Pola Penyesuaian Perkawinan pada Periode Awal



dokumen-dokumen yang mirip
HUBUNGAN KEMATANGAN EMOSI DENGAN PENYESUAIAN DIRI PADA MASA PERNIKAHAN AWAL

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sindhi Raditya Swadiana, 2014

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sebuah perkawinan seseorang akan memperoleh keseimbangan hidup baik secara

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tahap perkembangan psikososial Erikson, intimacy versus isolation, merupakan isu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berdasarkan agama dan kepercayaan masing-masing untuk menjalani hidup bersama.

BAB I PENDAHULUAN. pemenuhan hasrat seksual, dan menjadi lebih matang. Pernikahan juga

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pernikahan. Berdasarkan Undang Undang Perkawinan no.1 tahun 1974,

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan juga memerlukan penyesuaian secara terus-menerus. Setiap

BAB I PENDAHULUAN. (laki-laki dan perempuan), secara alamiah mempunyai daya tarik menarik. perkawinan antara manusia yang berlaian jenis itu.

BAB I PENDAHULUAN. Pernikahan merupakan ikatan lahir batin dan persatuan antara dua pribadi yang berasal

BAB I PENDAHULUAN. tidak tinggal bersama (Long Distance Relationship) dalam satu rumah karena

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN TEORITIS

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak pernah terlepas dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. perkembangan dan menyelesaikan tugas-tugas perkembangan dimulai dari lahir, masa

SUSI RACHMAWATI F

BAB I PENDAHULUAN. lahir, menikah, dan meninggal. Pernikahan merupakan penyatuan dua jiwa

PEDOMAN WAWANCARA. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi penyesuaian dengan

BAB I PENDAHULUAN. pembagian tugas kerja di dalam rumah tangga. tua tunggal atau tinggal tanpa anak (Papalia, Olds, & Feldman, 2008).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kualitas Perkawinan. Definisi lain menurut Wahyuningsih (2013) berdasarkan teori Fowers dan

BAB I PENDAHULUAN. Santrock, 2000) yang menyatakan bahwa tugas perkembangan yang menjadi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Aji Samba Pranata Citra, 2013

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. bahkan kalau bisa untuk selama-lamanya dan bertahan dalam menjalin suatu

PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. keluarga yang harmonis. Dalam berumah tangga setiap pasang terkadang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. di dalamnya terdapat komitmen dan bertujuan untuk membina rumahtangga serta

BAB I PENDAHULUAN. Manusia tidak dapat hidup seorang diri karena manusia merupakan

Disusun Oleh : EVA NADIA KUSUMA NINGRUM Telah disetujui unuk mengikuti Ujian Skripsi. Menyetujui, Pembimbing Utama

KONFLIK INTERPERSONAL ANTAR ANGGOTA KELUARGA BESAR

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam membangun hidup berumah tangga perjalanannya pasti akan

MENGATASI KONFLIK RUMAH TANGGA (STUDI BK KELUARGA)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. tentang orang lain. Begitu pula dalam membagikan masalah yang terdapat pada

KEPUASAN PERNIKAHAN DITINJAU DARI KEMATANGAN PRIBADI DAN KUALITAS KOMUNIKASI

BAB I PENDAHULUAN. Pernikahan merupakan komitmen yang dibentuk antara seorang pria dan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. interpersonal sebagai kemampuan-kemampuan yang dimiliki seseorang dalam

BAB I PENDAHULUAN. tentang pernikahan menyatakan bahwa pernikahan adalah: berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. (UU RI Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA

HUBUNGAN ANTARA KUALITAS CINTA DAN KETERBUKAAN DIRI DENGAN KOMITMEN PERKAWINAN PADA PASANGAN SUAMI ISTRI

BAB I PENDAHULUAN. pada masa remaja, salah satunya adalah problematika seksual. Sebagian besar

BAB I PENDAHULUAN. (Papalia, 2009). Menurut Undang-Undang Republik Indonesia nomor 1 pasal 1

BAB 1 PENDAHULUAN. Berikut kutipan wawancara yang dilakukan peneliti dengan seorang wanita

BAB I PENDAHULUAN. istri adalah salah satu tugas perkembangan pada tahap dewasa madya, yaitu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. hakekat itu, manusia selalu berusaha untuk selalu memenuhi kebutuhannya.

HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS KOMUNIKASI SUAMI ISTRI DENGAN KECENDERUNGAN BERSELINGKUH PADA ISTRI

HARGA DIRI PRIA YANG MENGALAMI PENSIUN DINI ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berpasang-pasangan. Allah SWT telah menentukan dan memilih jodoh untuk

PROFIL KEHARMONISAN ORANG YANG MENIKAH DI USIA DINI DI KECAMATAN AIR DIKIT KABUPATEN MUKOMUKO JURNAL

BAB I PENDAHULUAN. melainkan juga mengikat janji dihadapan Tuhan Yang Maha Esa untuk hidup

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being

BAB V PEMBAHASAN MASALAH

PENYESUAIAN PERKAWINAN PADA JANDA YANG MENIKAH LAGI DI KALANGAN ETNIS ARAB

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa dewasa adalah masa awal individu dalam menyesuaikan diri terhadap

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Purwadarminta (dalam Walgito, 2004, h. 11) menjelaskan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Ensiklopedia indonesia, perkataan perkawinan adalah nikah;

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini,

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA Kesiapan menikah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. (UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dalam Libertus, 2008). Keputusan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia memiliki fitrah untuk saling tertarik antara laki-laki dan

Prosiding SNaPP2012: Sosial, Ekonomi, dan Humaniora ISSN Endang Pudjiastuti, dan 2 Mira Santi

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang terlahir di dunia ini pasti akan mengalami pertumbuhan dan proses

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PENYESUAIAN PERKAWINAN PADA PASANGAN YANG BERLATAR BELAKANG ETNIS BATAK DAN ETNIS JAWA. Mia Retno Prabowo Fakultas Psikologi, Universitas Gunadarma

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. keluarga. Sebagai unit terkecil dalam masyarakat, keluarga memerlukan organisasi

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan antar budaya telah menjadi fenomena dalam masyarakat modern, dengan WNA dari budaya barat (Sabon, 2005).

