BAB IV PEMBAHASAN. (a) (b) (c) Gambar 10 (a) Bambu tali bagian pangkal, (b) Bambu tali bagian tengah, dan (c) Bambu tali bagian ujung.

dokumen-dokumen yang mirip
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI. Gambar 3 Bagan pembagian batang bambu.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Badan Standardisasi Nasional (2010) papan partikel merupakan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei - Oktober Pembuatan

3. SIFAT FISIK DAN MEKANIK BAMBU TALI Pendahuluan

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

V. PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN UMUM

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

METODE PENELITIAN. Fakultas Kehutanan Univesitas Sumatera Utara Medan. mekanis kayu terdiri dari MOE dan MOR, kerapatan, WL (Weight loss) dan RS (

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

5 PEMBAHASAN 5.1 Bambu Bahan Uji

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III LANDASAN TEORI. Kayu memiliki berat jenis yang berbeda-beda berkisar antara

BAB III METODE PENELITIAN

4 PENGARUH KADAR AIR PARTIKEL DAN KADAR PARAFIN TERHADAP KUALITAS PAPAN KOMPOSIT

TINJAUAN PUSTAKA. sedangkan diameternya mencapai 1 m. Bunga dan buahnya berupa tandan,

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. Karakteristik Bahan

BAB III METODE PENELITIAN

KAJIAN SIFAT FISIS KAYU SENGON (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen) PADA BERBAGAI BAGIAN DAN POSISI BATANG

TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman ekaliptus mempunyai sistematika sebagai berikut: Hutan Tanaman Industri setelah pinus. Ekaliptus merupakan tanaman eksotik

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kolom adalah batang tekan vertikal dari rangka (frame) struktural yang

HHT 232 SIFAT KEKUATAN KAYU. MK: Sifat Mekanis Kayu (HHT 331)

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODOLOGI. Tabel 6 Ukuran Contoh Uji Papan Partikel dan Papan Serat Berdasarkan SNI, ISO dan ASTM SNI ISO ASTM

8. PEMBAHASAN UMUM DAN REKOMENDASI Pembahasan Umum

III. METODOLOGI. 3.3 Pembuatan Contoh Uji

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi dan Potensi Tanaman Kelapa Sawit. Menurut Hadi (2004) pengklasifikasian kelapa sawit

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

TEKNIK PEMBUATAN BAMBU LAMINASI BERSILANG SEBAGAI BAHAN MEBEL DAN BANGUNAN

TINJAUAN PUSTAKA. Batang kelapa sawit mempunyai sifat yang berbeda antara bagian pangkal

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III LANDASAN TEORI Klasifikasi Kayu Kayu Bangunan dibagi dalam 3 (tiga) golongan pemakaian yaitu :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III METODE PENELITIAN. sesuai dengan SNI no. 03 tahun 2002 untuk masing-masing pengujian. Kayu tersebut diambil

3 METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Tempat

BAB III BAHAN DAN METODE

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Djapilus dan Suhaendi (1978) dalam Utomo (2008) E. urophylla

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 8 Histogram kerapatan papan.

BAB III METODE PENELITIAN

TINJAUAN PUSTAKA. Adapun taksonomi tanaman kelapa sawit menurut Syakir et al. (2010) Nama Elaeis guineensis diberikan oleh Jacquin pada tahun 1763

SIFAT FISIKA DAN MEKANIKA KAYU IPIL (Endertia spectabilis Steenis & de Wit Sidiyasa) BERDASARKAN LETAK KETINGGIAN DALAM BATANG

KARAKTERISTIK BILAH BAMBU DAN BULUH UTUH PADA BAMBU TALI DAN BAMBU AMPEL AZHAR ANAS

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN

PEMBAHASAN UMUM Perubahan Sifat-sifat Kayu Terdensifikasi secara Parsial

KAYU LAMINASI. Oleh : Yudi.K. Mowemba F

PENENTUAN AIR DALAM RONGGA SEL KAYU

TINJAUAN PUSTAKA. Biji buah pinang mengandung alkaloid, seperti arekolin (C 8 H 13 NO 2 ),

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 3.2 Alat dan Bahan Test Specification SNI

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat Penelitian. Bahan dan Alat

6 PENGARUH SUHU DAN LAMA PENGEMPAAN TERHADAP KUALITAS PAPAN KOMPOSIT

Analisis Teknis Pengaruh Suhu Ruang Mesin Kapal Kayu Terhadap Bambu Laminasi Dengan Variasi Lama Pemanasan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA. perabot rumah tangga, rak, lemari, penyekat dinding, laci, lantai dasar, plafon, dan

V HASIL DAN PEMBAHASAN

MATERI/MODUL MATA PRAKTIKUM

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

HASIL DAN PEMBAHASAN

BABII TINJAUAN PUSTAKA. Bab ini berisi tentang teori dari beberapa sumber buku seperti buku - buku

SIFAT ANATOMI BAMBU AMPEL (Bambusa vulgaris Schrad.) PADA ARAH AKSIALDAN RADIAL

SIFAT FISIS MEKANIS PANEL SANDWICH DARI TIGA JENIS BAMBU FEBRIYANI

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

METODE PENELITIAN. Kualitas Kayu Jabon (Anthocephalus cadamba M.) dilaksanakan mulai dari bulan. Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Sumatera Utara.

Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Hutan 3(1): 1-7 (2010)

DAFTAR ISI. 1.1 Latar Belakang Tujuan Penelitian... 2 TINJAUAN PUSTAKA... 3

METODOLOGI PENELITIAN

MEMAHAMI ANTIKLINAL DAN PERIKLINAL DALAM PROSES PERTUMBUHAN POHON DAN KUALITAS KAYU MUHDI

SIFAT FISIKA DAN MEKANIKA KAYU BONGIN (Irvingia malayana Oliv) DARI DESA KARALI III KABUPATEN MURUNG RAYA KALIMANTAN TENGAH

= nilai pengamatan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j µ = rataan umum α i ε ij

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

KAJIAN BEBERAPA SIFAT DASAR BATANG PINANG (Areca catechu L.)

