BAB. II TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
( 2 ) untuk derajat kecocokan nisbah segregasi pada setiap generasi silang balik dan

BAB. I PENDAHULUAN. Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. Pemuliaan Jagung Hibrida

BAB. II TINJAUAN PUSTAKA

BAB. I PENDAHULUAN. Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Hikam (2007), varietas LASS merupakan hasil rakitan kembali varietas

TINJAUAN PUSTAKA Pemuliaan Jagung Hibrida

II. TINJAUAN PUSTAKA. Secara morfologi tanaman jagung manis merupakan tanaman berumah satu

I. PENDAHULUAN. Tanaman jagung merupakan salah satu jenis tanaman pangan biji-bijian dari

I. PENDAHULUAN. Tanaman jagung manis (Zea mays saccharata Sturt.) merupakan jagung yang

I. PENDAHULUAN. Pemuliaan tanaman adalah suatu metode yang secara sistematik merakit

Penelitian III: Seleksi dan Uji Daya Gabung Galur-Galur Hasil Introgresi Gen Resesif Mutan o2 untuk Karakter Ketahanan terhadap Penyakit Bulai

PENDAHULUAN. Tanaman jagung yang dalam bahasa ilmiahnya disebut Zea mays L.,

TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Jagung

I. PENDAHULUAN. Jagung manis (Zea mays saccharata [Sturt.] Bailey) merupakan salah satu

II. TINJAUAN PUSTAKA. ujung (tassel) pada batang utama dan bunga betina tumbuh terpisah sebagai

TINJAUAN PUSTAKA Varietas Jagung Hibrida

PENGARUH PENYIMPANAN DAN FREKUENSI INOKULASI SUSPENSI KONIDIA Peronosclerospora philippinensis TERHADAP INFEKSI PENYAKIT BULAI PADA JAGUNG

I. PENDAHULUAN. maupun luar negeri. Hingga saat ini jati masih menjadi komoditas mewah

TINJAUAN PUSTAKA. Kedelai (Glycine max [L.] Merrill) berasal dari daratan Cina, yang kemudian

1. PENDAHULUAN. Kedelai merupakan tanaman asli daratan Cina dan telah dibudidayakan sejak 2500

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kedelai merupakan tanaman pangan berupa semak yang tumbuh tegak. Kedelai

BAB. V. Introgresi Gen Resesif Mutan opaque-2 ke dalam Galur Jagung Pulut (waxy corn) Memanfaatkan Alat Bantu Marker Assisted Selection (MAS) ABSTRAK

TINJAUAN PUSTAKA. kelas : Monocotyledoneae, ordo : poales, famili : poaceae, genus : Zea, dan

I. PENDAHULUAN. Kedelai ( Glycine max (L.) Merrill) merupakan salah satu tanaman penghasil

HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. padi karena banyak dibutuhkan untuk bahan pangan, pakan ternak, dan industri.

II. TINJAUAN PUSTAKA. untuk fase vegetatif dan paruh kedua untuk fase generatif. Jagung memiliki

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Steenis (1978) kedudukan tanaman jagung (Zea mays L.) dalam

Penelitian I: Pendugaan Ragam dan Model Genetik Karakter Ketahanan terhadap Penyakit Bulai pada Jagung Pendahuluan

VII. PEMBAHASAN UMUM

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kedelai (Glycine max [L.] Merrill) merupakan salah satu tanaman

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Morfologi dan Agroekologi Tanaman Kacang Panjang. Kacang panjang merupakan tanaman sayuran polong yang hasilnya dipanen

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kedelai telah dibudidayakan sejak abad ke-17 dan telah ditanam di berbagai daerah di

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L.] Merrill) merupakan salah satu komoditas pangan

TINJAUAN PUSTAKA. Jagung (Zea mays L) adalah anggota keluarga Graminae, ordo Maydeae, genus Zea (Fischer

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kedelai merupakan tanaman pangan berupa semak yang tumbuh tegak, berasal

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kacang panjang diklasifikasikan sebagai berikut :

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Lokal Kalimantan Tengah

BAB I PENDAHULUAN. eks-karesidenan Surakarta (Sragen, Boyolali, Karanganyar, Sukoharjo) (Prihatman,

TINJAUAN PUSTAKA Sejarah Tanaman Cabai Botani Tanaman Cabai

PENDUGAAN KOMPONEN GENETIK, DAYA GABUNG, DAN SEGREGASI BIJI PADA JAGUNG MANIS KUNING KISUT

melakukan inokulasi langsung pada buah pepaya selanjutnya mengamati karakter yang berhubungan dengan ketahanan, diantaranya masa inkubasi, diameter

TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Cabai Lingkungan Tumbuh

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max L. Merrill) merupakan tanaman pangan yang sangat dibutuhkan

I. PENDAHULUAN. Jenis kelamin menjadi salah satu studi genetik yang menarik pada tanaman

ANALISIS DAYA GABUNG DAN HETEROSIS HASIL GALUR JAGUNG DR UNPAD MELALUI ANALISIS DIALEL

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max (L.) Merrill) merupakan salah satu komoditas pangan

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine Max [L.] Merrill) merupakan tanaman pangan yang memiliki

Pembentukan dan Evaluasi Inbrida Jagung Tahan Penyakit Bulai

II. TINJAUAN PUSTAKA. Jagung manis(zea mays var saccarata) merupakan tanaman pangan yang. bahan baku industri gula jagung (Bakhri, 2007).

