TANYA JAWAB PEDOMAN TEKNIS FARMAKOVIGILANS BAGI INDUSTRI FARMASI



dokumen-dokumen yang mirip
TANYA JAWAB PEDOMAN TEKNIS FARMAKOVIGILANS BAGI INDUSTRI FARMASI

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN HK TENTANG PEMASUKAN OBAT JALUR KHUSUS KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA

2011, No Tentang Registrasi Obat dan Pasal 36 ayat (4) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika perlu menetapkan Peraturan Kepal

BERITA NEGARA. BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN. Pembuatan Obat. Penerapan. Pedoman. Pencabutan. PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN NOMOR HK TAHUN 2011 TENTANG KRITERIA DAN TATA LAKSANA REGISTRASI OBAT

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1799/MENKES/PER/XII/2010 TENTANG INDUSTRI FARMASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 949/MENKES/PER/VI/2000 TENTANG REGISTRASI OBAT JADI MENTERI KESEHATAN,

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,

BPOM. Uji Klinik. Persetujuan. Tata Laksana. Pencabutan.

PEDOMAN TEKNIS PENERAPAN FARMAKOVIGILANS BAGI INDUSTRI FARMASI

2017, No Indonesia Nomor 5062); 3. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Obat merupakan komoditi utama yang digunakan manusia untuk

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Obat Jadi dan Industri Bahan Baku Obat. Definisi dari obat jadi yaitu

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1010/MENKES/PER/XI/2008 TENTANG REGISTRASI OBAT

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK TAHUN 2011

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK TAHUN 2011 TENTANG PENGAWASAN PEMASUKAN OBAT IMPOR

2 Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844); 3. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkot

BERITA NEGARA. No.1104, 2013 BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN. Pedoman. Prekursor Farmasi. Obat. Pengelolaan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

KEBIJAKAN PENGENDALIAAN ALAT KESEHATAN DALAM MENYONGSONG SJSN. Oleh: Drg. Arianti Anaya, MKM Direktur Bina Produksi dan Distribusi Alat Kesehatan

KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN NOMOR HK TAHUN 2002 TENTANG PROMOSI OBAT KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1148/MENKES/PER/VI/2011 TENTANG PEDAGANG BESAR FARMASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1148/MENKES/PER/VI/2011 TENTANG PEDAGANG BESAR FARMASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERMENKES No.949 Th 2000

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2017 TENTANG TATA CARA SERTIFIKASI CARA DISTRIBUSI OBAT YANG BAIK

2016, No Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Ne

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : HK TENTANG KRITERIA DAN TATA LAKSANA REGISTRASI OBAT

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PERUNDANGAN PRAKTEK APOTEKER

KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : PO TENTANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2017 TENTANG KRITERIA DAN TATA LAKSANA REGISTRASI OBAT

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KESEHATAN. Industri Farmasi. Perizinan. Penyelenggaraan.

BUPATI BANTUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN BUPATI BANTUL NOMOR 22 TAHUN 2018 TENTANG PENYELENGGARAAN APOTEK

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02002/SK/KBPOM

BAB 1 PENDAHULUAN. Pelayanan kesehatan merupakan hak setiap orang yang dijamin dalam Undang-

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PERATURAN WALIKOTA MALANG NOMOR 26 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, TUGAS DAN FUNGSI SERTA TATA KERJA DINAS KESEHATAN

BERITA NEGARA PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA

PEDOMAN PENILAIAN REGISTRASI

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR PER -15 /BC/2012 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai obat generik menjadi faktor utama

BAB I PENDAHULUAN. Ketersediaan obat bagi masyarakat merupakan salah satu komitmen pemerintah

2 yang lebih cepat untuk memperkuat pendeteksian dini (early warning) LJKNB dalam rangka penciptaan stabilitas sistem keuangan, maka seluruh LJKNB diw

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. dari manajemen kualitas. Hampir setiap tindakan medis menyimpan potensi