BAB I PENDAHULUAN. atau di kota. Namun banyak manusia yang sudah mempunyai kemampuan baik

BAB I PENDAHULUAN. Di masa sekarang ini, banyak perubahan-perubahan yang terjadi di dunia,

PERBEDAAN PENYESUAIAN SOSIAL PASCA PERCERAIAN ANTARA WANITA BEKERJA DAN WANITA TIDAK BEKERJA

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan selalu dianggap sebagai hal yang memuaskan dan berharga, namun dalam sebuah hubungan baik itu perkawinan maupun hubungan

BAB I PENDAHULUAN. ini adalah bagian dari jenjang atau hierarki kebutuhan hidup dari Abraham Maslow, yang

BAB I PENDAHULUAN. memiliki keinginan untuk mencintai dan dicintai oleh lawan jenis. menurut

BAB II LANDASAN TEORI. Menurut salah satu teori utama pemilihan pasangan, Developmental

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap manusia dalam perkembangan hidupnya akan mengalami banyak

BAB I PENDAHULUAN. serta tanggung jawab sosial untuk pasangan (Seccombe & Warner, 2004). Pada

2016 HUBUNGAN ANTARA FAMILY RESILIENCE DENGAN KEPUASAN PERNIKAHAN PADA PNS WANITA DI KOTA BANDUNG

BAB 1 PENDAHULUAN. terbatas berinteraksi dengan orang-orang seusia dengannya, tetapi lebih tua,

BAB II KAJIAN PUSTAKA. proses penyesuaian diri seseorang dalam konteks interaksi dengan lingkungan

BAB II TINJAUAN TEORITIS. A. Kepuasan Perkawinan. Menurut Aqmalia dan Fakhrurrozi (2009) menjelaskan bahwa per kawinan

BAB I PENDAHULUAN. Abad 21 yang sedang berlangsung menjadikan kehidupan berubah dengan

2016 FENOMENA CERAI GUGAT PADA PASANGAN KELUARGA SUNDA

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Bhayangkara Jakarta Raya

BAB I PENDAHULUAN. Para individu lanjut usia atau lansia telah pensiun dari pekerjaan yang

BAB I PENDAHULUAN. penting. Keputusan yang dibuat individu untuk menikah dan berada dalam

BAB I PENDAHULUAN. Manusia memerlukan mitra untuk mengembangkan kehidupan yang layak bagi

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhannya, terutama kebutuhan interpersonal dan emosional. Selain bertumbuh secara

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TERHADAP PERCERAIAN ORANG TUA DENGAN OPTIMISME MASA DEPAN PADA REMAJA KORBAN PERCERAIAN. Skripsi

BAB I PENDAHULUAN. Pernikahan merupakan hal yang umumnya akan dilalui dalam kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. matang baik secara mental maupun secara finansial. mulai booming di kalangan anak muda perkotaan. Hal ini terjadi di

BAB I PENDAHULUAN. hubungan sosial yaitu hubungan berpacaran atau hubungan romantis.

BAB V PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN

Kesiapan menikah hasil identifikasi dari jawaban contoh mampu mengidentifikasi tujuh dari delapan faktor kesiapan menikah, yaitu kesiapan emosi,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebahagiaan merupakan keadaan psikologis yang ditandai dengan tingginya

BAB I PENDAHULUAN. Pernikahan merupakan salah satu peristiwa penting dalam kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang datang dari dirinya maupun dari luar. Pada masa anak-anak proses

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dasar perilaku perkembangan sikap dan nilai kehidupan dari keluarga. Salah

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1. Hasil Presentase Pernikahan Dini di Pedesaan dan Perkotaan. Angka Pernikahan di Indonesia BKKBN (2012)

Transkripsi:

INSAN Vol. 8 No. 3, Desember 2006 Pola Penyesuaian Perkawinan pada Periode Awal Cinde Anjani Suryanto Fakultas Psikologi Universitas Airlangga ABSTRACT The research aims a) to describe of pattern of marriage adjustment among couples at early period, b) to look for the factors supporting marriage adjustment, and c) to look for factors pursuing process of marriage adjustment. This research was a descriptive research and used case study as its study method. Data and information obtained by interview and observation to accurate subject. These subjects of research were all its marriage age couple less than 10 year. Data analyses conducted by categorize result of themes interview and reconciled with result of observation at the family. This categorization, then, described and narrated according to research problems. Conclusions obtained from this research indicate that: a) pattern of marriage adjustment conducted step by step. At phase of honeymoon, couple still experiences the life fully happy, because constituted by the love of early marriage. At phase of fact recognition, couple know the characteristic and habit which in fact from couple. At phase of marriage crisis, process adjustment happened. If the couples, success in accepting fact hence will be continued successfully phase accept the fact. If the couple successfully overcome the problems in the family by adaptation and make the order and agreement in domestic hence, so the real bliss phase will obtain; b) Supplementary factor of efficacy process the located couple marriage adjustment in the case of reciprocating and accepting love, expression of affection, respecting each other and esteeming, each other being opened between wife and husband; and c) the resistor factors that process the marriage adjustment that is one of the couple cannot accept the denaturing and habit in early nuptials, husband and also initiative wife does not finish the problem, cultural difference and religion among husband and wife. Keywords: pattern of marriage adjustment, early period Perkawinan merupakan ikatan lahir batin dan persatuan antara 2 pribadi yang berasal dari keluarga, sifat, kebiasaan dan budaya yang berbeda. Perkawinan juga memerlukan penyesuaian secara terusmenerus. Setiap perkawinan, selain cinta juga diperlukan saling pengertian yang mendalam, kesediaan untuk saling menerima pasangan masing-masing dengan latar belakang yang 2006, Fakultas Psikologi Universitas Airlangga INSAN Vol. 8 No. 3, Desember 2006 198