PEMELIHARAAN TANAMAN JAGUNG DARI PENYAKIT BULE

sehingga diharapkan dapat menghasilkan keturunan yang memiliki toleransi yang lebih baik dibandingkan tetua toleran (segregan transgresif).

TINJAUAN PUSTAKA Morfologi Tanaman Cabai

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Tanaman. roots) yang berkembang dari radicle (akar kecambah) embrio. Akar sementara

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Trustinah (1993) sistematika (taksonomi) kacang tanah diklasifikasikan

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Klasifikasi dan Botani Tanaman Kacang Panjang. Menurut Tim Karya Tani Mandiri (2011), susunan klasifikasi kacang panjang

BAB. II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. secara signifikan. Melalui proses seleksi tanaman yang diikuti dengan penyilangan

BAB. VI. Penampilan Galur-galur Jagung Pulut (waxy corn) yang Memiliki Gen opaque-2 hasil Persilangan Testcross (silang puncak) ABSTRAK

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Jagung

homozigot lebih banyak didapatkan pada tanaman BC2F2 persilangan Situ Bagendit x NIL-C443 dan Batur x NIL-C443 dibandingkan dengan Situ Bagendit x

Pemanfaatan Teknik Kultur In Vitro Untuk Mendapatkan Tanaman Pisang Ambon Tahan Penyakit Fusarium

I. PENDAHULUAN. Kedelai merupakan sumber protein penting di Indonesia. Kesadaran masyarakat

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L]. Merrill) merupakan salah satu komoditas pangan

Tanaman Penyerbuk Silang CROSS POLLINATED CROPS METODE PEMULIAAN TANAMAN

Pengendalian Penyakit pada Tanaman Jagung Oleh : Ratnawati

PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Tanaman kacang panjang (Vigna sinensis L.) merupakan tanaman sayuran yang

PENDAHULUAN. Kelapa sawit merupakan tanaman penghasil minyak nabati utama di

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kakao (Theobroma cacao L.)

UJI BEBERAPA VARIETAS JAGUNG (Zea mays L.) HIBRIDA PADA TINGKAT POPULASI TANAMAN YANG BERBEDA. Oleh. Fetrie Bestiarini Effendi A

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Tanaman. kelas : Monocotyledoneae, ordo : poales, famili : poaceae, genus : Zea, dan

TINJAUAN PUSTAKA Taksonomi dan Botani Cabai

BAB I PENDAHULUAN. Tanaman jagung termasuk keluarga (famili) gramineae, seperti

BAB. IV. Simulasi Analisis Marka Mikrosatelit Untuk Penduga Heterosis Pada Populasi Inbrida

TINJAUAN PUSTAKA. Jagung manis (Zea mays saccharata [Sturt.] Bailey) merupakan tanaman berumah

HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Padi merupakan serealia utama penghasil beras yang dikonsumsi sebagai makanan

Varietas Menentukan Hasil Produksi

PENDAHULUAN. Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) merupakan salah satu komoditas

PEMBENTUKAN VARIETAS UNGGUL BARU SEREALIA

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L.] Merrill) merupakan salah satu tanaman sumber protein

I. PENDAHULUAN. Produksi kedelai di Indonesia pada tahun 2009 mencapai ton. Namun,

TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Padi

TINJAUAN PUSTAKA. Morfologi dan Fisiologi Tanaman Jagung (Zea mays L.)

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (2007), benih padi hibrida secara

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum

I. PENDAHULUAN. Indonesia sebagai sumber utama protein nabati. Kontribusi kedelai sangat

I. PENDAHULUAN. Ubi kayu (Manihot esculenta Crantz) merupakan salah satu tanaman pangan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertama kali mentimun dibudidayakan oleh manusia (seribu) tahun yang

I. PENDAHULUAN. seluruh dunia dan tergolong spesies dengan keragaman genetis yang besar.

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan sentra pertanaman kacang panjang yang mempunyai

TINJAUAN PUSTAKA Botani Cabai

TINJAUAN PUSTAKA Pemuliaan Tanaman Padi

Sumber : Lampiran SK Menteri Pertanian No.76/Kpts/SR.120/2/2007, tanggal 7 Pebruari 2007.

