AKSISIBILITAS LINGKUNGAN FISIK BAGI PENYANDANG CACAT

dokumen-dokumen yang mirip
Kendala Umum yang Dihadapi Penyandang Disabilitas dalam Mengakses Layanan Publik

PERLINDUNGAN HAK-HAK KONSTITUSIONAL PENYANDANG DISABILITAS (RIGHTS OF PERSONS WITH DISABILITIES)

Partisipasi Penyandang Cacat dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada)

BAB I PENDAHULUAN. tersebut bisa dalam bentuk barang ataupun jasa. Atas dasar itu negara sebagai

BAB III LANDASAN TEORI. diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2014 Tentang Angkutan

KAJIAN REFERENSI. 1. Persyaratan Kenyamanan Ruang Gerak dalam Bangunan Gedung

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 11 TAHUN 2002 TENTANG PENYEDIAAN FASILITAS PADA BANGUNAN UMUM DAN LINGKUNGAN BAGI DIFABEL

PROPOSAL PROGRAM KREATIFITAS MAHASISWA KAJIAN RUANG TERBUKA HIJAU UNTUK KALANGAN DIFFERENT ABILITY(DIFABEL)DENGAN PENDEKATAN PERILAKU DI KOTA BANDUNG

Penerapan Manajemen Pelayanan Inklusif Abstrak


Terdapat 3 (tiga) metode dalam memarkir kendaraan, diantaranya adalah:

Capacity Building Workshop on Supporting Employability of Persons with Disability

KAJIAN FASILITAS DAN AKSESIBILITAS BAGI DIFABEL PADA BANGUNAN PELAYANAN UMUM (STUDI KASUS KANTOR WALIKOTA BANDA ACEH)

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 1998 TENTANG UPAYA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN SOSIAL PENYANDANG CACAT

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PP 43/1998, UPAYA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN SOSIAL PENYANDANG CACAT

BAB I PENDAHULUAN LATAR BELAKANG Perkembangan dalam bidang perekonomian semakin meningkat, di

Analisis Fungsi Organ-organ Penginderaan dan Pengembangannya bagi Individu Tunanetra

Laporan Monitoring. Aksesibilitas Lingkungan Fisik Balai Desa Plembutan. Sumiyati (Disabilitas)

DISABILITAS DAN PENGURANGAN RESIKO BENCANA DI TEMPAT KERJA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 1998 TENTANG UPAYA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN SOSIAL PENYANDANG CACAT

BAB II: TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN TEORI 1.9 Kode Etik Arsitek dan Kaidah Tata Laku Profesi Arsitek Standar Etika 2.1 (Tata Laku)

Syarat Bangunan Gedung

BAB III LANDASAN TEORI

UNIVERSITAS ESA UNGGUL Fakultas Teknik Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Standar Fasilitas dan Aksesibilitas pada Bangunan Gedung dan Lingkungan Fasilitas Pelayanan Kesehatan

Kebutuhan Terhadap Pedoman Pejalan Kaki

Fasilitas Aksesibilitas Penyandang Disabilitas Tunadaksa di Stasiun KA Kota Baru Malang

KELUAR DAN EVAKUASI YANG AMAN UNTUK ORANG DENGAN KETERBATASAN FISIK

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PEKERJAAN UMUM,

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR : 30/PRT/M/2006 TENTANG PEDOMAN TEKNIS FASILITAS DAN AKSESIBILITAS PADA BANGUNAN GEDUNG DAN LINGKUNGAN

PERATURANWALIKOTASURAKARTA TENTANG PETUNJUK PELAKSANAANPERATURANDAERAH KOTASURAKARTA NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANGKESETARAANDIFABEL

Penerapan Standar Fasilitas Parkir Untuk Difabel Di RSUD Pasar Minggu

3/17/2015 STANDAR PELAYANAN DI PUSKESMAS DESAIN KAMAR OPERASI

BAB II TINJAUAN OBJEK

BAB I PENDAHULUAN. ada kecacatan. Setiap manusia juga ingin memiliki tubuh dan alat indera yang

BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN

AKSESIBILITAS DALAM PELAYANAN PUBLIK UNTUK MASYARAKAT DENGAN KEBUTUHAN KHUSUS 1

BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN

2 c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri tentang Pedoman Perencanaan, Pen

