Monitoring dan Surveilans Residu dan Cemaran Mikroba Pada Produk Hewan di Wilayah Balai Veteriner Bukittinggi Tahun 2015

dokumen-dokumen yang mirip
LAPORAN KEGIATAN MONITORING DAN SURVEILANS RESIDU DAN CEMARAN MIKROBA PADA PRODUK HEWAN DI WILAYAH BALAI VETERINER BUKITTINGGI TAHUN 2014

KAJIAN HASIL MONITORING DAN SURVEILANS CEMARAN MIKROBA DAN RESIDU OBAT HEWAN PADA PRODUK PANGAN ASAL HEWAN DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. sumber protein fungsional maupun pertumbuhan, terutama pada anak-anak usia

PROFIL LABORATORIUM KESMAVET KOTA METRO

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

IV. MACAM DAN SUMBER PANGAN ASAL TERNAK

IX. PERMASALAHAN KEAMANAN PANGAN ASAL TERNAK DI INDONESIA

Analisa Mikroorganisme

BAB I PENDAHULUAN. Makanan adalah salah satu kebutuhan dasar manusia dan merupakan hak

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Direktorat Jenderal Peternakan (2011), dalam survey yang

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 381/Kpts/OT.140/10/2005 TENTANG

I. PENDAHULUAN. diolah maupun yang tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau

I. PENDAHULUAN. dan semua produk hasil pengolahan jaringan yang dapat dimakan dan tidak

HASIL DAN PEMBAHASAN Keberadaan Residu Antibiotik

BAB I PENDAHULUAN. media pertumbuhan mikroorganisme. Daging (segar) juga mengandung enzim-enzim

KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM PENGAMANAN PANGAN ASAL HEWAN

BAB I PENDAHULUAN. Bakso merupakan makanan jajanan yang paling populer di Indonesia.

BAB 1 PENDAHULUAN. Derajat kesehatan masyarakat merupakan salah satu indikator harapan hidup

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 381/Kpts/OT.140/10/2005 TENTANG PEDOMAN SERTIFIKASI KONTROL VETERINER UNIT USAHA PANGAN ASAL HEWAN

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara berkembang dan sedang berusaha mencapai

LABORATORIUM KESMAVET DALAM MENUNJANG KEAMANAN PANGAN ASAL HEWAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. juga mengandung beberapa jenis vitamin dan mineral. Soeparno (2009)

BAB 1 PENDAHULUAN. bila dikonsumsi akan menyebabkan penyakit bawaan makanan atau foodborne

Susu segar-bagian 1: Sapi

Nomor : /SM.110/J.3.9/10/ Oktober 2013 Sifat : Penting Lampiran : 4 (empat) lembar Perihal : Pemanggilan Calon Peserta Diklat

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996

I. PENDAHULUAN. pembangunan sesuai dengan yang telah digariskan dalam propenas. Pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. 2012). Sapi berasal dari famili Bovida, seperti halnya bison, banteng, kerbau

BAB I PENDAHULUAN. oleh manusia. Sumber protein tersebut dapat berasal dari daging sapi,

BAB I PENDAHULUAN. makanan dan minuman yang cukup, kehidupan manusia akan terganggu sehingga

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 1983 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keamanan Pangan Asal Ternak: Situasi, Permasalahan dan Prioritas Penanganannya di Tingkat Hulu

A. Luas potensi lahan sumber pakan ternak (Ha) Luas Potensi Hijauan (Ha) No Kabupaten/Kota Tanaman Padang. Pangan Rumput

Mutu karkas dan daging ayam

Lampiran 1 Nomor : 7570 /D.3.2/07/2017 Tanggal : 26 Juli Daftar Undangan

BAB I PENDAHULUAN. daging bagi masyarakat (BSN, 2008). Daging sapi sebagai protein hewani adalah

PENDAHULUAN Latar Belakang

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN

LAPORAN ANALISIS RISIKO PEMASUKAN SAPI BIBIT BALI YANG DIKIRIM DARI LOMBOK- NTB KE MAKASSAR TERHADAP PENYAKIT ANTHRAKS

X. STRATEGI MENGHASILKAN PANGAN ASAL TERNAK YANG AMAN

ASPEK MIKROBIOLOGIS DAGING AYAM BEKU YANG DILALULINTASKAN MELALUI PELABUHAN PENYEBERANGAN MERAK MELANI WAHYU ADININGSIH

BAB I PENDAHULUAN. bisa melaksanakan rutinitasnya setiap hari(depkesri,2004).

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN

B. Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota Wilayah Indonesia Barat

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Protein hewani menjadi sangat penting karena mengandung asam-asam amino

PENGARUH SUHU PEMANASAN TERHADAP KANDUNGAN RESIDU ANTIBIOTIK DALAM AIR SUSU SAPI

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 15/Permentan/OT.140/2/2008 TENTANG PEDOMAN MONITORING DAN SURVEILANS RESIDU DAN CEMARAN MIKROBA PADA PRODUK HEWAN

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH

Monitoring dan Surveilans Brucellosis Tahun 2015

LAPORAN KINERJA BALAI PENGUJIAN MUTU DAN SERTIFIKASI PRODUK HEWAN

II. KETENTUAN HUKUM TERKAIT KEAMANAN PANGAN. A. UU Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

BAB I PENDAHULUAN. dari protein, karbohidrat, lemak, dan mineral sehingga merupakan salah satu

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN A.

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

LAPORAN KEGIATAN INVESTIGASI WABAH PENYAKIT HEWAN TAHUN Penyakit hewan masih menjadi permasalahan bagi industri peternakan di Indonesia

I. PENDAHULUAN. Infeksi dan kontaminasi yang disebabkan oleh Salmonella sp. ditemukan hampir di. Infeksi bakteri ini pada hewan atau manusia dapat

Laporan Tahunan Bidang Kesehatan Masyarakat Veteriner Tahun BAB I PENDAHULUAN

PENDAHULUAN. semakin meningkat. Untuk memenuhi kebutuhan dilakukan pengembangan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 1983 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. dibutuhkan oleh manusia biasanya dibuat melalui bertani, berkebun, ataupun

KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK.02.02/MENKES/241/2016 TENTANG DATA PUSAT KESEHATAN MASYARAKAT PER AKHIR DESEMBER TAHUN 2015

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Letusan penyakit akibat pangan (food borne diseases) dan kejadiankejadian

ALOKASI PUPUK UREA UNTUK KOMODITI HORTIKULTURA TAHUN 2015 Satuan: Ton

UNDANG-UNDANG NOMOR 18 TAHUN 2009 TENTANG PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN [LN 2009/84, TLN 5015]

Revisi ke 05 Tanggal : 27 Desember 2017

I. PENDAHULUAN. Penyakit yang ditularkan melalui makanan (foodborne disease) merupakan

TINJAUAN PUSTAKA. Susu

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Daging sapi didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk

LAPORAN KINERJA BALAI PENGUJIAN MUTU DAN SERTIFIKASI PRODUK HEWAN

SAFETY FOOD (Keamanan Pangan) A. Prinsip Safety Food

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. Makanan merupakan kebutuhan pokok bagi setiap manusia. Makanan

Tanya Jawab Seputar DAGING AYAM SUMBER MAKANAN BERGIZI

BAB 1 PENDAHULUAN. adanya mikroorganisme patogen pada makanan dan minuman sehingga bisa

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau minuman (Undang-

BAB I PENDAHULUAN. sampai pada saat makanan tersebut siap untuk dikonsumsi oleh konsumen. adalah pengangkutan dan cara pengolahan makanan.

Bahan pada pembuatan sutra buatan, zat pewarna, cermin kaca dan bahan peledak. Bahan pembuatan pupuk dalam bentuk urea.

