RESPON KECEPATAN TIMBULNYA ESTRUS DAN LAMA ESTRUS PADA BERBAGAI PARITAS SAPI BALI SETELAH DUA KALI PEMBERIAN PROSTAGLANDIN F2α (PGF2α)

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. Ketahanan pangan merupakan prioritas ke-5 tingkat Nasional dalam Rancangan

ABSTRACT. Key words: Ongole Offspring, Estrous, Estrous Synchronization, PGF 2 α, Parities

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kabupaten Bone Bolango merupakan salah satu kabupaten diantara 5

ONSET DAN LAMA ESTRUS KAMBING KACANG YANG DIINJEKSIPROSTAGLANDINF2α PADA SUBMUKOSA VULVA

I. PENDAHULUAN. Propinsi Lampung memiliki potensi sumber daya alam yang sangat besar untuk

Tampilan Berahi dan Tingkat Kesuburan Sapi Bali Timor yang Diinseminasi (The Performance of Estrus and Fertility Rate of Timor Bali Cow Inseminated)

I. PENDAHULUAN. Selatan. Sapi pesisir dapat beradaptasi dengan baik terhadap pakan berkualitas

BAB V INDUKSI KELAHIRAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. pejantan untuk dikawini. Diluar fase estrus, ternak betina akan menolak dan

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di kecamatan Botupingge, Kabupaten Bone

HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. jika ditinjau dari program swasembada daging sapi dengan target tahun 2009 dan

LEMBAR PERSETUJUAN ARTIKEL TAMPILAN BIRAHI KAMBING LOKAL YANG BERBEDA UMUR HASIL SINKRONISASI MENGGUNAKAN PROSTAGLANDIN F2 DI KABUPATEN BONE BOLANGO

Animal Agriculture Journal, Vol. 1. No. 2, 2012, p Online at :

PERBAIKAN FERTILITAS MELALUI APLIKASI HORMONE GONADOTROPIN PADA INDUK SAPI BALI ANESTRUS POST-PARTUM DI TIMOR BARAT

I. PENDAHULUAN. hari. Dalam perkembangannya, produktivitas kerbau masih rendah dibandingkan dengan sapi.

RESPON PENYUNTIKAN HORMON CAPRIGLANDIN PGF2 ERHADAP SINKRONISASI BERAHI INDUK SAPI BALI DI KABUPATEN BANTAENG SULAWESI SELATAN

EFEKTIVITAS PENYUNTIKAN ESTRO-PLAN (PGF-2Α SINTETIS) TERHADAP PENYERENTAKAN BERAHI SAPI BALI DI KABUPATEN PINRANG SULAWESI SELATAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Peranakan Ongole (PO) merupakan salah satu sapi yang banyak

I. PENDAHULUAN. dengan tujuan untuk menghasilkan daging, susu, dan sumber tenaga kerja sebagai

BAB I PENDAHULUAN. khususnya daging sapi dari tahun ke tahun di Indonesia mengalami peningkatan

MATERI DAN METODE. Waktu dan Tempat Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan pada peternakan sapi rakyat di Kabupaten

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk yang terus

Department of Animal Husbandry, Faculty of Agriculture Lampung University Soemantri Brojonegoro No.1 Gedung Meneng Bandar Lampung ABSTRACT

PENGARUH PARITAS TERHADAP PERSENTASE ESTRUS DAN KEBUNTINGAN SAPI PERANAKAN ONGOLE YANG DISINKRONISASI ESTRUS MENGGUNAKAN PROSTAGLANDIN F 2 Α (PGF 2 Α)

GAMBARAN AKTIVITAS OVARIUM SAPI BALI BETINA YANG DIPOTONG PADA RUMAH PEMOTONGAN HEWAN (RPH) KENDARI BERDASARKAN FOLIKEL DOMINAN DAN CORPUS LUTEUM

PEMACUAN KEAKTIFAN BERAHI MENGGUNAKAN HORMON OKSITOSIN PADA KAMBING DARA ESTRUS ACTIVITY INDUCTION OF YOUNG GOAT BY OXYTOCIN

SINKRONISASI ESTRUS MELALUI MANIPULASI HORMON AGEN LUTEOLITIK UNTUK MENINGKATKAN EFISIENSI REPRODUKSI SAPI BALI DAN PO DI SULAWESI TENGGARA

II. TINJAUAN PUSTAKA A.

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Dalam usaha meningkatkan penyediaan protein hewani dan untuk

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. kebutuhan sehingga sebagian masih harus diimpor (Suryana, 2009). Pemenuhan

Peningkatan Angka Kebuntingan melalui Pemberian Hormone Eksogen CIDR-B dan Injeksi hcg pada Sapi Bali di Kecamatan Pemayung Kabupaten Batang Hari

PENGARUH PENYUNTIKAN PROSTAGLANDIN TERHADAP PERSENTASE BIRAHI DAN ANGKA KEBUNTINGAN SAPI BALI DAN PO DI KALIMANTAN SELATAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Bahan Kering (BK) 300, ,94 Total (g/e/hr) ± 115,13 Konsumsi BK Ransum (% BB) 450,29 ± 100,76 3,20

TINJAUAN PUSTAKA Siklus Reproduksi Kuda

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Bali (Bibos sondaicus) yang ada saat ini diduga berasal dari hasil

Buletin Veteriner Udayana Vol.1 No.2. :83-87 ISSN : Agustus 2009 INDUKSI ESTRUS DENGAN PMSG DAN GN-RH PADA SAPI PERAH ANESTRUS POSTPARTUM

Pengaruh Pemberian Prostaglandin F2 Alpha Terhadap Waktu Kemunculan Birahi dan Keberhasilan Inseminasi Buatan Sapi Brahman Cross (Bx) Heifers