Cinde Anjani & Suryanto merupakan bagian dari kepribadiannya. Hal ini berarti mereka juga harus bersedia menerima dan memasuki lingkungan sosial budaya pasangannya, dan karenanya diperlukan keterbukaan dan toleransi yang sangat tinggi, serta saling penyesuaian diri yang harmonis. Orang menikah bukan hanya mempersatukan diri, tetapi seluruh keluarga besarnya juga ikut. Wismanto (2005) menyatakan bahwa proses pengenalan antar pasangan itu berlangsung hingga salah satu pasangan mati, dan dalam perkawinan terjadi proses pengembangan yang didasari oleh LOVE yaitu Listen, Observe, Value dan Emphaty. Peran penting dalam perkawinan dimainkan oleh hubungan interpersonal yang tentunya jauh lebih rumit bila dibandingkan dengan hubungan persahabatan atau bisnis. Makin banyak pengalaman dalam hubungan interpersonal antara pria dan wanita yang dimiliki seseorang, makin besar pengertian wawasan sosial yang telah mereka kembangkan, dan semakin besar kemauan mereka untuk bekerja sama dengan sesamanya, serta semakin baik mereka menyesuaikan diri satu sama lain dalam perkawinan. Lamanya masa pacaran sebelum menikah, tidak menentukan sukses tidaknya hubungan antar personal antara pasangan suami-istri. Ada pasangan yang hanya 3 bulan pacaran tetapi perkawinan mereka langgeng. Ada pula pasangan yang bertahuntahun pacaran tetapi perkawinannya hanya bertahan beberapa bulan saja. Tantangan di periode awal perkawinan adalah masa-masa perjuangan untuk memperoleh kebahagiaan dan kemapanan hidup. Antara suami dan istri sama-sama bekerja keras untuk bisa memenuhi tuntutan hidup. Ini sangat bisa mengurangi kualitas kebersamaan sehingga akhirnya salah satu pihak merasa terabaikan (Hassan, 2004). Ketika suami dan istri berikrar untuk menikah, berarti masing-masing mengikatkan diri pada pasangan hidup. Kebebasan sebagai individu dikorbankan. Perkawinan bukan sebuah titik akhir, tetapi sebuah perjalanan panjang untuk mencapai tujuan yang disepakati berdua. Tiap pasangan harus terus belajar mengenai kehidupan bersama. Tiap pasangan juga harus kian menyiapkan mental untuk menerima kelebihan sekaligus kekurangan pasangannya dengan kontrol diri yang baik. Pentingnya penyesuaian dan tanggung jawab sebagai suami atau istri dalam sebuah perkawinan akan berdampak pada keberhasilan hidup berumah tangga. Keberhasilan dalam hal ini mempunyai pengaruh yang kuat terhadap adanya kepuasan hidup perkawinan, mencegah kekecewaan dan perasaan-perasaan bingung, sehingga memudahkan seseorang untuk menyesuaikan diri dalam kedudukannya sebagai suami atau istri dan kehidupan lain di luar rumah tangga (Hurlock, 2002). Kenyataannya, seringkali dijumpai bagaimana impian dan harapan untuk mewujudkan sebuah perkawinan yang bahagia dan sejahtera itu tidak tercapai, bagaimana sebuah perkawinan mengalami kegagalan dalam mewujudkan impian dan harapan bersama, serta bagaimana suatu permasalahan dapat timbul dalam kehidupan perkawinan, dan pada gilirannya dapat menjadi benih yang dapat mengancam kehidupan perkawinan serta mengakibatkan INSAN Vol. 8 No. 3, Desember 2006 199 2006, Fakultas Psikologi Universitas Airlangga

Pola Penyesuaian Perkawinan pada Periode Awal keretakan atau perceraian. Perceraian tidak dialami oleh para artis saja. Di kalangan orang biasa pun perceraian kerap terjadi. Berita yang dimuat di Tabloid Hawa ( Ketika Perkawinan Dilanda Kemelut, 2001) menyebutkan, hanya sedikit pasangan yang dapat mencapai keintiman atau ikatan persahabatan, berusaha mewujudkan komitmen dan saling pengertian yang mendalam antar pasangan. Munas BP4 (Badan Penasihat, Pembina dan Pelestarian Perkawinan) ke- 12 mengungkapkan bahwa pada tahun 2001, angka perselisihan perkawinan di Indonesia mencapai hampir 14% dan angka perceraian mencapai hampir 15% dari jumlah perkawinan yang terjadi di Indonesia. Masalah-masalah atau konflik perkawinan yang tidak selesai biasanya berakhir dengan perceraian. Tingkat perceraian di Jawa Timur pun cukup tinggi. Harian Kompas ( Perceraian di Jember, 2001) memberitakan di Kabupaten Jember pada tahun 2000 kasus perceraian yang terjadi mencapai 2897 angka. Angka ini menempati urutan ketiga setelah Kabupaten Malang dan Banyuwangi. Propinsi Jawa Barat dengan angka kasus perceraian tertinggi di Indramayu meningkat sejak tahun 1999, dari 581 kasus menjadi 786 kasus pada tahun 2000, dan 781 pada tahun 2002. Di daerah Bogor juga mengalami peningkatan sejak tahun 2000 jumlah kasus perceraian di Pengadilan Agama tercatat 510 perkara ( Kesulitan Ekonomi, 2003). Di Rembang, tiga tahun terakhir terdapat 3595 pasangan suami istri memilih cerai ( Inisiatif Cerai, 2002). Angka-angka tersebut menunjukkan bahwa hanya sedikit pasangan yang dapat mencapai keintiman, berusaha mewujudkan komitmen dan pengertian mendalam antarpasangan, dan bahkan banyak pasangan yang tetap menjalani perkawinan namun dengan menunjukkan sikap dingin sehingga keharmonisan dalam rumah tangga tidak dicapai. Beberapa pasangan mempertahankan rumah tangganya hanya demi kepentingan anak-anaknya, namun perkawinan tetap terasa hambar. Tahun-tahun pertama perkawinan merupakan masa rawan, bahkan dapat disebut sebagai era kritis karena pengalaman bersama belum banyak. Menurut Clinebell & Clinebell (2005), periode awal perkawinan merupakan masa penyesuaian diri, dan krisis muncul saat pertama kali memasuki jenjang pernikahan. Pasangan suami istri harus banyak belajar tentang pasangan masing-masing dan diri sendiri yang mulai dihadapkan dengan berbagai masalah. Dua kepribadian (suami maupun istri) saling menempa untuk dapat sesuai satu sama lain, dapat memberi dan menerima. Berdasarkan hasil wawancara peneliti terhadap orang-orang sekitar peneliti ditemukan alasan mengapa pada periode awal perkawinan merupakan masa penyesuaian. Awal perkawinan merupakan masa-masa yang penuh dengan kejutan, yang di dalamnya terdapat banyak krisis atau masalah-masalah yang dihadapi, perubahanperubahan sikap atau perilaku masingmasing pasangan pun mulai tampak. Ada juga yang mengatakan bahwa masa-masa awal perkawinan pengalaman bersama belum banyak. Para pasangan menganggap bahwa pada masa ini banyak muncul hal-hal yang tidak sesuai dengan INSAN Vol. 8 No. 3, Desember 2006 200