BAB I PENDAHULUAN. yang mana tidak hanya terkait dengan persoalan estetika, tetapi juga

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 1992 TENTANG OBAT HEWAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

WALIKOTA PAYAKUMBUH PROVINSI SUMATERA BARAT PANGAN SEHAT DAN BEBAS BAHAN BERBAHAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PAYAKUMBUH,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN

GUBERNUR SUMATERA BARAT

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. masyarakat, baik di perkotaan maupun di pedesaan. Makanan jajanan (street food)

I. PENDAHULUAN. Jumlah penduduk selalu bertambah dari tahun ke tahun, hal tersebut terus

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 07/Permentan/OT.140/1/2008 TENTANG

LAPORAN KINERJA BALAI PENGUJIAN MUTU DAN SERTIFIKASI PRODUK HEWAN

- 1 - BUPATI BANYUWANGI PERATURAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR 44 TAHUN 2011 TENTANG

(Rp.) , ,04

AMANKAH PANGAN ANDA???

BAB 1 : PENDAHULUAN. Keadaan higiene dan sanitasi rumah makan yang memenuhi syarat adalah merupakan faktor

Transkripsi:

LAPORAN PELAKSANAAN KEGIATAN NO. 559/2015 KEMENTERIAN PERTANIAN BALAI VETERINER BUKITTINGGI Monitoring dan Surveilans Residu dan Cemaran Mikroba Pada Produk Hewan di Wilayah Balai Veteriner Bukittinggi Tahun 2015 BALAI VETERINER BUKITTINGGI DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN TA H U N 2 0 1 5 Balai Veteriner Bukittinggi - Laporan Kegiatan 2015

Kata Pengantar Syukur Alhamdulillah atas limpahan rahmat, taufik dan hidayahnya, kami dapat menyelesaikan tulisan tentang Kegiatan Monitoring dan Surveilans Cemaran Mikroba Produk Pangan Asal Hewan yang dilaksanakan dalam rangka kegiatan Balai Veteriner Bukittinggi tahun 2015. Laporan ini merupakan gambaran tentang kualitas pangan asal hewan berupa daging, telur, susu dan olahannya yang beredar di wilayah kerja Balai Veteriner Bukittinggi. Sampel yang diperoleh berasal dari rumah potong hewan, pasar tradisional dan pasar modern. Kondisi rumah potong hewan maupun pasar tradisional kita masih jauh dari nilai layak. Untuk itu, ke depannya pihak Dinas terkait agar dapat menindaklanjuti dalam hal sanitasi dan higienitas. Sebagai koreksi selanjutnya ada yang harus diambil untuk tujuan yang lebih nyata sehingga Dinas terkait punya tindakan yang lebih jelas dalam memperbaiki kondisi di lapangan. Dengan demikian metode sampling dan target sampling akan diperjelas pada unit usaha pangan asal hewan untuk memiliki Nomor Kontrol Veteriner (NKV) pada unit usaha dalam bidang : a). Tempat penyembelihan hewan, unggas dan babi, b). Tempat penampungan, c). Tempat pengedaran, d). Tempat penyimpanan, e). Tempat pendinginan (Cold Storage), dan f). Tempat pengolahan. Target tersebut setelah dilakukan monitoring dan pengujian di Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner Balai Veteriner Bukittinggi, dalam pengambilan berulang secara beraturan dalam setahun, yang akan menjadi acuan Dinas terkait pada daerah setempat untuk menerbitkan Nomor Kontrol Veteriner. Kami menyadari laporan ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan Kepala Balai Penyusun Drh. Azfirman NIP. 19651004 199403 1 001 Drh. Cut Irzamiati NIP. 19680405 200212 2 001 Balai Veteriner Bukittinggi - Laporan Kegiatan 2015 i

Daftar Isi Monitoring dan Surveilans Residu dan Cemaran Mikroba Pada Produk Hewan Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang 1 1.2 Maksud dan Tujuan 3 Bab II Materi dan Metode 3.1 Materi 4 3.2 Metode 4 Bab III Hasil dan Pembahasan 4.1 Hasil 5 Hasil Uji Cemaran Mikroba 5 Hasil Uji Residu Antibiotika 7 Hasil Uji Residu Formalin dan Residu Borax, Uji Kesempurnaan Pengeluaran 9 Darah (Malachite Green) dan Uji Awal Pembusukan (Elber) Hasil Pengujian Elisa Hormon Trenbolon Asetat dan PCR Identifikasi Spesies 11 Hasil Pengujian Fisik dan Kimia Susu 13 4.2 Pembahasan 14 Bab IV Kesimpulan dan Saran 4.1 Kesimpulan 16 4.2 Saran 16 Daftar Pustaka 17 Balai Veteriner Bukittinggi - Laporan Kegiatan 2015 ii

Bab I Pendahuluan Latar Belakang Produk peternakan merupakan sumber gizi utama untuk pertumbuhan dan kehidupan manusia. Namun, produk ternak akan menjadi tidak berguna dan membahayakan kesehatan apabila tidak aman. Karena kandungan gizi yang tinggi tersebut, daging dan susu merupakan media yang baik untuk pertumbuhan dan perkembangan kuman, baik kuman yang menyebabkan kerusakan pada daging dan susu maupun kuman yang menyebabkan gangguan kesehatan pada manusia yang mengkonsumsi produk ternak tersebut. Kuman dapat terbawa sejak ternak masih hidup atau masuk di sepanjang rantai pangan hingga ke piring konsumen. Selain kuman, cemaran bahan berbahaya juga mungkin ditemukan dalam pangan asal ternak, baik cemaran hayati seperti cacing, cemaran kimia seperti residu antibiotik, maupun cemaran fisik seperti pecahan kaca dan tulang. Berbagai cemaran tersebut dapat menyebabkan gangguan kesehatan pada manusia yang mengkonsumsinya (Gorris, 2005). Pertumbuhan mikroorganisme dalam bahan pangan menyebabkan perubahan yang menguntungkan seperti perbaikan bahan pangan secara gizi, daya cerna ataupun daya simpannya. Selain itu pertumbuhan mikroorganisme dalam bahan pangan juga dapat mengakibatkan perubahan fisik atau kimia yang tidak diinginkan, sehingga bahan pangan tersebut tidak layak dikonsumsi (Siagian, 2002). Makanan yang dikonsumsi dapat menjadi sumber penularan penyakit apabila telah tercemar mikroba dan tidak dikelola secara higienes, makanan yang berpotensi tercemar adalah makanan mentah terutama daging yang tidak aman dapat membahayakan kesehatan konsumen. (Syam, 2004). Bahaya atau hazard yang berkaitan dengan keamanan pangan asal ternak dapat terjadi pada setiap mata rantai, mulai dari praproduksi di produsen, pascaproduksi sampai produk tersebut didistribusikan dan disajikan kepada konsumen. Bahaya tersebut meliputi: (1) penyakit ternak; (2) penyakit yang ditularkan melalui pangan atau yang disebut food borne diseases; serta (3) cemaran atau kontaminan bahan kimia dan bahan toksik lainnya. Kelompok pertama berupa penyakit ternak menular dan biasanya terjadi pada proses praproduksi, yaitu penyakit yang menyerang ternak pada proses pemeliharaan. Penyakit ini selain mempengaruhi kesehatan ternak juga menentukan mutu dan keamanan produknya. Beberapa penyakit ternak utama yang perlu mendapat perhatian adalah antraks, BSE, virus nipah (Encephalitis), tuberkulosis, radang paha, dan cysticercosis pada sapi. Kelompok kedua adalah penyakit bakterial yang ditularkan melalui pangan. Kejadian penyakit ini dapat timbul melalui infeksi bakteri atau intoksikasi dari toksin yang dihasilkan bakteri tersebut. Beberapa penyakit bakterial yang dapat ditularkan melalui pangan adalah salmonellosis, enteritis Clostridium perfringens, intoksikasi Staphylococcus, campylobacteriosis, dan hemorrhagic colitis. Kelompok ketiga adalah cemaran (kontaminan) bahan kimia dan bahan toksik lainnya. Dalam hal ini, daging, susu, dan telur dapat tercemar obat-obatan, senyawa kimia, dan toksin baik pada waktu proses praproduksi maupun produksi. Residu obat seperti antibiotik dapat dijumpai pada daging bila pemakaian obat-obatan hewan tidak sesuai dengan petunjuk yang diberikan, misalnya waktu henti obat tidak dipatuhi menjelang hewan akan dipotong. Balai Veteriner Bukittinggi - Laporan Kegiatan 2015 1