Transkripsi:

BAB. II TINJAUAN PUSTAKA Genetika Jagung Manis (Sweet Corn) Jagung manis (Zea mays L. var. saccharata) merupakan salah satu sayurmayur yang populer di negara-negara maju seperti Amerika, Brasil, Prancis dan di negara-negara berkembang. Jagung ini dikonsumsi dalam bentuk jagung muda yang direbus atau dibakar, dibuat sayur, perkedel, cream atau susu, sirup, dan bahan baku pembuatan permen karena rasanya manis dan enak. Di Europa, Cina, Korea, dan Jepan, digunakan untuk topping pizza. Rasa manis disebabkan oleh kandungan gula yang tinggi pada endosperm, mengkilap, dan tembus pandang ketika belum masak, dan bila kering berkerut. Jagung manis selain rasanya manis dan enak juga bermanfaat bagi kesehatan seperti mengurangi resiko terkena penyakit jantung dan kanker terutama jika dikonsumsi dalam bentuk jagung rebus. Kandungan nutrisi jagung manis diperlihatkan pada Tabel 1 (Larson 2003). Tabel 1 Kandungan nilai nutrisi dalam biji jagung manis Nilai nutrisi dalam biji jagung manis per 100 g (3,5 oz) Energy 90 kkal 360 kj Karbohidrat 19 g - Gula 3.2 g - Dietary fiber 2.7 g Lemak 1.2 g Protein 3.2 g Vitamin A equiv. 10 μg 1% Asam Folat (Vit. B9) 46 μg 12% Vitamin C 7 mg 12% Besi 0.5 mg 4% Magnesium 37 mg 10% Kalium 270 mg 6% Sumber: database nutrisi USDA Jagung manis diperoleh dari field corn (jagung biasa) yang mengalami mutasi resesif secara alami dalam gen yang mengontrol konversi gula menjadi pati dalam endosperm biji jagung. Saat ini telah ditemukan 13 gen mutan yang dapat memperbaiki tingkatan gula pada jagung manis. Gen yang utama mempengaruhi

kemanisan jagung ada tiga yaitu : (1) gen sugary (su); (2) gen sugary enhancer (se); dan (3) gen shrunken (sh 2 ). Ketiga gen tersebut merupakan gen resesif sehingga harus ditanam terpisah dari varietas jagung biasa. Penyakit Bulai (Downy Mildew) Penyebab penyakit bulai pada tanaman jagung Peronosclerospora dilaporkan ada lima spesies (Renfro 1980 dikutip Wakman 2001). Namun di Indonesia hanya ada dua spesies yang dilaporkan yaitu P. maydis dan P. philippinensis, tetapi umumnya P. maydis terdapat dimana-mana, sedangkan P. philippinensis khusus terdapat di daerah Sulawesi Utara. Penyakit bulai atau embun berbulu (downy mildew) memiliki banyak nama setempat, antara lain di Jawa Tengah dikenal dengan nama omo putih, omo londo, dan omo bule, di Jawa Timur, omo putih, dan potehan, sedangkan di Jawa Barat dikenal sebagai omo bodas dan hama lieur (Semangun 1996). Serangan penyakit bulai dapat dilihat pada permukaan daun terdapat garis-garis sejajar j tulang daun berwarna putih sampai kuning diikuti dengan garis-garis klorotik sampai coklat. Bila infeksi makin lanjut, tanaman terlihat kerdil dan tidak berproduksi, tetapi jika infeksinya terlambat tanaman masih ada kemungkinan untuk berproduksi, hanya saja biji yang dihasilkan sudah terinfeksi patogen. Jamur berkembang secara sistemik, sehingga bila patogen mencapai titik tumbuh maka seluruh daun muda yang muncul mengalami klorotik, sedangkan daun pertama sampai ke empat masih terlihat sebagian hijau. Ini merupakan ciri-ciri dari infeksi patogen melalui udara. Bila biji jagung sudah terinfeksi, maka bibit muda yang tumbuh memperlihatkan gejala klorotik pada seluruh daun dan tanaman cepat mati. Di permukaan bawah daun yang terinfeksi dapat dilihat banyak terbentuk tepung putih yang merupakan spora patogen tersebut (Agrios 1988). Menurut Semangun (1996), tanaman yang terinfeksi terdapat benang-benang jamur dalam ruang antar selnya, daun-daun tampak kaku, agak menutup, dan daun lebih tegak dari biasa. Akar kurang terbentuk dan tanaman mudah rebah. Tanaman yang terinfeksi pada waktu masih sangat muda biasanya tidak membentuk buah. Bila terinfeksi pada tanaman yang lebih tua, tanaman dapat tumbuh terus dan membentuk tongkol buah. Tongkol buah sering mempunyai tangkai yang panjang, 11