Cinde Anjani & Suryanto harapan seperti pada saat masa pacaran. Umumnya para pasangan berharap, dengan berjalannya waktu akan membuat pasangan saling mengerti dan memahami satu sama lain dan lebih mengetahui apa yang diharapkan dari perkawinan yang dijalani. Kehadiran buah hati menjadi alasan berikutnya. Pasangan suami istri dituntut menjalani peran baru. Pasangan harus siap dengan semua tugas rumah tangga dan dengan segala kegiatan untuk mengasuh anak. Uraian di atas menunjukkan bahwa pada perode awal perkawinan, penyesuaian diri merupakan masalah yang harus dihadapi dan diselesaikan oleh pasangan suam istri. Bila bisa melalui dengan baik, maka pasangan tidak akan putus dan sebaliknya bila tidak bisa menyelesaikannya, maka perkawinan akan putus ditengah jalan. Umumnya, setiap pasangan memimpikan bahwa mereka mampu menyesuaikan diri terhadap tantangan dan tekanan dan membangun kerangka hubungan bersama sekuat mungkin. Dari latar belakang masalah di atas, rumusan masalah pada penelitian ini adalah: 1. Bagaimana pola penyesuaian perkawinan antara pasangan suami istri pada periode awal? 2. Faktor apa saja yang mendukung penyesuaian perkawinan? 3. Faktor apa saja yang menghambat penyesuaian perkawinan? METODE PENELITIAN Tipe Penelitian Berdasarkan tujuannya, penelitian ini termasuk tipe penelitian deskriptif, yang bertujuan untuk mendeskripsikan tema yang dianggap penting. Penelitian ini terfokus pada penyelidikan yang mendalam pada sejumlah kecil kasus yang sesuai dengan tema yang ingin dideskripsikan tersebut. Oleh karena itu, studi kasus sangat bermanfaat ketika peneliti merasa perlu memahami suatu kasus spesifik, orang-orang tertentu, kelompok dengan karakteristik tertentu, ataupun situasi unik secara mendalam. Sejumlah kecil kasus tersebut dapat memberikan contoh yang tepat mengenai fenomena yang dipelajari (Poerwandari, 2001). Studi kasus merupakan strategi yang cocok dalam suatu penelitian kualitatif apabila: a) pokok pertanyaan penelitian berkenaan dengan mengapa dan bagaimana; b) peneliti hanya memiliki sedikit peluang untuk perilaku yang akan diselidiki; dan c) fokus penelitiannya terletak pada fenomena kontemporer (masa kini) di dalam konteks kehidupan nyata (Yin, 2002) Subjek Penelitian Subjek dalam penelitian ini adalah keluarga, yaitu pasangan suami istri yang usia perkawinannya tidak lebih dari 10 tahun. Pertimbangannya, usia perkawinan di bawah 10 tahun merupakan periode awal dalam perkawinan dan subjek dianggap tepat untuk dapat mewakili serta memberikan gambaran tentang penelitian penyesuaian perkawinan ini. Subjek pada penelitian ini dipilih berdasarkan pendekatan maximum variation sampling. Pendekatan ini dipilih karena individu yang terlibat dalam fenomena menampilkan banyak variasi dalam INSAN Vol. 8 No. 3, Desember 2006 201

Pola Penyesuaian Perkawinan pada Periode Awal menangkap aspek-aspek fenomena yang ada selain itu penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan tema-tema sentral yang menampilkan sebagai akibat dari keluasan variasi partisipan penelitian. Keterwakilan semua variasi penting, dan pendekatan maximum variation sampling justru mencoba memanfaatkan adanya perbedaanperbedaan yang ada untuk menampilkan kekayaan data (Poerwandari, 2001). Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara dan observasi. Pertimbangan penggunaan metode ini karena kedua metode tersebut merupakan metode dasar dalam penelitian kualitatif yang dianggap paling efektif digunakan untuk mendeskripsikan tentang tema dari penelitian ini. Analisis Data Data dalam penelitian ini diperoleh dari hasil wawancara dan observasi peneliti. Dari hasil wawancara akan diperoleh datadata yang digunakan untuk mendeskripsikan tentang tema dari penelitian ini. Sedangkan data observasi digunakan untuk mendeskripsikan setting yang dipelajari, aktivitas-aktivitas yang berlangsung, orangorang yang terlibat dalam aktivitas, dan makna dari kejadian dilihat dari perspektif mereka yang terlibat dalam kejadian yang diamati tersebut. Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan analisis tematik. Penggunaan analisis tematik memungkinkan peneliti menemukan pola yang pihak lain tidak melihatnya secara jelas. Pola atau tema tersebut tampil seolah secara acak dalam tumpukan informasi yang tersedia. Setelah menemukan pola (seeing), peneliti akan mengklasifikasi atau meng encode pola tersebut (seeing as) dengan memberi label, definisi atau deskripsi (Boyatziz, 1998, dalam Poerwandari 2001). HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pola Penyesuaian Perkawinan Pasangan Suami Istri pada Periode Awal Antar pasangan memang tidak sama persis dalam penyesuaian perkawinannya. Sebagai gambarannya berikut pola penyesuaian yang bisa dilukiskan dari para pasangan dalam studi ini. Masing-masing pasangan menunjukkan bagaimana beradaptasi terhadap perbedaan yang terjadi yang melewati beberapa fase seperti berikut. 1. Fase bulan madu Merupakan fase yang paling indah karena masing-masing pihak berupaya membahagiakan pasangannya. Pada fase ini para pasangan tidak berupaya untuk menonjolkan perbedaan yang terjadi, melainkan saling menutupi kelemahan masing-masing dan mengabaikan adanya kekurangan pasangannya. 2. Fase pengenalan kenyataan Hal-hal yang memerlukan adaptasi dalam fase ini antara lain dalam hal kebiasaan pasangan. Kebiasaan pasangan suami istri yang paling sering muncul dalam penelitian ini adalah: a) pasangan, baik suami INSAN Vol. 8 No. 3, Desember 2006 202

