1. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia

dokumen-dokumen yang mirip
6. KESIMPULAN, DISKUSI, SARAN

2. TINJAUAN PUSTAKA. II. 1 Remaja II Definisi Rice (1999) mendefinisikan remaja sebagai: the period of growth from childhood to maturity (h.

BAB I PENDAHULUAN. dapat diabaikan dalam kehidupan manusia. Namun demikian, orang tua masih

1. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. berkesinambungan dalam kehidupan manusia. Perkembangan adalah perubahanperubahan

BAB 2 Tinjauan Pustaka

BAB I PENDAHULUAN. Ketika memulai relasi pertemanan, orang lain akan menilai individu diantaranya

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pada perkembangan zaman saat ini, perilaku berciuman ikut dalam

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Pada masa remaja, seorang individu banyak mengalami perubahan yang

BAB I PENDAHULUAN. tampak pada pola asuh yang diterapkan orang tuanya sehingga menjadi anak

BAB I PENDAHULUAN. Remaja sebagai generasi penerus, calon orang tua dan sumber daya

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 1. Pengertian Perilaku Seksual Pranikah

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Hubungan Antara..., Gita Handayani Ermanza, F.PSI UI, 20081

BAB I PENDAHULUAN. kematangan mental, emosional, sosial dan fisik (Hurlock, 2007). World Health

BAB 1 : PENDAHULUAN. produktif. Apabila seseorang jatuh sakit, seseorang tersebut akan mengalami

BAB I PENDAHULUAN. A.Latar Belakang. Remaja adalah mereka yang berusia diantara tahun dan merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian Masa remaja adalah masa peralihan dari anak-anak ke dewasa yang jangka

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini,

, 2015 GAMBARAN KONTROL DIRI PADA MAHASISWI YANG MELAKUKAN PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH

BAB I PENDAHULUAN. dalam tubuh yang mengiringi rangkaian pendewasaan. Pertumbuhan organ-organ

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemahaman masyarakat tentang seksualitas sampai saat ini masihlah kurang.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang .

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Mega Sri Purwanida, 2014

BAB I PENDAHULUAN. melalui perubahan fisik dan psikologis, dari masa kanak-kanak ke masa

BAB I PENDAHULUAN. jangka waktunya berbeda bagi setiap orang tergantung faktor sosial dan budaya.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. tersebut terjadi akibat dari kehidupan seksual remaja yang saat ini semakin bebas

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. peka adalah permasalahan yang berkaitan dengan tingkat kematangan seksual

1. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. kemandirian sehingga dapat diterima dan diakui sebagai orang dewasa. Remaja

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. karena kehidupan manusia sendiri tidak terlepas dari masalah ini. Remaja bisa dengan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. dari 33 menjadi 29 aborsi per wanita berusia tahun. Di Asia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. untuk memiliki. Pada masa ini, seorang remaja biasanya mulai naksir lawan

BAB II. Tinjauan Pustaka

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Setiap manusia selama hidupnya pasti mengalami perubahan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah-masalah pada remaja yang berhubungan dengan kesehatan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. petualangan dan tantangan serta cenderung berani menanggung risiko atas

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Remaja adalah masa peralihan diantara masa kanak-kanak dan dewasa.

BAB I PENDAHULUAN. pembentukan pribadi individu untuk menjadi dewasa. Menurut Santrock (2007),

BAB I PENDAHULUAN. Sejak pertama kali kita dilahirkan, kita langsung digolongkan berdasarkan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkembangan fisik remaja di awal pubertas terjadi perubahan penampilan

BAB 1 PENDAHULUAN. ketertarikan mereka terhadap makna dari seks (Hurlock, 1997). media cetak maupun elektronik yang berbau porno (Dianawati, 2006).

BAB I PENDAHULUAN. yang ditandai adanya proses perubahan pada aspek fisik maupun psikologis

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa peralihan diantara masa kanak-kanak dan dewasa.

BAB I PENDAHULUAN. Remaja kota besar khususnya Jakarta semakin berani melakukan hubungan

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB 1 PENDAHULUAN. yang bisa dikatan kecil. Fenomena ini bermula dari trend berpacaran yang telah

BAB 1 PENDAHULUAN. dipungkiri kenyataan bahwa remaja sekarang sudah berperilaku seksual secara bebas.