STUDI PENGARUH KONDISI KADAR AIR KAYU KELAPA TERHADAP SIFAT MEKANIS ABSTRAK

SIFAT FISIS DAN MEKANIS BATANG KELAPA (Cocos nucifera L.) DARI KALIMANTAN SELATAN

III. BAHAN DAN METODE

Lampiran 1. Perhitungan bahan baku papan partikel variasi pelapis bilik bambu pada kombinasi pasahan batang kelapa sawit dan kayu mahoni

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

PENGARUH PEMADATAN TERHADAP SIFAT FISIS DAN MEKANIS KAYU PALAPI

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

BAB I PENDAHULUAN. dengan target luas lahan yang ditanam sebesar hektar (Atmosuseno,

III. METODOLOGI. Tabel 1 Jenis-jenis pohon sebagai bahan penelitian. Asal Tempat Tumbuh. Nama Daerah Setempat

PENGUJIAN SIFAT FISIS DAN MEKANIS BULUH BAMBU SEBAGAI BAHAN KONSTRUKSI MENGGUNAKAN ISO : 2004 ABDUL HARIS

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAIJAN PllSTAKA

Transkripsi:

22 BAB IV PEMBAHASAN 4.1 Sifat Anatomi Bambu 4.1.1 Bentuk Batang Bambu Bambu memiliki bentuk batang yang tidak silindris. Selain itu, bambu juga memiliki buku (node) yang memisahkan antara 2 ruas (internode). Jarak antar buku pada bambu tali lebih besar dibandingkan jarak antar buku pada bambu ampel. Bentuk penampakan bambu tali dan ampel dapat dilhat pada Gambar 1 dan 11. (a) (b) (c) Gambar 1 (a) Bambu tali bagian pangkal, (b) Bambu tali bagian tengah, dan (c) Bambu tali bagian ujung. (a) (b) (c) Gambar 11 (a) Bambu ampel bagian pangkal, (b) Bambu ampel bagian tengah, dan (c) Bambu ampel bagian ujung. Bambu memiliki diameter luar yang semakin besar dari pangkal ke ujung. Selain itu, bambu tali dan ampel juga memiliki tebal yang semakin kecil dari pangkal ke ujung. Karakteristik bambu tali dan bambu ampel dapat dilihat pada Lampiran 1.

23 4.1.2 Ikatan Vaskuler Pembuluh Keberadaan ikatan pembuluh bervariasi dalam jumlah dan bentuk, baik arah horizontal maupun aksial (vertikal) dari batang. Ikatan pembuluh mempunyai ukuran yang semakin besar ke arah bagian dalam. Jumlah total ikatan pembuluh menurun dari pangkal ke bagian ujung (Liese 198). Hasil pengamatan tipe ikatan vaskuler dengan mikroskop terhadap penampang melintang bambu tali dan ampel dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Tipe ikatan vaskuler pada masing-masing bagian bambu tali dan bambu Jenis Bambu Bagian Horizontal Bagian Vertikal Buku Ruas Tepi III III III III III III Inti III IV III III III III Dalam III IV III III III III Tepi IV III IV III III III Inti IV III IV III III III Dalam IV III IV III III III Pola ikatan vaskuler pada bambu tali berbeda pada bagian horizontal dan vertikal. Ikatan vaskuler bambu tali didominasi oleh vaskuler dengan ikatan tipe III dan IV. Ikatan vaskuler dengan tipe IV hanya terdapat pada bagian inti dan dalam ruas pangkal bambu, sedangkan bagian lainnya memiliki vaskuler dengan ikatan bertipe III. Untuk membedakan ikatan vaskuler tipe III dan IV pada bambu tali dapat dilihat pada Gambar 12 (a), 12 (b), dan 12 (c). D T D T D T (a) (b) (c) Gambar 12 (a) Vaskuler dengan ikatan tipe III pada buku bagian ujung sebelah dalam bambu tali, (b) Vaskuler dengan ikatan tipe IV pada ruas bagian pangkal sebelah inti bambu tali, dan (c) Vaskuler dengan ikatan tipe III pada buku bagian tengah sebelah tepi bambu tali. Pada bambu ampel, ikatan vaskulernya lebih teratur. Ikatan vaskuler bambu ampel terdiri dari ikatan bertipe III dan IV. Vaskuler dengan ikatan tipe IV terdapat pada buku pangkal dan tengah bagian tepi, inti, dan dalam. Sedangkan

24 bagian lainnya memiliki vaskuler dengan ikatan bertipe III. Untuk membedakan ikatan vaskuler tipe III dan IV pada bambu ampel dapat dilihat pada Gambar 13 (a), 13 (b), dan 13 (c). D T D T D T (a) (b) (c) Gambar 13 (a) Vaskuler dengan ikatan tipe III pada ruas bagian pangkal sebelah dalam bambu ampel, (b) Vaskuler dengan ikatan tipe IV pada ruas bagian tengah sebelah inti bambu ampel, dan (c) Vaskuler dengan ikatan tipe III pada buku bagian ujung sebelah tepi bambu ampel. 4.1.3 Distribusi Vaskuler Pembuluh Distribusi vaskuler meliputi jumlah vaskuler/mm 2 vaskuler pada arah horizontal dan vertikal dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Jumlah dan luas proporsi vaskuler dan proporsi luas Parameter Julmah Vaskuler /mm 2 Proporsi luas vaskuler (%) Jenis bambu Arah Horizontal Bagian pangkal Arah Vertikal Bagian tengah Bagian ujung Ratarata Buku Ruas Tepi 3,79 3,23 3,51 7,2 4,92 4,87 4,56 Inti 1,67 1,42 1,84 1,67 1,33 1,95 1,65 Dalam,83 1,,91 1,42,58 1,59 1,6 Rata-rata 1,99 2,73 2,54 2,42 Tepi 3,2 3,79 3,27 2,93 2,24 3,19 3,7 Inti,78 1,81 1,55 1,98 1,98 2,58 1,78 Dalam,69 1,3 1,3 1,38 1,3 2,7 1,2 Rata-rata 1,85 2,2 2,18 2,2 Tepi 65,85 77,4 71,2 79,6 76,29 8,82 75,13 Inti 52,94 61,37 59,95 69,54 58,3 76,2 63,2 Dalam 42,5 46,49 38,52 58,44 41,11 77,98 5,76 5 Rata-rata 57,62 62,88 68,42 62,97 Tepi 69,44 77,61 67,89 75,38 64,49 81,4 72,7 Inti 33,39 64,69 49,74 73,99 72,19 75,2 61,53 Dalam 31,3 45,97 4,42 63,41 54,1 71,18 51,6 Rata-rata 53,73 61,8 69,76 61,77