dengan kelobot yang tidak menutup pada ujungnya, dan hanya membentuk sedikit biji. Kajiwara (1974) dari hasil penelitiannya dengan menggunakan daun jagung kultivar Harapan menggambarkan proses perkembangan gejala penyakit bulai yang tercantum dalam Tabel 3. Tabel 2 Perkembangan gejala penyakit bulai (downy mildew) Hari setelah inokulasi 2 5 6 7 9 14-25 Gejala Muncul bintik-bintik hijau pucat (1-2 mm). Muncul garis-garis berwarna hijau kekuningan. Garis-garis tadi semakin jelas. Beberapa daun berubah warna menjadi kuning. Seluruh daun berwarna kuning dan beberapa diantaranya mulai layu. Daun pertama sampai daun ke tiga mati. Garis-garis kuning yang jelas muncul pada daun ke empat. Gejala serangan sistemik mulai terlihat pada daun-daun yang baru terbentuk. Jamur dapat bertahan hidup sebagai mycelium dalam embrio biji yang terinfeksi jika kondisi biji lembab. Bila biji ditanam, jamurnya ikut berkembang dan menginfeksi bibit, selanjutnya dapat menjadi sumber inokulum. Infeksi terjadi melalui stomata daun jagung muda umur di bawah satu bulan jika pada permukaan daun terdapat air gutasi atau tetesan air serta jamur berkembang secara sistemik. Sporangia (konidia) dan sporangiofora dihasilkan pada permukaan daun yang basah dalam gelap. Sporangia berperan sebagai inokulum sekunder. Pembentukan spora patogen membutuhkan udara yang lembab (lebih dari 90%) dan hangat pada suhu sekitar 22 0 C serta gelap. Produksi sporangia (sporulasi) sangat banyak terjadi pada dini hari antara pukul 03.00 sampai 05.00 (Semangun 1996). selanjutnya oleh tiupan angin di pagi hari, spora tersebut tersebar sampai jarak jauh dan bila spora menempel pada daun jagung muda yang basah, maka dalam waktu satu jam spora tersebut sudah mulai berkecambah dan menginfeksi daun melalui stomata jika ada air gutasi atau au embun (Subandi 1996). Penyakit bulai pada jagung terutama terdapat di dataran rendah dan jarang terdapat di tempat-tempat yang lebih tinggi dari 900-1.200 m (Rutgers 1916 dikutip Semangun 1996). Ini sesuai dengan penelitian Bustamam dan Kimigafukuro (1981) 12

yang dilakukan di Bogor menunjukkan bahwa konidium berkecambah paling baik pada suhu 20 C. Varietas-varietas jagung berbeda ketahanannya terhadap penyakit bulai, ada yang tahan dan rentan. Hal ini ditentukan oleh gen-gen penyusun yang terdapat dalam tanaman jagung. Gambar 1 menunjukkan penampilan daun tanaman jagung yang terinfeksi penyakit bulai. Gambar 2 Daun tanaman jagung yang terserang bulai Pengendalian Penyakit Bulai (Downy Mildew) Pemberantasan penyakit bulai harus dilakukan secara terpadu diantaranya penggunaan varietas resisten, penanaman serentak, tanaman yang sakit dicabut dan dikubur dalam tanah atau dibakar agar tidak menjadi sumber penyakit, pengaturan pola tanam, dan penggunaan fungisida (Fagi et al. 1997). Pergiliran tanaman merupakan salah satu cara menekan tingkat serangan penyakit bulai. Karena tidak terbentuknya e oospora memungkinkan patogen dapat bertahan di dalam daun, batang, kelobot, bunga jantan, bunga betina ataupun tongkol yang masih muda sehingga dapat bertahan dalam waktu yang cukup lama. Dengan demikian pertanaman jagung terus menerus sepanjang tahun akan menyebabkan patogen dapat bertahan terus. Perlakuan biji dengan metalaksil, kerugian dapat dikurangi. Tetapi pemberantasan penyakit bulai dengan memakai fungisida biasanya terdapat masalah karena beberapa alasan yaitu (a) serangan patogen terhadap tanaman bersifat sistemik s ; (b) Infeksi serangan terjadi pada malam hari; dan (c) Serangan terjadi pada saat at tanaman berusia muda, pada waktu stadia pertumbuhan. Oleh karena itu 13

fungisida yang dapat digunakan untuk menekan serangan bulai adalah fungisida sistemik. Namun cara yang paling baik untuk memberantas serangan penyakit dan hama adalah dengan merakit kultivar resisten (Singh 1986; Mochizuki 1974). Penanganan pemberantasan penyakit bulai selain penggunaan fungisida sistemik juga diusahakan mendapatkan varietas baru yang resisten. Hal ini telah dilakukan karena dengan penggunaan fungisida akan membutuhkan biaya tambahan kepada petani. Pemuliaan untuk Ketahanan terhadap Penyakit Program pemulian untuk menghasilkan varietas resisten terhadap penyakit harus melalui beberapa tahapan yakni mendapatkan sumber ketahanan dan menentukan pola pewarisan karakter ketahanan tanaman inang serta karakter genetik dari interaksi antara inang dengan patogen (Allard 1960). Hal tersebut dapat terlaksana dengan baik apabila pengkajian dilakukan pada lingkungan epidemik bagi patogen, baik di laboratorium, rumah kaca, maupun di lapangan. Beberapa kendala yang sering ditemukan adalah penentuan dan penilaian ketahanan, identifikasi genetik dari karakter ketahanan yang melibatkan interaksi gen yang tidak sealel, dan kaitan gen. Untuk mengantisipasi hal tersebut di atas maka pada setiap pelaksanaan pengujian dan seleksi ketahanan tanaman perlu diusahakan terciptanya lingkungan epidemik yang mampu memberikan kondisi epifitotik patogen. Langkah yang harus dilaksanakan untuk menciptakan kondisi seluruh tanaman yang diuji terinfeksi patogen penyakit adalah dengan melakukan inokulasi buatan. Beberapa hal penting untuk keberhasilan inokulasi buatan tersebut adalah inokulum harus tetap bermutu tinggi, penerapan inokulasi diusahakan homogen untuk setiap tanaman, dan kondisi lingkungan pada saat inokulasi sesuai bagi pertumbuhan patogen, serta tanaman inang yang akan diuji harus bebas dari penyakit lain dan harus dalam keadaan fisiologik yang cocok untuk terjadinya serangan patogen. Tanaman resisten dan tanaman rentan dapat dibedakan dengan mudah apabila dikendalikan oleh satu atau dua gen mayor. Pada keadaan tersebut varians ketahanan akan an menunjukkan sebaran terputus atau diskontinyu. Sering pada ketahanan yang dikendalikan oleh banyak gen tidak ada perbedaan jelas antara individu tanaman 14