CPOB. (Cara Pembuatan Obat yang Baik)

b. Sertifikat CPOB sesuai dengan bentuk sediaan yang diajukan

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK TAHUN 2011 TENTANG PENGAWASAN PEMASUKAN BAHAN OBAT

PETUNJUK TEKNIS REGISTRASI AKUN APLIKASI e REGISTRASI OBAT (AeRO) aero.pom.go.id

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1190/MENKES/PER/VIII/2010 TENTANG IZIN EDAR ALAT KESEHATAN DAN PERBEKALAN KESEHATAN RUMAH TANGGA

JAKARTA, 24 NOVEMBER 2017

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2015 TENTANG TATA LAKSANA PERSETUJUAN UJI KLINIK

Wimbuh Dumadi,S.Si.M.H.,Apt Ketua Pengurus Daerah IAI DIY. Yogyakarta, 14 April 2018

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG TATA LAKSANA PERSETUJUAN UJI KLINIK

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 867/MENKES/PER/VIII/2004 TENTANG REGISTRASI DAN PRAKTIK TERAPIS WICARA

BAB I PENDAHULUAN. untuk mewujudkan masyarakat yang sehat melalui penyediaan obat berkualitas

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Industri farmasi menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No.

PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR: 3/POJK.05/2013 TENTANG LAPORAN BULANAN LEMBAGA JASA KEUANGAN NON-BANK

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2017 TENTANG PEDOMAN DOKUMEN INFORMASI PRODUK

SOSIALISASI PERKA BADAN POM NO. 8 TAHUN 2017 PEDOMAN PENGAWASAN PERIKLANAN OBAT DAN EVALUASI KEPATUHAN PENANDAAN OBAT

Contoh Panduan KORPS MARINIR RUMKITAL MARINIR CILANDAK PANDUAN. RUMKITAL MARINIR CILANDAK JAKARTA 2016 DAFTAR ISI

POKJA KUALIFIKASI dan PENDIDIKAN STAFF (KPS)

BERITA DAERAH KOTA BOGOR. Nomor 93 Tahun 2016 Seri E Nomor 45 PERATURAN WALIKOTA BOGOR NOMOR 93 TAHUN 2016 TENTANG

RANCANGAN POJK TENTANG PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO BAGI BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH

Matriks Rancangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Perkreditan Rakyat (BPR)

REGULASI PENGELOLAAN DISTRIBUSI OBAT DAN URGENCY SERTIFIKASI CDOB

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : HK TENTANG TATA LAKSANA PENDAFTARAN SUPLEMEN MAKANAN

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 13/POJK.03/2015 TENTANG PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO BAGI BANK PERKREDITAN RAKYAT

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIAHUK NOMOR 1799/MENKES/PER/XII/2010 TENTANG INDUSTRI FARMASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA

2016, No Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42,

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN DOKUMEN INFORMASI PRODUK

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR PER- 16 /BC/2012 TENTANG

2017, No Tahun 1997 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3671); 3. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (

TUJUAN. a. Meningkatkan mutu Pelayanan Kefarmasian. b. Menjamin kepastian hukum bagi tenaga kefarmasian; dan

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia Nomor 245/Menkes/SK/V/1990 terdiri dari industri obat jadi dan

Jurnal Kefarmasian Indonesia. Vol : 20-27

BAB I PENDAHULUAN. konsekuensi terutama dalam proses penyembuhan penyakit atau kuratif (Isnaini,

BAB II LANDASAN TEORI A. TINJAUAN PUSTAKA. pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna dengan menyediakan pelayanan

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

2 d. bahwa untuk mengelola eksposur risiko sebagaimana dimaksud dalam huruf a, konglomerasi keuangan perlu menerapkan manajemen risiko secara terinteg

KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK TAHUN 2008 TENTANG

2. Bagi Apotek Kabupaten Cilacap Dapat dijadikan sebagai bahan masukan sehingga meningkatkan kualitas dalam melakukan pelayanan kefarmasian di Apotek

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1799/Menkes/Per/XII/2010 tentang Industri Farmasi adalah badan usaha yang

Transkripsi:

TANYA JAWAB PEDOMAN TEKNIS FARMAKOVIGILANS BAGI INDUSTRI FARMASI BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA 1 P a g e

Definisi Farmakovigilans 1. T: Apakah perbedaan antara Farmakogivilans dengan Monitoring Efek Samping Obat (MESO)? J: Sesuai Ketentuan Umum pada Peraturan Kepala Badan POM RI No. HK.03.1.23.12.11.10690 Tahun 2011, yang dimaksud dengan farmakovigilans adalah seluruh kegiatan tentang pendeteksian, penilaian (assessment), pemahaman, dan pencegahan efek samping atau masalah lainnya terkait dengan penggunaan obat. Sedangkan pengertian Monitoring Efek Samping Obat atau lebih dikenal dengan MESO, adalah suatu kegiatan pendeteksian efek samping atau masalah lainnya terkait penggunaan obat. Jadi MESO merupakan bagian dari kegiatan Farmakovigilans. Pengawasan Penerapan Farmakovigilans di Industri Farmasi oleh Badan POM 2. T: Disebutkan dalam Peraturan Bab III, Pasal 5, ayat (2), bahwa data dan pelaporan farmakovigilans wajib diperlihatkan kepada petugas pemeriksa yang berwenang. Apakah yang dimaksud dengan Pasal 5, ayat (2) tersebut? J: Yang dimaksud dengan Bab III, Pasal 5, ayat (2) dalam Peraturan tersebut adalah bahwa dengan adanya ketentuan kententuan wajib bagi Industri Farmasi dalam melaksanakan Farmakovigilans, maka Badan POM mempunyai tanggung jawab untuk pengawalan ketentuan ini, dengan melakukan pengawasan penerapan Farmakovigilans di Industri Farmasi, berupa pemeriksaan terhadap sistem farmakovigilans yang diterapkan oleh Industri Farmasi. Dalam proses pemeriksaan tersebut, data dan pelaporan farmakovigilans harus tersedia untuk petugas yang melakukan pemeriksaan. 3. T: Apakah pemeriksaan tersebut berupa pemeriksaan yang bersifat inspeksi mendadak tanpa pemberitahuan atau dengan pemberitahuan? J: Sifat dari pemeriksaan tersebut adalah dengan pemberitahuan terlebih dahulu, karena ketentuan farmakovigilans ini merupakan ketentuan yang baru dan membutuhkan proses penyesuaian yang tidak sebentar bagi industri farmasi. 4. T: Di manakah tempat dilakukannya pemeriksaan tersebut? Apakah di sarana produksi/pabrik industri farmasi atau di kantor pusat? J: Pemeriksaan dilakukan di tempat di mana aktivitas farmakovigilans diselenggarakan oleh industri farmasi yang bersangkutan, termasuk tempat dimana data atau dokumentasi farmakovigilans disimpan, bukan dilakukan di sarana produksi / pabrik. Sanksi Administratif 5. T: Di dalam Peraturan Kepala Badan POM tentang hal ini, disebutkan bahwa Industri Farmasi yang tidak melaksanakan Farmakovigilans dapat dikenakan sanksi administratif. Karena peraturan ini merupakan peraturan baru, sejauh mana penerapan sanksi yang akan dilakukan? J: Sanksi Administratif yang dimaksud dalam Peraturan ini adalah masih bersifat pembinaan hingga penerapan penyesuaian terhadap peraturan ini ditetapkan 2 P a g e