25 Dari Tabel 5 terlihat bambu tali memiliki rata-rata jumlah vaskuler dan proporsi luas vaskuler lebih besar dibandingkan bambu ampel. Perbedaan jumlah vaskuler/mm 2 bambu tali dan bambu ampel pada arah horizontal dapat dilihat pada Gambar 14. Jumlah Vaskuler/mm 2 8 6 4 2 Tepi Inti Dalam Gambar 14 Jumlah vaskuler / mm 2 pada arah horizontal. Dari Gambar 14 terlihat bahwa bambu tali dan ampel memiliki jumlah vaskuler/mm 2 yang semakin banyak dari dalam ke tepi. Begitu juga bagian ruas bambu tali dan bambu ampel memiliki jumlah vaskuler/mm 2 lebih banyak dibandingkan dengan bagian buku. Sedangkan proporsi luas vaskuler bambu tali dan bambu ampel pada arah horizontal dapat dilihat pada Gambar 15. Proporsi Luas Vaskuler (%) 1 8 6 4 2 Tepi Inti Dalam Gambar 15 Proporsi luas vaskuler pada arah horizontal. Dari Gambar 15 terlihat pola yang sama dengan Gambar 14. Bagian tepi memiliki luas proporsi yang lebih besar dibandingkan bagian tengah dan dalam, namun selisih jumlah vaskuler/mm 2 bagian tepi ke dalam lebih curam dibandingkan proporsi luas vaskuler. Hal ini dikarenakan bagian tepi memiliki ukuran vaskuler yang lebih kecil dibandingkan bagian tengah dan ujung. Hal ini senada dengan Liese (198) yang menyatakan bahwa pada bagian tepi, ikatan

26 pembuluh berukuran kecil dan berjumlah banyak. Sedangkan Pada bagian dalam ikatan pembuluh berukuran besar dan berjumlah sedikit. Perbedaan jumlah vaskuler/mm 2 dan proporsi luas vaskuler juga terjadi pada arah vertikal. Perbedaan jumlah vaskuler/mm 2 dan proporsi luas vaskuler pada arah vertikal dapat dilihat pada Gambar 16. Jumlah Vaskuler/mm 2 8 6 4 2 Gambar 16 Jumlah vaskuler /mm 2 pada arah vertikal. Dari Gambar 16 terlihat pola sebaran jumlah vaskuler/mm 2 tidak sama pada bagian pangkal, tengah, dan ujung. Pada buku bambu tali dan ampel memiliki pola yang berbeda dengan ruas bambu tali dan ampel. Pada buku bambu tali dan ampel memiliki pola semakin ke atas semakin banyak jumlah vaskuler/mm 2. Hal ini diduga berkaitan erat dengan tebal buluh yang semakin kecil dari pangkal ke ujung. Menurut Grosser dan Liese (1971) diacu dalam Nuryatin (212), semakin sempit dinding buluh bambu maka terlihat ukuran dan jumlah ikatan vaskuler juga akan semakin kecil, sehingga nilai kerapatan akan semakin meningkat dari pangkal ke ujung buluh. Sedangkan pada bagian ruas bambu tali dan ampel memiliki pola jumlah vaskuler/mm 2 yang mengalami peningkatan dari pangkal ke tengah, namun mengalami sedikit penurunan pada bagian ujung. Hal ini diduga, pertumbuhan vaskuler pada bambu mengalami puncak pada bagian tengah dan menurun pada ujung buluh. Selain itu, pada bambu tali dan ampel memiliki standar deviasi yang sangat tinggi. Bahkan pada bagian ujung buku bambu tali memiliki standar deviasi yang lebih besar dibandingkan rata-rata jumlah vaskuler /mm 2. Hal ini disebabakan perbedaan jumlah vaskuler/mm 2 yang begitu besar pada bagian tepi dan dalam, sehingga menyababkan standar deviasi menjadi besar. Proporsi luas vaskuler bambu tali dan ampel pada arah vertikal dapat dilihat pada Gambar 17.

27 Proporsi Luas Vaskuler (%) 1 8 6 4 2 Gambar 17 Proporsi luas vaskuler pada arah vertikal. Dari Gambar 17 terlihat bahwa porporsi luas vaskuler pada semua bagian, baik bambu tali maupun ampel memiliki pola yang sama. Proporsi luas vaskuler mengalami peningkatan dari pangkal ke ujung. Jika dibandingkan dengan Gambar 16 dengan Gambar 17, terlihat pola yang berbeda antara keduanya. Pada Gambar 16, jumlah vaskuler/mm 2 tidak selalu mengalami peningkatan dari bagian pangkal ke ujung. Namun pada Gambar 17, proporsi luas vaskuler mengalami peningkatan dari bagian pangkal ke ujung pada semua posisi bambu tali dan ampel. 4.2 Sifat Fisis Bambu 4.2.1 Kadar air (KA) Hasil perhitungan KA kering udara pada bagian pangkal, tengah, dan ujung baik pada buku maupun ruas, tersaji pada Tabel 6 dan Gambar 18. Tabel 6 Kadar air kering udara bambu tali dan bambu ampel pada bagian pangkal, tengah, dan ujung Kadar Air (%) Jenis Bagian pangkal Bagian tengah Bagian ujung bambu Rata-rata Buku Ruas 2,77 19,2 19,18 17,75 17,58 16,82 18,55 19,29 17,87 17,74 16,42 16,56 16,2 17,32 Dari Tabel 6 terlihat adanya perbedaan KA pada masing-masing bagian. Bambu tali memiliki KA 16,82% hingga 2,77% denga rata-rata 18,55%. Sedangkan pada bambu ampel, KA-nya berkisar 16,2 hingga 19,29% dengan rata-rata 17,32%. Selain terdapat perbedaan antar jenis, terdapat pula perbedaan KA antar bagian bambu. Untuk memperjelas perbedaan antar bagian dapat dilihat pada Gambar 18.