resisten dan tanaman rentan dalam populasi yang bersegregasi. Varians ketahanan tersebut bersifat kontinyu dengan perubahan perbedaan ketahanan yang kecil (Herison 2002). Pegetahuan tentang adanya gen-gen pengendalian karakter ketahanan terhadap penyakit bulai akan memudahkan pemulia tanaman untuk merakit varietas resisten. Pamin (1980) menyimpulkan bahwa terdapat keragaman genetik yang cukup luas terbukti dari pembentukan varietas sintetik yang tahan penyakit bulai, dengan pembentukan intercross S 1 dan S 2 telah berhasil diturunkan tingkat serangan penyakit bulai dari 60.8 persen pada bahan asal menjadi 22.4 persen pada intercross S 1 dan 16.8 persen pada intercross S 2. Aday (1974) meringkas bahwa program pemuliaan yang dilakukan di Philipina guna menekan serangan bulai berlangsung dalam empat tahap yaitu: a. isolasi dan seleksi galur-galur murni yang resisten terhadap bulai (DMR) (1953 1963). b. skrening varietas lokal untuk ketahanan penyakit bulai pada areal yang luas dan introduksi plasmanutfah yang memiliki hasil tinggi (1964 1968). c. pembentukan varietas hibrida persilangan antara varietas lokal tahan bulai dengan varietas introduksi plasmanutfah produksi tinggi (1967 1973). d. perbaikan dalam populasi untuk ketahanan terhadap bulai dan seleksi karakter argonomi yang baik. Dengan melaksanakan program di atas dewasa ini telah berhasil dirilis varietasvarietas seri Phil DMR dengan tingkat serangan rata-rata sebesar 34.63 persen dibandingkan dengan bahan asal sebesar 44.40 persen. Dekade sepuluh tahun terakhir sekarang ini juga telah dilaksanakan program Asian Maize Biotechnology Network (AMBIONET) berhasil melaksanakan pemetaan gen ketahanan penyakit bulai di Philipina, Cina, dan India, sedangkan di Indonesia sampai sekarang ini masih belum menghasilkan. Melihat kemajuan yang telah dicapai dengan pemberantasan melalui pemuliaan maka pencarian varietas baru yang resisten penyakit bulai masih dilanjutkan. 15

Marka Genetik Marka genetik merupakan bagian kecil dari materi genetik yang mudah diidentifikasi. Menurut Liu (1998) penanda genetik ada tiga tipe (a) marka morfologi, protein (biokimia) dan DNA (molekuler). Marka morfologi mudah dilakukan tetapi sulit mengidentifikasi gen dalam jumlah besar jika populasi spesiesnya sedikit. Marka protein yang biasa digunakan adalah isozim, marka DNA dengan mengisolasi sebagian kecil daerah DNA. Menurut Tanksley dan McCouch (1997), marka morfologi merupakan secara visual dikarakterisasi secara fenotipik seperti warna bunga, bentuk biji, tipe tumbuh atau pigmentasi. Marka isozim adalah marka yang dapat membedakan enzim yang dideteksi melalui elektroforesis dan merupakan penanda spesifik. Keterbatasan dari marka-marka biokimia dan morfologi terbatas dalam jumlah dan dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan atau fase perkembangan dari tanaman. Marka molekuler pada awal perkembangannya diperkenalkan untuk mengatasi kesulitan seleksi secara konvensional. Apabila marka molekuler yang terpaut dengan gen-gen yang dimaksud sudah diidentifikasi, maka marka tersebut dapat membantu mengurangi ukuran populasi dan waktu yang dibutuhkan dalam program pemuliaan per siklus seleksi. Beberapa kelebihan marka molekuler, khususnya memiliki kemampuan menyeleksi tanaman pada tahap pembibitan untuk sifat yang baru bisa diamati setelah tanaman tumbuh menjadi besar dan kemampuan menyeleksi sifat yang sangat sulit bila menggunakan seleksi fenotipe saja yang membutuhkan waktu relatif panjang (Couch et al. 1991). Marka SSRs (Simple Sequence Repeats) atau biasa disebut mikrosatelit, telah menjadi sistem marka yang sering digunakan pada tanaman jagung (Smith et al. 1997). 9 Simple Sequence Repeats (SSRs) terdiri dari susunan DNA dengan motif 1-6 pasang basa, berulang sebanyak lima kali atau lebih secara tandem (Vigouroux et al. 2002). SSR polimorfis telah digunakan secara ekstensif sebagai marka genetik pada studi genetik jagung seperti pada konstruksi pemetaan keterpautan gen dan pemetaan QTL (Romero-Severson 1998; Frova et al. 1999) atau analisis keragaman genetik dan evolusi (Senior et al. 1998; Pejic et al. 1998; Lu dan Bernardo 2001; Matsuoka 2002). 16