yaitu 24 (dua puluh empat) bulan sebagaimana disebutkan dalam Ketentuan Peralihan. Pedoman yang menjadi lampiran Peraturan ini diharapkan dapat menjadi panduan bagi Industri Farmasi dalam memenuhi ketentuan dalam Peraturan tentang Farmakovigilans. Peran dan Tanggung Jawab Industri Farmasi 6. T: Pada uraian terkait Peran dan Tanggung Jawab Industri Farmasi, khususnya alenia ke-dua, disebutkan: Industri Farmasi harus memiliki suatu sistem Farmakovigilans yang dapat menunjang pelaksanaan kewajibannya dalam melakukan pemantauan keamanan obat yang diedarkan. Bagaimana dengan vaksin? Apakah vaksin dapat dianggap sama dengan obat? 3 P a g e J: Mengacu pada definisi obat pada pedoman, bahwa obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi, yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan dan peningkatan kesehatan, dan kontrasepsi untuk manusia. Jadi, meskipun hanya disebut obat, namun sudah meliputi produk biologi termasuk vaksin. Sistem Farmakovigilans Organisasi 7. T: Disebutkan dalam Pedoman pada uraian terkait organisasi, bahwa Industri Farmasi harus memiliki suatu unit dalam organisasi untuk melaksanakan Farmakovigilans. Apakah unit tersebut harus berupa suatu unit baru? J: Penekanan istilah Unit dimaksud adalah bersifat fungsional, jadi di dalam suatu Industri Farmasi harus ada fungsi Farmakovigilans. Fungsi tersebut dapat berupa unit yang baru dibentuk atau unit yang sudah ada dalam organisasi namun dengan penambahan fungsi untuk pengelolaan Farmakovigilans. Penanggung Jawab 8. T: Apakah Penanggung Jawab Farmakovigilans dapat dirangkap oleh Pananggung Jawab Quality Assurance atau Regulatory Affairs? J: Ketentuan tentang Farmakovigilans dan Penerapannya oleh Industri Farmasi di Indonesia merupakan suatu kebijakan yang relative baru. Industri Farmasi tentunya membutuhkan waktu penyesuaian yang cukup untuk penerapannya, begitu pula dengan penugasan secara khusus seorang Penanggung Jawab Farmakovigilans. Oleh karena itu, dalam hal Industri Farmasi belum dapat memenuhi tersedianya seorang Penanggung Jawab Farmakovigilans secara khusus, agar fungsi farmakovigilans tetap terlaksana, maka tugas ini dapat dirangkap oleh Penanggung Jawab yang setara dalam struktur organisasi di Industri Farmasi yang bersangkutan, dan memenuhi kriteria sesuai Pedoman Teknis Farmakovigilans bagi Industri Farmasi. 9. T: Apakah Penanggung Jawab Farmakovigilans dapat berkedudukan di Luar Negeri? J: Sesuai dengan Permenkes No. 1799/Menkes/Per/XII/2010 pada pasal 9 ayat (3) disebutkan bahwa Industri Farmasi wajib melaksanakan Farmakovigilans.

