1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masyarakat adalah mahkluk sosial, di manapun berada selalu terdapat penyimpangan-penyimpangan sosial yang dilakukan oleh anggotanya, baik yang dilakukan secara sengaja maupun terpaksa. Fenomena tersebut tidak dapat dihindari dalam sebuah masyarakat. Interaksi sosial yang terjadi di antara anggota masyarakat terkadang menimbulkan gesekan-gesekan yang tidak jarang menimbulkan penyimpangan norma moral yang berlaku pada masyarakat tersebut. Seperti diketahui, bahwa interaksi manusia tidak saja berwujud interaksi dengan sesamanya tetapi juga interaksi dengan lingkungan. Dalam wujud yang luas, interaksi dengan lingkungan bisa berbentuk interaksi anggota masyarakat dengan berbagai budaya, gaya hidup, dan kondisi regional yang sedang berlaku di sebuah negara di mana masyarakat itu bernaung bisa berbentuk kondisi perekonomian, kondisi keamanan, kebijakan pemerintah, dan sebagainya. Penyimpangan sosial yang banyak terdapat di hampir seluruh negara adalah prostitusi. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa prostitusi memang sudah berumur tua, selalu ada dalam kehidupan masyarakat sejak ribuan tahun yang lalu. Seks dan wanita adalah dua kata kunci yang terkait dengan prostitusi. Seks adalah kebutuhan manusia yang selalu ada dalam diri manusia dan bisa muncul secara tiba-tiba. Seks juga bisa berarti sebuah ungkapan rasa abstrak manusia yang cinta terhadap keindahan. Sedangkan wanita adalah satu jenis makhluk Tuhan yang memang diciptakan sebagai simbol keindahan. Maka fenomena yang sering terjadi di masyarakat adalah seks selalu identik dengan wanita. Namun, celakanya lagi, yang selalu menjadi korban dari keserakahan seks adalah juga wanita. Prostitusi atau pelacuran sebagai salah satu penyakit masyarakat mempunyai sejarah yang panjang. Sejak adanya kehidupan manusia yang telah diatur oleh norma-norma perkawinan, sudah ada pelacuran sebagai salah satu penyimpangan `1
2 norma-norma perkawinan tersebut. Norma-norma sosial mengharamkan prostitusi, dunia kesehatan juga menunjukan dan memperingatkan bahaya penyakit kelamin yang mengerikan akibat pelacuran ditengah masyarakat. Namun demikian, masyarakat dari abad ke abad tidak pernah berhasil melenyapkan gejala-gejala ini. Pelacuran merupakan masalah sosial, yaitu suatu ketidaksesuaian antara unsur-unsur kebudayaan atau masyarakat yang membahayakan kelompok sosial, atau menghambat terpenuhinya keinginan-keinginan pokok warga kelompok sosial tersebut, sehingga menyebabkan ketimpangan ikatan sosial dan melemahkan integritas moral masyarakat. Menurut Adi Rizqomi (2008:2) Pelacuran diartikan sebagai suatu pekerjaan yang bersifat menyerahkan diri kepada umum untuk melakukan perbuatanperbuatan seksual dengan mendapatkan upah. Sedangkan menurut W.A. Bonger Prostitusi ialah gejala kemasyarakatan dimana wanita menjual diri melakukan perbuatan-perbuatan seksual sebagai mata pencarian (Kartini Kartono, 2011:213). Berdasarkan pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa prostitusi atau pelacuran adalah peristiwa penjualan diri sebagai profesi atau mata pencaharian sehari-hari dengan jalan melakukan relasi-relasi seksual. Unsur-unsur ekonomis sangat menonjol. Penyebab terjadinya pelacuran haruslah dicermati pada faktor-faktor endogen dan eksogen. Faktor endogen yaitu nafsu kelamin yang besar, sifat malas, dan keinginan yang besar untuk hidup mewah sedangkan diantara faktor-faktor eksogen yang utama adalah faktor ekonomi, urbanisasi yang tidak teratur dan lain sebagainya. Pelacuran dibeberapa kota besar di Indonesia sering dipandang bukan masalah sosial utama, terbukti dengan adannya area lokalisasi yang secara yuridis normative merupakan legalitas keberadaan prostitusi. Masyarakat pedesaan dan kotakota kecil pada umumnya masih memegang norma-norma yang ada, dan bila ada suatu pelanggaran terhadap norma-norma tersebut, maka masyarakat desa akan mengambil tindakan atau aksi yang radikal. Salah satunya adalah masalah prostitusi. Banyak hal yang harus dicermati dan dipahami dalam menghadapi masalah-masalah sosial, supaya setiap individu lebih peka terhadap kejadian-kejadian yang sifatnya