HASIL DAN PEMBAHASAN

HUBUNGAN BODY CONDITION SCORE (BCS),SUHU RECTAL DAN KETEBALAN VULVA TERHADAP NON RETURN RATE (NR) DAN CONCEPTION RATE (CR) PADA SAPI POTONG

PENGARUH JENIS SINKRONISASI DAN WAKTU PENYUNTIKAN PMSG TERHADAP KINERJA BERAHI PADA TERNAK KAMBING ERANAKAN ETAWAH DAN SAPERA

FENOMENA ESTRUS DOMBA BETINA LOKAL PALU YANG DIBERI PERLAKUAN HORMON FSH

Pemantauan dan Pengukuran Proses Layanan Purna Jual. Kegiatan Nama Jabatan Tanda Tangan Tanggal. Kepala BIB Lembang

SERVICE PER CONCEPTION (S/C) DAN CONCEPTION RATE (CR) SAPI PERANAKAN SIMMENTAL PADA PARITAS YANG BERBEDA DI KECAMATAN SANANKULON KABUPATEN BLITAR

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK HIPOFISA SAPI TERHADAP PENINGKATAN PRODUKTIVITAS AYAM PETELUR PADA FASE AKHIR PRODUKSI

5 KINERJA REPRODUKSI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat desa dengan keadaan desa yang alami dan mampu memberikan suplai

ONSET DAN INTENSITAS ESTRUS KAMBING PADA UMUR YANG BERBEDA. The Onset and Intensity of Goat Estrus at Various Ages

II. TINJAUAN PUSTAKA. sebesar 90-95% dari total kebutuhan daging sapi dalam negeri, sehingga impor

HASIL DAN PEMBAHASAN. Karakteristik Estrus Setelah Penyuntikan Kedua PGF 2α. Tabel 1 Pengamatan karakteristik estrus kelompok PGF 2α

BAB I PENYERENTAKAN BERAHI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Jawarandu merupakan kambing lokal Indonesia. Kambing jenis

Pengaruh Waktu Pemberian Gonadotropin Releasing Hormone (GnRH) terhadap Jumlah Korpus Luteum dan Kecepatan Timbulnya Berahi pada Sapi Pesisir

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ANGKA KEBUNTINGAN (CONCEPTION RATE) PADA SAPI POTONG SETELAH DILAKUKAN SINKRONISASI ESTRUS DI KABUPATEN PRINGSEWU

SKRIPSI. PERFORMAN REPRODUKSI INDUK SAPI BALI PASCA SINKRONISASI ESTRUS MENGGUNAKAN PROSTAGLANDIN (PGF 2α ) DAN HUMAN CHORIONIC GONADOTROPIN (hcg)

penampungan [ilustrasi :1], penilaian, pengenceran, penyimpanan atau pengawetan (pendinginan dan pembekuan) dan pengangkutan semen, inseminasi, pencat

TEKNIK DAN MANAJEMEN PRODUKSI BIBIT SAPI BALI DI SUBAK KACANG DAWA, DESA KAMASAN, KLUNGKUNG ABSTRAK

CARA MUDAH MENDETEKSI BIRAHI DAN KETEPATAN WAKTU INSEMINASI BUATAN (IB) PADA SAPI INSEMINASI BUATAN(IB).

POLA ESTRUS INDUK SAPI PERANAKAN ONGOLE DIBANDINGKAN DENGAN SILANGAN SIMMENTAL-PERANAKAN ONGOLE. Dosen Fakultas Peternakan UGM

PENGARUH BERBAGAI DOSIS PROSTAGLANDIN (PGF2α) TERHADAP KARAKTERISTIK ESTRUS PADA DOMBA GARUT

MATERI DAN METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian

Prosiding Seminar Nasional Kebangkitan Peternakan II Membangun Kewirausahaan Dalam Pengelolaan Kawasan Peternakan Berbasis Sumberdaya Lokal

PEMBERIAN WHOLE SERUM KUDA LOKAL BUNTING YANG DISENTRIFUGASI DENGAN CHARCOAL TERHADAP BIRAHI DAN KEBUNTINGAN PADA SAPI POTONG

Sexual behaviour Parturient behaviour Nursing & maternal behaviour

PENGARUH PERLAKUAN SINKRONISASI BERAHI TERHADAP RESPON BERAHI PADA SAPI BALI INDUK PASCA MELAHIRKAN

PERFORMA REPRODUKSI PADA SAPI POTONG PERANAKAN LIMOSIN DI WILAYAH KECAMATAN KERTOSONO KABUPATEN NGANJUK

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sapi Persilangan Simmental Peranakan Ongole (SimPO)

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian mengenai Perbedaan Intensitas Berahi pada Generasi Pertama

MAKALAH BIOTEKNOLOGI PETERNAKAN PENINGKATAN POPULASI DAN MUTU GENETIK SAPI DENGAN TEKNOLOGI TRANSFER EMBRIO. DOSEN PENGAMPU Drh.

Skripsi Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Derajat Sarjana Peternakan Di Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret

PENGARUH KARAKTERISTIK LENDIR SERVIK SEBELUM INSEMINASI BUATAN (IB) TERHADAP KEBERHASILAN KEBUNTINGAN SAPI KOMPOSIT

PENGARUH METODE PERKAWINAN TERHADAP KEBERHASILAN KEBUNTINGAN DOMBA LOKAL PALU. The Effect of Mating Method on Successful Pregnancy of Palu Local Sheep

PENGENTASAN GANGGUAN REPRODUKSI MENGGUNAKAN HORMON PGF 2α UNTUK MENINGKATKAN KELAHIRAN ANAK PADA SAPI

BAB I PENDAHULUAN. berkaitan dengan timbulnya sifat-sifat kelamin sekunder, mempertahankan sistem

MATERI DAN METODE. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilakukan pada bulan November 1999 sampai dengan

PENGARUH METODE PERKAWINAN TERHADAP KEBERHASILAN KEBUNTINGAN SAPI DONGGALA DI KABUPATEN SIGI

EVALUASI EFISIENSI REPRODUKSI SAPI PERAH PERANAKAN FRIES HOLLAND (PFH) PADA BERBAGAI PARITAS DI KUD SUMBER MAKMUR KECAMATAN NGANTANG KABUPATEN MALANG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi PO adalah sapi persilangan antara sapi Ongole (Bos-indicus) dengan sapi

BAB I. PENDAHULUAN A.

