BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. commit to user 1

BAB I PENDAHULUAN. antara anggota masyarakat terkadang menimbulkan gesekan-gesekan yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. yang harus dihentikan penyebarannya, tanpa mengabaikan usaha pencengahan dan

BAB I PENDAHULUAN. intelektual yang seharusnya mampu berperilaku sesuai dengan norma dan nilai yang

BAB 1 PENDAHULUAN. yang menyediakan tempat atau memudahkan terjadinya praktek prostitusi. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. terpenuhinya kebutuhan hidup baik kebutuhan jasmani, kebutuhan rohani maupun

BAB I PENDAHULUAN. perempuan di Indonesia. Diperkirakan persen perempuan di Indonesia

suami yang sah dan melahirkan anak-anak serta mendidik untuk menjadi generasi yang berguna.

BAB I PENDAHULUAN. Komersial) merupakan fenomena yang sudah tidak asing lagi dalam kehidupan

BAB I PENDAHULUIAN. A. Latar Belakang Masalah. meningkat. Remaja menjadi salah satu bagian yang sangat penting terhadap

I. PENDAHULUAN. kontra dalam masyarakat. Prostitusi di sini bukanlah semata-mata merupakan

BAB I PENDAHULUAN. mulia.manusia diciptakan sebaik-baik bentuk dan diberikan perlengkapan

PERMISIVISME MASYARAKAT TERHADAP PRAKTEK PROSTITUSI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Seks selalu menarik untuk dibicarakan, tapi selalu menimbulkan kontradiksi

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk sosial terdiri dari laki-laki dan perempuan yang

BAB I PENDAHULUAN. sehingga mampu membersihkan ketimpangan ketimpangan sosial yang ada, juga diharapkan

Jika menertibkan monyet sudah, ditunggu aksi Gubernur Jokowi untuk menertibkan yang haram-haram

I. PENDAHULUAN. membentuk kehidupan secara bersama-sama dan saling melengkapi antar

PERATURAN DAERAH KOTA SAMARINDA NOMOR 18 TAHUN 2002

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TERHADAP OVER PROTECTIVE ORANGTUA DENGAN KECENDERUNGAN TERHADAP PERGAULAN BEBAS. S k r i p s i

I. PENDAHULUAN. Pembangunan nasional adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. para pekerja seks mendapatkan cap buruk (stigma) sebagai orang yang kotor,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masalah perilaku yang menyimpang dari norma, selalu menjadi bahan yang

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 132/PUU-XIII/2015 Ketentuan Pidana Bagi Penyedia Jasa dan Pemakai Pada Tindak Pidana Prostitusi

BAB I PENDAHULUAN. memberi petunjuk kepada manusia bagaimana ia bertindak dan bertingkah

PROSES REHABILITASI SOSIAL WANITA TUNA SUSILA DI BALAI REHABILITASI SOSIAL KARYA WANITA (BRSKW) PALIMANAN KABUPATEN CIREBON

BAB II PERATURAN YANG BERKAITAN DENGAN PORNOGRAFI DALAM HUKUM POSITIF DI INDONESIA SEBELUM LAHIRNYA UU NO. 44 TAHUN 2008 TENTANG PORNOGRAFI

PEMERINTAH KABUPATEN KUTAI BARAT

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. tudingan sumber permasalahan dalam upaya mengurangi praktek prostitusi

BAB I PENDAHULUAN. Beberapa tahun terakhir, Kementerian Pariwisata mempublikasikan bahwa industri

BAB I PENDAHULUAN. yang berbeda di setiap diri individu. Semuanya berkembang sesuai dengan apa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masalah moral merupakan masalah yang menjadi perhatian orang dimana

DOAKAN PARA WANITA DAN PARA GADIS AGAR MEREKA MEMILIH KESUCIAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pencapaian kebermaknaan hidup dapat diartikan lebih luas sebagai usaha manusia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. mempunyai hak yang sama dengan orang dewasa.