28 KA (%) 25 2 15 1 5 Gambar 18 KA bambu tali dan ampel pada bagian pangkal, tengah, dan ujung. Berdasarkan Gambar 18, pada bambu tali dan ampel terlihat bahwa terdapat penurunan KA dari bagian pangkal ke ujung. Menurut Nuryatin (2), hal ini diakibatkan pada bagian ujung memiliki proporsi ikatan serabut yang lebih banyak dan didukung oleh proses lignifikasi yang lebih banyak sehingga lebih stabil dan mengakibatkan kandungan KA yang relatif lebih rendah dibandingkan bagian tengah dan pangkal. Bagian buku bambu tali dan ampel memiliki KA lebih besar daripada bagian ruas. Selain itu, KA bambu tali lebih besar dibandingkan KA bambu ampel. Menurut Sattar (1995) diacu dalam Nuryatin (2), perbedaan ini diduga karena adanya perbedaan struktur anatomi dan komposisi kimia antar jenis yang mempengaruhi besarnya volume udara dalam batang bambu. Nilai KA pada penelitian ini cenderung lebih tinggi dibandingkan penelitian sebelumnya. Hasil penelitian Nuryatin (2), nilai KA pada bambu tali sebesar 13,93% pada bagian pangkal dan 12,2% pada bagian ujung. Selain itu, hasil penelitian ini juga jauh lebih kecil dibandingkan hasil penelitian penelitian Bachtiar (28) yang memperoleh KA pada pangkal sebesar 12,2% dan pada tengah sebesar 12,15%. Perbedaan ini diduga disebabakan oleh pada saat pengujian curah hujan di Bogor sangat tinggi, sehingga mempengaruhi nilai KA. Menurut Habib (21), Bambu cenderung menyerap jumlah air yang besar bila terendam atau tertimpa hujan dan bila hal ini berlangsung pada waktu yang cukup lama, bambu dapat menyerap hingga 1% dari berat keringnya. 4.2.2 BJ dan Kerapatan Hasil pengujian BJ dan kerapatan pada bagian pangkal, tengah, dan ujung tersaji pada Tabel 7, Gambar 19, dan Gambar 2.

29 Tabel 7 BJ dan kerapatan bambu tali dan bambu ampel pada bagian pangkal, tengah, dan ujung Sifat Fisis BJ Kerapatan (g/cm 3 ) Jenis bambu Bagian pangkal Bagian tengah Bagian ujung Buku Ruas,66,67,7,72,7,73,7,78,7,71,64,73,65,7,79,8,83,85,83,85,83,92,83,83,79,85,76,83 Rata-rata Besarnya BJ pada bambu tali adalah,66-,73 dengan rata-rata,7. Sedangkan pada bambu ampel BJ-nya berkisar,65-,78 dengan rata-rata,7. Sedangkan kerapatan pada masing-masing bambu adalah,79-,85 g/cm 3 dengan rata-rata kerapatan,83 g/cm 3 pada bambu tali dan,76-,92 g/cm 3 dengan ratarata kerapatan,83 g/cm 3 pada bambu ampel. Perbedaan BJ pada masing-masing bagian bambu yang dapat dilihat pada Gambar 19. BJ 1.8.6.4.2 Gambar 19 BJ bambu tali dan ampel pada bagian pangkal, tengah, dan ujung. Menurut Nuryatin (212), BJ bambu dipengaruhi oleh kandungan sklerenkim pada bambu. Vaskuler dengan ikatan bertipe III dan IV relatif memiliki sklerenkim yang hampir sama, walaupun memiliki jumlah rantai serabut yang berbeda. Sehingga vaskuler dengan tipe ikatan III dan IV tidak memiliki perbedaan BJ yang signifikan. Dari Gambar 19, pada bambu tali terlihat bahwa BJ semakin meningkat dari bagian pangkal ke bagian ujung. Struktur anatomi bambu erat kaitannya dengan sifat-sifat fisis dan mekanis bambu. Bila dikaitkan dengan proporsi luas vaskuler, maka BJ bambu tali memiliki pola yang sama dengan pola proporsi luas vaskuler, yaitu semakin meningkat dari pangkal ke ujung.

3 Hal berbeda terjadi pada bambu ampel yang memilki BJ cenderung menurun dari bagian pangkal ke ujung. Sedangkan pada buku bambu ampel memiliki BJ yang lebih besar dibandingkan ruasnya. Jika dikaitkan dengan proporsi luas vaskuler, BJ bambu ampel memiliki pola yang berbeda dengan proporsi luas vaskuler. Pada bambu ampel, mengalami penurunan dari bagian pangkal ke bagian ujung. Sedangkan proporsi luas vaskuler mengalami peningkatan dari bagian pangkal ke bagian ujung. Hal yang sama juga terlihat pada perbadingan BJ antara bagian buku dan bagian ruas. Pada bagian buku bambu ampel memiliki BJ yang lebih besar dibandingkan ruasnya. Hal ini diduga disebabkan oleh kandungan zat ekstaktif bambu ampel mengalami penurunan dari pangkal ke ujung. Zat ekstraktif bambu ampel pada pangkal dan buku diduga lebih besar dibandingkan tengah dan ujung, serta ruas. Sehingga menyebabkan BJ bagian pangkal lebih besar dibandingkan bagian tengah dan ujung, serta BJ bagian buku lebih besar dibandingkan bagian ruas. Perbedaan besarnya kerapatan pada masing-masing bagian dapat dilihat pada Gambar 2. Kerapatan (g/cm 3 ) 1.8.6.4.2 Gambar 2 Kerapatan bambu tali dan ampel pada bagian pangkal, tengah, dan ujung. Berdasarkan Gambar 2, besar kerapatan bambu tali dan ampel memiliki pola yang sama dengan BJ-nya. Menurut Dransfield dan Widjaja (1995), susunan serat pada ruas memiliki kecenderungan bertambah besar dari bawah ke atas sementara parenkimnya berkurang, sehingga mentebabkan kerapatan yang semakin besar dari pangkal ke ujung. 4.2.3 Penyusutan Dimensi Penyusutan adalah penurunan dimensi akibat penurunan kadar air di bawah titik jenuh serat (Haygreen dan Bowyer 1993). Besar penyusutan tebal dan lebar bambu tali dan ampel dapat dilihat pada Tabel 8 dan Gambar 21.