DAFTAR PUSTAKA. Bearden, J and J. W Fuquay, Applied Animal Reproduction Fourth Edition. Prentice Hall, Inc. USA

UPAYA PENINGKATAN EFISIENSI REPRODUKSI TERNAK DOMBA DI TINGKAT PETAN TERNAK

PENGARUH INJEKSI PGF2α DENGAN HORMON PMSG PADA JUMLAH KORPUS LUTEUM, EMBRIO DAN JUMLAH ANAK KELINCI

Jurnal Ilmu dan Kesehatan Hewan, Agustus 2013 Vol. 1, No. 2: 40-44

HUBUNGAN BODY CONDITION SCORE (BCS),

EKSPRESI ESTRUS DOMBA LOKAL PALU YANG DIBERIKAN KONSENTRAT

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Rusa Timor (Rusa timorensis) merupakan spesies bendera (flag species)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Potong. potong adalah daging. Tinggi rendahnya produksi penggemukan tersebut

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Keberhasilan reproduksi akan sangat mendukung peningkatan populasi sapi

Pengaruh Body Condition Score (BCS) Berbeda terhadap Intensitas Birahi Sapi Induk Simmental Peranakan Ongole (SIMPO)

PENGARUH PENYUNTIKAN OKSITOSIN SEBELUM INSEMINASI PADA BABI TERHADAP PERSENTASE KEBUNTINGAN DAN JUMLAH ANAK PER KELAHIRAN

BAB I. PENDAHULUAN. Kebutuhan daging sapi dari tahun ke tahun terus meningkat seiring dengan

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Perkembangan fase prapubertas menjadi pubertas membutuhkan jalur yang

PERFORMANS REPRODUKSI SAPI BALI DAN SAPI PO DI KECAMATAN SUNGAI BAHAR

PENYERENTAKAN'BIRARI DADA DOMBA BETINA - St. CROIX

Kata Kunci : Kerbau Betina, Karakteristik Reproduksi, Tingkat Kesuburan. Keyword: Female Buffalo, Reproductive Characteristics, Fertility Rate

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dibagikan. Menurut Alim dan Nurlina ( 2011) penerimaan peternak terhadap

PENGARUH LAMA THAWING DALAM AIR ES (3 C) TERHADAP PERSENTASE HIDUP DAN MOTILITAS SPERMATOZOA SAPI BALI (Bos sondaicus)

PENGARUH JUMLAH ANAK SEKELAHIRAN DAN JENIS KELAMIN TERHADAP KINERJA ANAK DOMBA SAMPAI SAPIH. U. SURYADI Jurusan Peternakan, Politeknik Negeri Jember

HUBUNGAN ANTARA JUMLAH FOLIKEL YANG MENGALAMI OVULASI TERHADAP KEBERHASILAN KEBUNTINGAN DOMBA PADA BERAHI PERTAMA SETELAH PENYUNTIKAN PGF2,

PENAMPILAN REPRODUKSI SAPI POTONG DI KABUPATEN BOJONEGORO. Moh. Nur Ihsan dan Sri Wahjuningsih Bagian Produksi Ternak Fakultas Peternakan UB, Malang

Transkripsi:

RESPON KECEPATAN TIMBULNYA ESTRUS DAN LAMA ESTRUS PADA BERBAGAI PARITAS SAPI BALI SETELAH DUA KALI PEMBERIAN PROSTAGLANDIN F2α (PGF2α) Respone of Onset Estrus and Estrus Duration at The Various Parity of Bali Cattle after Twice Injection of Prostaglandin F 2 α (PGF 2 α) Ulvi Fitri Handayani 1), Madi Hartono 2), dan Siswanto 2) ABSTRACT This research aims to response of onset estrus and estrus duration at various parity Bali cattle after twice injection of prostaglandin F2α (PGF2α). This research has been done in the Sukoharjo 2, Pringsewu District. The material is used as much as 12 cows, and the average weight range average cow is 285 kg. Methods of research used Completely Randomized Design (CRD) with three treatments, they are (P0), (P1) and (P2). Each other treatment was repeated four times, they are 4 Bali cattle parity 0 or heifers, 4 Bali cattle 1 or cow that has begat 1 times, and 4 Bali cattle parity 2 or cows that have been lambing 2 times. Hormone s name is prostaglandin F2α (Juramate ) at a dose of 2 ml / tail. The results showed that there were highly significant differences (P<0.01) in the treatment of P0 and P1 to P2, but no effect between P0 and P1 to speed the onset of estrus, and the differences were highly significant (P <0.01) between treatment on P0, P1, and P2 to the long estrus. The average respon of onset estrus for each successive treatments are P0 = 44.15 hours; P1 = 48.89 hours; P2 = 22.33 hours. The average of estrus duration are Respectively : P0 = 12.94 hours; P1 = 20.85 hours; P2 = 16.63 hours. Keyword: Parity, PGF2α, Response of onset estrus, estrus duration, and Bali cattle Keterangan: 1) Mahasiswa Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung 2) Dosen Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung PENDAHULUAN Ketahanan pangan merupakan prioritas ke-5 Nasional dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Kementerian Pertanian Tahun 2010--2014 (Kementerian Pertanian, 2009). Salah satu program utama Derektorat Jendral Peternakan dalam masalah ketahanan pangan adalah Program Swasembada Daging Sapi dan Kerbau (PSDSK) pada tahun 2014. Program swasembada daging ini merupakan salah satu cara untuk memenuhi kebutuhan protein masyarakat. Protein merupakan salah satu sumber nutrisi yang sangat dibutuhkan oleh tubuh. Sumber protein dapat berasal dari protein hewani dan protein nabati (Anonim, 2012). Dalam mewujudkan program swasembada daging, Provinsi Lampung memiliki peran yang sangat penting dalam pemenuhan daging dalam negeri. Hal ini dikarenakan Lampung memiliki potensi untuk pengembangan sapi potong sehingga menjadi salah satu lumbung ternak nasional. Di Propinsi Lampung terdapat beberapa daerah yang cukup potensial untuk mengembangkan sapi Bali salah satunya adalah Kecamatan Sukoharjo Kabupaten Pringsewu. Permasalahan yang dihadapi dalam meningkatkan populasi ternak sapi salah satunya mengenai reproduksi. Kendala alamiah dalam reproduksi sapi yaitu memiliki sifat monotokus dengan interval kelahiran yang panjang. Selain kendala alamiah pada sapi, peternak juga sering kali terlambat mengetahui sapinya estrus sehingga terlambat mengawinkan dan menambah garis panjang sapi tidak bunting. Berkaitan dengan masalah tersebut kegiatan yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan ini adalah dengan sinkronisasi estrus. Salah satu hormon yang dapat digunakan dalam sinkronisasi estrus adalah prostaglandin. Sinkronisasi menggunakan prostaglandin F2α ini dilaporkan memperlihatkan hasil yang rendah. Menurut Fauzat (1994), rendahnya hasil IB dalam pelaksanaan sinkronisasi karena tidak pernah diikuti dengan pengamatan estrus setelah pemberiannya, melainkan langsung 33

diiseminasi pada hari ketiga setelah pemberian. Varitas adalah tahapan seekor induk ternak melahirkan anak (Hafez, 2000). Daya reproduksi ternak biasanya terlihat dari penampilan reproduksi dan respon fisiologinya. Penelitian tentang pengaruh paritas ternak yang diberi prostaglandin F2α terhadap kecepatan timbulnya estrus dan lama estrus belum banyak diketahui. Lama estrus dan kecepatan timbulnya estrus pada paritas ternak yang berbeda sangat penting diketahui untuk dijadikan pedoman dalam pelaksanaan IB yang tepat pada masingmasing paritas ternak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui respon kecepatan timbulnya estrus dan lama estrus pada berbagai paritas sapi Bali setelah dua kali pemberian prostaglandin F2α (PGF2α). BAHAN DAN METODE A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada November sampai Desember 2012 di Desa Sukoharjo II Kecamatan Sukoharjo, Kabupaten Pringsewu, Provinsi Lampung. B. Alat dan Bahan Penelitian 1. Alat Penelitian Alat yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah dispossible syringe 3 cc, kapas, glove 5 fingers, kamera, kartu ternak, ember, gunting, pencatat waktu, termometer rektal, alat tulis, tali ukur, dan tissue. 2. Bahan Penelitian Penelitian ini menggunakan 12 ekor sapi Bali betina dewasa milik peternak rakyat di Desa Sukoharjo II Kecamatan Sukoharjo, Kabupaten Pringsewu, Provinsi Lampung, kemudian dikelompokan menjadi 3 yaitu paritas 0 (P 0 ) = belum pernah beranak, paritas 1 (P1) = sudah beranak satu kali, paritas 2 (P 2 ) = sudah beranak dua kali. Bahan lainnya yang digunakan adalah hormon PGF2α (Juramate, synthetic Prostaglandin 20 ml) yang mengandung bahan aktif cloprostenol 250 μg/ml, alkohol 70%, sabun lunak, air bersih, dan kapas. C. Rancangan Penelitian Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan tiga perlakuan yaitu paritas ternak yang terdiri dari (P 0 ), (P 1 ), (P 2 ) dan setiap paritas ternak diulang empat kali. D. Analisis Data Data yang diperoleh dianalisis ragam pada taraf nyata 5% dan atau 1% (Steel dan Torrie, 1991). Apabila hasil analisis didapat peubah yang nyata dan atau sangat nyata maka dilanjutkan uji Beda Nyata Terkecil (BNT) pada taraf 5% dan atau 1% (Steel dan Torrie, 1991). E. Pelaksanaan Penelitian Teknis pelaksanaan penelitian ini adalah 1. menyeleksi induk-induk sapi Bali yang dalam kondisi tidak bunting dengan jalan melakukan pemeriksaan kebuntingan (PKB) melalui palpasi rektal; 2. melakukan pengukuran bobot badan dengan menggunakan Rumus Schrool dan melakukan penilaian skor kondisi tubuh; 3. melakukan penyuntikan sinkronisasi pertama (1) dengan menggunakan hormon prostaglandin F2α dengan dosis 2 ml/ekor secara intra muskuler; 4. ternak yang disinkronisasi pertama akan menunjukan tanda-tanda estrus tetapi ternak didiamkan saja (tidak dilakukan IB); 5. melakukan penyuntikan sinkronisasi kedua (2) terhadap sapi yang sama pada hari ke-11 dari penyuntikan pertama; 6. pengamatan estrus dilakukan 3 kali dalam sehari (pagi, siang, dan sore) selama 3 hari dimulai pada hari ke-1 setelah penyuntikan ke-2. Kecepatan munculnya estrus dihitung dari waktu petama kali munculnya estrus setelah penyuntikan kedua, sedangkan lama estrus dihitung sejak munculnya tandatanda estrus hingga menghilangnya tanda-tanda estrus; 7. pengamatan estrus pada sapi dilakukan secara visual dengan cara mendeteksi gejala-gejala estrus sebagai berikut: keluar lendir jernih dari servik yang mengalir melalui vagina dan vulva, sapi nampak gelisah dan ingin keluar 34