Cinde Anjani & Suryanto maupun istri terkejut atau kaget dengan perubahan sikap yang terjadi pada pasangannya; b) pasangan suami istri belum terbiasa dengan perubahan sikap yang terjadi pada pasangannya di awal pernikahan; c) salah satu pasangan ingin merubah kebiasaan pasangannya; d) salah satu pasangan menginginkan pasangannya tersebut masuk dalam kehidupannya; e) salah satu pasangan menginginkan agar pasangannya lebih dapat menerima kebiasaan-kebiasaan serta menerima keadaan dirinya apa adanya. 3. Fase Kritis Perkawinan Fase ini adalah fase paling rawan yang mungkin akan mengancam kehidupan rumah tangga setelah mengenal kenyataan yang sebenarnya. Tingginya pendidikan bukanlah jaminan bahwa pasangan ini bisa beradaptasi dengan baik dan dapat menyelesaikan permasalahannya. Masalah seksual juga bisa menjadi salah satu sumber masalah terutama bila pasangan tidak terbuka dalam masalah seksual. Fase kritis akan semakin meruncing ketika ada keterlibatan keluarga salah satu pasangan. Hal itu berdampak karena salah satu pasangan dihadapkan pada kebimbangan dan kedekatan emosional antara keluarga atau suami/istrinya. 4. Fase menerima kenyataan Suami istri menjalankan perkawinannya dengan cara-caranya sendiri atau terdapat aturan yang harus disepakati kedua belah pihak. Semua berpulang pada diri masingmasing dan tahu kapasitasnya dalam rumah tangga. Sehingga kehidupan rumah tangga dapat berjalan dengan baik walaupun perbedaan di tengah-tengah mereka. Kedua pasangan ini banyak belajar dan berkaca pada orang-orang yang sudah berpengalaman. 5. Fase kebahagiaan sejati Kebahagiaan merupakan salah satu tujuan perkawinan. Perbedaan bukanlah penghalang bagi pasangan untuk meniti tujuan jangka panjang dalam perkawinan dan mendapatkan kebahagiaan. Tetapi ada juga keluarga yang menjalani hidup rumah tangga apa adanya, artinya tidak menetapkan kebahagiaan sebagai tujuan rumahtangga. Pasangan ini melihat rumah tangga sebagai amanah, sehingga dijalaninya apa adanya, Karena itu keluarga yang demikian ini tidak memuat aturan-aturan yang ketat dalam rumahtangga. Apabila kebahagiaan gagal dicapai, anak seringkali dijadikan sebagai alasan untuk mendapatkan kebahagiaan. Walau terjadi perceraian, anak seringkali dijadikan tujuan, karena menurutnya anak adalah masa depan yang harus dijaga. B. Faktor-faktor yang Mendukung Penyesuaian Perkawinan Terdapat berbagai macam faktor yang mendukung keberhasilan pasangan suami istri melakukan penyesuaian perkawinan. Dari sekian banyak faktor pendukung itu, diantaranya adalah: 1) mereka menginginkan kebahagiaan suami istri dalam perkawinan serta menjaga hubungan baik dalam keluarga terutama anak-anak mereka; 2) kesediaan masing-masing pasangan untuk saling memberi dan menerima cinta dengan memberikan perhatian-perhatian kecil, berusaha meluangkan waktu untuk INSAN Vol. 8 No. 3, Desember 2006 203

Pola Penyesuaian Perkawinan pada Periode Awal menikmati kebersamaan dengan keluarga; 3) cara mengekspresikan afeksinya pada pasangan, entah itu mengungkapkan rasa sayang secara verbal, mempunyai panggilan khusus pada pasangan atau lewat tindakan seperti membantu mengerjakan tugas rumah tangga. Menurutnya, ekspresi afeksi ini berbeda ketika masa pacaran. Ketika pacaran, masing-masing pasangan samasama tertutup dan segan untuk terbuka mengenai perasaannya, tetapi setelah menikah mereka lebih terbuka untuk mengungkapkan perasaan; 4) pasangan lebih menanamkan rasa toleransi, kerukunan, menghormati, menghargai serta memahami pada masing-masing pasangan. Perbedaan agama dalam pernikahan tidak menjadikan mereka terlibat dalam konflik yang berkepanjangan. Masing-masing pasangan menyadari kapasitas dan peran yang harus dijalankan dalam rumah tangga serta tidak memaksakan kehendak masing-masing; 5) pasangan menerapkan sikap saling terbuka diantara mereka mengenai hal sekecil apapun terutama menyangkut anak-anak. Bahkan saling kerja sama dalam rumah tangga mereka tanamkan, menjaga kualitas kebersamaan dengan anak-anaknya; 6) selalu menanamkan rasa cinta. Tidak terpikir oleh pihak istri saat itu bahwa calon suaminya mempunyai istri selain dirinya. Pasangan ini tetap melangsungkan pernikahan karena didasari rasa cinta yang dalam. C. Faktor-faktor yang Menghambat Penyesuaian Perkawinan Beberapa faktor penghambat dalam penyesuaian perkawinan terjadi itu diantaranya: 1) tidak bisa menerima perubahan sifat dan kebiasaan pasangan sejak awal pernikahan; 2) begitu juga dengan masalah yang terjadi diantara mereka. Salah satu pasangan merasa pasangannya tidak mampu menyelesaikan masalah dan tidak ada inisiatif untuk menyelesaikannya; 3) Pembagian tugas dalam rumah tangga yang tidak salaing menerima tugas tersebut. Pembagian tugas itu bisa berhubungan dengan kepengurusan anak, pengaturan keuangandan kadan campur tangan keluaraga pasangan; 4) adanya campur tangga keluarga yang sangat kuat dalam perkawinan; 5) kembalinya pasangan saling mengukuhkan pendapat dan pemikirannya seperti sebelum menikah misalanya dalam hal keyakinan agama. Penyesuaian pada pasangan suami istri merupakan hal yang penting dalam perkawinan. Penyesuaian dalam perkawinan akan berjalan terus sejalan dengan perubahan yang terjadi, baik dalam keluarga maupun dalam lingkungan. Oleh karena itu, perlu usaha untuk mengabadikan perkawinan terutama dalam pembinaan keluarga sehat. Keluarga yang sehat akan mampu menghadapi tantangan yang tidak ada hentinya, baik tantangan positif maupun negatif. Upaya mengabadikan perkawinan ini bisa berkembang dengan baik jika diikuti dengan kemampuan komunikasi yang sehat dalam keluarga, baik antara suami-istri, maupun anak-anak. Mengurus sebuah keluarga tidaklah semudah mengejapkan mata atau membalikkan telapak tangan. Perlu ketekunan, kesetiaan, dan bahkan perjuangan. Perlu pengertian yang besar dari INSAN Vol. 8 No. 3, Desember 2006 204