31 Tabel 8 Penyusutan tebal dan lebar bambu tali dan bambu ampel pada bagian pangkal, tengah, dan ujung Jenis Bambu Penyusutan Dimensi Bambu (%) Arah Bagian pangkal Bagian tengah Bagian ujung penyusutan Ratarata Buku Ruas Tebal 4,8 2,89 3,78 4,95 4,65 6,38 4,58 Lebar 4,27 4,29 5,19 4,75 5,29 3,74 4,59 Tebal 3,17 3,73 5,37 5,98 4,18 4,13 4,43 Lebar 5,77 4,69 4,84 4,61 8,71 4,79 5,57 Dari Tabel 8 terlihat bahwa rata-rata penyusutan tebal bambu tali dan ampel lebih kecil dibandingkan dengan rata-rata penyusutan lebarnya. Selain itu, rata-rata penyusutan tebal bambu tali lebih besar dibandingkan dengan rata-rata penyusutan tebal bambu ampel. Sedangkan rata-rata penyusutan lebar bambu tali lebih kecil dibandingkan rata-rata penyusutan lebar bambu ampel. Rata-rata penyusutan tebal bambu tali dan ampel adalah 4,58% dan 4,43%. Sedangkan ratarata penyusutan lebar bambu tali dan ampel adalah 4,59% dan 5,57%. Untuk melihat perbedaan penyusutan dimensi pada masing-masing bagian, dapat dilihat pada Gambar 21. Penyusutan (%) 16 14 12 1 8 6 4 2 Tebal Lebar Tebal Lebar Tebal Lebar Tebal Lebar Gambar 21 Penyusutan tebal dan lebar bambu tali dan ampel pada bagian pangkal, tengah, dan ujung. Dari Gambar 21 terlihat bahwa penyusutan dimensi pada masing-masing bagian bambu tali dan ampel memiliki pola yang berbeda-beda pada masingmasing dimensi. Hasil pengamatan Yap (1967) diacu dalam Nuryatin (2), untuk bambu yang ditebang pada musim penghujan penyusutan hingga kondisi

32 kering udara besarnya adalah sekitar 1-2% (penyusutan tangensial atau penyusutan lebar) dan 15-3% (penyusutan radial atau penyusutan tebal). Sedangkan pada bambu dewasa, dengan KA 2%, penyusutan bambu sebesar 4-14% pada bagian tebal dan 3-12% pada bagian diameter/tebal (Dransfield dan Widjaja 1995). Hasil penelitian Nuryati (2), besarnya penyusutan tebal bambu tali sebesar 19,85% pada bagian pangkal dan 12,48% pada bagian ujung. Selain itu penyusutan lebar sebesar 19,19% pada bagian pangkal dan 12,69% pada bagian ujung. Sedangkan pada bambu ampel besar penyusutan hingga KA 11,3% adalah 9,7-14% pada penyusutan tebal dan 6,-11,9 % pada penyusutan lebar (Dransfield dan Widjaja 1995). Menurut Haygreen dan Bowyer (1993), Perbedaan dalam penyusutan contoh uji dari spesies yang sama di bawah kondisi yang sama diakibatkan oleh tiga faktor, yaitu: a. Ukuran dan bentuk potongan. Hal ini mempengaruhi orientasi serat dalam potongan dan keseragaman kandungan air di seluruh tebal. b. Kerapatan contoh uji. Semakin tinggi kerapatan contoh uji, semakin banyak kecenderungannya untuk menyusut. c. Laju pengeringan contoh uji. Di bawah kondisi pengeringan yang cepat, terjadi tegangan internal karena perbedaan penyusutan. Hal ini sering mengakibatkan penyusutan yang lebih besar bila dibandingkan saat tidak terjadi tegangan internal. Penyusutan pada bambu berbeda jika dibandingkan penyusutan kayu. Karena pada bambu, penyusutan dimulai pada saat pengeringan atau di atas titik jenuh serat. Hal ini diduga karena adanya perbedaan struktur anatomi antara kayu dan bambu. Pada bambu strukturnya didominasi oleh parenkim sebagai jaringan dasar yang dindingnya cukup tipis sehingga pada saat pengeringan (masih di atas titik jenuh serat), air bebas yang keluar dari rongga sel parenkim mengakibatkan tahanan dalam lumen akan menjadi berkurang. Sehingga dinding sel parenkim yang tipis akan melisut (collapse) dan proses penyusutan akan dimulai sebelum dinding sel menyusut. Dengan demikian pada tanaman bambu, besarnya penyusutan akan lebih besar dibandingkan kayu (Nuryatin 2).

33 4.2.4 Pengembangan Dimensi Menurut Haygreen dan Bowyer (1993), Pengembangan merupakan proses saat air memasuki struktur dinding sel. Secara sederhana pengembangan adalah kebalikan dari proses penyusutan. Besar pengembangan tebal dan lebar bambu tali dan ampel pada bagian pangkal, tengah, dan ujung dapat dilihat pada Tabel 9 dan Gambar 22. Tabel 9 Pengembangan tebal dan lebar bambu tali dan bambu ampel pada bagian pangkal, tengah, dan ujung Jenis Bambu Arah pengembangan Pengembangan Dimensi Bambu (%) Bagian pangkal Bagian tengah Bagian ujung Ratarata Buku Ruas Tebal 2,96 2,65 2,37 3,35 2,32 3,19 2,97 Lebar 2,42 3,9 1,31 1,92 1,62 1,55 1,99 Tebal 2,39 1,96 1,54 4,26 3,33 6,5 3,33 Lebar,92 1,85 1,79 3,1 1,75 1,45 1,81 Terlihat pada Tabel 9, rata-rata pengembangan lebar bambu tali dan ampel lebih kecil bila dibandingkan dengan rata-rata pengembangan tebalnya. Selain itu, rata-rata pengembangan tebal bambu tali lebih kecil dibandingkan dengan ampel. namun rata-rata pengembangan lebar bambu tali lebih besar dibandingkan lebar ampel. Rata-rata pengembangan tebal bambu tali dan bambu ampel adalah 2,97% dan 1,99% dan rata-rata pengembangan lebar bambu tali dan ampel adalah 3,33% dan 1,81%. Perbedaan pengembangan dimensi pada masing-masing bagian dapat dilihat pada Gambar 22. 12 Pengembangan (%) 1 8 6 4 2 Tebal Lebar Tebal Lebar Tebal Lebar Tebal Lebar Gambar 22 Pengembangan tebal dan lebar bambu tali dan ampel pada bagian pangkal, tengah, dan ujung.