Primer SSR dibentuk berdasarkan pada daerah pengapit konservatif (conserved flanking region). Variasi dalam jumlah pengulangan untuk suatu batasan lokus diantara genotip-genotip yang berbeda dengan mudah dapat dideteksi dengan teknik PCR (Polymerase Chain Reaction) (Hamada et al. 1982; Powell et al. 1996). Kemudahan SSR dalam mengamplifikasi dan mendeteksi fragmen-fragmen DNA (Deoxyribo Nucleic Acid), serta tingginya tingkat polimorfisme yang dihasilkannya menyebabkan metode ini ideal untuk dipakai dalam studi genetik, terutama pada studi dengan jumlah sampel yang banyak. Selain itu, teknik PCR pada SSR hanya menggunakan DNA dalam jumlah kecil dengan daerah amplifikasi yang kecil, sekitar 100-300 bp (base-pair) dari genom. Selain itu, SSR dapat diaplikasikan tanpa merusak bahan tanaman karena hanya sedikit saja yang digunakan dalam ekstraksi DNA atau dapat menggunakan bagian lain, seperti biji atau polen (Senior et al. 1996). Marka SSRs juga bersifat multialelik dan mudah diulangi sehingga penggunaan marka SSRs lebih menarik dalam mempelajari keragaman genetik di antara genotip-genotip yang berbeda (Senior et al. 1998). Keunggulan lain adalah selain produk PCR dari SSR dapat dielektroforesis dengan gel agarose, juga dapat dielektroforesis dengan menggunakan gel akrilamid terutama pada alel suatu karakter memiliki tingkat polimorfis yang rendah, dimana gel agarose tidak mampu digunakan (Macaulay et al. 2001). Beberapa pertimbangan lain sehingga marka mikrosatelit banyak digunakan dalam studi genetik diantaranya: terdistribusi secara melimpah dan merata dalam genom, variabilitasnya sangat tinggi (banyak alel dalam lokus), dan sifatnya yang kodominan dengan lokasi genom yang telah diketahui. Dengan demikian, marka mikrosatelit merupakan alat uji yang memiliki reproduksibilitas dan ketepatan yang sangat tinggi sehingga banyak digunakan dalam membedakan genotipe, evaluasi kemurnian benih, pemetaan gen, sebagai alat bantu seleksi, studi genetik populasi, dan analisis diversitas genetik. Akhir-akhir ini, mikrosatelit lebih banyak digunakan untuk karakterisasi dan pemetaan genetik pada tanaman, diantaranya pada tanaman jagung, padi, anggur, kedelai, jewawut, gandum, dan tomat (Gupta et al. 1996; Powel et al. 1996). 17

Keragaman Genetik pada Jagung Dengan munculnya metode molekuler untuk menduga variasi genetik, berbagai studi mengenai keragaman genetik dan hubungannya dengan galur-galur inbrida jagung, hibrida dan bersari bebas. Keragaman molekuler pada jagung telah diteliti untuk berbagai kepentingan. Mum dan Dudley (1994) telah berhasil mengidentifikasi kelompok heterotik utama dan subgrup dalam set yang terdiri atas 148 galur inbrida Amerika Serikat (A.S.), menggunakan 46 marka RFLP. Berdasarkan analisis molekuler dengan menggunakan 83 marka SSR, Lu dan Bernardo (2001) menyimpulkan bahwa keragaman genetik sejumlah galur inbrida A.S. terbaru telah menurun pada level genetik tetapi tidak pada level populasi jika dibandingkan dengan galur-galur penting yang telah lama digunakan. George et al. (2004) menduga keragaman genetik untuk penyakit bulai terhadap 102 galur inbrida Asia menggunakan 76 marka SSR dan menyimpulkan bahwa aktivitas pemuliaan jagung di Asia tidak menyebabkan penurunan keragaman genetik dalam skala besar pada daerah tertentu dimana aktivitas dilakukan. Korelasi Marka DNA dengan Marka Fenotipik Penelitian mengenai hubungan antara marka-marka dan karakter-karakter yang bernilai ekonomi, penting dalam kaitannya dengan pemanfaatan marka molekuler sebagai alat bantu dalam pemuliaan. Perhatian utama dalam pogram pemuliaan jagung hibrida adalah mengidentifikasi galur-galur murni dimana dari hasil persilangannya akan diperoleh tingkat heterosis yang optimal (Lee et al. 1989). Estimasi kedekatan genetik antara tanaman bermanfaat di dalam studi evolusi populasi pu atau spesies dan dalam perencanaan persilangan untuk hibrida atau dalam pengembangan kultivar homozigous (Cox et al. 1985). Hubungan genetik dapat bermanfaat sebagai alat peramal dalam penampilan kombinasi genotipe untuk program pemuliaan sehingga dapat mengurangi biaya dan waktu yang dibutuhkan dalam pengujian hibrida. Eksploitasi secara komersial dari fenomena heterosis adalah salah satu kontribusi yang sangat penting dari pemanfaatan hubungan genetik dalam pemuliaan tanaman di abad ini (Barbosa-Neto et al. 1996). 18