BAB 1 PENDAHULUAN RE-DESAIN STADION CANDRADIMUKA KEBUMEN

UNIVERSITAS GUNADARMA KRITIK ARSITEKTUR

Intervensi bimbingan dan konseling untuk Membantu Perkembangan Kompetensi Sosial Anak Tunanetra

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Evaluasi Kinerja Stasiun Kereta Api Berdasarkan Standar Pelayanan Minimum. Risna Rismiana Sari

BAB V. KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN. Total keseluruhan luas parkir yang diperlukan adalah 714 m 2, dengan 510 m 2 untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Simposium Nasional RAPI XII FT UMS ISSN

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut PP RI NO 70 Tahun 2001 Tentang Kebandarudaraan Pasal 1

BAB V KONSEP PERENCANAAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Istilah peran dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mempunyai arti perangkat

BAB V KONSEP DAN RANCANGAN RUANG PUBLIK (RUANG TERBUKA)

KANTOR IMIGRASI KELAS 1 SEMARANG

DAFTAR ISI. PROYEK AKHIR SARJANA... i. KATA PENGANTAR... ii. DAFTAR GAMBAR... ix. DAFTAR TABEL... xiii PENDAHULUAN Data Ukuran Lahan...

LAMPIRAN : PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR : 03/PRT/M/2014 TANGGAL : 26 Februari 2014 PEDOMAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. yang demokratis serta bertanggung jawab. (Undang-undang No. 20 tahun 2003

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR : 30/PRT/M/2006 TENTANG PEDOMAN TEKNIS FASILITAS DAN AKSESIBILITAS PADA BANGUNAN GEDUNG DAN LINGKUNGAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

AKSESIBILITAS BAGI PENYANDANG DISABILITAS PADA TERMINAL PURABAYA SURABAYA

BAB I PENDAHULUAN. kedaulatan rakyat ini juga dicantumkan di dalam Pasal 1 butir (1) Undang-Undang

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Studi beberapa..., Annisa Putri Handayani, FKM UI, 2009

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN

BAB 1 PENDAHULUAN. 1-1 Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. A. JUDUL Terminal Bus Tipe A di Surakarta, dengan penekanan pada tampilan arsitektur modern.

BERITA DAERAH KOTA BOGOR. Nomor 40 Tahun 2016 Seri E Nomor 29 PERATURAN WALIKOTA BOGOR NOMOR 40 TAHUN 2016 TENTANG

The Via And The Vué Apartment Surabaya. Dyah Tri S

BAB 1 PENDAHULUAN 1-1. Universitas Kristen Maranatha

ANALISIS KESELAMATAN DAN KENYAMANAN PEMANFAATAN TROTOAR BERDASARKAN PERSEPSI DAN PREFERENSI PEJALAN KAKI DI PENGGAL JALAN M.T. HARYONO KOTA SEMARANG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PERATURAN KEPALA PERPUSTAKAAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2017 TENTANG STANDAR NASIONAL PERPUSTAKAAN PROVINSI

BAB 1 PENDAHULUAN. Bab 1 Pendahuluan

ANALISIS PENINGKATAN FUNGSI BANGUNAN UMUM MELALUI UPAYA DESAIN ACCESSIBILITY

AKSESIBILITAS BAGI PENYANDANG CACAT DAN ORANG SAKIT PADA SARANA DAN PRASARANA PERHUBUNGAN

Gubernur Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta PERATURAN GUBERNUR PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 64 TAHUN 2008 TENTANG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kendaraan itu harus berhenti, baik itu bersifat sementara maupun bersifat lama atau

TEKNIK PENDAMPING AWAS

BAB V KONSEP DAN PROGRAM DASAR PERENCANAAN DAN PERANCANGAN ARSITEKTUR

DAFTAR ISI. 1. Ruang Lingkup Acuan normatif Definisi dan istilah Kendaraan Bermotor Mobil Penumpang...