Seluruh kegiatan yang ada di Industri Farmasi merupakan tanggung jawab manajemen Industri Farmasi yang ada di Indonesia termasuk Farmakovigilans. Oleh karena itu, Industri Farmasi harus menjamin pelaksanaan kegiatan Farmakovigilans dilakukan dengan baik terhadap seluruh produk yang diedarkan di wilayah Indonesia, sehingga penanggung jawab Farmakovigilans berkedudukan di Indonesia. 10. T: Apakah Pedagang Besar Farmasi atau yang memasarkan produk impor di Indonesia dapat melaksanakan Farmakovigilans? dan siapa yang bertanggung jawab terhadap keamanan produk yang di edarkan? J: Pedagang Besar Farmasi atau yang memasarkan produk impor di Indonesia dapat melaksanakan Farmakovigilans. Farmakovigilans dilaksanakan sesuai dengan perjanjian kedua belah pihak, tetapi keamanan produk yang diedarkan tetap menjadi tanggung jawab Pemegang Izin Edar sesuai persetujuan registrasi yang diberikan. Pelaporan Spontan Kejadian Tidak Diinginkan terkait Penggunaan Obat. 11. T: Apakah ada pengaturan atau ketentuan terkait cara atau metode yang dilakukan oleh Industri Farmasi dalam melakukan pengumpulan informasi kejadian tidak diinginkan dari tenaga kesehatan atau pasien? J: Badan Pengawas Obat dan Makanan tidak mengatur secara khusus cara atau metode yang digunakan oleh suatu Industri Farmasi dalam melakukan upaya pengumpulan informasi kejadian tidak diingingkan atau efek samping obat dari tenaga kesehatan maupun dari pasien. Hal sepenuhnya diserahkan kepada masing-masing Industri Farmasi, selama tidak mengganggu hak tenaga kesehatan dan atau pasien. 12. T: Apakah yang dimaksud dengan ketentuan waktu pelaporan spontan kejadian tidak diinginkan serius tidak lebih dari 15 hari kalender merupakan suatu laporan awal atau laporan lengkap? J: Waktu pelaporan spontan kejadian tidak diinginkan serius yaitu tidak lebih dari 15 hari kalender dimaksud adalah berupa laporan spontan yang lengkap. 13. T: Pada Peraturan Kepala Badan POM tentang Penerapan Farmakovigilans bagi Industri Farmasi, disebutkan bahwa salah satu kriteria kejadian tidak diinginkan serius pada pelaporan spontan, adalah kejadian medis penting lainnya. Apakah yang dimaksud dengan kejadian medis penting lainnya? J: Yang dimaksud dengan kejadian medis penting lainnya adalah semua kejadian medis yang dialami oleh pasien setelah penggunaan obat, yang secara klinis dan berdasarkan penilaian dokter memerlukan penanganan medis lebih lanjut, dimana apabila tidak dilakukan penanganan medis tersebut akan mempengaruhi kesehatan pasien. 14. T: Untuk pelaporan KTD-Non Serius Obat dan Vaksin, apakah laporan dapat disampaikan dalam bentuk CIOMS II line listing atau wajib menggunakan format pelaporan sesuai lampiran 4 dan lampiran 7 pada Peraturan Penerapan Farmakovigilans bagi Industri Farmasi? J: Untuk keseragaman pelaporan, pelaporan KTD-Non Serius Obat dan vaksin 4 P a g e

disesuaikan dengan lampiran 4 dan lampiran 7 pada Peraturan Penerapan Farmakovigilans bagi Industri Farmasi. 15. T: Pelaporan spontan kejadian yang tidak diinginkan (Spontaneous Adverse Event Reporting). Pelaporan spontan merupakan laporan kejadian tidak diinginkan yang diduga disebabkan oleh obat termasuk vaksin. Apakah industri farmasi hanya melaporkan kejadian adverse event yang diduga terkait (related) dengan obat atau vaksin saja. J: Industri farmasi diwajibkan melaporkan kejadian adverse event yang diduga terkait (related) saja, tetapi apabila industri farmasi tidak dapat menentukan keterkaitan adverse event dengan obat atau vaksin harus dilaporkan untuk dapat dilakukan evaluasi oleh Badan POM. Pelaporan Spontan Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) 16. T: Disebutkan dalam Pedoman bahwa pelaporan spontan KIPI serius berupa kematian atau bersifat fatal harus dilakukan oleh Industri Farmasi dalam waktu 24 jam kepada Badan POM. Untuk pelaporan spontan KIPI fatal yang terjadi di dalam negeri masih memungkinkan, bagaimana dengan yang terjadi di luar negeri? J: Yang dimaksud dengan pelaporan pelaporan spontan KIPI Serius berupa kematian dalam waktu 24 jam kepada Badan POM adalah pelaporan awal dihitung sejak industry farmasi mengetahui adanya informasi tersebut, dan tidak lebih dari 15 hari kalender laporan lengkap. Pelaporan Berkala Pasca Pemasaran (Periodic Safety Update Report) 17. T: Apakah pelaporan PSUR dapat berupa soft copy? J: Dokumen PSUR dapat disampaikan dalam bentuk soft copy, namun demikian harus dilengkapi dengan surat pengantar dan ringkasan eksekutif dalam bentuk hard copy. 18. T: Apakah yang dimaksud dengan kriteria obat yang wajib dilaporkan PSUR pada butir b. Obat lain yang ditetapkan oleh Kepala Badan POM? J: Yang dimaksud dengan kriteria butir b, pada pelaporan PSUR adalah obat lain diluar kriteria butir a (obat dengan zat aktif baru, termasuk produk biologi sejenis), yang pada perjalanan peredarannya diketahui adanya informasi keamanan terkini dan berdasarkan pengkajian serta rekomendasi tim ahli terkait dan Komnas PPOJ perlu dilakukan pemantauan aspek keamanan secara ketat. 19. T: Apakah untuk kriteria butir b, berlaku hanya untuk obat inovator atau juga berlaku untuk obat copy-nya? J: Kriteria butir b, dapat berlaku baik untuk obat innovator maupun copy-nya, terutama copy pertama, dan atau yang ditetapkan kemudian oleh Badan POM. J: Untuk pelaporan PSUR, mengenai informasi atau data butir d dan e, sebagaimana disebutkan dalam Pedoman, apabila belum tersedia pada saat waktu pelaporan jatuh tempo, maka diberikan keterangan atau penjelasan bahwa informasi atau data belum tersedia hingga waktu pelaporan. 5 P a g e