dari kandang, sering melenguh-lenguh, mencoba menunggangi sapi lain, pangkal ekor terangkat sedikit, nafsu makan dan minum berkurang, vulvanya bengkak, hangat, dan berubah warna menjadi sedikit kemerahmerahan (Partodihardjo, 1980). F. Peubah yang Diamati Peubah yang diukur dalam penelitian ini adalah 1. kecepatan timbulnya estrus (jam) yaitu selang waktu (jam) dari mulai penyuntikan kedua sampai timbulnya gejala estrus; 2. lama estrus (jam), yaitu selisih waktu sejak munculnya tanda-tanda estrus sampai menghilangnya tanda-tanda estrus (Toelihere, 1985). HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Sapi Penelitian 1. Bobot Tubuh Bobot tubuh sapi dapat diduga dengan pengukuran tubuh sapi berdasarkan lingkar dada dengan menggunakan adalah Rumus Schoorl (Hunter, 1995). Lingkar dada merupakan salah satu dimensi tubuh yang dapat digunakan sebagai indikator mengukur pertumbuhan dan perkembangan ternak. Lingkar dada sapi diukur pada tulang rusuk paling depan, persis pada belakang kaki depan, dengan menggunakan pita ukur (Awaluddin dan Panjaitan, 2010). Hasil perhitungan bobot tubuh sapi Bali penelitian dengan Rumus Schoorl pada paritas 0, paritas 1, dan paritas 2 berturutturut adalah 294,25; 277,23; 283,17 kg. Hasil ini sesuai dengan pernyataan Talib et al., (2003), bahwa berat dewasa sapi Bali berkisar antara 211--494 kg. 2. Skor Kondisi Tubuh Skor kondisi dimaksudkan untuk memberikan kriteria pada seekor ternak sapi yang dinilai secara kualitatif. Standar penilaian ini penting terkait dengan kondisi tubuh ternak yang dapat menjadi indikator terhadap pertumbuhan ternak dan potensi reproduksi yang dimiliki oleh seekor ternak. Berdasarkan hasil pengukuran diketahui bahwa rata-rata skor kondisi tubuh sapi Bali paritas 0, paritas 1, dan paritas 2 berturutturut adalah 3,25; 2; dan 2, 75. 3. Hasil Pemeriksaan Kebuntingan Untuk memastikan kondisi induk tidak dalam keadaan bunting, maka sebelum diberikan hormon Prostaglandin F2α maka sapi-sapi penelitian dilakukan palpasi rektal. Hasil pemeriksaan kebuntingan dengan palpasi rektal pada sapi-sapi penelitian ini diketahui bahwa sapi-sapi tersebut tidak dalam keadaan bunting. Hal ini dibuktikan dengan tidak adanya sapi yang abortus setelah diinjeksi hormon Prostaglandin F2α. Sapi dalam keadaan bunting tidak boleh diberi perlakuan sinkronisasi estrus karena akan menyebabkan keguguran atau abortus (Nandang dan Yayan, 2011). 4. Gejala Estrus Seluruh sapi yang diberi perlakuan hormon PGF2α memperlihatkan gejala estrus tetapi memiliki itensitas estrus yang berbeda-beda. Tabel 1. Perbandingan intensitas estrus sapi Bali paritas 0, paritas 1, dan paritas 2 setelah dua kali pemberian Prostaglandin F2α Perlakuan Jumlah Intensitas Estrus (ekor) Rataan Intensitas Berahi Ulangan Skor 1 Skor 2 Skor 3 P0 4 0 0 4 3 P1 4 3 1 0 1,25 P2 4 0 1 3 2,5 Keterangan: P0 : Paritas 0 P1 : Paritas 1 P2 : Paritas 2 R1-4 : Ulangan ke-1 sampai ke-4 35