Cinde Anjani & Suryanto masing-masing pihak yang terlibat. Perlu hati yang sabar untuk menampung serta menghadapi setiap persoalan yang datang. Namun kadang banyak keluarga yang sedang dilanda keresahan dan perpisahan. Tampaknya mereka berkumpul dan tinggal dalam satu rumah, namun sesungguhnya masing-masing dalam rumah itu sedang berjalan sendiri-sendiri. Berdasarkan data yang diperoleh, masing-masing pasangan baik suami maupun istri kaget dengan perubahan sikap yang terjadi pada pasangannya, terutama di awal pernikahan. Rini (2002) menyebutkan bahwa faktor yang mempengaruhi penyesuaian perkawinan adalah persatuan dua pribadi yang berbeda, yang di dalamnya akan banyak terdapat perbedaan yang muncul. Proses pacaran adalah mekanisme untuk mempelajari, menganalisis kepribadian dan belajar saling menyesuaikan diri dengan perbedaan. Apakah perbedaan tersebut masih dapat ditolerir atau tidak. Namun, selama masa pacaran orang sering mengabaikan realita sehingga kurang peka terhadap perbedaan yang ada, bahkan sering berharap bahwa semua itu akan berubah setelah menikah. Persamaannya dari mayoritas subjek disini adalah, subjek mengatakan belum terbiasa menerima perubahan sikap, sifat maupun perbedaan yang muncul dengan pasangannya di awal pernikahan. Kondisi tersebut juga dipengaruhi oleh latar belakang masing-masing pasangan, terutama menyangkut hal yang mendasari pasangan suami istri untuk menikah. Kesamaan latar belakang pernikahan yang terjadi dari masing-masing subjek karena kedua belah pihak telah saling mengenal, mengetahui satu sama lain. Perbedaannya adalah dasar setiap subjek memutuskan untuk menikah sangat berbeda, entah itu karena desakan orangtua, hanya ingin melegalkan hubungan saja, atau rasa saling cinta diantara keduanya. Hal ini merupakan faktor penting yang kelak mempengaruhi kualitas perkawinan seseorang, mempengaruhi pola interaksi dan komunikasi suami istri, orangtua-anak, mempengaruhi persepsi dan sikap terhadap pasangan maupun terhadap perannya (Rini, 2002). Sehingga kedepannya, baik suami maupun istri mempunyai pandangan berbeda dalam menyelesaikan masalah yang terjadi, inisiatif penyelesaian masalah, maupun pengambilan keputusan dalam rumah tangga mereka. Perbedaan yang mencolok diantara suami istri, seperti perbedaan agama, keyakinan, pun turut berpengaruh terhadap perselisihan, pertengkaran yang terjadi maupun penyelesaian masalah. Masing-masing berpegang teguh pada ajaran yang dipegangnya dan merasa yakin bahwa apa yang diyakininya adalah benar. Tetapi, ada juga beberapa pasangan yang menempatkan perbedaan agama dalam perkawinan sebagai sesuatu yang harus untuk dihormati, dihargai yang dapat memunculkan kerukunan serta rasa toleransi yang tinggi. Sehingga mereka tidak kesulitan dalam menyatukan perbedaan yang ada. Studi Burgess & Cotrell (1939, dalam Dyer 1983) menyatakan bahwa meskipun perselisihan agama hanya memainkan peran kecil dalam membangun rumah tangga, tetapi terdapat INSAN Vol. 8 No. 3, Desember 2006 205

Pola Penyesuaian Perkawinan pada Periode Awal hubungan positif antara kesamaan agama dan kebahagiaan perkawinan. Begitu juga dengan ekspresi afeksi masing-masing pasangan. Mayoritas subjek mengatakan, afeksi tidak selalu ditunjukkan dengan ucapan verbal atau sentuhan fisik, tetapi lewat perhatian dan kualitas pasangan suami istri menjaga hubungan perkawinannya. Pada masing-masing subjek, salah satu pasangannya lebih terbuka dalam mengekspresikan afeksi. Namun, tidak semua pasangan memahami dan mengerti ketika pasangannya berusaha menunjukkan perhatiannya. Suami istri yang sudah terbiasa untuk tidak menampakkan afeksi akan mengalami kesulitan dalam membangun hubungan yang hangat dan intim, sebab masing-masing mengartikan perilaku pasangannya sebagai indikasi bahwa ia tidak acuh (Hurlock, 2002). Hal ini berpengaruh pada kualitas hubungan pasangan suami istri itu sendiri. Kesamaannya adalah masingmasing pasangan berusaha saling memberikan perhatian dan kasih sayangnya, tetapi tidak semua pasangan bisa menerima bentuk penghargaan tersebut. Hal yang jauh lebih penting lagi dalam penyesuaian perkawinan yang baik adalah kesanggupan dan kemampuan suami istri untuk berhubungan mesra, saling memberi dan menerima cinta (Hurlock, 2002). Hal tersebut berkaitan erat dengan penyesuaian seksual pada pasangan suami istri. Masalah penyesuaian seksual merupakan suatu masalah yang paling sulit dalam perkawinan, karena masalah ini menjadi salah satu penyebab dari pertengkaran atau ketidakbahagiaan perkawinan (Hurlock, 2002). Meskipun setiap subjek mengakui tidak memiliki masalah dalam kehidupan seksualnya, namun ini bisa saja terjadi. Seperti kehadiran seorang anak. Mungkin ini berpengaruh kecil, tetapi seringkali pasangan suami istri yang telah memiliki anak lebih mencurahkan kasih sayangnya kepada anak sehingga tidak lagi memiliki waktu untuk bersama dengan pasangan. Kecemasan tentang anak akan membelokkan perhatian istri dari seks mungkin karena kelelahan dan kekurangan waktu bersama (Beardsley & Sanford, 1994). Kebanyakan istri lebih banyak memiliki waktu untuk anak, sedangkan suami lebih banyak beraktivitas di luar rumah dan berkutat dengan pekerjaannya, sehingga anak pun lebih dekat secara emosional kepada ibunya. Memang, setiap orangtua pasti ingin memberi yang terbaik untuk anaknya dan masing-masing memiliki persepsi yang berbeda pula dalam mengasuh anak. Hampir dalam semalam saja, istri dapat berubah menjadi sangat dewasa. Kedatangan seseorang yang bergantung kepadanya membawa keluar semua kedewasaan yang terpendam. Sayangnya, pengaruhnya tidak sama terhadap suaminya. Bagi pria, memang perannya tidak berubah secara radikal, namun banyak diantara mereka yang meremehkan peran sebagai orangtua akibatnya mereka menjadi tidak responsif secara seksual terhadap istrinya. Keuangan pun berpengaruh kuat terhadap penyesuaian perkawinan. Beberapa subjek mengatakan, dalam hal keuangan biasanya suami lebih menyerahkan semua hal keuangan kepada istrinya dan merasa kewajibannya hanyalah mencari uang saja. INSAN Vol. 8 No. 3, Desember 2006 206