Estimasi jarak genetik sejumlah galur murni jagung yang dilakukan oleh Lee et al. (1989) berdasarkan MRD (Modified Rogers Distance) menunjukkan bahwa hasil (ton/ha) dan kemampuan daya gabung khusus (DGK) mempunyai korelasi yang nyata dengan MRD pada enam dari 10 peta kromosom jagung. Oleh sebab itu, gerombolisasi galur-galur jagung ke dalam kelompok heterosis sebelum pengujian di lapangan akan memungkinkan bagi peneliti pemulia untuk mengurangi biaya karena dapat menghindari terjadinya persilangan di dalam kelompok heterosis. Riday et al. (2003) membandingkan antara nilai jarak genetik dengan morfologi dan heterosis pada Medicago sativa sub sp. sativa dan subsp. Falcata, menemukan bahwa jarak genetik berdasarkan AFLP tidak berkorelasi dengan hasil daya gabung khusus (DGK) namun sebaliknya matriks jarak berdasarkan morfologi terhadap 17 karakter agronomik dan karakter kualitatif mempunyai korelasi yang nyata dengan heterosis. Metode Dialel Metode dialel merupakan cara analisis keturunan untuk daya gabung, baik daya gabung umum maupun daya gabung khusus (Hallauer and Miranda 1981). Analisis dialel membantu para pemulia menentukan pola heterosis antar populasinya serta memilih bahan dan metode yang akan digunakan dalam program pemuliaannya. Persilangan dialel yakni persilangan yang melibatkan sejumlah genotip (varietas, galur atau klon) dalam semua kombinasi. Masing-masing genotip mempunyai kesempatan untuk disilangkan dengan genotip lain, bahkan dapat ditambah dengan persilangan sendiri genotip itu. Melalui persilangan dialel dapat diketahui kombinasi mana yang cocok dipasangkan sehingga dapat menghasilkan suatu u varietas yang lebih baik. Menurut Griffing (1956), terdapat empat macam metode percobaan yang digunakan untuk analisis dialel yakni: 1. Metode 1: kombinasi lengkap p 2, terdiri dari tetuanya, F 1, dan persilangan resiprokalnya 2. Metode 2 : 1/2p (p + 1) kombinasi, terdiri dari tetuanya dan F 1 3. Metode 3 : p (p-1) kombinasi, terdiri dari F 1 dan resiprokalnya 19

4. Metode 4: ½ p (p-1) kombinasi, terdiri dari F 1 saja tanpa tetua dan resiprokalnya. Penggunaan salah satu metode dialel tergantung dari tujuan analisisnya atau dihubungkan dengan penyederhanaan analisisnya. Berdasarkan cara penentuan tetua-tetua tua yang dipakai dalam persilangan, interpretasi hasil analisis dialel dibedakan ke dalam dua model, yaitu : 1. Model I atau model tetap (fixed model), dengan menggunakan tetua-tetua tertentu yang merupakan genotip yang dimaksud (reference genotype). Estimasi yang diperoleh hanya berlaku untuk genotip yang dimasukkan dalam pengujian dan tidak berlaku untuk populasi lain. 2. Model II atau model acak, dengan menggunakan tetua-tetua yang merupakan contoh acak dari populasi tetua yang dimaksud (reference population). Estimasi yang diperoleh diinterpretasikan berkaitan dengan populasi tetua, dari mana genotip yang dievaluasi diambil secara acak (Griffing 1956). Dalam model I, tetua-tetua yang dipelajari atau diteliti adalah populasi, maka cukup tepat untuk menganalisis galur-galur elit yang terpilih. Analisis model I digunakan untuk mengestimasi efek DGU dan DGK yang hasilnya berlaku hanya untuk tetua-tetua yang dievaluasi saja. Hasil akan berubah bila tetua-tetua tersebut dievaluasi bersama-sama dengan tetua lain yang berbeda. Sedangkan tujuan utama analisis model II adalah estimasi komponen varians populasi yang dimaksud (reference population) dan berkaitan dengan tipe aksi gen dalam populasi (Moentono 1985). Daya Gabung (Combining Ability) Daya gabung merupakan ukuran kemampuan suatu galur atau tetua, yang bila disilangkan dengan galur lain akan menghasilkan hibrida dengan penampilan superior. Konsep daya gabung sangat penting dalam pemuliaan, berkaitan dengan prosedur pengujian galur-galur berdasarkan penampilan kombinasi keturunannya. Nilai masing-masing galur terletak pada kemampuannya untuk menghasilkan keturunan unggul bila dikombinasikan dengan galur-galur lain (Allard 1960). 20