BAB I PENDAHULUAN. mempengaruhi bertambah banyaknya kebutuhan akan sarana dan prasarana

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14/PRT/M/2017 TENTANG PERSYARATAN KEMUDAHAN BANGUNAN GEDUNG

BAB VI HASIL PERANCANGAN. apartemen sewa untuk keluarga baru yang merupakan output dari proses analisis

AKSESIBILITAS JEMBATAN PENYEBERANGAN ORANG (JPO) BAGI PENYANDANG DIFABEL DI KOTA BANDA ACEH MENURUT PERSEPSI MASYARAKAT

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BERITA DAERAH KOTA BEKASI

LAMPIRAN A HASIL CHECKLIST LANJUTAN PEMERIKSAAN INSPEKSI KESELAMATAN JALAN YOGYAKARTA SOLO KM 10 SAMPAI DENGAN KM 15

2017, No Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Le

BAB I PENDAHULUAN. memberikan prioritas tempat duduk. 1. prioritas pelayanan di terminal; menyediakan fasilitas untuk penyandang

2017, No menetapkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat tentang Persyaratan Kemudahan Bangunan Gedung; Mengingat : 1. Perat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Peranan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Jurnal Ilmiah Teknik dan Informatika Vol. 2, No. 1, Februari 2017

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. karakteristik masing-masing kendaraan dengan disain dan lokasi parkir. (Direktorat Jendral Perhubungan Darat, 1998).

Transkripsi:

AKSISIBILITAS LINGKUNGAN FISIK BAGI PENYANDANG CACAT Upaya Menciptakan Fasilitas Umum Dan Lingkungan Yang Aksesibel demi Kesamaan Kesempatan bagi Penyandang Cacat untuk Hidup Mandiri dan Bermasyarakat Oleh DR. Didi Tarsidi Universitas Pendidikan Indonesia Makalah Disajikan pada Focus Discussion Group tentang Draft Raperda Pelindungan Penyandang Cacat Kota Bandung Diselenggarakan atas kerjasama antara Lembaga Pengabdian kepada Masyarakat UNPAD dengan Sekretariat DPRD Kota Bandung 22 Nopember 2008

2 I. PENDAHULUAN 1.1. Definisi Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 Tentang PENYANDANG CACAT, Pasal 1:4, "Aksesibilitas adalah kemudahan yang disediakan bagi penyandang cacat guna mewujudkan kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan." Hal tersebut diperjelas dalam Pasal 10:2 yang berbunyi, "Penyediaan aksesibilitas dimaksudkan untuk menciptakan keadaan dan lingkungan yang lebih menunjang penyandang cacat dapat sepenuhnya hidup bermasyarakat." Sejalan dengan itu, yang dimaksud dengan aksesibilitas fisik adalah lingkungan fisik yang oleh penyandang cacat dapat dihampiri, dimasuki atau dilewati, dan penyandang cacat itu dapat menggunakan wilayah dan fasilitas yang terdapat di dalamnya tanpa bantuan. Dalam pengertian yang lebih luas, aksesibilitas fisik mencakup akses terhadap berbagai bangunan, alat transportasi dan komunikasi, serta berbagai fasilitas di luar ruangan termasuk sarana rekreasi. 1.2. Permasalahan Memang dapat menimbulkan frustrasi bagi para penyandang cacat menghadapi kenyataan bahwa berbagai hambatan arsitektural di dalam bangunan-bangunan dan fasilitas-fasilitas yang disediakan bagi kepentingan umum ternyata tidak selalu mudah atau bahkan sering tidak memungkinkan bagi para penyandang cacat untuk berpartisipasi penuh dalam situasi normal, baik dalam bidang pendidikan, pekerjaan maupun rekreasi. Beberapa contoh hambatan arsitektural adalah tidak adanya trotoar, permukaan jalan yang tidak rata, tepian jalan yang tinggi, lubang pintu yang terlalu sempit, lantai yang terlalu licin, tidak tersedianya tempat parkir yang sesuai, tidak tersedia lift, fasilitas sanitasi yang terlalu sempit, telepon umum yang terlalu tinggi,