Pemakaian antibiotika di peternakan memberikan manfaat bagi hewan, namun jika pemakaiannya tidak sesuai aturan dapat menimbulkan risiko bagi kesehatan masyarakat. Risiko tersebut berupa adanya residu antibiotika pada daging, susu dan telur akibat pemakaian antibiotika yang tidak sesuai dengan dosis dan/atau tidak memperhatikan masa henti obat (withdrawl time) menjelang hewan akan dipotong. Residu antibiotika merupakan zat antibiotika termasuk metabolitnya yang terkandung dalam daging, telur, dan susu, baik sebagai akibat langsung maupun tidak langsung dari penggunaan antibiotika (SNI 7424: 2008). Residu dalam bahan pangan meliputi senyawa asal yang tidak berubah, metabolit dan/atau konyugat lain. Beberapa metabolit obat diketahui bersifat kurang atau tidak toksik dibandingkan dengan senyawa asalnya, namun beberapa diketahui lebih toksik. Menurut Bahri (2008), pengontrolan penyakit secara biologis dengan menghindari penggunaan bahan-bahan kimia atau obat-obatan berbahaya secara berlebihan juga dapat dilakukan untuk menghindari terjadinya cemaran antibiotika. Selain itu, pengawasan mutu pakan yang beredar perlu ditingkatkan, termasuk terhadap obat hewan yang dicampur dalam ransum ternak. Demikian pula pemakaian obat hewan yang diberikan langsung kepada ternak perlu diawasi, baik untuk pengobatan maupun pencegahan. Pengawasan sekaligus diikuti dengan penertiban pemakaian obat hewan di lapangan. Ancaman potensial residu antibiotika dalam makanan terhadap kesehatan dibagi tiga kategori, yaitu (1) aspek toksikologis, (2) aspek mikrobiologis dan (3) aspek imunopatologis. Menurut Haagsma (1988), residu antibiotika dalam makanan dan penggunaannya dalam bidang kedokteran hewan berkaitan dengan aspek kesehatan masyarakat veteriner, aspek teknologi dan aspek lingkungan. Dari aspek toksikologis, residu antibiotika bersifat racun terhadap hati, ginjal dan pusat hemopoitika (pembentukan darah). Dari aspek mikrobiologis, residu antibiotika dapat mengganggu mikroflora dalam saluran pencernaan dan menyebabkan terjadinya resistensi mikroorganisme, yang dapat menimbulkan masalah besar dalam bidang kesehatan manusia dan hewan. Dari aspek imunopatologis, residu antibiotika dapat menimbulkan reaksi alergi yang ringan dan lokal, bahkan dapat menyebabkan shock yang berakibat fatal. Selanjutnya dipandang dari aspek teknologi, keberadaan residu antibiotika dalam bahan pangan dapat menghambat atau menggagalkan proses fermentasi. Zoonosis adalah penyakit yang dapat ditransmisikan atau ditularkan dari hewan ke manusia, atau sebaliknya. Berbeda dengan penyakit infeksius lainnya, karena menyangkut kesehatan manusia dan hewan, maka zoonosis menjadi ranah studi dan kewenangan dua profesi, yaitu dokter dan dokter hewan. Peran dokter hewan dalam bidang zoonosis adalah pengendalian dan pencegahan penyakit zoonosis pada hewan, sehingga tidak menimbulkan potensi penyakit pada manusia, terutama peternak, pemelihara satwa, dan konsumen bahan pangan asal hewan (daging, susu, telur). Zoonosis dapat disebabkan oleh beberapa agen patogen, yaitu bakteri, virus, parasit, dan prion. Bakteri yang dapat menyebabkan penyakit zoonosis adalah Salmonella sp., E. coli, Staphylococcus aureus. Pengobatan penyakit zoonosis yang disebabkan oleh infeksi bakteri yaitu dengan menggunakan pengobatan antibiotika. Antibiotika adalah bahan alami atau semi sintetis yang memiliki daya kerja untuk membunuh (bakterisidal) atau menghambat pertumbuhan bakteri (bakteriostatik). Beberapa jenis antibiotika yang populer antara lain penisilin, ampisilin, amoksilin, dan tetrasiklin. Ternyata, penggunaan antibiotika untuk mengatasi infeksi bakteri menimbulkan masalah baru, yaitu resistensi bakteri terhadap antibiotika. Untuk menjamin penyediaan daging yang ASUH, maka dilakukan pengawasan (surveillance, monitoring, inspeksi) terhadap daging dalam mata rantai penyediaan daging. Dalam upaya Pemerintah menjamin keamanan pangan dan ketentraman batin masyarakat, khususnya terhadap bahaya yang ditimbulkan dalam mengkonsumsi produk hewan yang mengandung hormon anabolik sintetik, maka diperlukan pengambilan contoh dan pengujian terhadap daging dan hati sapi impor maupun lokal, terutama di daerah yang merupakan sentra konsumsi dan produksi penyediaan Balai Veteriner Bukittinggi - Laporan Kegiatan 2015 2

ternak sapi, termasuk di supply chain. Pengujian contoh di laboratorium perlu mengikuti prosedur baku agar hasil pengujian dapat dipertanggung-jawabkan. Laboratorium yang digunakan sebaiknya yang telah menerapkan Good Laboratory Practice (GLP) atau telah disertifikasi terhadap penerapan sistem manajemen mutu laboratorium ISO 17025, sehingga laboratorium tersebut memiliki kemampuan teknis dalam menghasilkan data atau hasil uji yang tepat, akurat dan dapat dipertanggung-jawabkan secara ilmiah dan hukum. Sertifikat tersebut diberikan oleh suatu lembaga yang telah diakreditasi, dan bahkan telah mendapat pengakuan/harmonisasi dengan negara-negara lain. Maksud Dan Tujuan Dalam usaha memenuhi kebutuhan bahan pangan yang bebas residu, cemaran dan resistensi mikroba harus dilakukan pemantauan (monitoring) melalui peneguhan pengujian untuk mengetahui derajat kejadian cemaran mikroba, residu dan resistensi antimikroba. Apabila ditemukan terjadinya penyimpangan, maka pengawas kesmavet perlu melakukan pembinaan pelaksanaan sanitasi-higiene agar dapat terjadi perubahan ke arah perbaikan dengan pengamatan (surveilans) melalui pengujian yang terprogram secara efisien dan komprehensif. Balai Veteriner Bukittinggi - Laporan Kegiatan 2015 3

Bab II Materi dan Metode Materi Pengambilan sampel dilakukan di Empat propinsi wilayah kerja Balai Veteriner Bukittinggi yaitu Propinsi Sumatera Barat, Propinsi Riau, Propinsi Jambi dan Propinsi Kepulauan Riau. Sampel tersebut merupakan sampel aktif (yang diambil oleh BVET) dan sampel pasif (kiriman dinas peternakan, stasiun karantina hewan, dan lain-lain). Jenis sampel pada tahun 2015 berupa daging sapi, daging kerbau, daging ayam, daging babi, telur ayam, telur itik, susu sapi, susu kambing, hati sapi, HAM sapi, burger, filled, ekstrak daging sapi, sosis sapi, sosis ayam, nugget sapi, nugget ayam, bakso sapi dan bakso ikan. Sumber sampel berasal dari Rumah Pemotongan Hewan, Pasar tradisional, Pasar swalayan, Peternakan rakyat, Stasiun Karantina Hewan (Importir/Distributor) dan Warung/kios. Cara pengemasan dan pengiriman sampel disesuaikan dengan ketentuan. Metoda Di laboratorium, sebagian sampel diarahkan pada pemeriksaan cemaran mikroba (Total Plate Count, Total coliform, Total E.coli. Total S. aureus dan Kualitatif Salmonella sp), sedangkan sebagian lagi diuji terhadap adanya residu antibiotika dan sulphonamida dengan metode uji screening menggunakan kuman standar terhadap antibiotika golongan Penicilline, Tetracycline, Aminoglikosida, golongan Sulphonamida dan Tilosine secara kualitatif dan kuantitatif. Untuk sampel yang bersifat kasus dilakukan uji terhadap Hormon Trenbolon Asetat dengan metode ELISA, serta Kualitatif Residu Formalin dan Residu Borax. Untuk uji Identifikasi Spesies dengan metode Real Time Polymerase Chain Reaction (RT-PCR) dilaksanakan di laboratorium Bioteknologi Balai Veteriner Bukittinggi - Laporan Kegiatan 2015 4