BAB I PENDAHULUAN. manusia akan bermanfaat bagi manusia tersebut. Kemajuan dunia informasi dan

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan merugikan masyarakat (Bambang Waluyo, 2008: 1). dengan judi togel, yang saat ini masih marak di Kabupaten Banyumas.

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan dan pertumbuhan tersebut seolah-olah berjalan dengan mulus. mewah yang dapat dibanggakan dan menjadi pusat perhatian.

BAB I PENDAHULUAN. Lesbi merupakan suatu fenomena sosial yang tidak lagi mampu disangkal

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pelacuran adalah salah satu penyakit masyarakat yang sudah ada sejak

BAB I PENDAHULUAN. dasarnya manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa orang lain, maka mereka

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I. merupakan jenis pekerjaan yang setua umur manusia itu sendiri.

PERATURAN DAERAH KOTA SERANG NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG PENCEGAHAN, PEMBERANTASAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT MASYARAKAT

BAB I PENDAHULUAN. dikucilkan dari kehidupan masyarakat. Penyimpangan dari norma norma

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TULANG BAWANG BARAT NOMOR 11 TAHUN 2012

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SAWAHLUNTO/SIJUNJUNG NOMOR 19 TAHUN 2006 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN MAKSIAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. Lokalisasi pekerja seks komersial atau psk juga bisa disebut rumah bordir, ini

I. PENDAHULUAN. dan undang-undang yang berlaku. Meskipun menganut sistem hukum positif,

Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA JAMBI dan WALIKOTA JAMBI M E M U T U S K A N :

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak ke masa remaja.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia pada dasarnya mempunyai kodrat, yaitu memiliki hasrat untuk

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang. Perkembangan zaman melalui kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Era modernisasi saat ini, kejahatan sering melanda disekitar lingkungan

BAB I PENDAHULUAN. kepribadian luhur bangsa, beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha

BAB VI PENUTUP. penelitian dilapangan yakni penulis menemukan bahwa praktek prostitusi memberi

A. PENDAHULUAN. sumber daya manusia yang handal guna mendukung pembangunan.

II. TINJAUAN PUSTAKA. dimana keturunan tersebut secara biologis berasal dari sel telur laki-laki yang kemudian

BAB I PENDAHULUAN. muda (youth) adalah periode kesementaraan ekonomi dan pribadi, dan perjuangan

BAB I PENDAHULUAN. masa remajanya dengan hal-hal yang bermanfaat. Akan tetapi banyak remaja

BAB I PENDAHULUAN. rumah lebih dari satu hari keperluan tempat untuk tidur, istirahat, keselamatan,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. seorang laki-laki, ada daya saling menarik satu sama lain untuk hidup

BAB I PENDAHULUAN. dampak yang buruk terhadap manusia jika semuanya itu tidak ditempatkan tepat

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMPUNG TIMUR NOMOR 03 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN PELACURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang datang dari dirinya maupun dari luar. Pada masa anak-anak proses

BAB V PENUTUP. 1. Perilaku Seks Pranikah di Kalangan Remaja Kota Surakarta

PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUSI BANYUASIN NOMOR 13 TAHUN 2005 TENTANG LARANGAN MAKSIAT DALAM KABUPATEN MUSI BANYUASIN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Silvie Andartyastuti, 2015

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Berkembangnya arus modernisasi serta cepatnya perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. Kebebasan Pers. Seperti yang sering dikemukakan, bahwa kebebasan bukanlah semata-mata

TINDAK PIDANA EKSPLOITASI SEKSUAL ANAK DALAM HUKUM POSITIF INDONESIA. Oleh : Ahmad Sofian

PERSEPSI MASYARAKAT MENGENAI HUBUNGAN SEKSUAL PRANIKAH DI KALANGAN REMAJA (Studi Kasus di Desa Kuwu, Kecamatan Kradenan, Kabupaten Grobogan)

BAB II PENGATURAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PENCABULAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK. 1. Ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

BAB I PENDAHULUAN. dalam Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28 UUD 1945 yang menyatakan: Tiap-tiap

FEBRUARI Berdoa untuk Mengakhiri Pernikahan Anak-anak

2008, No d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu membentuk Undang-Undang tentang Porno

PERATURAN DAERAH. Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah;

BAB I PENDAHULUAN. kenyamanan dalam rangka menuju masyarakat sejahtera, adil, dan makmur.