BAB I PENDAHULUAN. paling sering disorot oleh masyarakat. Peran masyarakat dan media membawa

BAB I PENDAHULUAN. cinta, seiring dengan perkembangan dan pertumbuhan individu dewasa.

BAB I PENDAHULUAN. Remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

KUESIONER GAMBARAN PENGETAHUAN DAN SIKAP REMAJA TENTANG PERILAKU SEKSUAL DI SMK PENCAWAN MEDAN TAHUN 2014

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Menurut Imran (1998) masa remaja diawali dengan masa pubertas,

BAB 1 PENDAHULUAN. yang rata-rata masih usia sekolah telah melakukan hubungan seksual tanpa merasa

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Dunia mengalami perkembangan pesat diberbagai bidang di abad ke 21

BAB I PENDAHULUAN. (Soetjiningsih, 2004). Masa remaja merupakan suatu masa yang menjadi

BAB I PENDAHULUAN. berbagai tantangan dan masalah karena sifatnya yang sensitif dan rawan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. remaja-remaja di Indonesia yaitu dengan berkembang pesatnya teknologi internet

BAB I. Latar Belakang Masalah. sosial dan moral berada dalam kondisi kritis karena peran masa remaja berada

BAB 1 PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan suatu masa dalam perkembangan hidup manusia. WHO

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam proses kehidupan manusia mengalami tahap-tahap perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. Pada masa remaja rasa ingin tahu terhadap masalah seksual sangat penting

PERNYATAAN UNTUK MENGUKUR PENGETAHUAN REMAJA TENTANG SEKS BEBAS

HUBUNGAN ANTARA PERILAKU ASERTIF DENGAN PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH PADA REMAJA PUTRI. Skripsi

BAB I PENDAHULUAN. diawali dengan matangnya organ-organ fisik (seksual) sehingga mampu bereproduksi.

BAB I PENDAHULUAN. manusia pun yang dapat hidup sendiri tanpa membutuhkan kehadiran manusia lain

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan zaman membuat manusia harus bisa beradaptasi dengan

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan salah satu fase krusial dalam

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi antara masa kanak-kanak dan masa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menentukan arah dan tujuan dalam sebuah kehidupan. Anthony (1992)

BAB 1 PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa terjadinya perubahan-perubahan baik perubahan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. negara-negara Barat, istilah remaja dikenal dengan adolescence yang berasal

BAB I PENDAHULUAN. sangat cepat. Perubahan dari bentuk tubuh kanak-kanak pada umumnya ke

48 Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Menurut WHO, remaja adalah penduduk dalam rentang usia tahun,

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan era global saat ini membawa remaja pada fenomena maraknya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dalam kehidupan remaja, karena remaja tidak lagi hanya berinteraksi dengan keluarga

BAB I PENDAHULUAN. daya manusia yang potensial adalah generasi mudanya. Tarigan (2006:1)

BAB I PENDAHULUAN. dengan orang lain, perubahan nilai dan kebanyakan remaja memiliki dua

BAB I PENDAHULUAN. pemenuhan hasrat seksual, dan menjadi lebih matang. Pernikahan juga

BAB I PENDAHULUAN. perubahan fisik, emosi dan psikis. Masa remaja, yaitu tahun, adalah. disebut masa remaja. (Widyastuti, 2009).

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa transisi dari anak-anak ke fase remaja. Menurut

B A B I PENDAHULUAN. Republika tabloid (7 November 2013) membahas pada sebuah media cetak

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

HUBUNGAN CITRA TUBUH DENGAN PERILAKU SEKSUAL DALAM BERPACARAN PADA REMAJA PUTRI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja dikenal sebagai masa peralihan dari anak-anak menuju

BAB I PENDAHULUAN. khusus remaja seakan-akan merasa terjepit antara norma-norma yang baru

BAB I PENDAHULUAN. adalah masa remaja. Masa remaja merupakan masa transisi dari anak-anak

Transkripsi:

1 1. PENDAHULUAN I. 1 Latar Belakang Pada usia remaja seorang individu mengalami berbagai perubahan, baik perubahan secara fisik, kognitif, maupun psikososial. Perubahan-perubahan tersebut juga berkaitan dengan bentuk tubuh serta seksualitas. Pada tahap perkembangan ini seorang remaja akan mengalami perubahan yang signifikan pada tubuhnya. Tumbuhnya payudara serta munculnya lemak pada bagian tubuh tertentu terjadi pada remaja putri sehingga bentuk tubuhnya akan menimbulkan lekukan-lekukan tertentu yang dapat memancing daya tarik untuk orang lain. Pada remaja putra akan tumbuh jakun, bertambahnya massa otot dan melebarnya bahu yang akan mengubah tampilan tubuh menjadi lebih maskulin (Papalia, 2007). Berkembangnya kemampuan kognitif pada masa ini juga mengakibatkan remaja mampu berpikir abstrak, memanipulasi informasi yang datang kepada mereka, serta mengintegrasi pengalaman-pengalaman masa lalu dengan masa yang akan datang (Piaget, dalam Papalia, 2007). Berkaitan dengan perubahan pada aspek fisiknya, maka remaja mampu membandingkan bentuk tubuh yang mereka miliki dengan bentuk tubuh remaja lain, membayangkan bentuk tubuh yang ideal, serta memberikan penilaian terhadap tubuh mereka. Dengan membandingkan dirinya dengan orang lain, remaja telah mampu mengevaluasi dirinya sendiri sehingga akan muncul harga diri dan kepercayaan diri. Dari segi psikososial, keinginan untuk memiliki pasangan atau pacar adalah salah satu ciri perubahan dari sisi psikosial remaja. Rice (1999) menjelaskan bahwa kematangan seksual yang dialami remaja membuat kebutuhan emosional beralih dari orang tua kepada teman sekelompok atau teman sebaya. Seiring dengan berkembangnya hubungan yang resiprokal dengan teman sebaya tersebut, muncul ketertarikan terhadap lawan jenis yang memungkinkan terjadinya pengalaman jatuh cinta pada remaja. McCabe, Roscoe, Diana, dan Brooks (dalam Rice, 1999) menjelaskan bahwa pacaran memiliki beberapa fungsi pada remaja, diantaranya adalah sebagai sarana rekreasi, sosialisasi, dan sebagainya. Tetapi diantara beberapa fungsi tersebut juga

2 disebutkan bahwa pacaran memiliki fungsi sebagai sarana ekperimentasi dan kepuasan seksual. Hal tersebut sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Spanier (dalam Duvall dan Miller, 1985) yang menyebutkan bahwa pacaran lebih dekat kaitannya dengan perilaku seksual. Michael dan Bikert (dalam Low, 2005) menjelaskan bahwa berpacaran menyediakan kesempatan lebih besar untuk melakukan aktivitas seksual. Menurut Low (2005), pengalaman dalam berpacaran selain memberikan kesempatan kepada remaja untuk bereksperimen dengan seksualitasnya sendiri juga memberikan kesempatan kepada remaja untuk naik ke tahap perilaku seksual yang lebih tinggi. Keempat tahapan tersebut menurut Duvall dan Miller (1985) adalah: touching (bersentuhan), kissing (berciuman), petting (bercumbu), sexual intercourse (melakukan hubungan seksual). Himelein, Vogel, dan Wachowiak (dalam Davidson, 2005) melakukan penelitian pada remaja Amerika Serikat berusia SMA yang berpacaran menemukan bahwa pada usia tersebut sebanyak 85 % remaja telah melakukan petting dan 70 % telah melakukan sexual intercourse. Di Indonesia, Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia atau PKBI pada tahun 2001 melakukan penelitian di lima kota (Kupang, Palembang, Singkawang, Cirebon, dan Tasikmalaya) dan hasilnya menunjukkan bahwa sebanyak 16,46 % dari remaja berumur 15 sampai 24 tahun mengaku telah melakukan hubungan seksual. Dari jumlah tersebut sebanyak 74,89 % melakukan hubungan seksual pertama kali dengan pacarnya dan sisanya melakukan hubungan seksual dengan pelacur, teman dan bahkan ada yang mengaku melakukannya dengan saudara. Data terbaru mengenai perilaku seksual dalam berpacaran dimuat dalam artikel di harian Kompas, 28 Januari 2005. Artikel yang berjudul 40 % kawula muda ngeseks di rumah mengungkap penelitian yang melibatkan 474 remaja berusia 15 sampai 24 tahun yang berdomisili di Jakarta dan sekitar, Bandung, Surabaya, dan Medan. Artikel tersebut mengungkapkan bahwa 44 % dari responden remaja di empat kota tersebut mengaku bahwa mereka telah melakukan hubungan seksual sebelum berusia 18 tahun. Mereka yang melakukan hubungan seksual 85 % diantaranya