Hasil Monitoring dan Surveilans Residu dan Cemaran Mikroba Pada Produk Hewan Bab III Hasil dan Pembahasan Jumlah sampel yang diperiksa pada tahun anggaran 2015 adalah sebanyak 3511 sampel yang terdiri dari 2446 sampel aktif dan 1075 sampel pasif. Hasil pemeriksaan sampel secara terperinci dapat dilihat pada tabel-tabel berikut Hasil uji cemaran mikroba Pengujian terhadap cemaran mikroba yang diperiksa, yaitu TPC, Coliform, E.coli, staphylococcus aureus dan Salmonella. Tabel 1. Hasil Pengujian Cemaran Mikroba Kegiatan Aktif di Propinsi Sumatera Barat JUMLAH SAMPEL COLIFORM HASIL UJI CEMARAN MIKROBA E COLI S AUREUS TPC SALMONELLA SUMATERA BARAT 1 Agam 33 33 31 2 33 33 0 0 0 0 33 21 12 33 31 2 2 Bukittinggi 69 60 54 6 60 60 0 0 1 0 61 61 0 69 66 3 3 Dharmasraya 23 18 18 0 18 18 0 0 0 0 18 0 18 23 23 0 4 Dharmasraya 20 Dalam proses uji 5 Kab. Solok 15 10 10 0 10 10 0 0 0 0 10 0 10 15 15 0 6 Kota Solok 45 30 25 5 30 30 0 0 0 0 30 0 30 30 45 0 7 Lima Puluh Kota 114 72 62 10 72 72 0 0 0 0 86 0 86 114 114 0 8 Padang 25 18 18 0 18 18 0 0 0 0 18 0 18 25 25 0 9 Padang 22 Dalam proses uji 10 Padang Panjang 63 56 35 0 58 58 0 2 2 0 58 0 58 63 63 0 11 Padang Pariaman 21 14 14 0 15 14 0 0 0 0 14 0 14 21 21 0 12 Pariaman 15 10 10 0 10 10 0 0 0 0 10 0 10 15 15 0 13 Pasaman 35 30 28 2 30 30 0 0 0 0 30 0 30 35 35 0 14 Pasaman Barat 22 22 19 3 22 22 0 0 0 0 22 0 22 22 21 1 15 Payakumbuh 60 50 44 6 50 50 0 2 2 0 52 0 52 60 60 0 16 Pesisir Selatan 57 37 37 0 37 37 0 2 2 0 39 0 39 57 57 0 17 Sawahlunto 23 23 23 0 23 23 0 0 0 0 18 0 18 23 22 1 18 Tanah Datar 161 85 129 22 151 151 0 0 0 0 152 0 152 161 160 1 Jumlah 823 568 557 56 637 636 0 6 7 0 651 82 569 766 773 8 Tabel 2. Hasil Pengujian Cemaran Mikroba Kegiatan Aktif di Propinsi Riau HASIL UJI CEMARAN MIKROBA JUMLAH COLIFORM E COLI S AUREUS TPC SALMONELLA SAMPEL RIAU 1. Bengkalis 50 45 43 2 45 45 0 0 0 0 45 0 45 50 50 0 2 Dumai 28 22 22 0 22 22 0 1 1 0 23 0 23 28 27 1 3 Indragiri Hilir 30 20 20 0 20 20 0 0 0 0 20 0 20 30 29 1 4 Indragiri Hulu 25 15 15 0 15 15 0 0 0 0 15 1 14 25 25 0 5 Kampar 28 18 15 3 18 18 0 0 0 0 18 4 14 28 28 0 6 Kuantan Singingi 16 11 10 1 11 11 0 1 1 0 11 0 11 16 12 4 7 Pekanbaru 15 10 10 0 10 10 0 3 3 0 13 0 13 15 11 4 8 Pelalawan 30 20 18 2 20 20 0 0 0 0 20 0 20 30 30 0 9 Rokan Hilir 13 7 7 0 7 7 0 2 2 0 9 0 9 13 12 1 Rokan Hilir 16 Dalam proses uji 10 Rokan Hulu 31 25 25 0 25 25 0 1 1 0 25 0 25 31 31 0 11 Siak 53 38 36 2 38 38 0 0 0 0 38 0 38 53 53 0 Jumlah 335 231 221 10 231 231 0 8 8 0 237 5 232 319 308 11 Balai Veteriner Bukittinggi - Laporan Kegiatan 2015 5

Tabel 3. Hasil Pengujian Cemaran Mikroba Kegiatan Aktif di Propinsi Jambi SUMATERA BARAT JUMLAH SAMPEL COLIFORM HASIL UJI CEMARAN MIKROBA E COLI S AUREUS TPC SALMONELLA 1 Agam 16 0 0 0 14 14 0 4 4 0 9 0 9 11 11 0 2 Bukittinggi 19 0 0 0 3 3 0 0 0 0 1 0 1 7 7 0 3 Dharmasraya 40 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 4 Lima Puluh Kota 4 0 0 0 0 0 0 0 0 0 4 0 4 0 0 0 5 Padang 52 11 6 5 24 24 0 22 16 6 0 0 0 14 14 0 6 Padang Panjang 57 0 0 0 0 0 0 0 0 0 36 0 36 0 0 0 7 Pariaman 101 0 0 0 2 2 0 0 0 0 32 0 32 0 0 0 8 Pasaman 20 20 20 0 20 20 0 20 20 0 20 0 20 0 0 0 9 Payakumbuh 24 13 13 8 1 1 0 1 1 0 21 5 16 1 1 0 10 Sijunjung 41 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 11 Tanah Datar 74 0 0 0 16 16 0 0 0 0 10 10 0 0 0 0 Jumlah 448 44 39 13 80 80 0 47 41 6 133 15 118 33 33 0 Tabel 4. Hasil Pengujian Cemaran Mikroba Kegiatan Aktif di Propinsi Kepulauan Riau HASIL UJI CEMARAN MIKROBA JUMLAH COLIFORM E COLI S AUREUS TPC SALMONELLA SAMPEL KEPRI 1 Batam 38 26 21 5 26 26 0 2 2 0 28 0 28 38 36 2 2 Bintan 30 21 19 2 21 21 0 0 0 0 21 0 21 30 30 0 3 Karimun 24 30 30 0 30 30 0 1 1 0 31 0 31 24 24 0 4 Tanjung Pinang 36 27 24 3 27 27 0 0 0 0 27 2 25 36 33 3 Jumlah 128 104 94 10 104 104 0 3 3 0 107 2 105 128 123 5 TOTAL 1562 1086 1020 119 1161 1162 0 19 20 0 1186 89 1097 1489 1473 31 Tabel 5. Hasil Pengujian Cemaran Mikroba Kegiatan Pasif di Propinsi Sumatera Barat JAMBI JUMLAH SAMPEL COLIFORM HASIL UJI CEMARAN MIKROBA E COLI S AUREUS TPC SALMONELLA 1. Batanghari 27 17 14 3 15 17 0 0 0 0 17 0 17 27 26 1 2 Bungo 22 12 3 9 12 12 0 0 0 0 10 0 10 22 22 0 3 Muaro Bungo 15 10 10 0 10 10 0 0 0 0 10 0 10 15 15 0 4 Sarolangun 14 9 9 0 9 9 0 0 0 0 9 0 9 14 14 0 5 Jambi 55 39 35 10 45 45 0 0 0 0 45 0 45 55 53 2 6 Kerinci 29 19 19 0 19 19 0 0 0 0 19 0 19 29 29 0 7 Muaro Jambi 42 20 17 5 22 22 0 0 0 0 22 0 22 42 40 2 8 Sungai Penuh 30 15 14 1 15 15 0 0 0 0 15 0 15 30 30 0 9 Tebo 32 32 20 12 32 32 0 2 2 0 34 0 34 32 30 2 10 Tanjung Jabung Barat 10 10 7 3 10 10 0 0 0 0 10 0 10 10 10 0 Jumlah 276 183 148 43 189 191 0 2 2 0 191 0 191 276 269 7 Balai Veteriner Bukittinggi - Laporan Kegiatan 2015 6