PERATURAN DAERAH KABUPATEN ROKAN HULU NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PELARANGAN DAN PENERTIBAN PENYAKIT MASYARAKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PORNOGRAFI [LN 2008/181, TLN 4928]

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada zaman modern seperti saat ini, kata globalisasi merupakan kata

PEMERINTAH KABUPATEN KEPULAUAN MERANTI KECAMATAN RANGSANG BARAT DESA BOKOR PERATURAN DESA NOMOR 13 TAHUN 2015 TENTANG KEMASYARAKATAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Maha Esa kepada setiap makhluknya. Kelahiran, perkawinan, serta kematian

BAB IV KOMPARASI HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF MENGENAI SANKSI PROSTITUSI ONLINE. A. Persamaan Sanksi Prostitusi Online Menurut Hukum Positif dan

BAB I PENDAHULUAN. (On-line), (29 Oktober 2016). 2

BAB IV PANDANGAN WARGA JEMAAT GBI BANDUNGAN TERHADAP PSK BANDUNGAN. A. Pandangan Warga Jemaat GBI Bandungan Terhadap PSK Bandungan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia adalah negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokratis dan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Prostitusi dalam arti terangnya adalah pelacur atau pelayan seks atau

BAB I PENDAHULUAN. mengalami pelecehan-pelecehan yang dilakukan oleh aparat-aparat yang. beralasan dari masyarakat pada umumnya.

BAB I PENDAHULUAN. hukuman yang maksimal, bahkan perlu adanya hukuman tambahan bagi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia merupakan negara yang kepadatan penduduknya

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Anak merupakan generasi masa depan bangsa yang harus dijaga

BAB V PENUTUP. a. Kurangnya perhatian orang tau terhadap anak. yang bergaul secara bebas karena tidak ada yang melarang-larang mereka

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dan berakhir pada usia akhir belasan tahun atau awal dua puluhan tahun

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masyarakat adalah mahkluk sosial, di manapun berada selalu terdapat penyimpangan-penyimpangan sosial yang dilakukan oleh anggotanya, baik yang dilakukan secara sengaja maupun terpaksa. Fenomena tersebut tidak dapat dihindari dalam sebuah masyarakat. Interaksi sosial yang terjadi di antara anggota masyarakat terkadang menimbulkan gesekan-gesekan yang tidak jarang menimbulkan penyimpangan norma moral yang berlaku pada masyarakat tersebut. Seperti diketahui, bahwa interaksi manusia tidak saja berwujud interaksi dengan sesamanya tetapi juga interaksi dengan lingkungan. Dalam wujud yang luas, interaksi dengan lingkungan bisa berbentuk interaksi anggota masyarakat dengan berbagai budaya, gaya hidup, dan kondisi regional yang sedang berlaku di sebuah negara di mana masyarakat itu bernaung bisa berbentuk kondisi perekonomian, kondisi keamanan, kebijakan pemerintah, dan sebagainya. Penyimpangan sosial yang banyak terdapat di hampir seluruh negara adalah prostitusi. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa prostitusi memang sudah berumur tua, selalu ada dalam kehidupan masyarakat sejak ribuan tahun yang lalu. Seks dan wanita adalah dua kata kunci yang terkait dengan prostitusi. Seks adalah kebutuhan manusia yang selalu ada dalam diri manusia dan bisa muncul secara tiba-tiba. Seks juga bisa berarti sebuah ungkapan rasa abstrak manusia yang cinta terhadap keindahan. Sedangkan wanita adalah satu jenis makhluk Tuhan yang memang diciptakan sebagai simbol keindahan. Maka fenomena yang sering terjadi di masyarakat adalah seks selalu identik dengan wanita. Namun, celakanya lagi, yang selalu menjadi korban dari keserakahan seks adalah juga wanita. Prostitusi atau pelacuran sebagai salah satu penyakit masyarakat mempunyai sejarah yang panjang. Sejak adanya kehidupan manusia yang telah diatur oleh norma-norma perkawinan, sudah ada pelacuran sebagai salah satu penyimpangan `1