3 meresahkan masyarakat. Menurut Nurhajadmo (1999:19) Pelanggaran terhadap norma tersebut adalah masalah pelacuran yang dialami oleh para gadis. Alasan ekonomi dan psikologi yang paling sering dan menonjol mengakibatkan mereka terjerumus kedunia prostitusi. Sampai sekarang prostitusi belum dapat dihentikan, pemerintah saja seolah-olah melegalkan praktik ini, prostitusi seperti sudah mendarah daging, sulit untuk memutus dan melepasnya, salah satu caranya hanyalah menekan laju praktik-praktik yang berbau prostitusi. Menurut Bagong (2005:49) faktor sosial kultural adalah salah satu faktor pemicu berkembangnya prostitusi. Faktor tersebut meliputi: 1. Adanya orang setempat yang menjadi contoh atau model sukses, ketika PSK pulang kedesanya mereka memamerkan gaya hidup mewah yang akan memancing kecemburuan orang lain. 2. Sikap permisif dari lingkungannya yang sebagian dibentuk oleh sikap dermawan dan sumbangan PSK bagi perekonomian keluarganya. 3. Sistem patriarki yang menganggap prostitusi sebagai ungkapan hegemoni budaya pria terhadap wanita. 4. Adanya peran oknum yang mencari peluang dengan memanfaatkan kesempatan baik itu, germo, calo, tetangga,orang tua atau suaminya sendiri yang mengajak, memaksa atau menawarkan jasa menjadi PSK. 5. Peran sosialisasi sehingga prostitusi telah menjadi budaya setempat. 6. Ketidakpastian pendidikan dalam meningkatkan status sosial ekonomi. Atas dasar faktor-faktor kultural diatas, bekerja sebagai pekerja seks komersial (PSK) tampaknya merupakan suatu pilihan yang terpaksa agar mereka bisa tetap survive. Ironisnya sebagian masyarakat ada yang menghujat mereka dengan alasan menodai kesucian moral dan juga disebut sebagai pendosa, Namun demikian ada juga masyarakat yang seakan membiarkan prostitusi tersebut tetap berkembang dikalangan masyarakat yang tanpa disadari secara perlahan dapat merusak integritas moral masyarakat. Salah satu keberadaan prostitusi yang masih terlihat adalah disekitar lapangan sepak bola Dukuh Ngrendeng, Desa Sobayan, Kecamatan Pedan, Kabupaten Klaten. Fenomena keberadaan prostitusi ini menjadi hal yang menarik untuk dikaji. Bila waktu sudah malam masih dapat dijumpai para wanita-wanita pekerja seks komersial (PSK) yang sedang menunggu orang-orang yang ingin menggunakan jasa mereka dengan berdiri disekitar lapangan sepak bola dan warung remang-remang yang
4 terdapat disekitar lapangan sepak bola Dukuh Ngrendeng, Desa Sobayan, Kecamatan Pedan, Kabupaten Klaten. Usia rata-rata pekerja seks komersial (PSK) yang berada didaerah tersebut yaitu berumur 30 tahun keatas. Prostitusi tersebut seakan telah membudaya dan sulit untuk dimusnahkan. Kalangan masyarakatpun seakan mengizinkan adanya praktek prostitusi tersebut karena juga menambah pemasukan pada kehidupan ekonomi masyarakat. Beberapa tempat yang biasa dijadikan tempat aktivitas transaksi para Pekerja Seks Komersial (PSK) adalah disekitar lapangan sepak bola Dukuh Ngrendeng, Desa Sobayan, Kecamatan Pedan, Kabupaten Klaten, warung-warung milik masyarakat yang memang disediakan untuk transaksi prostitusi, dan rumah-rumah penduduk yang disewakan untuk transaksi prostitusi. Aktivitas prostitusi sangat merusak moral masyarakat. Pola kehidupan masyarakat tertentu kadang tanpa disadari oleh para warganya ternyata menyimpang dari nilai dan norma sosial yang berlaku di masyarakat umum. Itulah yang disebut sebagai subkebudayaan menyimpang yang sangat berpengaruh pada integritas moral masyarakat. Misalnya masyarakat yang sebagian besar warganya hidup mengandalkan dari usaha prostitusi, maka anak-anak di dalamnya akan menganggap prostitusi sebagai bagian dari profesi yang wajar. Masyarakat yang cenderung membiarkan keberadaan prostitusi tersebut membuat aktivitas prostitusi semakin leluasa dan integritas moral masyarakat menjadi sasaran utama. Peraturan daerah kabupaten klaten nomor 27 tahun 2002 pasal 1 ayat 4 tentang larangan prostitusi tersebut menyatakan sebagai berikut: Pelacuran adalah setiap perbuatan merujuk atau menggoda orang lain, dengan perkataan, perbuatan, atau cara-cara lain yang bertujuan mengadakan dan atau melakukan hubungan seksual dan atau perbuatan cabul diluar pernikahan yang sah baik dengan imbalan maupun tidak (Perda klaten. 