34 Dari Gambar 22 terlihat bahwa kecenderungan pengembangan tebal lebih besar dari pada pengembangan lebar,serta pengembangan pada bagian ruas lebih besar dari pada bagian buku. 4.3 Sifat Mekanis Bambu 4.3.1 Modulus of Elastisity (MOE) Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap kekuatan bambu adalah berat jenis bambu. Berat jenis bambu merupakan ungkapan banyaknya zat kayu atau sel dinding sel. Bambu yang mempunyai berat jenis besar berarti mempunyai jumlah zat dinding sel persatuan volume yang besar. Selanjutnya zat kayu ditentukan oleh beberapa faktor antara lain tebal dinding sel, besarnya sel dan jumlah sel berdinding tebal. Jumlah sel berdinding pada bambu berarti jumlah sel sklerenkim pada bambu tersebut. Besar nilai MOE pada masing-masing bagian pada bambu tali dan ampel disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Jenis Bambu MOE buluh utuh dan bilah bambu pada bagian pangkal, tengah, dan ujung bambu tali dan bambu ampel Nilai MOE (kgf/cm 2 ) Bentuk Bagian pangkal Bagian tengah Bagian ujung Ratarata Buku Ruas Bilah 15.237 116.724 122.5 14.98 118.482 155.541 126.577 Buluh 28.431 41.72 46.178 38.77 Bilah 117.975 17.776 16.167 128.414 12.776 19.194 112.5 Buluh 53.89 69.617 11.683 75.36 Berdasarkan Tabel 1 terlihat bahwa MOE bilah bambu tali berkisar 15.237-155.541 kgf/cm 2 dengan rata-rata 126.577 kgf/cm 2 dan MOE pada bilah bambu ampel nilai MOE berkisar 12.776-128.414 kgf/cm 2 dengan rata-rata 112.5 kgf/cm 2. Sedangkan rata-rata MOE pada buluh utuh bambu tali dan bambu ampel adalah 38.77 kgf/cm 2 dan 75.36 kgf/cm 2. Bila dikaitkan dengan BJ, besar BJ bambu tali sama dengan BJ bambu ampel. Namun kekuatan MOE bilah bambu tali cenderung lebih besar dari pada bilah bambu ampel. Hal ini diduga disebabkan bambu ampel lebih banyak mengandung zat ekstraktif dibandingkan bambu tali. Hasil penelitian Gusmalina dan Sumadiwangsa (1988) diacu dalam Krisdianto et al. (27), menyebutkan bahwa kandungan silika dan abu pada bambu tali sebesar,37% dan 2,75%, jauh

35 lebih kecil dibandingkan kandungan silika dan abu pada bambu ampel sebesar 1,78% dan 3,9%. Besarnya kadungan zat ekstraktif pada bambu ampel menyebabkan bambu ampel memiliki BJ yang besar namun MOE yang lebih kecil, karena zat ekstraktif tidak memberikan tambahan kekuatan pada bambu ampel. Perbedaan besar nilai MOE pada masing-masing bagian pangkal, tengah dan ujung, serata bagian buku dan ruas dapat terlihat jelas pada Gambar 23. MOE (kgf / cm 2 ) 18 15 12 9 6 3 Bilah Buluh Gambar 23 MOE bambu tali dan ampel pada bagian pangkal, tengah, dan ujung. Mengamati perbedaan besarnya MOE pada Gambar 23, pada bambu tali terdapat kecendrungan bagian ujung bambu memiliki nilai MOE lebih besar daripada pangkal. Hasil yang sama juga diperoleh Nuriyatin (2) yang menunjukan kecenderungan peningkakan nilai MOE dari bagian pangkal ke ujung pada 4 dari 5 jenis bambu yang diuji. Menurut Liese (23) diacu dalam Nuryatin (212), panjang serabut berkolerasi sangat kuat terhadap MOE. Serabut tersusun dari sejumlah lapisan dengan berbagai orientasi mikrofibril. Susunan sel serabut tersebut akan memberikan kotribusi yang besar terhadap fleksibelitas bambu. Perbedaan besar MOE juga berbeda pada bagian buku dan ruas. Pada bambu tali, ruas bambu memiliki MOE lebih besar dari pada bagian buku. Namun kecendrungan yang berbeda terdapat pada bambu ampel. Pada bambu ampel, bagian pangkal meliliki kecendrungan MOE lebih besar dari pada bagian ujung. Menurut Jansen (1981) diacu dalam Nuryatin (2), nilai MOE ditentukan oleh % skelerenkim. Karena adanya perbedaan % skelerenkim ini dicermin kan oleh perbedaan BJ. Sedangkan menurut Liese (198), batang bambu terdiri atas bagian buku dan ruas. Pada bagian ruas, orientasi sel semuanya aksial tidak ada yang radial sedangkan sklerenkim pada buku dilengkapi oleh sel radial.

36 MOE buluh bambu tali lebih kecil dibandingkan dengan buluh bambu ampel. Sedangkan bilah bambu ampel memiliki MOE yang lebih kecil dari bilah bambu tali. Hal ini dikarenakan jarak antar buku pada bambu ampel lebih pendek dibandingkan bambu tali. Sehingga diduga menyebabkan MOE pada buluh utuh bambu ampel menjadi lebih besar dibandingkan dengan bambu tali. Pola yang berbeda juga terjadi antara besar MOE bilah bambu ampel dengan buluhnya. MOE bilah bambu ampel memiliki kecenderungan semakin kecil dari pangkal ke ujung, sedangkan MOE buluh bambu ampel memiliki kecenderungan semakin besar dari pangkal ke ujung. Hal ini diduga dipengarugi oleh jarak antar buku pada contoh uji. Saat membandingkan besar MOE pada buluh utuh dengan bilah bambu, terlihat bahwa MOE pada buluh utuh lebih kecil dibandingkan dengan bilahnya. Hal ini diduga disebabkan oleh kekuatan belah bambu yang sangat lemah. Sehingga menyebabkan sebelum bambu mengalami kerusakan patah, bambu sudah mengalami kerusakan belah. Hal ini terlihat dari pola grafik elastisitas pengujian buluh utuh yang menyerupai gergaji. Grafik elastisitas buluh utuh dapat dilihat pada Gambar 24. Beban (kgf) 7 6 5 4 3 2 1.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5 Defleksi (cm) Bilah Buluh Utuh 1 Buluh Utuh 2 Gambar 24 Grafik elastisitas buluh utuh dan bilah bambu. Gambar 24 memperlihatkan bahwa saat bilah bambu mengalami kerusakan, yaitu ketika beban mencapai maksimum, beban akan langsung turun. Sedangkan pada grafik elastisitas buluh utuh, terlihat bahwa setelah buluh mengalami kerusakan pada saat beban mencapai maksimum, beban akan jatuh