2 norma-norma perkawinan tersebut. Norma-norma sosial mengharamkan prostitusi, dunia kesehatan juga menunjukan dan memperingatkan bahaya penyakit kelamin yang mengerikan akibat pelacuran ditengah masyarakat. Namun demikian, masyarakat dari abad ke abad tidak pernah berhasil melenyapkan gejala-gejala ini. Pelacuran merupakan masalah sosial, yaitu suatu ketidaksesuaian antara unsur-unsur kebudayaan atau masyarakat yang membahayakan kelompok sosial, atau menghambat terpenuhinya keinginan-keinginan pokok warga kelompok sosial tersebut, sehingga menyebabkan ketimpangan ikatan sosial dan melemahkan integritas moral masyarakat. Menurut Adi Rizqomi (2008:2) Pelacuran diartikan sebagai suatu pekerjaan yang bersifat menyerahkan diri kepada umum untuk melakukan perbuatanperbuatan seksual dengan mendapatkan upah. Sedangkan menurut W.A. Bonger Prostitusi ialah gejala kemasyarakatan dimana wanita menjual diri melakukan perbuatan-perbuatan seksual sebagai mata pencarian (Kartini Kartono, 2011:213). Berdasarkan pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa prostitusi atau pelacuran adalah peristiwa penjualan diri sebagai profesi atau mata pencaharian sehari-hari dengan jalan melakukan relasi-relasi seksual. Unsur-unsur ekonomis sangat menonjol. Penyebab terjadinya pelacuran haruslah dicermati pada faktor-faktor endogen dan eksogen. Faktor endogen yaitu nafsu kelamin yang besar, sifat malas, dan keinginan yang besar untuk hidup mewah sedangkan diantara faktor-faktor eksogen yang utama adalah faktor ekonomi, urbanisasi yang tidak teratur dan lain sebagainya. Pelacuran dibeberapa kota besar di Indonesia sering dipandang bukan masalah sosial utama, terbukti dengan adannya area lokalisasi yang secara yuridis normative merupakan legalitas keberadaan prostitusi. Masyarakat pedesaan dan kotakota kecil pada umumnya masih memegang norma-norma yang ada, dan bila ada suatu pelanggaran terhadap norma-norma tersebut, maka masyarakat desa akan mengambil tindakan atau aksi yang radikal. Salah satunya adalah masalah prostitusi. Banyak hal yang harus dicermati dan dipahami dalam menghadapi masalah-masalah sosial, supaya setiap individu lebih peka terhadap kejadian-kejadian yang sifatnya

