PER) untuk mengukur nilai perusahaan adalah suatu cara yang tepat. Karena Price Earning Ratio (PER) merupakan rasio yang mengukur bagaimana investor menilai prospek pertumbuhan perusahaan di masa yang akan datang dan tercermin pada harga saham yang bersedia dibayar oleh investor untuk setiap rupiah laba yang diperoleh perusahaan (Sudana, 2011:23). Berikut merupakan Perkembangan Price Earning Ratio (PER) Industri Barang Konsumsi pada tahun 2010-2014:
PER 25.00% 20.00% 15.00% 10.00% 16.40% 16.22% 19.22% 15.84% 20.88% PER 5.00% 0.00% 2010 2011 2012 2013 2014 Sumber:www.idx.co.id Gambar 1.1 Perkembangan PER Industri Barang Konsumsi Tahun 2010-2014 Pada Grafik 1.1 menunjukkan keadaan Price Earning Ratio (PER) Industri Barang Konsumsi yang mengalami fluktuasi dari tahun 2010 sampai 2014. Fluktuasi dari PER disebabkan oleh beberapa faktor, baik yang bersifat internal dan eksternal. Menurut Rivai, et al (2013:161), faktor eksternal adalah faktorfaktor diluar kendali perusahaan, seperti: tingkat suku bunga, nilai tukar dan inflasi. Sedangkan faktor internal merupakan faktor-faktor yang dapat dikendalikan perusahaan, seperti jenis teknologi, biaya-biaya perusahaan, dan kinerja keuangan. Meskipun dikatakan inflasi, suku bunga, dan nilai tukar bersifat eksternal atau berasal dari luar perusahaan, namun setiap pergerakan faktor-faktor ini dapat menggangu kegiatan perusahaan. Tidak hanya sekadar mengganggu kegiatan perusahaan, peningkatan ketiga faktor makro ekonomi ini dapat menjadi sebuah ancaman, seperti pada tahun 1998 dan 1999 dimana terjadi peningkatan inflasi, suku bunga dan jatuhnya nilai tukar rupiah terhadap dolar menyebabkan terjadinya krisis moneter di Indonesia yang juga berdampak terhadap rendahnya penjualan saham di Bursa Efek. Rendahnya penjualan saham sebuah perusahaan mengakibatkan turunnya nilai perusahaan bagi perusahaan yang telah go public.
Peningkatan inflasi secara relatif merupakan sinyal negatif bagi pemodal di pasar modal karena biaya produksi yang lebih tinggi dan akan mengurangi profitabilitas perusahaan. Sedangkan peningkatan suku bunga akan menyebabkan investor menarik investasinya pada saham dan memindahkannya pada investasi berupa tabungan dan deposito dan juga dengan meningkatnya suku bunga akan berakibat pada semakin besarnya beban bunga pinjaman. Dan melemahnya nilai kurs rupiah terhadap mata uang asing akan meningkatkan biaya impor bahan baku untuk produksi (Tandelilin, 2010:214). Berdasarkan penjelasan tersebut, dampak dari peningkatan inflasi, suku bunga, dan nilai tukar dapat mengakibatkan penurunan nilai perusahaan Industri Barang Konsumsi, terlebih jika nilai perusahaan diukur dengan Price Earning Ratio (PER). Pada Tabel 1.1 akan dipaparkan perkembangan inflasi, suku bunga (BI Rate), nilai tukar dan juga Price Earning Ratio Industri Barang Konsumsi: Tabel 1.2 Indikator Faktor Makro Ekonomi Indonesia dan Price Earning Ratio (PER) Industri Barang Konsumsi Tahun 2010-2014 Tahun FAKTOR MAKRO EKONOMI Price Earning Ratio Inflasi Suku Bunga Nilai Tukar (PER) 2010 5,12% 6,50% 9086,85 16,40% 2011 4,28% 6,44% 8776,01 16,22% 2012 5,38% 5,77% 9384,24 19,12% 2013 6,96% 6,48% 10459,09 15,84% 2014 6,42% 7,54% 11868,67 20,88% Sumber: www.bi.go.id dan www.idx.co.id Pada Tabel 1.2 memperlihatkan inflasi, suku bunga, dan nilai tukar yang mengalami fluktuasi dari tahun 2010 sampai tahun 2014. Hal yang sama juga terjadi pada Price Earning Ratio Industri Barang Konsumsi yang mengalami fluktuasi. Tabel 1.2 memperlihatkan hanya pada tahun 2013, peningkatan inflasi,