20. T: Apakah diharuskan melaporkan PSUR, apabila pemegang ijin edar mendaftarkan produk dengan kekuatan berbeda, sedangkan produk yang telah disetujui sudah tidak mempunyai kewajiban untuk melaporkan PSUR (nomor persetujuan sudah lebih dari 5 (lima) tahun? J: Produk dengan zat aktif yang sama dengan kekuatan berbeda tidak perlu melaporkan PSUR, jika produk yang telah disetujui sudah tidak mempunyai kewajiban untuk melaporkan PSUR (nomor persetujuan sudah lebih dari 5 (lima) tahun, tetapi PSUR harus terdokumentasi dan tersedia di Industri Farmasi yang diperlukan atau di minta oleh Badan POM, jika suatu saat terdapat issue keamanan terkait produk tersebut 21. T: Setelah diterbitkan peraturan Kepala Badan tentang Penerapan Farmakovigilans bagi Industri Farmasi yang diundangkan tanggal 5 Januari 2012, Apakah pelaporan PSUR dilakukan hanya untuk produk obat dengan zat aktif baru dengan persetujuan nomor izin edar? J: Pelaporan PSUR dilakukan terhadap semua produk yang memenuhi kriteria obat, yang diwajibkan melaporkan PSUR termasuk obat dengan persetujuan izin edar sebelum peraturan ini diterbitkan. 22. T: Apakah PSUR dapat digantikan dengan Periodic Benefit Risk Evaluation Report (PBRER) atau Development Safety Update Report (DSUR)? J: PSUR dapat digantikan dengan Periodic Benefit Risk Evaluation Report (PBRER) atau Development Safety Update Report (DSUR), jika Pemegang Izin Edar tidak lagi menerbitkan PSUR. 23. T: Apakah diperbolehkan menyampaikan PSUR dengan periodisasi yang berbeda dengan ketentuan dalam Pedoman disesuaikan dengan periodisasi yang sedang berjalan, karena perbedaan International birthdate dan Indonesia brithdate? J: Untuk produk yang memenuhi kriteria pelaporan PSUR, apabila dokumen PSUR yang tersedia sudah berbeda periodisasinya dengan ketentuan pelaporan PSUR sesuai Pedoman, karena disebabkan perbedaan antara International birthdate dengan Indonesia birhtdate, maka periodisasi pelaporan PSUR dapat mengikuti periodisasi PSUR yang sedang berjalan dengan diberikan informasi pada surat pengantar/covering letter-nya. Lama atau rentang waktu kewajiban untuk pelaporan PSUR tetap mengacu pada Pedoman yaitu hingga 5 (lima) tahun setelah disetujui beredar di Indonesia. Setelahnya adalah bersifat sukarela, dan apabila sewaktu-waktu diperlukan untuk pengkajian, IF dapat memberikan datanya kepada Badan POM. Perencanaan Manajemen Resiko (Risk Management Plan) 24. T: Produk apa saja yang dipersyaratkan untuk melaporkan RMP? J: Produk yang dipersyaratkan untuk melaporkan RMP akan ditetapkan, tetapi Industri Farmasi yang sedang/akan melaksanakan RMP dapat melaporkan ke Badan POM. Pada saat ini Badan POM sedang menyusun pedoman RMP. Pelaporan Studi Keamanan Pasca Pemasaran 25. T: Apakah pelaporan studi dilakukan setelah studi selesai dilaksanakan? 6 P a g e