3 meresahkan masyarakat. Menurut Nurhajadmo (1999:19) Pelanggaran terhadap norma tersebut adalah masalah pelacuran yang dialami oleh para gadis. Alasan ekonomi dan psikologi yang paling sering dan menonjol mengakibatkan mereka terjerumus kedunia prostitusi. Sampai sekarang prostitusi belum dapat dihentikan, pemerintah saja seolah-olah melegalkan praktik ini, prostitusi seperti sudah mendarah daging, sulit untuk memutus dan melepasnya, salah satu caranya hanyalah menekan laju praktik-praktik yang berbau prostitusi. Menurut Bagong (2005:49) faktor sosial kultural adalah salah satu faktor pemicu berkembangnya prostitusi. Faktor tersebut meliputi: 1. Adanya orang setempat yang menjadi contoh atau model sukses, ketika PSK pulang kedesanya mereka memamerkan gaya hidup mewah yang akan memancing kecemburuan orang lain. 2. Sikap permisif dari lingkungannya yang sebagian dibentuk oleh sikap dermawan dan sumbangan PSK bagi perekonomian keluarganya. 3. Sistem patriarki yang menganggap prostitusi sebagai ungkapan hegemoni budaya pria terhadap wanita. 4. Adanya peran oknum yang mencari peluang dengan memanfaatkan kesempatan baik itu, germo, calo, tetangga,orang tua atau suaminya sendiri yang mengajak, memaksa atau menawarkan jasa menjadi PSK. 5. Peran sosialisasi sehingga prostitusi telah menjadi budaya setempat. 6. Ketidakpastian pendidikan dalam meningkatkan status sosial ekonomi. Atas dasar faktor-faktor kultural diatas, bekerja sebagai pekerja seks komersial (PSK) tampaknya merupakan suatu pilihan yang terpaksa agar mereka bisa tetap survive. Ironisnya sebagian masyarakat ada yang menghujat mereka dengan alasan menodai kesucian moral dan juga disebut sebagai pendosa, Namun demikian ada juga masyarakat yang seakan membiarkan prostitusi tersebut tetap berkembang dikalangan masyarakat yang tanpa disadari secara perlahan dapat merusak integritas moral masyarakat. Salah satu keberadaan prostitusi yang masih terlihat adalah disekitar lapangan sepak bola Dukuh Ngrendeng, Desa Sobayan, Kecamatan Pedan, Kabupaten Klaten. Fenomena keberadaan prostitusi ini menjadi hal yang menarik untuk dikaji. Bila waktu sudah malam masih dapat dijumpai para wanita-wanita pekerja seks komersial (PSK) yang sedang menunggu orang-orang yang ingin menggunakan jasa mereka dengan berdiri disekitar lapangan sepak bola dan warung remang-remang yang

4 terdapat disekitar lapangan sepak bola Dukuh Ngrendeng, Desa Sobayan, Kecamatan Pedan, Kabupaten Klaten. Usia rata-rata pekerja seks komersial (PSK) yang berada didaerah tersebut yaitu berumur 30 tahun keatas. Prostitusi tersebut seakan telah membudaya dan sulit untuk dimusnahkan. Kalangan masyarakatpun seakan mengizinkan adanya praktek prostitusi tersebut karena juga menambah pemasukan pada kehidupan ekonomi masyarakat. Beberapa tempat yang biasa dijadikan tempat aktivitas transaksi para Pekerja Seks Komersial (PSK) adalah disekitar lapangan sepak bola Dukuh Ngrendeng, Desa Sobayan, Kecamatan Pedan, Kabupaten Klaten, warung-warung milik masyarakat yang memang disediakan untuk transaksi prostitusi, dan rumah-rumah penduduk yang disewakan untuk transaksi prostitusi. Aktivitas prostitusi sangat merusak moral masyarakat. Pola kehidupan masyarakat tertentu kadang tanpa disadari oleh para warganya ternyata menyimpang dari nilai dan norma sosial yang berlaku di masyarakat umum. Itulah yang disebut sebagai subkebudayaan menyimpang yang sangat berpengaruh pada integritas moral masyarakat. Misalnya masyarakat yang sebagian besar warganya hidup mengandalkan dari usaha prostitusi, maka anak-anak di dalamnya akan menganggap prostitusi sebagai bagian dari profesi yang wajar. Masyarakat yang cenderung membiarkan keberadaan prostitusi tersebut membuat aktivitas prostitusi semakin leluasa dan integritas moral masyarakat menjadi sasaran utama. Peraturan daerah kabupaten klaten nomor 27 tahun 2002 pasal 1 ayat 4 tentang larangan prostitusi tersebut menyatakan sebagai berikut: Pelacuran adalah setiap perbuatan merujuk atau menggoda orang lain, dengan perkataan, perbuatan, atau cara-cara lain yang bertujuan mengadakan dan atau melakukan hubungan seksual dan atau perbuatan cabul diluar pernikahan yang sah baik dengan imbalan maupun tidak (Perda klaten. 2002. http://wtsjakarta. blogspot. com). Bagi pelanggar salah satu atau semua yang tertulis dalam peraturan daerah kabupaten klaten nomor 27 tahun 2002 pasal 1 ayat 4 tersebut, maka Sanksi hukum sesuai dengan KUHP yang berlaku diindonesia juga akan dikenakan bagi pelanggarnya. Bunyi Pasal 296 KUHP mengenai prostitusi tersebut menyatakan sebagai berikut:

5 Barang siapa yang pekerjaannya atau kebiasaanya, dengan sengaja-sengaja mengadakan atau memudahkan perbuatan cabul dengan orang lain, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya satu tahun empat bulan atau denda sebanyak-banyaknya seribu rupiah (Kartini Kartono, 2011:215). Peraturan yang ada tidak membuat masyarakat sadar akan hukum. Sedangkan peraturan hukum yang ada mengharuskan kita untuk mengikuti dan mematuhinya demi kenyamanan bersama dimasyarakat. Berdasarkan survei pendahuluan dengan beberapa tokoh agama dan tokoh masyarakat sebagai wujud realita atau kenyataan yang sedang terjadi disebutkan bahwa dalam pandangan masyarakat Dukuh Ngrendeng, keberadaan prostitusi disekitar lapangan sepak bola Dukuh Ngrendeng masih tetap eksis dan lebih banyak memberikan efek negative daripada manfaat ekonominya dan lebih khusus lagi keberadaan prostitusi menggoyahkan integritas moral masyarakat. Adanya perbedaan pendapat dikalangan masyarakat tentang keberadaan prostitusi di Dukuh Ngrendeng tersebut menarik untuk diteliti, untuk dapat mengetahui opini umum dari masyarakat apakah sebagian besar menolak atau menerima, karena fakta masih menunjukan adanya kegiatan prostitusi disekitar lingkup lapangan sepak bola Dukuh Ngrendeng, Desa Sobayan, Kecamatan Pedan, Kabupaten Klaten masih tetap eksis. Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, peneliti terdorong untuk melakukan penelitian dengan judul Hubungan Antara Persepsi Warga Tentang Prostitusi Dengan Integritas Moral Masyarakat (Studi Kasus di Pemukiman Penduduk Kompleks Prostitusi Dukuh Ngrendeng Desa Sobayan Kecamatan Pedan Kabupaten Klaten). B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan penelitian ini adalah: Adakah hubungan yang signifikan antara persepsi warga tentang prostitusi dengan integritas moral masyarakat Dukuh Ngrendeng, Desa Sobayan, Kecamatan Pedan, Kabupaten Klaten?

6 C. Tujuan Penelitian Sesuai dengan perumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui ada tidaknya hubungan yang signifikan antara persepsi warga tentang prostitusi dengan integritas moral masyarakat Dukuh Ngrendeng, Desa Sobayan, Kecamatan Pedan, Kabupaten Klaten. D. Manfaat Penelitian Berdasarkan permasalahan diatas, maka diharapkan penelitian ini mempunyai manfaat sebagai berikut: 1. Manfaat Teoritis a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi di bidang pendidikan khususnya mengenai pengetahuan tentang dampak dari lingkungan prostitusi pada masyarakat. b. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pembanding, pertimbangan, dan pengembangan bagi penelitian dimasa yang akan datang pada bidang dan permasalahan sejenis atau bersangkutan. 2. Manfaat Praktis a. Bagi Masyarakat Masyarakat mendapatkan pengetahuan mengenai dampak prostitusi untuk masa depan dan generasi muda dan dapat memperoleh solusi untuk mengatasinya sehingga kehidupan masyarakat menjadi tentram tanpa memikirkan gangguan aktifitas prostitusi. b. Bagi Peneliti Untuk menerapkan ilmu pengetahuan yang telah peneliti terima dibangku kuliah khususnya yang berkaitan dengan PKn, serta untuk membekali peneliti sebagai calon guru agar bisa membaur dengan masyarakat.