suku bunga, dan nilai tukar secara serempak disertai juga oleh penurunan PER. Penurunan tersebut disebabkan pada awal tahun tersebut, inflasi mengalami peningkatan bahkan melebihi tingkat suku bunga. Hal itu dikarenakan adanya beberapa faktor yang melatarbelakangi, yakni adanya rencana pemerintah untuk menaikkan Tarif Dasar Listrik (TDL) sebesar 15%, adanya masalah lonjakan harga pangan, dan ditambah lagi adanya isu dinaikannya harga Bahan Bakan Minyak (BBM) bersubsidi (http://www.infovestas.com). Pada tahun 2011, tabel tersebut menunjukkan penurunan inflasi, tingkat suku bunga, dan nilai tukar sekaligus disertai penurunan pada PER. Untuk tahun 2012, penurunan tingkat suku bunga disertai peningkatan PER, berbeda pada inflasi dan nilai tukar. Dan pada tahun 2014, penurunan inflasi disertai peningkatan PER, hal yang berbeda diperlihatkan dari peningkatan sisi tingkat suku bunga dan nilai tukar. Keadaan ini berbeda dengan penelitian terdahulu dari Faezinia (2012) yang menyatakan inflasi dan suku bunga berpengaruh negatif dan signifikan terhadap Price Earning Ratio (PER). Penelitian yang dilakukan Ling Du dan Jing Li (2015) yang mana nilai tukar berpengaruh negatif dan signifikan terhadap Price Earning Ratio (PER) Tidak hanya faktor eksternal yang dapat mempengaruhi nilai perusahaan Industri Barang Konsumsi, melainkan juga faktor internal dapat mempengaruhi kemampuan perusahaan yang go public dalam mencapai tujuan jangka panjangnya untuk meningkatkan nilai perusahaan. Dalam penelitian ini, faktor internal dapat dilihat dari kinerja keuangannya. Menurut Horne dan Wachowicz (2004:192), analisis keuangan penting bagi pihak manajemen perusahaan karena
menyediakan hal-hal yang dibutuhkan oleh penyedia modal mengenai kinerja perusahaan. Penggunaan informasi keuangan yang disediakan sebuah perusahaan biasanya akan digunakan oleh analis atau investor untuk menghitung rasio-rasio keuangannya yang mencakup rasio likuiditas, leverage, cakupan, aktivitas, dan profitabilitas perusahaan. Namun, dalam penelitian ini untuk analisis kinerja keuangannya akan diwakili oleh Leverage dan rasio profitabilitas keuangan. Leverage keuangan (atau utang) merupakan rasio yang menunjukkan sejauh mana perusahaan dibiayai oleh utang. Leverage akan diwakili oleh debt to equity ratio (DER). Menurut Syahyunan (2004:84), rasio utang atas ekuitas (Debt to Equity Ratio-DER) merupakan perbandingan hutang dan ekuitas dalam pendanaan perusahaan dan menunjukkan kemampuan modal sendiri perusahaan untuk memenuhi seluruh kewajibannya. Rasio profitabilitas adalah rasio yang menghubungkan laba dari penjualan dan investasi. Rasio profitabilitas akan diwakili oleh Return On Equity (ROE). Menurut Horne dan Wachowicz (2004:225), ROE adalah rasio yang membandingkan laba bersih setelah pajak dengan ekuitas yang telah diinvestasikan pemegang saham di perusahaan. Kegagalan perusahaan dalam mengelola keuangannya khususnya akan berdampak pada nilai perusahaan itu sendiri. Seperti yang dialami oleh PT Davomas Abadi, Tbk yang merupakan sub sektor industri makanan dan minuman yang telah didelisting dari Bursa Efek Indonesia pada 21 Januari 2015. Hal itu disebabkan perusahaan tidak lagi memperoleh keuntungan melainkan kerugian. Kerugian yang dialami oleh PT Davomas Abadi turut menyebabkan Price Earning Ratio