J: Pelaporan studi dilakukan mulai sejak studi ini dimulai (yaitu berupa laporan desain/protokol studi), sedang berjalan (berupa laporan analisis interim, dan pelaporan Kejadian Tidak Diinginkan yang Serius) hingga selesai dilaksanakan (berupa laporan akhir/final studi). 26. T: Apabila studi keamanan tersebut merupakan studi yang dilaksanakan oleh Industri Farmasi Pusat/Global (bagi Industri Farmasi Multi Nasional), dan dilaksanakan bukan karena dipersyaratkan pada izin edar, dan juga bukan dalam rangka perencanaan manajemen risiko, apakah harus dilaporkan kepada Badan POM? J: Untuk studi keamanan yang dilakukan oleh Industri Farmasi Pusat/Global dimaksud, dimana pelaksanaan studi di Indonesia, maka Industri Farmasi di Indonesia juga harus memberikan laporan, berupa laporan setiap Kejadian Tidak Diinginkan Serius, dan hasil studi apabila telah selesai dilaksanakan. Untuk Studi keamanan yang dilakukan oleh Industri Farmasi Pusat/Global dimaksud, dimana pelaksanaan studi di luar negeri, maka Industri Farmasi di Indonesia harus melaporkan hasil studi apabila telah selesai dilaksanakan. Pelaporan Publikasi/Literatur Ilmiah 27. T: Apakah publikasi/literatur ilmiah yang harus dilaporkan merupakan publikasi/literatur ilmiah yang diterbitkan di Indonesia atau luar negeri? J: Pelaporan publikasi/literatur ilmiah terkait keamanan obat, yang diperoleh Industri Farmasi baik yang merupakan publikasi/literatur ilmiah di Indonesia dan luar negeri. Pelaporan Tindak Lanjut Regulatori Badan Otoritas Negara Lain 28. T: Disebutkan dalam Pedoman bahwa pelaporan dilakukan dalam 24 jam setelah menerima informasi. Apakah 24 jam yang dimaksud di sini dihitung setelah menerima informasi dari kantor pusat (untuk PMA)? J: Timeline pelaporan dalam waktu 24 jam untuk pelaporan tindak lanjut regulatori badan otoritas Negara lain, dihitung sejak Industri Farmasi di Indonesia mengetahui (aware) adanya informasi tersebut, baik yang diperoleh dari kantor pusat atau dari badan otoritas Negara lain atau sumber lain yang dapat dipercaya (website resmi badan otoritas Negara yang bersangkutan), yang terlebih dahulu diperoleh informasinya. Pelaporan Tindak Lanjut Pemegang Izin Edar di Negara Lain. 29. T: Disebutkan dalam Pedoman bahwa pelaporan dilakukan dalam 24 jam setelah menerima informasi. Apakah 24 jam yang dimaksud di sini dihitung setelah menerima informasi dari kantor pusat (untuk PMA)? J: Timeline pelaporan dalam waktu 24 jam untuk pelaporan tindak lanjut regulatori badan otoritas Negara lain, dihitung sejak Industri Farmasi di Indonesia mengetahui (aware) adanya informasi tersebut, baik yang diperoleh dari kantor pusat atau dari sumber lain yang dapat dipercaya (website resmi pemegang izin edar yang bersangkutan), yang terlebih dahulu diperoleh informasinya. 7 P a g e

Dokumentasi 30. T: Berapa lama periode penyimpanan dokumen terkait Farmakovigilans yang ditetapkan pada Industri Farmasi? J: Dokumen harus disimpan dalam jangka waktu 5 tahun dalam bentuk hard maupun soft copy, dan setelah 5 tahun dokumen dapat disimpan hanya dalam bentuk soft copy dan harus disimpan selama produk tersebut masih beredar dan digunakan. 8 P a g e