Tabel 6. Hasil Pengujian Cemaran Mikroba Kegiatan Pasif di Propinsi Riau, Jambi dan Kepulauan Riau JUMLAH SAMPEL COLIFORM HASIL UJI CEMARAN MIKROBA E COLI S AUREUS TPC SALMONELLA II RIAU 1 Bengkalis 20 10 10 0 0 10 0 0 0 0 0 0 10 0 15 0 2 Dumai 5 0 5 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 2 0 3 Riau 328 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 28 0 4 Rokan Hilir 16 0 6 0 0 6 0 0 0 0 0 0 6 0 11 0 Jumlah 369 10 21 0 0 16 0 0 1 0 0 0 16 0 56 0 III JAMBI 1 Jambi 181 0 0 0 94 115 1 0 0 0 94 2 114 41 51 0 Jumlah 181 0 0 0 94 115 1 0 0 0 94 2 114 41 51 0 IV KEPULAUAN RIAU 1 Batam 56 21 20 1 21 21 0 21 21 0 24 0 24 24 24 0 Jumlah 56 21 20 1 21 21 0 21 21 0 24 0 24 24 24 0 V LAIN-LAIN 1 Bvet Subang 5 5 5 2 Bvet Medan 7 3 1 2 3 3 3 3 3 3 3 3 3 BVET Lampung 7 Jumlah 19 3 1 2 3 3 0 3 3 0 3 0 3 8 8 0 TOTAL 1073 78 81 16 198 235 1 71 66 6 254 17 275 106 172 0 Hasil uji residu antibiotika Pengujian residu dilakukan terhadap kandungan residu obat hewan yang diuji meliputi golongan antibiotika Penisilin, Makrolida, Aminoglikosida, Tetrasiklin dan Tilosin. Tabel 7. Hasil Pengujian Residu Antibiotika Kegiatan Aktif di Propinsi Sumatera Barat JUMLAH SAMPEL PENICILLIN TETRASIKLIN AMINOGLIKOSIDA SULFADIAZINE TILOSIN HASIL UJI RESIDU ANTIBIOTIKA SUMATERA BARAT 1 Agam 37 37 0 34 3 37 0 37 0 37 0 2 Bukittinggi 42 42 0 42 0 42 0 42 0 42 0 3 Dharmasraya 25 25 0 25 0 25 0 23 2 25 0 4 Dharmasraya 20 Dalam proses uji 5 Kab. Solok 15 14 1 15 0 15 0 15 0 15 0 6 Kota Solok 39 37 2 39 0 38 1 38 1 37 2 7 Lima Puluh Kota 68 68 0 68 0 68 0 68 0 68 0 8 Padang 20 20 0 20 0 20 0 17 3 20 0 9 Padang 22 Dalam proses uji 10 Padang Panjang 61 61 0 59 2 61 0 61 0 61 0 11 Padang Pariaman 19 19 0 19 0 19 0 19 0 5 0 12 Pariaman 15 15 0 15 0 15 0 15 0 0 0 13 Pasaman 35 35 0 35 0 35 0 35 0 35 0 14 Pasaman Barat 22 22 0 21 1 21 1 22 0 22 0 15 Payakumbuh 41 41 0 41 0 41 0 41 0 41 0 16 Pesisir Selatan 47 47 0 44 3 45 2 47 0 36 0 17 Sawahlunto 28 28 0 28 0 28 0 26 2 27 1 18 Tanah Datar 167 167 0 167 0 167 0 167 0 167 0 Jumlah 723 663 3 657 9 662 4 658 8 624 2 Balai Veteriner Bukittinggi - Laporan Kegiatan 2015 7

Tabel 8. Hasil Pengujian Residu antibiotika Kegiatan Aktif di Propinsi Riau JUMLAH SAMPEL PENICILLIN TETRASIKLIN AMINOGLIKOSIDA SULFADIAZINE TILOSIN RIAU 1 Bengkalis 55 55 0 55 0 55 0 55 0 45 0 2 Dumai 27 27 0 27 0 27 0 27 0 27 0 3 Indragiri Hilir 30 30 0 30 0 30 0 30 0 15 0 4 Indragiri Hulu 24 24 0 24 0 24 0 24 0 12 0 5 Kampar 26 26 0 26 0 26 0 26 0 26 0 6 Kuantan Singingi 35 35 0 35 0 35 0 35 0 34 1 7 Pekanbaru 15 15 0 15 0 15 0 15 0 15 0 8 Pelalawan 30 30 0 30 0 30 0 30 0 15 0 9 Rokan Hilir 13 13 0 13 0 13 0 13 0 13 0 Rokan Hilir 16 Dalam proses uji 10 Rokan Hulu 35 35 0 35 0 35 0 35 0 35 0 11 Siak 56 56 0 56 0 53 3 56 0 56 0 Jumlah 128 346 0 346 0 343 3 346 0 293 1 HASIL UJI RESIDU ANTIBIOTIKA Tabel 9. Hasil Pengujian Residu antibiotika Kegiatan Aktif di Propinsi Jambi JUMLAH SAMPEL PENICILLIN HASIL UJI RESIDU ANTIBIOTIKA TETRASIKLIN AMINOGLIKOSIDA SULFADIAZINE TILOSIN JAMBI 1. Batanghari 27 27 0 25 2 27 0 27 0 12 0 2 Bungo 23 23 0 22 1 23 0 23 0 22 1 3 Muaro Bungo 15 15 0 15 0 15 0 15 0 15 0 4 Sarolangun 14 14 0 14 0 14 0 14 0 14 0 5 Jambi 60 60 0 58 2 60 0 60 0 60 0 6 Kerinci 28 28 0 28 0 28 0 28 0 27 1 7 Muaro Jambi 47 47 0 50 0 47 0 44 0 46 1 8 Sungai Penuh 36 36 0 36 0 34 2 36 0 32 4 9 Tebo 46 44 2 46 0 46 0 46 0 45 1 10 Tanjung Jabung Barat 20 20 0 20 0 20 0 20 0 20 0 Jumlah 316 314 2 314 5 314 2 313 0 293 8 Tabel 10. Hasil Pengujian Residu antibiotika Kegiatan Aktif di Propinsi Kepulauan Riau HASIL UJI RESIDU ANTIBIOTIKA JUMLAH PENICILLIN TETRASIKLIN AMINOGLIKOSIDA SULFADIAZINE TILOSIN SAMPEL KEPRI 1 Batam 29 29 0 29 0 29 0 29 0 29 0 2 Bintan 24 24 0 23 1 24 0 24 0 11 0 3 Karimun 32 32 0 32 0 32 0 32 0 32 0 4 Tanjung Pinang 30 30 0 30 0 30 0 30 0 27 3 Jumlah 115 115 0 114 1 115 0 115 0 99 3 TOTAL 1282 1438 5 1431 15 1434 9 1432 8 1309 14 Balai Veteriner Bukittinggi - Laporan Kegiatan 2015 8