3 melakukan dengan pacarnya, dan sebanyak 36 % menyatakan bahwa mereka mengenal pasangannya kurang dari enam bulan. Pada saat remaja, individu memberi perhatian besar pada gambaran tubuh yang melingkupi bentuk tubuh, berat badan, serta seberapa menarik diri remaja tersebut dibandingkan remaja lain. Citra tubuh sendiri menurut Atwater dan Duffy (1999) adalah representasi mental individu mengenai tubuhnya, dimana dalam representasi mental tersebut terdapat perasaan puas atau tidak puas. Perasaan puas atau tidak puas tersebut merupakan sesuatu yang subjektif. Meskipun terdapat cara objektif untuk mengukur bentuk tubuh yang menarik, dalam penelitian ini citra tubuh dilihat sebagai sesuatu yang bersifat subjektif. Bagi seorang individu, perasaan puas atau tidak puas tentang bentuk tubuh dapat mempengaruhi kehidupan sehari-hari. Bagi remaja yang memiliki citra tubuh positif maka remaja tersebut akan memiliki kepercayaan diri yang lebih tinggi. Selain itu, remaja yang memiliki bentuk tubuh yang menarik juga memiliki kepribadian yang sehat, lebih mampu beradaptasi secara sosial dan memiliki kemampuan interpersonal yang lebih bervariasi (Jovanovic, Lerner dan Lerner, dalam Rice, 1999). Disisi lain, remaja yang memiliki perasaan negatif terhadap citra tubuhnya lebih memiliki kecenderungan untuk depresi, cemas, dan keinginan untuk bunuh diri yang lebih tinggi (Dyl, 2006). Individu yang merasa bahwa mereka memiliki citra tubuh yang menarik, baik secara seksual ataupun sosial, memiliki level permisif seksual yang lebih tinggi (Rice, 1999). Jika dikaitkan dengan perilaku berpacaran maka individu dengan level permisif yang lebih tinggi akan melakukan pacaran yang serba boleh, mulai dari berpegangan tangan hingga berhubungan seksual (Damayanti, 2007). Meskipun demikian, tidak tertutup kemungkinan bahwa individu yang memiliki citra tubuh kurang menarik juga memiliki permisivitas seksual yang tinggi dengan alasan untuk mempertahankan hubungan pacaran yang dimiliki. Salah satu contohnya adalah penelitian yang dilakukan Salazar, DiClemente, Wingood, Crosby, Harrington, Davies, Hook, Oh (2004) yang meneliti pentingnya bentuk tubuh terhadap seksualitas remaja putri. Melalui penelitian tersebut

4 diketahui bahwa remaja putri yang memiliki konsep diri rendah lebih beresiko terhadap perilaku seksual yang dapat membahayakan dirinya, seperti tidak menggunakan kondom dalam melakukan hubungan seksual. Adapun dimensi dari konsep diri dalam penelitian tersebut terdiri dari citra tubuh, identitas etnis, serta self esteem. Studi yang dilakukan di atas memang lebih banyak meneliti tentang bentuk tubuh pada wanita. Hal tersebut sesuai dengan yang diungkapkan oleh Lerner dan rekan (dalam Bracken, 1996) yang menyatakan bahwa bentuk tubuh lebih memiliki pengaruh pada remaja putri, karena pada remaja putra hal yang lebih berpengaruh adalah fungsi tubuhnya. Pernyataan tersebut juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan Serdula, Collins, Williamson, Anda, Pamuk, dan Byers (dalam Thompson, 1999) yang memperoleh data bahwa diantara 11.467 murid SMA di Amerika Serikat sebanyak 44 % remaja putri dan 15 % remaja putra menginginkan untuk menurunkan berat badan. Melalui penelitian tersebut dapat dilihat bahwa citra tubuh lebih berpengaruh pada remaja putri dibandingkan remaja putra. Dalam berpacaran, pemilihan pasangan dipengaruhi oleh citra tubuh, yang juga menjadi pusat perhatian pada usia remaja (Rice, 1999). Individu yang memiliki citra tubuh positif akan menerima lebih banyak ajakan untuk berpacaran dibandingkan individu yang memiliki citra tubuh negatif (Scharlot dan Christ, dalam Thompson, 1999). Untuk memulai sebuah hubungan, seorang individu juga harus memiliki rasa percaya diri akan penampilannya, hal tersebut dikemukakan oleh Sprecher dan McKinney (dalam Thompson, 1999) yang menjelaskan bahwa individu akan lebih sulit untuk memulai sebuah hubungan jika tidak percaya diri akan penampilannya. Kedua hal tersebut juga didukung oleh Sprecher dan Duck (dalam Baron dan Bryne, 2004), bahwa individu yang memiliki citra tubuh positif memiliki kemungkinan yang lebih tinggi untuk berpacaran dibandingkan individu yang memiliki citra tubuh negatif. Ilustrasi tentang pentingnya citra tubuh dan kaitannya dengan hubungan berpacaran dapat terlihat pada kutipan berikut: Saya termasuk remaja yang kurang beruntung. Bila teman-teman saya ramping dan cantik, saya berpenampilan tambun dan bulat. Maklumlah bobot