2002. http://wtsjakarta. blogspot. com). Bagi pelanggar salah satu atau semua yang tertulis dalam peraturan daerah kabupaten klaten nomor 27 tahun 2002 pasal 1 ayat 4 tersebut, maka Sanksi hukum sesuai dengan KUHP yang berlaku diindonesia juga akan dikenakan bagi pelanggarnya. Bunyi Pasal 296 KUHP mengenai prostitusi tersebut menyatakan sebagai berikut:
5 Barang siapa yang pekerjaannya atau kebiasaanya, dengan sengaja-sengaja mengadakan atau memudahkan perbuatan cabul dengan orang lain, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya satu tahun empat bulan atau denda sebanyak-banyaknya seribu rupiah (Kartini Kartono, 2011:215). Peraturan yang ada tidak membuat masyarakat sadar akan hukum. Sedangkan peraturan hukum yang ada mengharuskan kita untuk mengikuti dan mematuhinya demi kenyamanan bersama dimasyarakat. Berdasarkan survei pendahuluan dengan beberapa tokoh agama dan tokoh masyarakat sebagai wujud realita atau kenyataan yang sedang terjadi disebutkan bahwa dalam pandangan masyarakat Dukuh Ngrendeng, keberadaan prostitusi disekitar lapangan sepak bola Dukuh Ngrendeng masih tetap eksis dan lebih banyak memberikan efek negative daripada manfaat ekonominya dan lebih khusus lagi keberadaan prostitusi menggoyahkan integritas moral masyarakat. Adanya perbedaan pendapat dikalangan masyarakat tentang keberadaan prostitusi di Dukuh Ngrendeng tersebut menarik untuk diteliti, untuk dapat mengetahui opini umum dari masyarakat apakah sebagian besar menolak atau menerima, karena fakta masih menunjukan adanya kegiatan prostitusi disekitar lingkup lapangan sepak bola Dukuh Ngrendeng, Desa Sobayan, Kecamatan Pedan, Kabupaten Klaten masih tetap eksis. Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, peneliti terdorong untuk melakukan penelitian dengan judul Hubungan Antara Persepsi Warga Tentang Prostitusi Dengan Integritas Moral Masyarakat (Studi Kasus di Pemukiman Penduduk Kompleks Prostitusi Dukuh Ngrendeng Desa Sobayan Kecamatan Pedan Kabupaten Klaten). B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan penelitian ini adalah: Adakah hubungan yang signifikan antara persepsi warga tentang prostitusi dengan integritas moral masyarakat Dukuh Ngrendeng, Desa Sobayan, Kecamatan Pedan, Kabupaten Klaten?
6 C. Tujuan Penelitian Sesuai dengan perumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui ada tidaknya hubungan yang signifikan antara persepsi warga tentang prostitusi dengan integritas moral masyarakat Dukuh Ngrendeng, Desa Sobayan, Kecamatan Pedan, Kabupaten Klaten. D. Manfaat Penelitian Berdasarkan permasalahan diatas, maka diharapkan penelitian ini mempunyai manfaat sebagai berikut: 1. Manfaat Teoritis a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi di bidang pendidikan khususnya mengenai pengetahuan tentang dampak dari lingkungan prostitusi pada masyarakat. b. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pembanding, pertimbangan, dan pengembangan bagi penelitian dimasa yang akan datang pada bidang dan permasalahan sejenis atau bersangkutan. 2. Manfaat Praktis a. Bagi Masyarakat Masyarakat mendapatkan pengetahuan mengenai dampak prostitusi untuk masa depan dan generasi muda dan dapat memperoleh solusi untuk mengatasinya sehingga kehidupan masyarakat menjadi tentram tanpa memikirkan gangguan aktifitas prostitusi. b. Bagi Peneliti Untuk menerapkan ilmu pengetahuan yang telah peneliti terima dibangku kuliah khususnya yang berkaitan dengan PKn, serta untuk membekali peneliti sebagai calon guru agar bisa membaur dengan masyarakat.