37 namun mampu naik kembali bahkan mampu melewati beban maksimum sebelumnya (Gambar 24 pada buluh utuh 2). Hal ini diduga kerusakan yang terjadi pada bambu saat beban maksimum berupa belah pada bambu bukan patah pada bambu, sehingga bambu masih mampu menahan beban yang ada. Bentuk kerusakan pada buluh utuh dapat dilihat pada Gambar 25. Gambar 25 Bentuk kerusakan buluh utuh pada pengujian MOE dan MOR..Bila dikaitkan dengan jumlah buku, MOE pada ruas, dan MOE pada buku bilah, maka rumus regresi yang dapat digunakan untuk menduga kekuatan MOE buluh utuh adalah Y = 457,9 + 18191,48 X 1 21 X 2 +,34 X 3, dengan Y adalah MOE pada buluh utuh, X 1 adalah jumlah buku, X 2 adalah MOE pada ruas bilah, dan X 3 adalah MOE pada buku bilah. Namun dari ketiga faktor ini, tidak ada faktor yang berpengaruh nyata terhadap MOE buluh utuh. Diduga masih ada faktor lain yang lebih mempengaruhi kekuatan MOE buluh utuh. 4.3.2 Modulus of Rupture (MOR) Tegangan pada batas patah (MOR) merupakan ukuran kekuatan suatu bahan pada saat menerima beban maksimum yang menyebabkan terjadinya kerusakan. Besarnya nilai MOR pada bambu tali dan bambu ampel dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11 MOR buluh utuh dan bilah bambu pada bagian pangkal, tengah, dan ujung bambu tali dan bambu ampel Jenis Bambu Nilai MOR (kgf/cm 2 ) Bentuk Bagian pangkal Bagian tengah Bagian ujung Ratarata Buku Ruas Bilah 1.25 1.7 1.256 1.317 1.213 1414 1.216 Buluh 312 232 234 259 Bilah 1.324 1.275 1.196 1.384 1.4 1126 1.224 Buluh 42 447 61 483 Berdasarkan Tabel 11, MOR pada bilah bambu tali berkisar antara 1.25-1.444 kgf/cm 2 dengan rata-rata 1.216 kgf/cm 2. Pada bilah bambu ampel MOR

38 berkisar antara 1.4-1.284 kgf/cm 2 dengan rata-rata 1.224 kgf/cm 2. Sedangkan rata-rata MOR pada buluh bambu tali adalah 26 kgf/ cm 2 dan rata-rata MOR pada bulug bambu ampel adalah 483 kgf/ cm 2. Untuk mengetahui perbedaan MOR pada masing-masing bagian bambu dapat dilihat pada Gambar 26. MOR (kgf / cm 2 ) 21 18 15 12 9 6 3 Bilah Buluh Gambar 26 MOR bambu tali dan ampel pada bagian pangkal, tengah, dan ujung. Dari Gambar 26 terlihat bahwa pada bilah dan buluh bambu tali dan ampel memiliki kecenderungan pola yang sama dengan pola nilai MOE. Menurut Nuryatin (2), beberapa penelitian mengungkapkan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara nilai MOE dan MOR, sehingga pendugaan MOR dengan MOE dapat dilakukan. MOR buluh utuh juga bisa diduga dengan mengaitkan jumlah buku, MOR pada ruas bilah, dan MOR pada buku bilah. Persamaan regresi yang dapat digunakan untuk menduga MOR buluh utuh adalah Y = -286,7 + 153,5 X 1,28 X 2 +,56 X 3, dengan Y adalah MOR pada buluh utuh, X 1 adalah jumlah buku, X 2 adalah MOE pada ruas bilah, dan X 3 adalah MOE pada buku bilah. Dari ketiga faktor tadi, jumlah buku dan MOR pada buku bilah memberikan pengaruh nyata, sedangkan MOR pada ruas bilah tidak berpengaruh nyata. 4.3.3 Tekan sejajar serat Besarnya kekuatan tekan yang dialami bambu tergantung pada luasan daerah tekan atau potongan melintang bambu yang ditekan. Tekan sejajar arah serat pada batang perlu mempertimbangkan gejala terjadinya tekuk (buckling). Besarnya nilai kekuatan tekan sejajar serat pada bambu tali dan ampel dapat dilihat pada Tabel 12.

39 Tabel 12 Kekuatan tekan sejajar serat bambu tali dan bambu ampel pada bagian pangkal, tengah, dan ujung Jenis Bambu Nilai Tekan sejajar serat (kgf/cm 2 ) Bentuk Bagian pangkal Bagian tengah Bagian ujung Ratarata Buku Ruas Bilah 347 379 32 58 339 412 381 Buluh 48 467 446 481 472 5 462 Bilah 328 4 518 543 428 486 451 Buluh 529 544 464 511 498 395 49 Dari Tabel 12 terlihat bahwa besar kekuatan tekan sejajar serat pada bilah bambu tali berkisar 32-58 kgf/cm 2 dengan rata-rata 381 kgf/cm 2 dan besar kekuatan tekan sejajar serat pada buluh utuhnya berkisar antara 48-5 kgf/cm 2 dengan rata-rata 462 kgf/cm 2. Sedangkan pada bambu ampel besar nilai kekuatan tekan sejajar serat pada bilah berkisar antara 328-543 kgf/cm 2 dengan rata-rata 451 kgf/cm 2 dan kekuatan tekan sejajar serat pada buluh utuhnya berkisar antara 464-544 kgf/cm 2 dengan rata-rata 49 kgf/cm 2. Perbedaan besar nilai kekuatan tekan sejajar serat pada masing-masing bagian dapat dilihat pada Gambar 27. Tekan Sejajar Serat (kgf / cm 2 ) 8 6 4 2 Bilah Buluh Gambar 27 Kekuatan tekan sejajar serat bambu tali dan ampel pada bagian pangkal, tengah, dan ujung. Dari Gambar 27 terlihat bahwa kekuatan tekan sejajar serat bilah bambu tali dan lebih kecil dibandingkan kekuatan tekan buluh utuhnya. Hal ini dikarenakan pada buluh utuh bambu tali dan ampel memiliki kekuatan tekuk yang lebih besar sehingga menyebabkan kekuatan buluh utuh bambu tali dan bambu ampel lebih besar.