Cinde Anjani & Suryanto Banyak suami yang merasa sulit untuk menyesuaikan diri dengan keuangan. Dari sini, percekcokan mungkin berkembang bila istri berharap bahwa suaminya dapat menangani sebagian tugasnya. Namun di lain hal, suami tidak mampu memenuhi semua kebutuhan rumah tangga dan mengerjakan semua tugasnya. Selanjutnya, bila suami tidak mampu menyediakan barang-barang keperluan keluarga, maka bisa menimbulkan perasaan tersinggung yang dapat berkembang ke arah pertengkaran (Hurlock, 2002) Hoffman & Nye (1974) menyoroti penyesuaian perkawinan berdasarkan pembagian tugas rumah tangga antara suami istri. Wanita biasanya ditugaskan untuk mengurus rumah tangga, mengasuh dan merawat anak karena dianggap cocok bagi kondisi psikologis dan fisiologis. Laki-laki sebagai pemberi nafkah utama dan kepala keluarga yang harus dilayani dan dihormati oleh istri. Setiap suami maupun istri tentunya memiliki beberapa tugas yang sesuai dengan kapasitasnya. Namun, subjek dalam penelitian ini mengatakan, tidak semua pasangan mampu melakukan tugas tersebut dengan baik. Alasannya adalah karena dirinya terlalu sibuk dengan kegiatan atau aktivitas di luar rumah, seperti pekerjaan yang menumpuk, kegiatan rutin di luar rumah dan sebagainya. Sehingga, bila mereka tiba di rumah maka masing-masing akan menyerahkan semua tugas dan tanggung jawabnya kepada salah satu pasangannya. Begitu pula sebaliknya, istri yang seharian berada di rumah merasa keberatan dengan sikap suaminya. Istri merasa sudah seharian penuh mengurus rumah tangga dan sebagai suami seharusnya wajib membantu mengurus rumah tangga. Dari perbedaan pandangan dan pola pikir inilah yang menyebabkan munculnya perselisihan dan pertengkaran diantara mereka. Menurut Gunarsa (1982) setiap pasangan suami istri harus saling ikut serta dalam setiap perubahan yang terjadi melalui penyelesaian masalah demi masalah, khususnya perubahan dan perkembangan suasana rumah. Pendidikan pun turut mempengaruhi pola penyesuaian perkawinan pada pasangan suami istri. Dyer (1983) menunjukkan, bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan pasangan suami istri, maka mempunyai kemungkinan lebih besar untuk melakukan penyesuaian perkawinan dan sedikit terjadinya perceraian. Hal itu tidak sepenuhnya benar. Mayoritas subjek memang memiliki tingkat pendidikan tinggi, yaitu S1 dan mereka mampu memegang pembelajaran mengenai pentingnya kebahagiaan hidup berumah tangga, namun ada pula beberapa subjek yang tingkat pendidikannya tinggi tetapi perceraian tetap saja terjadi dalam rumah tangga mereka. yang lebih penting lagi dalam faktor ini adalah kesamaan pendidikan antara suami dan istri, tanpa memandang gradasi pendidikan tersebut. Keluarga masing-masing pasangan pun memiliki peran dalam kehidupan rumah tangga masing-masing subjek. Setiap subjek juga memiliki cara yang dijalankan sendirisendiri dalam menjaga hubungan dengan keluarga pasangan. Ada yang dapat menjaga hubungan baik dengan keluarga pasangan ada pula yang tidak mampu menjaga INSAN Vol. 8 No. 3, Desember 2006 207