yang mencapai nilai minus. Hingga tahun 2014, PT Davomas Abadi, Tbk menghasilkan profit -67 dan PER sebesar -2,32. Tidak hanya itu, posisi Debt To Equity Ratio pada tahun 2012 yang cukup tinggi hingga mencapai 29,66%. Berdasarkan keadaan yang dialami PT Davomas tersebut dapat memberikan suatu gambaran bahwa penting mengelola kinerja keuangan terlebih dari segi Return On Equity (ROE) dan Debt To Equity Ratio (DER). Karena kedua faktor ini akan berpengaruh pada nilai perusahaan yang diproyeksikan dengan Price Earning Ratio (PER). Tabel 1.3 berikut menunjukkan perkembangan kinerja ROE dan DER terhadap PER beberapa perusahaan pada Industri Barang Konsumsi tahun 2010-2014: Tabel 1.3 ROE, DER, dan PER Beberapa Perusahaan Pada Industri Barang Konsumsi Tahun 2010-2014 NAMA PERUSAHAAN PERIODE ROE (%) DER % PER % 2010 0,22 0,25 26,89 2011 0,21 0,39 29,04 PT Nippon Indosari Corpindo, Tbk 2012 0,22 0,81 46,83 2013 0,20 1,32 6,53 2014 0,20 1,23 7,43 2010 0,23 0,23 24,52 2011 0,24 0,27 22,43 PT Kalbe Farma, Tbk 2012 0,24 0,28 30,38 2013 0,24 0,33 31,67 2014 0,22 0,27 43,64 2010 0,20 0,44 18,26 2011 0,21 0,59 24,08 PT Gudang Garam, Tbk 2012 0,15 0,56 26,62 2013 0,15 0,73 18,43 2014 0,16 0,75 21,64 Lanjutan Tabel 1.3 ROE, DER, dan PER Beberapa Perusahaan Pada Industri Barang Konsumsi
Tahun 2010-2014 NAMA PERUSAHAAN PERIODE ROE % DER % PER % 2010 0,84 1,15 37,20 2011 1,13 1,85 34,45 PT Unilever Indonesia, Tbk 2012 1,22 2,02 32,87 2013 1,26 2,14 37,06 2014 1,25 2,11 42,65 Sumber: www.idx.co.id (data diolah) Pada Tabel 1.3 memperlihatkan posisi Return On Equity (ROE), Debt To Equity Ratio (DER), dan Price Earning Ratio (PER) beberapa perusahaan di Industri Barang Konsumsi mengalami fluktuasi dari tahun 2010-2014. PT Nippon Indosari Corpindo, Tbk memperlihatkan pengaruh dari ROE, DER terhadap PER. Pada tahun 2011, penurunan ROE dan peningkatan DER disertai peningkatan PER, Pada tahun 2012, peningkatan ROE dan peningkatan DER disertai peningkatan PER. Pada tahun 2013, penurunan ROE dan peningkatan DER disertai penurunan PER. Dan Tahun 2014, penurunan ROE dan peningkatan DER disertai peningkatan PER. PT Kalbe Farma, Tbk memperlihatkan pengaruh dari ROE, DER terhadap PER. Pada tahun 2011, peningkatan ROE dan peningkatan DER disertai penurunan PER, Pada tahun 2012, penurunan ROE dan peningkatan DER disertai peningkatan PER. Pada tahun 2013, penurunan ROE dan peningkatan DER disertai penurunan PER. Dan pada tahun 2014, penurunan ROE dan peningkatan DER disertai peningkatan PER. PT Gudang Garam, Tbk memperlihatkan pengaruh dari ROE, DER terhadap PER. Pada tahun 2011, penurunan ROE dan peningkatan DER disertai peningkatan PER. Untuk tahun 2012, penurunan ROE dan penurunan DER disertai