4 Selain itu, kekutan tekan bagian buku bambu tali dan ampel memiliki kekuatan tekan lebih kecil dibandingkan pada bagian ruas. Pada buku, serat-serat ini saling bertautan dan sebagian memasuki diafragma dan cabang-cabang. Sebagai akibat dari diskontinyuitas ini buku-buku pada umumnya merupakan titik terlemah dari batang bambu (Ghavami 1988 diacu dalam Habib 21). 4.3.4 Tarik Sejajar Serat Kekuatan tarik sejajar serat bambu yaitu suatu ukuran kekuatan bambu dalam hal kemampuannya untuk menahan gaya-gaya yang cederung menyebabkan bambu itu terlepas satu sama lain. Besarnya kekuatan tarik sejajar serat pada bambu tali dan bambu ampel dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13 Kekuatan tarik sejajar serat bambu tali dan bambu ampel pada bagian pangkal, tengah, dan ujung Jenis Bambu Nilai tarik sejajar serat (kgf/cm 2 ) Bagian pangkal Bagian tengah Bagian ujung Buku Ruas Rata-rata 756 2563 777 2954 134 2941 1837 156 2255 938 2256 1193 2555 179 Dari Tabel 13 terlihat bahwa kisaran kekuatan tarik sejajar serat bambu tali adalah 756-2954 kgf/cm 2 dengan rata-rata 1837 kgf/cm 2. Sedangkan pada bambu ampel kekuatan tarik sejajar serat berkisar anrata 938-2.555 kgf/cm 2 dengan ratarata 1.79 kgf/cm 2. Perbedaan kekuatan tarik sejajar serat pada masing-masing bagian dapat dilihat pada Gambar 28. Tarik Sejajar Serat (kgf / cm 2 ) 35 3 25 2 15 1 5 Gambar 28 Kekuatan tarik sejajar serat bambu tali dan ampel pada bagian pangkal, tengah, dan ujung.

41 Besarnya nilai kekuatan tarik pada bambu tali memiliki kecenderungan yang yang serupa dengan nilai kecenderungan nilai MOE. Hal ini dikarenakan luas proporsi vaskuler dan BJ bambu tali memiliki pola yang sama. Sedangkan pada bambu ampel memiliki kecenderungan yang agak berbeda dengan pola MOE namun pada bagian ruas bambu ampel memiliki pola yang sama dengan proporsi luas vaskuler bambu ampel. Kekutan tarik bagian buku bambu tali lebih kecil bila dibandingkan dengan kekuatan tarik bambu ampel. Hal ini diduga disebabkan ikatan serabut yang terjadi pada buku bambu ampel lebih kuat dibandingkan dengan ikatan serabut pada bambu tali. Menurut Wangaard (195) diacu dalam Nuryatin (2) menyatakan bahwa keteguhan tarik sejajar serat sangat tergantung pada kekuatan serabut (sifat kohesi) dan dipengaruhi oleh dimensi kayu, elemen penyusun dan susunannya dalam kayu. Kekuatan tarik terbesar akan diperoleh spesimen dengan serabut lurus serta berdinding tebal. Serat miring akan mengurangi kekuatan tarik. Menurut Liese (198), pada bagian ruas (internode) memiliki sel-sel yang berorientasi aksial. Sedangkan pada bagian buku (node), orientasi seratnya adalah transversal interkoneksi. Hal ini dapat dilihat dari kerusakan contoh tarik sejajar serat pada Gambar 29. (a) (b) (c) Gambar 29 (a) Kerusakan uji tarik sejajar serat pada buku, (b) Kerusakan uji tarik sejajar serat pada ruas bambu tali, (c) Kerusakan uji tarik sejajar serat pada ruas bambu ampel. Dari Gambar 29 terlihat bahwa kerusakan pada contoh uji tarik sejajar serat berupa buku (a), kerusakan terjadi tepat di tengah (buku). Sedangkan kerusakan contoh uji tarik sejajar serat pada ruas tidak terjadi tepat di tengah. Pada bambu tali, yang memiliki pangjang ruas rata-rata lebih besar dari panjang contoh uji tarik sejajar serat, kerusan terjadi pada spanjang areal tertipis. Sedangkan kerusakan contoh uji tarik sejajar serat pada ruas bambu ampel terjadi

42 pada buku. Hal ini dikarenakan rata-rata panjang ruas bambu ampel lebih pendek dibandingkan pangjang contoh uji dan titik terlemah dari bambu berada di buku. 4.3.5 Geser Sejajar Serat Kekuatan geser pada bambu lebih besar dibandingkan kekuatan geser pada kayu. Besarnya nilai kekuatan geser sejajar serat pada bambu tali dan bambu ampel dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14 Kekuatan geser sejajar serat bambu tali dan bambu ampel pada bagian pangkal, tengah, dan ujung Jenis Bambu Nilai Tekan sejajar serat (kgf/cm 2 ) Bagian pangkal Bagian tengah Bagian ujung Ratarata Buku Ruas 74 86 7 88 7 96 81 16 19 96 113 14 117 18 Dari Tabel 14 terlihat bahwa rata-rata kekuatan geser sejajar serat bambu tali lebih kecil dibandingkan kekutan geser bambu ampel. Kekuatan geser sejajar serat bambu tali sebesar 81 kgf/cm 2, sedangkan kekuatan geser bambu ampel sebesar 18 kgf/cm 2. Perbedaan kekuatan geser sejajar serat pada masing-masing bagian bambu dapat dilihat pada Gambar 3. Geser Sejajar Serat (kgf / cm 2 ) 16 14 12 1 8 6 4 2 Gambar 3 Kekuatan geser sejajar serat bambu tali dan ampel pada bagian pangkal, tengah, dan ujung. Dari Gambar 3 terlihat bahawa kekuatan geser pada bagian ruas lebih besar dibandingkan kekutan geser pada bagian buku. Hal ini diduga disebakan oleh orientasi serat pada buku bambu memiliki orientasi yang transversal interkoneksi. Selain itu, perbedaan kekuatan geser juga terjadi pada bagian

43 pangkal, bagian tengah, dan bagian ujung. Pada bagian ruas bambu tali dan bambu ampel, kekuatn geser semakin meningkat dari pangkal ke ujung. Hal ini diduga disebabkan oleh proporsi luas vaskuler yang semakin besar dari bagian pangkal ke bagian ujung. Sedangkan pada bagian buku bambu memiliki kecenderungan yang berlawanan. Pada bagian buku bambu kekutan geser serat memiliki kecenderungan semakin kecil dari pangkal ke ujung. Hal ini diduga disebabkan oleh perbedaar ikan serat yang terjadi pada buku bambu.