3 tangga yang tidak berpagar pengaman, jendela atau papan reklame yang menghalangi jalan, dan masih banyak lagi. Hal-hal tersebut di atas menjadi masalah bagi penyandang cacat dari jenis dan derajat kecacatan tertentu sehingga mereka tidak dapat merealisasikan kesamaan haknya sebagai warga masyarakat. Sesungguhnya para penyandang cacat tidak mengharapkan dan tidak pula memerlukan lebih banyak hak daripada orang-orang pada umumnya. Mereka hanya menghendaki agar dapat bergerak di dalam lingkungannya dengan tingkat kenyamanan, kemudahan dan keselamatan yang sama dengan warga masyarakat lainnya, memperoleh kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam kehidupan yang normal, dapat semandiri mungkin dalam batas-batas kemampuannya. Tersedianya bangunan dan fasilitas yang dapat diakses oleh semua orang merupakan persoalan kesamaan kesempatan dan keadilan sosial. Akses terhadap fasilitas-fasilitas umum merupakan hak, bukan pilihan semata. Lebih dari itu, penataan lingkungan yang sesuai dengan kaidah aksesibilitas akan juga memberikan lebih banyak kenyamanan bagi warga masyarakat pada umumnya. Di dalam makalah ini akan dibahas: a. Permasalahan yang dialami oleh setiap kategori penyandang cacat yang diakibatkan oleh desain arsitektural umum; b. Tuntutan perundang-undangan akan tersedianya aksesibilitas, khususnya aksesibilitas fisik. II. IMPLIKASI DESAIN ARSITEKTURAL BAGI PENYANDANG CACAT Hambatan arsitektural mempengaruhi tiga kategori kecacatan utama, yaitu: - kecacatan fisik, yang mencakup mereka yang menggunakan kursi roda, semi-ambulant, dan mereka yang memiliki hambatan manipulatoris yaitu kesulitan gerak otot;

4 - kecacatan sensoris (alat indra) yang meliputi orang tunanetra dan tunarungu; - kecacatan intelektual (tunagrahita). 2.1. Hambatan Arsitektural bagi Pengguna Kursi Roda Hambatan yang dihadapi oleh para pengguna kursi roda sebagai akibat dari desain arsitektural saat ini mencakup: - Perubahan tingkat ketinggian permukaan yang mendadak seperti pada tangga atau parit. - Tidak adanya pertautan landai antara jalan dan trotoar. - Tidak cukupnya ruang untuk lutut di bawah meja atau wastapel. - Tidak cukupnya ruang untuk berbelok, lubang pintu dan koridor yang terlalu sempit. - Permukaan jalan yang renjul (misalnya karena adanya bebatuan) menghambat jalannya kursi roda. - Pintu yang terlalu berat dan sulit dibuka. - Tombol-tombol yang terlalu tinggi letaknya. 2.2. Masalah-masalah Yang Dihadapi Penyandang Semi-ambulant Semi-ambulant adalah tunadaksa yang mengalami kesulitan berjalan tetapi tidak memerlukan kursi roda. Hambatan arsitektural yang mereka hadapi antara lain mencakup: - Tangga yang terlalu tinggi. - Lantai yang terlalu licin. - Bergerak cepat melalui pintu putar atau pintu yang menutup secara otomatis. - Pintu lift yang menutup terlalu cepat. - Tangga berjalan tanpa pegangan yang bergerak terlalu cepat.

5 2.3. Hambatan Arsitektural bagi Tunanetra Yang dimaksud dengan tunanetra adalah mereka yang tidak memiliki penglihatan sama sekali (buta total) hingga mereka yang masih memiliki sisa penglihatan tetapi tidak cukup baik untuk dapat membaca tulisan biasa meskipun sudah dibantu dengan kaca mata. Kesulitan-kesulitan yang dihadapi para tunanetra sebagai akibat dari desain arsitektural selama ini antara lain: - Tidak adanya petunjuk arah atau ciri-ciri yang dapat didengar atau dilihat dengan penglihatan terbatas yang menunjukkan nomor lantai pada gedung-gedung bertingkat. - Rintangan-rintangan kecil seperti jendela yang membuka ke luar atau papan reklame yang dipasang di tempat pejalan kaki. - Cahaya yang menyilaukan atau terlalu redup. - Lift tanpa petunjuk taktual (dapat diraba) untuk membedakan bermacam-macam tombol, atau petunjuk suara untuk menunjukkan nomor lantai. 2.4. Masalah Yang Dihadapi Tunarungu Para tunarungu tidak mungkin dapat memahami pengumuman melalui pengeras suara di bandara atau terminal angkutan umum. Mereka juga mengalami kesulitan membaca bibir di auditorium dengan pencahayaan yang buruk, dan mereka mungkin tidak dapat mendengar bunyi tanda bahaya. 2.5. Kesulitan Tunagrahita Para penyandang kecacatan intelektual akan mengalami kesulitan mencari jalan di dalam lingkungan baru jika di sana tidak terdapat petunjuk jalan yang jelas dan baku.