peningkatan PER. Pada tahun 2013, peningkatan ROE dan peningkatan DER disertai penurunan PER. Dan tahun 2014, penurunan ROE dan peningkatan DER disertai peningkatan PER. PT Unilever Indonesia, Tbk memperlihatkan pengaruh dari ROE, DER terhadap PER. Pada tahun 2011, peningkatan ROE dan peningkatan DER disertai penurunan PER. Hal serupa terjadi pada tahun 2012, peningkatan ROE dan peningkatan DER disertai penurunan PER. Sedangkan pada tahun 2013, penurunan ROE dan penurunan DER disertai peningkatan PER. Dan terjadi lagi pada tahun 2014, penurunan ROE dan penurunan DER disertai peningkatan PER. Kesimpulan dari data tersebut yang memperlihatkan bahwa peningkatan Return On Equity (ROE) tidak berbanding lurus dengan peningkatan Price Earning Ratio (PER). Pernyataan ini berbeda dengan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Dwipartha (2013) yang menyatakan ROE berpengaruh positif dan signifikan terhadap nilai perusahaan, yang artinya peningkatan ROE berdampak pada peningkatan PER. Pada Tabel 1.3 juga memperlihatkan dimana peningkatan DER tidak disertai pada penurunan PER. Pernyataan ini berbeda dengan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Agustina dan Ardiansari (2015), dimana DER berpengaruh negatif dan signifikan terhadap PER. Yang artinya dimana DER yang semakin meningkat maka berdampak pada penurunan nilai perusahaan PER. Oleh karena itu, fenomena-fenomena ini menarik untuk diteliti lebih lanjut.
Berdasarkan pada fenomena-fenomena paparan diatas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai Analisis Pengaruh Faktor-Faktor Makro Ekonomi dan Kinerja Keuangan Terhadap Nilai Perusahaan Sektor Industri Barang Konsumsi yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Tahun 2010-2014. 1.2 Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka permasalahan yang akan dibahas pada penelitian ini, yaitu: Apakah Faktor-faktor Makro Ekonomi yang terdiri dari inflasi, nilai tukar, suku bunga) dan Kinerja Keuangan yang terdiri dari Return On Equity-ROE, Debt To Equity Ratio-DER) berpengaruh Terhadap Nilai Perusahaan (Price Earning Ratio-PER) Sektor Industri Barang Konsumsi di Bursa Efek Indonesia Tahun 2010-2014? 1.3 Tujuan Penelitian Adapun tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh Faktor-faktor Makro Ekonomi yang terdiri dari inflasi, suku bunga, nilai tukar, dan Kinerja Keuangan yang terdiri dari Return On Equity- ROE, Debt To Equity Ratio-DER Terhadap Nilai Perusahaan (Price Earning Ratio-PER) Sektor Industri Barang Konsumsi yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Tahun 2010-2014.
1.4 Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah: 1. Bagi Perusahaan Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dan informasi dalam membuat keputusan yang berkaitan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi nilai perusahaan. 2. Bagi Peneliti Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan peneliti mengenai pengaruh inflasi, suku bunga, nilai tukar, Return On Equity (ROE) dan Debt To Equity Ratio (DER) terhadap Nilai Perusahaan Price Earning Ratio (PER) Industri Barang Konsumsi. 3. Bagi Akademisi Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan, informasi dan dapat menjadi acuan, perbandingan, dan referensi untuk penelitian selanjutnya.