Daya gabung ada dua macam yakni daya gabung umum (general combining ability) dan daya gabung khusus (specific combining ability). Daya gabung umum (DGU) adalah nilai rata-rata dari galur-galur dalam seluruh kombinasi persilangan bila disilangkan dengan galur-galur lain. Daya gabung umum yang baik adalah nilai rata-rata kombinasi persilangan mendekati nilai rata-rata keseluruhan persilangan. Daya gabung khusus (DGK) adalah penampilan kombinasi pasangan persilangan tertentu. Bila nilai pasangan persilangan tertentu lebih baik daripada nilai rata-rata keseluruhan persilangan yang terlibat, dikatakan daya gabung khususnya baik (Poehlman dan Sleeper 1990). Daya gabung umum merupakan simpangan dari nilai rata-rata seluruh persilangan, sehingga nilai daya gabung umum dapat positif atau negatif. Dengan demikian jumlahnya sama dengan nol. Jadi nilai daya gabung umum merupakan angka yang relatif terhadap nilai daya gabung umum yang lain. DGU yang besar menunjukkan tetua/galur yang bersangkutan mempunyai kemampuan bergabung dengan baik, sedangkan nilai DGU yang rendah menunjukkan bahwa tetua tersebut mempunyai kemampuan bergabung yang lebih jelek daripada tetua yang lain. Nilai positif atau negatif dari DGU tergantung pada karakter yang diamati dan bagaimana cara menilainya. Daya gabung yang diperoleh dari suatu persilangan antar kedua tetua, dapat memberikan informasi tentang kombinasi-kombinasi yang dapat memberikan turunan yang berpotensi hasil tinggi. Hasil tinggi dapat diperoleh apabila kombinasi tersebut memiliki nilai heterosis dan daya gabung khusus yang besar. Galur yang mempunyai m efek daya gabung umum yang tinggi tidak selalu memberikan efek daya gabung khusus yang tinggi pula (Silitonga et al. 1993). Daya gabung umum dan daya gabung khusus yang bermakna untuk karakter yang dievaluasi berindikasi bahwa keragaman karakter disebabkan oleh efek gen aditif i dan non aditif. Semua karakter dari suatu galur dapat diketahui efek DGU dan DGK-nya, diantaranya karakter hasil, tinggi tanaman, berat biji, ketahanan terhadap hama penyakit dan lain-lain. 21

Heterosis Pada umumnya apabila dua tanaman yang berlainan (unrelated or distantly related individuals) disilangkan, maka turunannya sering memperlihatkan gejala heterosis atau umumnya disebut vigor hibrida (Hybrid Vigour) (North 1979 dikutip Baihaki 1989). Tanaman turunan pertamanya memperlihatkan pertumbuhan yang lebih subur dan terkadang lebih genjah daripada kedua tetuanya. Untuk persilangan yang melebar, misalnya persilangan antar species tanaman atau antar genera, dapat menghasilkan tanaman turunan pertamanya menunjukkan pertumbuhan yang lemah. Dengan demikian terlihat bahwa terdapat variasi penampilan gejala heterosis dan tergantung pada materi yang digunakan dalam persilangan. Fenomena heterosis telah banyak dimanfaatkan secara intensif pada pemuliaan jagung dalam membentuk kultivar hibrida. Keberhasilan jagung dalam memanfaatkan heterosis mendorong pemulia menggunakannya pada jenis tanaman lain seperti pada tanaman terung, tomat, mentimum, sorgum, dan lain-lain. (Dahlan et al. 1998). Terdapat tiga konsep heterosis yang dapat menjelaskan gejala heterosis. Konsep pertama adalah konsep yang berdasarkan hipotesis bahwa vigor hibrida merupakan hasil terkumpulnya gen-gen dominan yang baik (Favourable dominant genes) dalam satu genotip tanaman dan dikenal sebagai hipotesis dominan. Menurut Shull dan East (1908) dikutip Sriani et al. 2007, Davenport merupakan orang pertama yang mengajukan hipotesis dominan dalam upaya menjelaskan secara genetik mengenai gejala heterosis. Konsep kedua didasarkan kepada hipotesis bahwa vigor hibrida merupakan hasil penampilan superioritas heterozigositas terhadap homozigositas, artinya bahwa individu yang penampilan superior adalah individu yang memiliki jumlah alil dalam keadaan heterosigos yang terbanyak, konsep ini dikenal sebagai hipotesis overdominan. Konsep ketiga didasarkan pada teori epistasis. Peranan aksi gen epistasis berperan terhadap wujudnya heterosis. Sumbangan tindakan gen interlokus terhadap pembentukan suatu sifat jelas diketahui, namun sangat rumit. Pengertian terhadap tindakan gen epistasis ini masih kurang jelas dan belum ada bukti yang cukup untuk menunjukkan epistatsis adalah sumber heterosis yang utama (Sriani et al. 2007). 22