Tabel 11. Hasil Pengujian Residu Antibiotika Kegiatan Pasif I SUMATERA BARAT JUMLAH SAMPEL PENICILLIN TETRASIKLIN AMINOGLIKOSIDA SULFADIAZINE TILOSIN 1 Agam 2 2 0 2 0 2 0 2 0 2 0 2 Bukittinggi 2 2 0 2 0 2 0 2 0 2 0 5 Padang 5 1 4 1 4 1 4 0 0 0 0 7 Pariaman 25 25 0 25 0 25 0 25 0 25 0 10 Sijunjung 41 41 0 41 0 41 0 41 0 41 0 11 Tanah Datar 20 20 0 20 0 20 0 19 1 0 0 Jumlah 95 91 4 91 4 91 4 89 1 70 0 II RIAU 1 Bengkalis 15 15 0 15 0 15 0 15 0 15 0 3 Riau 164 162 2 164 0 162 2 164 0 94 0 4 Rokan Hilir 11 11 0 11 0 11 0 11 0 11 0 Jumlah 190 188 2 190 0 188 2 190 0 120 0 III JAMBI 1 Jambi 69 69 0 69 0 69 0 69 0 56 0 Jumlah 69 69 0 69 0 69 0 69 0 56 0 IV KEPULAUAN RIAU 1 Batam 47 47 0 47 0 47 0 47 0 47 0 Jumlah 47 47 0 47 0 47 0 47 0 47 0 V LAIN-LAIN 1 Bvet Medan 7 4 2 2 1 3 4 1 3 Jumlah 7 4 0 2 2 1 3 4 0 1 3 HASIL UJI RESIDU ANTIBIOTIKA TOTAL 408 399 6 399 6 396 9 399 1 294 3 Hasil Uji Residu Formalin dan Residu Borax, Uji Kesempurnaan Pengeluaran Darah (Melachite Green) dan Uji Awal Pembusukan (Eber) Tabel 12. Hasil Pengujian Formalin, Borax, Melachite Green dan Eber Kegiatan Aktif di Propinsi Sumatera Barat FORMALIN BORAX MALACHITE GREEN EBER SUMATERA BARAT 1 Agam 15 0 15 13 0 13 12 0 12 12 0 12 2 Bukittinggi 20 0 20 14 0 14 10 0 10 10 0 10 3 Dharmasraya 13 0 13 13 0 13 5 0 5 5 1 4 4 Dharmasraya 5 Kab. Solok 5 0 5 5 0 5 0 0 0 0 0 0 6 Kota Solok 16 0 16 16 0 16 10 0 10 10 0 10 7 Lima Puluh Kota 24 0 24 20 4 16 26 0 26 26 6 20 8 Padang 10 0 10 5 0 5 8 0 8 8 0 8 9 Padang 10 Padang Panjang 13 0 13 13 0 13 5 0 5 5 5 0 11 Padang Pariaman 8 0 8 6 0 6 3 0 3 3 0 3 12 Pariaman 7 0 7 7 0 7 0 0 0 0 0 0 13 Pasaman 5 0 5 0 0 0 15 0 15 15 1 14 14 Pasaman Barat 12 0 12 11 0 11 10 0 10 10 0 10 15 Payakumbuh 23 0 23 13 0 13 10 4 6 10 0 10 16 Pesisir Selatan 18 0 18 17 0 17 15 1 14 15 11 4 17 Sawahlunto 11 0 11 9 0 9 5 0 5 5 5 0 18 Tanah Datar 50 0 50 45 0 45 10 4 6 10 0 10 Jumlah 239 0 239 202 4 198 144 9 135 144 29 115 Balai Veteriner Bukittinggi - Laporan Kegiatan 2015 9

Tabel 13. Hasil Pengujian Formalin, Borax, Melachite Green dan Eber Kegiatan Aktif di Propinsi Riau FORMALIN BORAX MALACHITE GREEN EBER RIAU 1. Bengkalis 20 0 20 20 2 18 20 0 20 15 3 17 2 Dumai 6 0 6 9 1 8 3 2 1 3 0 3 3 Indragiri Hilir 8 0 8 8 0 8 15 0 15 15 0 15 4 Indragiri Hulu 10 0 10 10 0 10 10 0 10 10 1 9 5 Kampar 10 0 10 10 0 10 10 1 9 10 0 10 6 Kuantan Singingi 8 0 8 8 0 8 5 0 5 5 0 5 7 Pekanbaru 5 0 5 3 0 3 5 0 5 5 0 5 8 Pelalawan 10 0 10 10 0 10 10 0 10 10 0 10 9 Rokan Hilir 0 0 0 3 0 3 5 3 2 5 0 5 Rokan Hilir 10 Rokan Hulu 9 0 9 9 1 8 5 0 5 5 1 4 11 Siak 24 0 24 19 3 16 9 0 9 9 1 8 Jumlah 110 0 110 109 7 102 97 6 91 92 6 91 Tabel 14. Hasil Pengujian Formalin, Borax, Melachite Green dan Eber Kegiatan Aktif di Propinsi Jambi FORMALIN BORAX MALACHITE GREEN EBER JAMBI 1. Batanghari 3 0 8 8 0 8 5 0 10 10 1 9 2 Bungo 7 0 7 7 1 6 0 0 0 0 0 0 3 Muaro Bungo 5 0 5 5 0 5 5 0 5 5 0 5 4 Sarolangun 5 0 5 5 0 5 5 0 5 5 0 5 5 Jambi 21 0 21 11 0 11 20 0 20 20 0 20 6 Kerinci 10 0 10 9 1 8 10 0 10 10 3 7 7 Muaro Jambi 10 0 10 10 0 10 7 0 7 7 0 7 8 Sungai Penuh 10 0 10 10 3 7 10 0 10 10 2 8 9 Tebo 18 0 18 18 3 15 11 0 11 11 0 11 10 Tanjung Jabung Barat 0 0 0 5 0 5 0 0 0 0 0 0 Jumlah 79 0 84 73 7 66 72 0 77 77 6 71 Tabel 15. Hasil Pengujian Formalin, Borax, Melachite Green dan Eber Kegiatan Aktif di Propinsi Kepulauan Riau FORMALIN BORAX MALACHITE GREEN EBER KEPULAUAN RIAU 1 Batam 19 0 19 14 0 14 5 0 5 5 0 5 2 Bintan 12 0 12 12 6 6 12 0 12 12 0 12 3 Karimun 11 0 11 7 0 7 6 0 6 6 0 6 4 Tanjung Pinang 13 0 13 9 1 8 9 0 9 0 0 0 Jumlah 55 0 55 42 7 35 32 0 32 23 0 23 TOTAL 483 0 488 426 25 401 345 15 335 336 41 300 Balai Veteriner Bukittinggi - Laporan Kegiatan 2015 10

Hasil Pengujian Elisa Hormon Trenbolon Asetat dan PCR Identifikasi Spesies Tabel 16. Hasil Pengujian Identifikasi Spesies dan Hormon Trenbolon Asetat Sampel Aktif di Propinsi Sumatera Barat HASIL UJI PCR IDENTIFIKASI SPESIES HASIL UJI ELISA HORMON TRENBOLON ASETAT AKTIF AKTIF SUMATERA BARAT 1 Agam 9 9 0 4 2 2 2 Bukittinggi 1 1 0 - - - 3 Dharmasraya 7 7 0 3 0 3 5 Dalam proses uji 4 Kab. Solok 10 10 0 3 Dalam proses uji 5 Kota Solok 5 5 0 2 2 0 5 Dalam proses uji 6 Limapuluh Kota 7 7 0 - - - 7 Padang 5 5 0 5 3 2 7 Dalam proses uji 8 Padang Panjang 5 5 0 5 0 5 4 Dalam proses uji 9 Padang Pariaman 13 13 0 2 2 0 10 Pariaman - - - 1 0 1 3 Dalam proses uji 11 Pasaman 3 3 0 4 2 2 12 Pasaman Barat 8 8 0 5 5 0 13 Payakumbuh 4 4 0 5 1 4 Payakumbuh 5 Dalam proses uji 14 Pesisir Selatan 7 6 1 3 1 2 5 Dalam proses uji 15 Sawahlunto 3 3 0 3 1 2 16 Tanah datar 12 12 0 - - - Jumlah 120 98 1 58 19 23 Tabel 17. Hasil Pengujian Identifikasi Spesies dan Hormon Trenbolon Asetat Sampel Aktif di Propinsi Riau HASIL UJI PCR IDENTIFIKASI SPESIES HASIL UJI ELISA HORMON TRENBOLON ASETAT AKTIF AKTIF RIAU 1 Bengkalis 20 20 0 - - - 2 Dumai 7 7 0 3 0 3 3 Indragiri Hilir 1 1 0 - - - 4 Indragiri Hulu 5 5 0 2 1 1 5 Kampar - - - 5 3 2 6 Kuantan Singingi 8 8 0 2 1 1 7 Palelawan 5 5 0 2 1 1 8 Pekanbaru 2 2 0 5 0 5 9 Rokan Hilir 5 5 0 3 0 3 10 Rokan Hulu 8 8 0 5 5 0 11 Siak 15 15 0 4 3 1 Jumlah 76 76 0 31 14 17 Balai Veteriner Bukittinggi - Laporan Kegiatan 2015 11