Pada Tabel 1 diketahui bahwa setiap paritas memiliki intensitas estrus berdasarkan gejala klinis yang berbeda-beda. Semua sapi Bali paritas 0 memperlihatkan intensitas berahi dengan jelas (skor 3). Hal tersebut menunjukkan bahwa semua sapi paritas 0 mampu memperlihatkan gejala berahi dengan intensitas yang jelas. Sapi Bali paritas 1 memperlihatkan intensitas berahi dengan skor 1, skor 2, dan skor 3 berturut-turut 75 %, 25 %, dan 0 %. Hal tersebut menunjukkan bahwa tidak semua sapi mampu memperlihatkan gejala berahi dengan intensitas yang jelas. Sapi Bali paritas 2 memperlihatkan intensitas berahi dengan skor 1, skor 2, dan skor 3 berturutturut 0 %, 25 %, dan 75 %. B. Pengaruh Perlakuan Terhadap Kecepatan Timbulnya Estrus Kecepatan timbulnya estrus (jam) yaitu selang waktu (jam) dari mulai penyuntikan kedua sampai timbulnya gejala estrus. Pengamatan kecepatan timbulnya estrus dilakukan setelah dua kali penyuntikan Prostaglandin F2α (Juramate ) dengan dosis 2 ml/ekor sampai 72 jam kemudian. Kecepatan timbulnya estrus pada berbagai paritas sapi Bali setelah dua kali pemberian Prostaglandin F2α dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Rata-rata kecepatan timbulnya estrus pada berbagai paritas sapi Bali setelah dua kali pemberian Prostaglandin F2α Perlakuan Ulangan P0 P1 P2 - - - - - - - - - - - - - - Jam - - - - - - - - - - - - - - I 44,92 45,17 17,35 II 44,58 47,67 22,50 III 45,33 47,25 19,58 IV 41,75 55,47 29,87 Jumlah 176,58 195,55 89,30 Rata-rata 44,15 a 48,89 a 22,33 b Keterangan: Nilai dengan huruf superscript yang berbeda pada kolom rata-rata menunjukkan berbeda sangat nyata (P<0,01) berdasarkan uji BNT P0 : Sapi dara P1 : Sapi beranak satu kali P2 : Sapi beranak dua kali Pada penelitian ini rata-rata kecepatan timbulnya estrus pada paritas 0 adalah 44,15 jam, paritas 1 adalah 48,89 jam, dan paritas 2 adalah 22,33 jam. Hasil penelitian ini lebih cepat dari penelitian Tagama (1995) yang menyatakan bahwa estrus sapi PO yang diberi perlakuan PGF2α rata-rata adalah 95,45 jam. Kecepatan timbulnya estrus sapi Bali yang lebih cepat ini diduga karena bobot badan sapi Bali lebih kecil daripada bobot sapi PO secara umum. Pada sapi yang memiliki bobot lebih kecil akan menyebabkan hormon protaglandin cepat menuju organ sasaran dan kemudian menjalankan fungsinya, sedangkan pada ternak yang gemuk, obat yang diberikan sebagian larut dalam lemak. Hal ini sesuai dengan Goff (2004), yang menyatakan bahwa senyawa Prostaglandin bersifat asam, larut dalam lemak dan merupakan turunan dari asam lemak tidak jenuh yang mengandung 20 atom C yang dihasilkan dari membran fosfolipid oleh aktivitas phospholipase A2, cyclooxygenase dan Prostaglandin synthase spesifik lainnya. Berdasarkan hasil uji beda nyata terkecil didapatkan bahwa paritas 0 memiliki kecepatan timbulnya estrus yang tidak berbeda nyata (P>0,05) dengan paritas 1. Hasil ini sesuai dengan penelitian Ismail (2009) yaitu onset estrus pada ternak paritas 0 tidak berbeda nyata dengan paritas 1 tetapi berbeda nyata dengan paritas 2. Hal ini diduga karena umur ternak yang relatif sama sehingga daya respon terhadap perlakuan juga relatif sama. Hal tersebut ditegaskan oleh Ihsan dan Wahjuningsih (2011), bahwa jarak paritas sangat pendek sehingga kondisi alat reproduksi tersebut masih dalam kondisi sama. Pada sapi paritas 0 dan paritas 1 diduga sel-sel dalam saluran reproduksi belum cukup berkembang, sehingga mengakibatkan kurangnya responsifitas terhadap hormon prostaglandin. 36

Penelitian ini menunjukan bahwa paritas 2 memiliki kecepatan estrus paling cepat daripada paritas 0 dan paritas 1. Hasil ini sesuai dengan penelitian Ismail (2009) yaitu onset estrus lebih cepat terjadi pada ternak yang telah melahirkan lebih dari satu kali dibandingkan dengan ternak yang melahirkan satu kali atau sama sekali belum pernah melahirkan. Hal ini diduga karena ternak pada paritas 2 memiliki ovarium yang lebih besar daripada paritas 0 dan paritas 1. Menurut Nalbandov (1990), ukuran ovarium tergantung pada umur dan status reproduksi ternak dan struktur yang ada didalamnya. Ovarium yang lebih besar ini diduga sel-sel dalam saluran reproduksinya juga sudah cukup berkembang, sehingga mengakibatkan responsifitas terhadap hormon prostaglandin pun semakin baik. Hal inilah yang menyebabkan ternak paritas 2 mengalami estrus lebih cepat dari paritas 0 dan paritas 1. Paritas 2 memiliki kecepatan estrus paling cepat daripada paritas 0 dan paritas 1. Hal ini juga diduga berhubungan dengan kadar hormon yang disekresikan oleh hipotalamus, yaitu Gn-RH yang bertugas merangsang FSH. Hormon FSH ini berperan penting untuk merangsang pertumbuhan folikel pada ovarium. Pada pertumbuhannya folikel akan merangsang terbentuknya estrogen. Rajamahendran, et al (2002) menyatakan bahwa banyaknya folikel terekrut untuk berkembang lebih lanjut hingga de graaf sangat tergantung pada konsentrasi FSH dalam darah. Menurut Fricke dan Shaver, (2007) munculnya estrus disebabkan karena pengaruh meningkatnya hormon estrogen dalam tubuh yang dihasilkan oleh ovum. Ternak pada paritas 2 diduga mempunyai kondisi reproduksi yang sudah baik sehingga kandungan estrogen yang disekresikan dalam darah juga lebih banyak pula, oleh karena itu akan berakibat akan lebih cepat estrus. Umumnya ternak betina yang semakin dewasa akan menunjukan peningkatan fungsi organ reproduksinya hingga batas tertentu. Hal ini dibuktikan pada penelitian Fricke dan Shaver (2007) yang menunjukan bahwa ternak betina dewasa lebih sering berovulasi lebih dari satu sel telur. Paritas 1 menunjukan lamanya kecepatan timbul estrus terlama dari ketiga paritas. Hal ini diduga karena pengaruh dari kondisi tubuhnya. Paritas 1 memiliki skor kondisi tubuh yang kurus (skor 2). Kondisi tubuh yang seperti ini diduga disebabkan karena adanya stress pada induk pada kelahiran pertamanya. Pada kondisi tubuh yang kurus (skor 2), sapi betina dewasa mengalami gangguan reproduksi (Awaluddin dan Panjaitan, 2010). Gangguan reproduksi diduga berhubungan dengan sekresi hormon FSH dan LH dari hipotalamus. Hormon FSH ini berperan penting untuk merangsang pertumbuhan folikel pada ovarium perkembangan folikelfolikel dan produksi hormon estrogen. Hormon estrogen adalah hormon kelamin betina yang berfungsi untuk menimbulkan estrus (Toelihere, 1981). Oleh karena itu, diduga gangguan reproduksi dapat menurunkan produksi hormon estrogen dan mengakibatkan sapi mengalami keterlambatan estrus. C. Pengaruh Perlakuan Terhadap Lama Estrus Lama estrus merupakan interval waktu antara timbulnya estrus sampai dengan selesainya masa estrus. Lama estrus dipengaruhi oleh umur, kondisi tubuh, dan juga jenis hormon yang digunakan untuk sinkronisasi atau induksi estrus (Hastono, 2000). Lama estrus pada berbagai paritas sapi Bali setelah dua kali pemberian Prostaglandin F2α (Juramate ) dengan dosis 2 ml/ekor dapat dilihat pada Tabel 3. Hasil analisis ragam menunjukkan pemberian Prostaglandin F2α pada berbagai paritas memberikan pengaruh yang sangat nyata (P<0,01) terhadap lama estrus sapi Bali. Rata-rata lama estrus untuk kelompok sapi paritas 0 adalah 12,94 jam; untuk kelompok sapi paritas 1 adalah 20,85; untuk kelompok sapi paritas 2 adalah 16,63. Hal ini tidak jauh berbeda dengan pernyataan Belli (1990) bahwa lama estrus sapi yang digertak estrusnya dengan hormon PGF2α secara intramuskuler bervariasi antara 12,00 dan 35,83 jam. Hasil penelitian Maliawan (2002) juga menunjukkan bahwa lama estrus sapi setelah pemberian PGF2α berkisar antara 16,00--18,70 jam. Berdasarkan hasil uji beda nyata terkecil, paritas 0 mendapat rataan lama estrus tersingkat. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Partodihardjo (1980) bahwa sapi dara sering memperlihatkan periode estrus yang lebih pendek daripada betina-betina yang lebih tua. Hal tersebut diduga karena sapi yang lebih dewasa kondisi reproduksinya sudah 37