6 2.6. Konflik Kepentingan Antar Berbagai Kategori Kecacatan Sebagaimana dapat dilihat dari bagian-bagian terdahulu, satu Kategori kecacatan mempunyai kebutuhan Aksesibilitas yang berbeda dari Kategori kecacatan lainnya. Di samping itu, terdapat variasi individual di dalam setiap Kategori kecacatan dan terdapat sejumlah besar orang yang menyandang kecacatan ganda. Oleh karena itu, sulit UNTUK menentukan suatu kriteria DESAIN yang dapat memuaskan semua PENYANDANG CACAT. Karena keterbatasan-keterbatasan yang ada pada kursi roda serta terbatasnya kapabilitas FISIK Pengguna kursi roda, Maka sering terdapat situasi di mana Tuntutan orang non-cacat dan semi-ambulant berbeda dari Tuntutan para Pengguna kursi roda Sehubungan Dengan sirkulasi vertikal (turun/naiknya permukaan lahan), licin/kasarnya permukaan lantai, keluasan ruangan, aktivitas sanitasi, lokasi tombol lampu dan lift. Misalnya, BAGI PENYANDANG semi-ambulant, tangga-tangga yang dirancang secara teliti akan lebih memudahkan daripada permukaan landai. Permukaan lantai yang rata dan licin akan sangat baik BAGI Pengguna kursi roda tetapi berbahaya BAGI orang semi-ambulant jika basah. Meskipun Pengguna kursi roda jumlahnya kecil dibandingkan Dengan kelompok PENYANDANG CACAT lainnya, namun implikasinya BAGI perancang bangunan dalam banyak hal paling besar. Contoh Konflik kepentingan lainnya adalah Sehubungan Dengan DESAIN trotoar. Pertautan yang landai antara jalan raya dan trotoar memberi akses BAGI para pengguna kursi roda tetapi kurang baik bagi para tunanetra yang menggunakan tongkat untuk mendeteksi batas antara trotoar dan jalan raya. Namun demikian, berbagai konflik kepentingan tersebut sejauh tertentu masih dapat dikompromikan.

7 III. LANDASAN HUKUM BAGI AKSESIBILITAS FISIK Di Australia, Canada, Inggris dan Amerika Serikat, undang-undang mengharuskan tersedianya aksesibilitas bagi penyandang cacat menuju dan di dalam gedung-gedung serta fasilitas-fasilitas yang dipergunakan oleh masyarakat umum tetapi tidak untuk bangunan-bangunan pribadi. di Swedia, keharusan itu bahkan mencakup bangunan perumahan yang dibangun dengan dana pemerintah. 3.1. Aksesibilitas Di Australia Sekedar untuk ilustrasi, berikut ini disajikan aksesibilitas yang berlaku di negara tetangga, Australia. 3.1.1. Bangunan Umum Peraturan tentang bangunan di Australia sebagaimana diatur dalam the Building Code of Australia mengharuskan tersedianya aksesibilitas bagi penyandang cacat menuju dan di dalam: - Gedung akomodasi - Gedung perkantoran dan pelayanan profesional - Pertokoan dan penyedia jasa - Bangunan pergudangan untuk penyimpanan atau penayangan barang dan parkir mobil umum - Laboraturium dan pabrik - Gedung pelayanan kesehatan - Gedung pertemuan umum - Tempat-tempat hiburan umum - Bangunan untuk pendidikan

8 3.1.2. Jalan Menuju Bangunan Umum Karena penyandang cacat dapat tiba di sebuah bangunan dengan mengendarai mobil sendiri, diantar dengan mobil orang lain, atau dengan kendaraan umum, menggunakan kursi roda atau berjalan kaki, maka akses ke bangunan-bangunan umum harus disediakan: - Dari jalan raya ke perbatasan area bangunan; - Dari tempat parkir area bangunan (di dalam ataupun di luar bangunan) yang dikhususkan bagi penyandang cacat untuk bangunan itu maupun dari tempat parkir umum di dekat bangunan itu; - Dari bangunan lain di dalam area yang diharuskan aksesibel. 3.1.3. Aksisibilitas Di Dalam Bangunan Di dalam bangunan, aksesibilitas harus disediakan: - Dari pintu masuk ke tempat sanitasi yang aksesibel; - Ke tempat-tempat yang biasa dipergunakan oleh para penghuni bangunan itu. 3.2. Aksesibilitas Di Indonesia Penjelasan atas Undang-undang RI Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, Pasal 10:1, menyatakan: "Penyediaan aksesibilitas bagi penyandang cacat diupayakan berdasarkan kebutuhan penyandang cacat sesuai dengan jenis dan derajat kecacatan serta standar yang ditentukan. Standardisasi yang berkenaan dengan aksesibilitas ditetapkan oleh instansi yang berwenang. Penyediaan aksesibilitas berupa fisik dan non- fisik, antara lain sarana dan prasarana umum serta informasi yang diperlukan bagi penyandang cacat untuk memperoleh kesamaan kesempatan." Ketentuan di atas mengandung implikasi sebagai berikut:

9 - Aksesibilitas bagi penyandang cacat mencakup bidang yang seluasluasnya sesuai dengan kebutuhan penyandang cacat dengan berbagai jenis dan derajat kecacatannya. - Akan tetapi, pelaksanaan peraturan tersebut harus diatur lebih lanjut oleh instansi yang berwenang, dalam hal ini terutama Departemen Pekerjaan Umum dan departemen lain yang terkait setelah dikeluarkanya Peraturan Pemerintah mengenai hal ini sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 15, "Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10... diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah." Apakah aksesibilitas bagi penyandang cacat di Indonesia sudah terwujud? Penjelasan atas Pasal 15 mengatakan, "Peraturan Pemerintah yang dimaksud dalam pasal ini diupayakan dalam waktu tidak terlalu lama sudah diundangkan. Mengenai aksesibilitas, khususnya sarana dan prasarana umum yang sebelum diundangkannya Undang-undang ini dan peraturan pelaksanaannya belum ada, diberikan kesempatan mengadakan penyesuaian dengan ketentuan Undang-undang ini dan peraturan pelaksanaannya selambat-lambatnya lima tahun sejak Peraturan Pemerintah diundangkan." Secara teknis, aksesibilitas pada fasilitas gedung dan lingkungan telah diatur dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum nomor 30/PRT/M/2006 tentang Pedoman Teknis Fasilitas dan Aksesibilitas pada Bangunan Gedung dan Lingkungan. Namun demikian, implementasi dokumen-dokumen kebijakan tersebut masih terlalu langka. IV. KESIMPULAN DAN SARAN 1. Aksesibilitas adalah kemudahan yang diberikan kepada para penyandang cacat, berupa pengadaan atau modifikasi sarana dan prasarana kehidupan sehari-hari, termasuk lingkungan fisik, yang disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan penyandang cacat, agar mereka dapat melakukan aktivitas sehari-hari secara mandiri.

10 2. Aksesibilitas fisik sebagai satu aspek dari aksesibilitas secara menyeluruh bagi penyandang cacat adalah penyesu aian desain arsitektural lingkungan fisik agar para penyandang cacat dapat bergerak secara leluasa di dalamnya dan dapat menggunakan segala fasilitas yang tersedia. Aksesibilitas fisik merupakan faktor yang amat penting untuk menunjang kemandirian para penyandang cacat agar mereka dapat memperoleh kesamaan kesempatan dalam berbagai aspek kehidupan dan penghidupan di masyarakat luas. 3. Masing-masing kategori kecacatan memiliki kebutuhan aksesibilitas fisik yang berbeda sesuai dengan keterbatasan yang diakibatkan oleh kecacatannya. 4. Desain arsitektural lingkungan fisik selama ini sering menimbulkan hambatan bagi aktivitas kehidupan sehari-hari para penyandang cacat. 5. Di beberapa negara maju seperti Australia, Inggris, Canada, Amerika Serikat dan Swedia, penyediaan aksesibilitas fisik bagi penyandang cacat telah dijamin oleh undang-undang. 6. Undang-undang RI Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat telah menjamin disediakannya aksesibilitas bagi penyandang cacat, dan pengaturan teknis pelaksanaannya pada fasilitas gedung dan lingkungan sudah dikeluarkan oleh Menteri Pekerjaan Umum tetapi implementasinya masih teramat langka. REFERENSI Davenport, F.C.B. (1994). PHYSICAL ACCESSIBILITY: A Step by Step Guide to Eliminate Architectural Barriers. Victoria: Access and Mobility Sub-Committee. Goldsmith, S. (1976). DESIGNING FOR THE DISABLED. London: Royal Institute of Architects Publications Ltd. Undang-undang RI No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat Peraturan Menteri Pekerjaan Umum nomor 30/PRT/M/2006 tentang Pedoman Teknis Fasilitas dan Aksesibilitas pada Bangunan Gedung dan Lingkungan