Tabel 18. Hasil Pengujian Identifikasi Spesies dan Hormon Trenbolon Asetat Sampel Aktif di Propinsi Jambi HASIL UJI PCR IDENTIFIKASI SPESIES HASIL UJI ELISA HORMON TRENBOLON ASETAT AKTIF AKTIF JAMBI 1 Batanghari 5 5 0 - - - 2 Bungo 7 7 0 1 Dalam proses uji 3 Muaro Bungo 5 Dalam proses uji 4 Jambi 10 10 0 3 3 0 Jambi 5 Dalam proses uji 5 Kerinci 3 3 0 3 3 0 6 Muaro Jambi 11 11 0 - - - Muaro Jambi 5 Dalam proses uji 7 Sarolangun 5 5 0 - - - 8 Sungai Penuh 10 10 0 5 5 0 1 Dalam proses uji 9 Tebo 12 12 0 3 0 3 2 Dalam proses uji Jumlah 73 63 0 17 11 3 Tabel 19. Hasil Pengujian Identifikasi Spesies dan Hormon Trenbolon Asetat Sampel Aktif di Propinsi Kepulauan Riau HASIL UJI PCR IDENTIFIKASI SPESIES HASIL UJI ELISA HORMON TRENBOLON ASETAT AKTIF AKTIF KEPULAUAN RIAU 1 Batam 8 8 0 3 2 1 16 Dalam proses uji 2 Bintan 12 12 0 1 0 1 3 Dalam proses uji 3 Karimun 12 12 0 2 Dalam proses uji Karimun 4 4 0 - - - 4 Tanjung Pinang 4 4 0 3 2 1 Jumlah 40 40 0 28 4 3 TOTAL 309 277 1 134 48 46 Balai Veteriner Bukittinggi - Laporan Kegiatan 2015 12

Tabel 20. Hasil Pengujian Identifikasi Spesies dan Hormon Trenbolon Asetat Sampel Pasif HASIL UJI PCR IDENTIFIKASI SPESIES HASIL UJI ELISA HORMON TRENBOLON ASETAT AKTIF AKTIF SUMATERA BARAT 1 Pariaman - - - 4 0 4 11 Dalam proses pengujian 2 Payakumbuh 1 1 0 - - - Jumlah 1 1 0 15 0 4 RIAU 1 Kota Pekanbaru 2 2 0 - - - Jumlah 2 2 0 0 0 0 KEPULAIAN RIAU 1 Batam 1 1 0 - - - 2 Kota Tanjung Pinang 1 0 1 - - - Jumlah 2 1 1 0 0 0 LAIN-LAIN 1 BVET Lampung 3 1 2 - - - Jumlah 5 2 3 0 0 0 TOTAL 10 6 4 15 0 4 Hasil Pengujian Fisik dan Kimia Susu Tabel 21. Hasil Pengujian Fisik Susu Kegiatan Pasif UJI FISIK SUSU ORGANOLEPTIS KEBERSIHAN NORMAL TIDAK BERSIH TIDAK I SUMATERA BARAT 1 Padang Panjang 0 9 0 9 0 2 Tanah Datar 0 10 0 10 0 Jumlah 0 19 0 19 0 Tabel 22. Hasil Pengujian Kimiawi Susu Kegiatan Pasif ALKOHOL UJI DIDIH UJI KIMIAWI SUSU REDUKTASE KADAR LEMAK MIN BKTL MIN PROTEIN MIN NORMAL TIDAK N N N I SUMATERA BARAT 1 Agam 0 0 0 0 0 0 0 0 4 0 0 0 0 0 4 2 Padang Panjang 8 1 9 0 9 0 9 1 8 0 0 0 9 3 6 3 Tanah Datar 0 0 0 0 0 0 0 4 6 0 2 8 0 1 9 Jumlah 8 1 9 0 9 0 9 5 18 0 2 8 9 4 19 Balai Veteriner Bukittinggi - Laporan Kegiatan 2015 13

Pembahasan Hasil pengujian sampel terhadap cemaran mikroba yang melebihi batas maksimum cemaran mikroba masih terjadi pada semua lokasi pengambilan sampel. Cemaran yang tertinggi terdapat pada parameter uji TPC mencapai 95,28 % kemudian diikuti Coliform 11,69 %, Staphylococcus aureus 6,67 %, Salmonella 1,94 % dan E.coli 0,07 %. Hal ini menunjukkan bahwa hygiene sanitasi di pasar tradisional/swalayan, RPH/RPU dan TPA/TPU serta tempat peternak/pengumpul susu perlu ditingkatkan dan mendapat perhatian, sehingga tingkat cemaran mikroba dapat dikurangi. Produk pangan asal ternak berisiko tinggi terhadap cemaran mikroba yang berbahaya bagi kesehatan manusia. Oleh sebab itu, produk pangan asal hewan harus bebas mikroba patogen seperti Salmonella sp., Staphylococcus aureus, dan Escherichia coli. Setelah ternak dipotong, mikroba yang terdapat pada hewan mulai merusak jaringan sehingga bahan pangan hewani cepat mengalami kerusakan bila tidak mendapat penanganan yang baik. Mikroba pada produk ternak terutama berasal dari saluran pencernaan. Apabila produk ternak tercemar mikroba saluran pencernaan maka produk tersebut dapat membawa bakteri patogen tersebut. Bakteri patogen dari produk ternak yang tercemar dapat mencemari bahan pangan lain seperti sayuran, buah-buahan, dan makanan siap santap bila bahan pangan tersebut diletakkan berdekatan dengan produk ternak yang tercemar. Hasil uji sampel terhadap residu antibiotika yang melebihi batas maksimum pada umumnya berasal dari pasar tradisional, RPH dan peternakan, sedangkan hormon Trenbolone Acetat berasal dari sampel daging sapi bakalan yang didatangkan dari propinsi Lampung dan sapi lokal. Dari data hasil pengujian dapat dilihat bahwa produk peternakan di dalam negeri masih mengandung residu antibiotika yang bermacam-macam. Residu yang teridentifikasi Tetrasiklin 1,24%, Aminoglikosida 1,07 %, Tilosin 1,01%, Penisillin 0,65 % dan Sulfadiazine 0,53 %. Menurut Phillips et al., 2004, antibiotika yang paling sering dideteksi dalam daging yaitu penisilin (termasuk ampisilin), tetrasiklin (termasuk khlortetrasiklin dan oksitetrasiklin), sulfonamid (termasuk sulfadimethoksin, sulfamethazin dan sulfamethoksazol), neomisin, gentamisin, dan streptomisin. Pola peternakan masih tradisional belum dikelola secara intensif seperti pada industri peternakan sehingga akan berpengaruh terhadap mutu hasil ternak terutama terhadap residu dan cemaran mikroba. Dalam hal aturan dan tata cara penggunaan obat hewan belum dilaksanakan sepenuhnya meliputi jenis obat, dosis, cara pemberian, waktu henti obat (withdrawl time) dan recording mengenai hewan yang diobati. Penanganan pemerahan susu ditingkat peternak masih belum memenuhi standar hygiene dan sanitasi. Hasil uji sampel terhadap residu formalin dan boraks pada produk olahan daging (bakso) diperoleh hasil 4,90 % pangan diawetkan dengan formalin dan 5,47 % mengandung boraks. Akibat dari penggunaan formalin atau boraks pada produk pangan dapat menimbulkan berbagai gangguan pada saluran pencernaan, hati, saraf, otak serta pada organ-organ yang berselaput yang terkena secara langsung, bila terjadi terus menerus dapat menyebabkan kanker bahkan bisa berakibat kematian. Hasil uji sampel terhadap hormon Trenbolon Asetat juga didapatkan hasil yang melebihi batas maksimum residu hormon Trenbolon Asetat, dari 92 sampel yang dipemeriksa dengan metode Elisa di temukan 54,35 % sampel di atas 400 ppt. Balai Veteriner Bukittinggi - Laporan Kegiatan 2015 14