baik. Perkembangan alat reproduksi ini seiring dengan pertambahan umur ternak. Menurut Toelihere (1985), lama estrus dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti bangsa, umur, musim, suhu, dan metode observasi yang digunakan. Belstra (2003) menambahkan bahwa paritas berkorelasi positif terhadap lama kehidupan ternak atau umur ternak. Tabel 3. Rata-rata lama estrus pada berbagai paritas sapi Bali setelah dua kali pemberian Prostaglandin F2α Perlakuan Ulangan P0 P1 P2 - - - - - - - - - - - - - - Jam - - - - - - - - - - - - - - I 13,25 22,00 16,00 II 13,50 23,50 15,50 III 13,00 18,92 16,00 IV 12,00 19,00 19,03 Jumlah 51,75 83,42 66,53 Rata-rata 12,94 a 20,85 c 16,63 b Keterangan: Nilai dengan huruf superscript yang berbeda pada kolom rata-rata menunjukkan berbeda sangat nyata (P<0,01) berdasarkan uji BNT P0 : Sapi dara P1 : Sapi beranak satu kali P2 : Sapi beranak dua kali Menurut Partodihardjo (1980), sapi dara belum mengalami dewasa tubuh sehingga organ reproduksinya belum berkembang secara sempurna yang mengakibatkan fungsinya juga belum sempurna. Kondisi reproduksi pada sapi dara ini diduga berhubungan dengan kemampuan memproduksi hormon reproduksinya secara maksimal. Hormon reproduksi yang berhubungan dengan estrus salah satunya adalah hormon estrogen. Hormon estrogen adalah hormon kelamin betina yang berfungsi untuk menimbulkan birahi (Toelihere, 1981). Menurut Tagama (1995), kadar estrogen dalam tubuh akan berpengaruh terhadap panjang dalam estrus. Tagama (1995) juga menambahkan bahwa kadar estrogen yang tinggi akan menimbulkan masa estrus lebih lama tetapi tidak menjamin ovulasi. Oleh karena itu, hal tersebut diduga yang menyebabkan paritas 0 menunjukan estrus lebih singkat dari paritas 2. Berdasarkan hasil uji beda nyata terkecil (BNT) menunjukkan bahwa paritas 1 memiliki lama estrus lebih lama daripada paritas 2 bahkan terlama dari ketiga paritas. Penelitian Maliawan (2002) juga menunjukkan bahwa lama estrus sapi Bali paritas 1 lebih pendek daripada paritas 2. Keadaan ini diduga karena paritas 1 mempunyai kondisi tubuh rata-rata yang kurang baik untuk keberlangsungan reproduksi, hal ini terlihat dari skor kondisi tubuh sapi. Paritas 1 rata-rata memiliki skor kondisi skor tubuh yang kurus. Pada skor kondisi tubuh yang kurus (skor 2), sapi betina dewasa mengalami gangguan reproduksi (Awaluddin dan Panjaitan, 2010). Gangguan reproduksi ini diduga juga berpengaruh terhadap produksi hormon estrogen. Fungsi utama dari hormon estrogen adalah untuk manifestasi gejala estrus. Seperti yang dikemukakan oleh Nessan dan King (1981) bahwa kerja dari hormon estrogen adalah untuk meningkatkan sensitifitas organ kelamin betina yang ditandai dengan terjadinya perubahan pada vulva, dan keluarnya lendir transparan dari vulva tersebut. Jelasnya gejala birahi akibat diberi hormon estrogen diperkuat oleh laporan Henrick dan Torrence (1977) bahwa meningkatnya konsentrasi estrogen dalam darah, estrus yang timbul akan semakin jelas. Oleh karena itu, estrus yang tidak jelas diduga adalah salah satu sebab yang membuat pengamatan lama estrus lebih lama. Estrus yang tidak jelas dapat dilihat pada intensitas estrus sapi paritas 1 yang memiliki skor 1. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa kecepatan timbulnya estrus sapi Bali setelah dua kali pemberian Prostaglandin F2α (PGF2α) pada paritas 0 dan 1 38