Pola Penyesuaian Perkawinan pada Periode Awal hubungan tersebut. Tidak dapat dipungkiri, pengaruh keluarga ini bisa menimbulkan masalah karena ikatan keluarga besar setiap orangtua yang masih merasa mempunyai hak atas anaknya yang telah menikah. Mertua ataupun orangtua merasa bahwa hak-hak atas anaknya direbut oleh menantunya dan sering terjadi perebutan cinta kasih antara mertua dan menantu. Persaingan ini bisa meruncing dan bisa menimbulkan percekcokan (Gunarsa, 1982). SIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan yang dapat ditarik dari hasil penelitian ini adalah: 1. Pola penyesuaian perkawinan dilakukan secara bertahap. Pada fase bulan madu pasangan masih menjalani hidup dengan penuh kebahagian, dan hal itu karena didasari rasa cinta diawal perkawinan. Pada fase pengenalan kenyataan, pasangan mengetahui karakteristik dan kebiasaan yang sebenarnya dari pasangan. Pada fase krisis perkawinan terjadi proses penyesuaian akan adanya perbedaan yang terjadi. Apabila sukses dalam menerima kenyataan maka akan dilanjutkan dengan suksesnya fase menerima kenyataan. Apabila pasangan sukses mengatasi problema keluarga dengan berapatasi dan membuat aturan dan kesepakatan dalam rumah tangga maka fase kebahagiaan sejati akan diperolehnya. 2. Faktor pendukung keberhasilan penyesuaian perkawinan mayoritas subjek terletak dalam hal saling memberi dan menerima cinta, ekspresi afeksi, saling menghormati dan menghargai, saling terbuka antara suami istri. Hal tersebut tercermin pada bagaimana pasangan suami istri menjaga kualitas hubungan antar pribadi dan pola-pola perilaku yang dimainkan oleh suami maupun istri, serta kemampuan menghadapi dan menyikapi perbedaan yang muncul, sehingga kebahagiaan dalam hidup berumah tangga akan tercapai. 3. Faktor penghambat yang mempersulit penyesuaian perkawinan mayoritas subjek terletak dalam hal baik suami maupun istri tidak bisa menerima perubahan sifat dan kebiasaan di awal pernikahan, suami maupun istri tidak berinisiatif menyelesaikan masalah, perbedaan budaya dan agama diantara suami dan istri, suami maupun istri tidak tahu peran dan tugasnya dalam rumah tangga. Hal tersebut tercermin pada bagaimana pasangan suami istri menyikapi perubahan, perbedaan, pola penyesuaian yang dimainkan dan munculnya hal-hal baru dalam perkawinan, yang kesemuanya itu dirasa kurang membawa kebahagiaan hidup berumah tangga, sehingga masingmasing pasangan gagal dalam menyesuaikan diri satu sama lain. Peneliti menyadari banyak kekurangan yang terdapat dalam penelitian ini. Untuk itu, saran yang ingin disampaikan peneliti sehubungan dengan penelitian ini adalah: 1. Untuk dapat memperoleh gambaran yang lebih kompleks bagi peneliti lain yang mungkin tertarik untuk meneliti INSAN Vol. 8 No. 3, Desember 2006 208

Cinde Anjani & Suryanto masalah yang sama dapat mengikutsertakan aspek lainnya, seperti gender, pola komunikasi guna membedakan secara jelas pandangan, sikap dan perilaku antara suami dan istri dalam perkawinan. 2. Selain itu, tidak lupa bagi peneliti selanjutnya supaya lebih mengamati beberapa keterbatasan penelitian yang telah dicantumkan dalam pembahasan pada bab sebelumnya dan yang dilakukan oleh peneliti pendahulunya, supaya dapat dijadikan pedoman dan alasan untuk mengembangkan penelitian selanjutnya dengan lebih baik. Mengingat cukup banyak kelemahan dan keterbatasan yang dialami oleh peneliti pada saat penelitian ini dijalankan. 3. Interview mendalam juga perlu dilakukan dalam jangka waktu yang lama, sehingga terbentuk rapport yang lebih baik dan observasi terhadap perilaku subjek di dalam maupun diluar kehidupan rumah tangganya dengan tujuan untuk mendapatkan gambaran yang lebih nyata dan lebih lengkap mengenai pola penyesuaian perkawinan pada pasangan suami istri. 4. Penelitian mengenai penyesuaian perkawinan ini diharapkan dapat menjadi sebuah wacana dalam kehidupan perkawinan. Bagi beberapa pasangan suami istri yang kehidupan rumah tangganya kurang harmonis, dapat menggunakan hasil penelitian ini sebagai bahan pertimbangan bahwa keadaan rumah tangga yang kurang harmonis tersebut mungkin berkaitan dengan masalah penyesuaian dalam perkawinan, sehingga konflik berat yang mengakibatkan perceraian tidak sampai terjadi dan konflik ringan dapat diatasi tanpa kendala berarti. 5. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sumber informasi bagi pasangan suami istri mengenai bagaimana cara melakukan penyesuaian perkawinan, pentingnya penyesuaian dan keikhlasan berumah tangga dan diharapkan pasangan suami istri dapat melakukan penyesuaian perkawinan yang baik dengan pasangannya DAFTAR PUSTAKA Hurlock, E.B. (2002). Psikologi Perkembangan 5 th edition. Erlangga: Jakarta. Beardsley, W & Sanford, C. (1994). Membina Hubungan Yang Harmonis (terjemahan). Jakarta: Arcan. Clinebell, H.J. & Clinebell, C.H. (2005). The Intimate Marriage (online). Diakses 28 Pebruari 2006 dari http:// www.indomedia.com/bpost/ 032005/8/ragam/art-1.htm. Dyer, E.D,. (1983). Courtship, Marriage, and Family: American Style. Illionis: The Dorsey Press. Gunarsa, S.D. (1982). Psikologi Untuk Keluarga. Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia. Hassan, R. (2004, 19 Juni). Usia Lima Tahun Perkawinan Rawan? Diakses 28 Pebruari 2006 dari http://www.republika. INSAN Vol. 8 No. 3, Desember 2006 209

Pola Penyesuaian Perkawinan pada Periode Awal co.id/koran detail. asp?id = 194604&kat.id = 311&kat_id1 = &kat_id2 =. Hoffman, L.W & Nye, I. (1974). Housband- Wife Relationship dalam Working Mother. California: Boss inc. Inisiatif Cerai Banyak Dari Istri (2002, 15 Mei). Suara Merdeka. (online). Diakses 28 Pebruari 2006 dari http:// www.kompas.com. Ketika Perkawinan Dilanda Kemelut (2001, 30 Juli). Tabloid Hawa. (online). Diakses 28 Pebruari 2006 dari http:/ /www.wanita.com. Kesulitan Ekonomi, Perceraian di Bogor Meningkat (2003, 15 Juli). Kompas. (online). Diakses 28 Pebruari 2006 dari http://www.kompas.com. Poerwandari, K. (2001). Pendekatan Kualitatif Untuk Penelitian Perilaku Manusia. Jakarta: LPSP3 Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Perceraian di Jember Terbanyak Ketiga Se- Jawa Timur (2001, 11 April). Kompas. (online). Diakses 28 Pebruari 2006 dari http://www.kompas.com. Rini, J.F. (2002, 15 Mei). Suara Merdeka. (online). Diakses 28 Pebruari 2006 dari http://www.kompas.com. Wismanto, B. (2005, 22 Agustus). Kepuasan Perkawinan Diperoleh Dari Komitmen Perkawinan. Diakses 28 Pebruari 2006 dari http://www.unika.ac.id/warta/ 22082005.htm. Yin, R.K. (2002). Studi Kasus (Desain dan Metode). Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. INSAN Vol. 8 No. 3, Desember 2006 210