Keputusan Menteri Pertanian Nomor 806 tahun 1994; Surat edaran Direktur Kesehatan Hewan Nomor 329/X-C tanggal 4 Oktober 1983; Hasil rapat komisi obat hewan Indonesia tanggal 12 Agustus 1998: 1. Hormon pemacu pertumbuhan tidak dijinkan penggunaannya pada hewan produksi untuk konsumsi; 2. Trenbolon asetat diklasifikasikan sebagai obat keras yang tidak diijinkan untuk didaftar dan diedarkan; 3.Untuk itu di SNI: 01-6366-2000, BMR trenbolon acetate dalam makanan asal hewan tidak ditetapkan. Hasil uji 309 sampel terhadap Identisifikasi spesies juga diperoleh hasil 1,62 % positif daging sapi dipalsukan dengan daging babi. Hal ini menggambarkan bahwa pangan asal hewan yang beredar belum menjamin ketentraman bathin bagi masyarakat beragama Islam. Untuk pengujian Elisa Camphylobacter pada tahun ini tidak dapat terealisasi, hal ini dikarenakan alat elisa reader di laboratorium Kesmavet rusak sementara pengujian tersebut membutuhkan program khusus yang tidak tersedia pada alat elisa reader di laboratorium Bakteri maupun di laboratorium lainnya. Balai Veteriner Bukittinggi - Laporan Kegiatan 2015 15

Bab IV Kesimpulan dan Saran Monitoring dan Surveilans Residu dan Cemaran Mikroba Pada Produk Hewan Kesimpulan 1. Masih ditemukan hasil uji sampel yang positif dan atau diatas ambang yang mengandung cemaran mikroba, hal ini menunjukkan adanya kontaminasi yang terjadi selama proses budidaya, pemotongan sampai dengan pengumpulan hasil, transportasi dan penanganan hasil. 2. Masih ditemukan hasil uji sampel yang positif dan atau diatas ambang yang mengandung residu antibiotika, formalin, borak dan hormon trenbolon asetat. 3. Masih beredarnya produk pangan asal hewan yang tidak layak dikonsumsi apalagi bagi agama tertentu (Islam) dengan ditemukan hasil positif identifikasi spesies pada produk hewan. Saran Keberadaan cemaran mikroba dan residu yang melebihi batas ambang akan menimbulkan masalah pada kesehatan manusia dan perdagangan. Dari kajian hasil monitoring dan surveilans cemaran mikroba dan residu obat hewan pada produk pangan asal hewan selama ini dapat ditarik kesimpulan dan saran sebagai berikut : a. Perlu ditingkatkan pengawasan, pembinaan dan sosialisasi tentang Hygiene dan Sanitasi, baik ditingkat peternak, RPH/RPU, pengolahan dan distribusi. b. Perlu dilakukan pengawasan dan tindakan perbaikan dalam aturan dan tatacara penggunaan obat hewan terutama masalah WDT (withdrawl time). Efek dari residu obat hewan pada PPAH akan menyebabkan penyakit akut (hypersensitifity, tachicardia, tremor, teratogenic) dan chronic (carcinogenic & mutagenic). Berdasarkan hasil monitoring dan surveilans dengan beberapa kasus, cepat atau lambat akan menimbulkan problem serius terhadap kesehatan manusia, lingkungan dan perdagangan. Disarankan agar segera dilakukan usaha-usaha untuk penanganan, pencegahan dan mengurangi resiko terjadinya kontaminasi dan residu pada PPAH. c. Peningkatan pengetahuan dan kesadaran konsumen akan mutu produk asal hewan khususnya mengenai bahaya residu dan cemaran mikroba. d. Kondisi fasilitas dan kinerja laboratorium dalam melaksanakan pengujian residu dan cemaran mikroba masih belum optimal sehingga hasil yang diperoleh dalam rangka pengawasan mutu PPAH belum maksimal, hal ini perlu ditingkatkan, baik SDM, sarana dan prasarananya. e. Titik kritis yang perlu mendapat pengawasan secara intensif yang menyebabkan terjadinya cemaran mikroba dan residu adalah sebagai berikut : 1. Peternak : pemberian obat hewan (withdrawl time), pakan, sanitasi lingkungan 2. Rumah Potong : disiplin pekerja, peralatan dan sanitasi lingkungan 3. Pasar Tradisional : los daging, tempat penjajaan daging 4. Tempat Pengumpulan Susu/Koperasi Susu 5. Transportasi Susu 6. Sanitasi pada waktu pemerahan. f. Perlunya tindak lanjut terhadap hasil pengujian laboratorium yang tidak memenuhi SNI secara bertahap sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Balai Veteriner Bukittinggi - Laporan Kegiatan 2015 16

Daftar Pustaka AOAC International. 1998. Bacteriological Analytical Manual 8th Edition. Revisi 8. USFDA Bahri, S. 2008. Beberapa Aspek Keamanan Pangan Asal Ternak di Indonesia. Pengembangan Inovasi Pertanian 1 (3), 2008: 225-242. Jakarta: Balai Besar Penelitian Veteriner Gorris, L.G.M., 2005. Food Safety Objective: An Integral Part of Food Chain Management. Food Control 16: 801 809. Haagsma N. 1988. Control of Veterinary Drug Residues in Meat a Contribution to the Development of Analytical Procedures. Tesis. The University of Utrecht, the Netherlands (OIE) Office International des Epuizooties.2004. Handbook on Import Risk Analysis for Animals and Animal Products. Vol. 1. Introduction and Qualitative Risk Analysis. Paris: OIE. Siagian, A. 2002. Mikroba Patogen Pada Makanan dan Sumber Pencemarannya. Fakultas Kesehatan Masyarakat. USU. http://www.library.usu.ac.id. Standar Nasional Indonesia. 2008. Metode Uji Tapis (Screening Test) Residu Antibiotika pada Daging, Telur, dan Susu secara Bioassay. Jakarta: BSN Standar Nasional Indonesia. 2001. Batas Maksimum Cemaran Mikroba dan Batas Maksimum Residu Dalam Bahan Makanan Asal Hewan. Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner. Direktorat Jenderal Peternakan Departemen Pertanian. Jakarta. (WHO) World Health Organization. 1995. Application of Risk Analysis to food standards issues. Report of the joint FAO/WHO Expert Consultation. Geneva: WHO. Balai Veteriner Bukittinggi - Laporan Kegiatan 2015 17

Monitoring dan Surveilans Residu dan Cemaran Mikroba Pada Produk Hewan KEMENTERIAN PERTANIAN BALAI VETERINER BUKITTINGGI SMS INFOVET 0812 2159 2225 SMS SPECIMENT 0812 2159 2226 @BVETBUKITTINGGI BVET-BUKITTINGGI H T T P : // B V E T B U K I T T I N G G I. D I TJ E N N A K. P E R TA N I A N. G O. I D Kementerian Pertanian Balai Veteriner Bukittinggi Jl. Raya Bukittinggi-Payakumbuh Km.14 Baso Kab. Agam Sumbar PO.Box 35 Bukittinggi 26101 0752-28300 0752-28290 bppv2_bukittinggi@yahoo.co.id infovetbppbbukittinggi@gmail.com Balai Veteriner Bukittinggi - Laporan Kegiatan 2015 18