berpengaruh sangat nyata (P<0,01) dengan paritas 2, sedangkan paritas 0 tidak berpengaruh (P>0,05) dengan paritas 1. Paritas berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap lama estrus sapi Bali setelah dua kali pemberian Prostaglandin F2α (PGF2α). Saran 1. Perlu dilakukan penelitian lanjutan pada paritas yang lebih tinggi untuk melihat sampai seberapa jauh perbedaan lama estrus pada paritasparitas selanjutnya. 2. Peternak harus memperhatikan waktu estrus sapi setelah disinkronisasi agar waktu IB tepat dan terjadi kebuntingan. DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2012. Buku Statistik Peternakan 2012. Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Lampung. Bandar Lampung. Awaluddin dan Panjaitan, T. 2010. Petunjuk Teknis Pangukuran Ternak Sapi Potong. Kementrian Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknulogi Pertanian NTB. NTB. Belstra, B.A. 2003. Parity Associated Changes in Reproductive Performance Phisiological Basis or Record Keeping Artifact. http://www.mark.asci.ncsu.edu/swine report/2003/belstra.htm. (23 Februari 2013) Fauzat, K. 1994. Tampilan Pola Berahi Alamiah Sebelum dan Sesudah Berahi hasil Sinkronisasi Menggunakan Preparat Prostaglandin F2 alfa pada Sapi Bali-Timor di Kecamatan Semau, Kabupaten Kupang NTT. Skripsi. Fapet Undana, Kupang. Fricke, P.M. and R.D. Shaver. 2007. Managing reproductive disorders in dairy cows. www.wisc.edudysciuwexrep. (23 Februari 2013) Goff, A.K. 2004. Steroid Hormon Modulation of Prostaglandin Scretion in the Ruminant Endometrium During the Estrous Cycle. J. Of Biology Reproduction 71: 11-16. Hafez, E.S.E. 2000. Reproduction in Farm Animals. 7th Edition. Lippincott Williams & Wilkins. Maryland, USA. Hastono. 2000. Penyerempakan Berahi pada Domba dan Kambing. J. Animal Production 2(1):1-8. Henrich. D.M. dan A.X. Torrence, 1977. Endogenous Estrogen in Bovine Tissues. J. Anim. Sci. 45: 63. Hunter, R. H. F. 1995. Fisiologi dan Teknologi Reproduksi Hewan Betina Domestik. ITB, Bandung. Ismail, M., 2009. Onset dan Intensitas Estrus Kambing Pada Umur yang Berbeda. J. Agroland 16 (2): 180-186. Kementerian Pertanian. 2009. Rancangan Rencana Strategis Kementerian Pertanian Tahun 2010-2014. Jakarta. Maliawan, I Made. 2002. Pengaruh Pemberian Hormon Protaglandin F2α (PGF2α) Terhadap Lama Birahi dan Angka Kebuntingan Pada Sapi Bali. Skripsi. Universitas Lampung. Nalbandov, A. V., 1990. Fisiologi Reproduksi Pada Mamalia dan Unggas. Universitas Indonesia, Jakarta. Nanang, S. dan Yayan, R. 2011. Sinkronisasi Estrus Sapi Potong. Leaflet. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat. Nessan, G.K. dan G.J. King, 1981. Sexual behavior in ovariectomized cows treated with oestradion benzoat and testosterone propionate. J. Reprod. 61 : 171-178. Partodihardjo, S. 1980. Ilmu Reproduksi Hewan. Cetakan ke-1. Mutiara Sumber Widya, Jakarta. Rajamahendran, R., J.D. Ambrose, M. Aali, N. Rramakrishnappa, N. Giritharan, and J. Small. 2002. Hormonal Treatment Following Breeding to Increase Pregnancy Rates IN Cattle. J. Biotech. Anim. Reprod. 9: 151-160. Siregar T.N. dan Hamdan. 2007. Teknologi Reproduksi Pada Ternak. Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. CV. Mita Mulia. Banda Aceh. Steel, R.G.D. dan J.H. Torrie. 1991. Prinsip dan Prosedur Statistik. Edisi 2. Alihbahasa oleh Sumantri, B. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Tagama, T. R. 1995. Pengaruh Hormon Estrogen, Progesteron dan Prostaglandin F2α terhadap Aktivitas Berahi Sapi PO Dara. Fakultas 39

Peternakan Universitas Jendral Sudirman. Purwokerto. Talib, C., K. Entwistle, A. Siregar, S. Budiarti-Turner, and D. Lindsay. 2003. Survey of Population and Production Dynamics of Bali Cattle and Existing Breeding Programs in Indonesia. Proceeding of an ACIAR Workshop on Strategies to Improve Bali Cattle in Eastern Indonesia. Denpasar, Bali. http://peternakan.litbang.deptan.go.id/f ullteks/lokakarya/lkbo08-12.pdf. (26 Februari 2013) Toelihere, M.R. 1981. Fisiologi Reproduksi pada Ternak. Angkasa. Bandung. Toelihere, M.R. 1985. Fisiologi Reproduksi pada Ternak. Angkasa. Bandung. 40