5 saya 75 kg padahal tinggi saya cuma 161 cm. Umur saya sekarang baru 18 tahun dan sedang mempersiapkan diri untuk menghadapi Ebtanas SMU. Bentuk tubuh saya ini menimbulkan rasa rendah diri meski saya dianggap teman-teman cukup menyenangkan. Saya dianggap peramah, dan peduli pada teman. Nah, meski teman saya banyak, namun patut dokter ketahui saya sampai saat ini belum punya pacar. Penyebab utama saya rasa adalah penampilan saya yang gemuk. Banyak teman lelaki yang bergaul dengan saya bahkan menjadi teman dekat, tetapi rupanya tidak ada yang naksir pada saya (potongan dari www.kompas.com) Menurut Hadjistavropoulos dan Myles (1994), wanita meskipun tidak mengakui, dalam berhubungan dan berpacaran dengan pria lebih memilih pasangan yang memiliki citra tubuh yang menarik. Thompson (1999) juga mengemukakan bahwa pendapat atau opini citra tubuh yang diberikan oleh pasangan romantis atau pacar memiliki pengaruh yang signifikan pada citra tubuh individu. Mark dan Crowther (dalam Thompson, 1999) melalui penelitiannya tentang kepuasan berpacaran menemukan bahwa pada wanita muda citra tubuh yang dimiliki akan mempengaruhi kepuasan berpacaran. Wanita yang memiliki kepuasan citra tubuh rendah maka kepuasan berpacarannya juga rendah. Sedangkan bagi pria, kepuasan dalam berpacaran berhubungan secara signifikan dengan bentuk tubuh pasangannya. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, pacaran menyediakan kesempatan untuk melakukan perilaku seksual. Selain mempengaruhi pemilihan pasangan untuk berpacaran, citra tubuh juga mempengaruhi seksualitas. Hal tersebut dijelaskan oleh Garner (1997) yang menjelaskan bahwa seksualitas dan citra tubuh saling mempengaruhi. Hubungan antara bentuk tubuh dengan seksualitas juga ditunjukkan oleh Ackard, Kearney-Cooke dan Peterson (2000) yang menjelaskan bahwa wanita yang merasa senang dengan bentuk tubuhnya lebih sering melakukan hubungan seksual, mencapai orgasme, lebih sedikit berpura-pura orgasme, merasa lebih nyaman mencoba aktivitas seksual yang baru, serta merasa lebih yakin dalam kemampuan mereka dalam memuaskan pasangan.

6 Ilustrasi berikut akan menggambarkan hubungan antara citra tubuh dengan perilaku seksual: Perlu dicatat, hampir semua perempuan merasa kurang percaya diri terhadap bentuk tubuhnya sehingga mereka enggan ditatap tubuhnya dalam keadaan polos. Kecenderungan itu mungkin yang membuat banyak perempuan lebih senang mengadakan hubungan seksual dengan kondisi lampu mati atau redup. (potongan dari http://www.perempuan.com/index.php?ar_id=3033). Dalam potongan artikel diatas juga dijelaskan bahwa alasan wanita lebih senang mengadakan hubungan seksual dengan kondisi mati lampu atau redup untuk mengurangi perasaan khawatir akan komentar negatif yang mungkin diberikan oleh pasangannya. Wanita sering kali tidak dapat menikmati hubungan seksual atau mencapai orgasme karena lebih sering memikirkan kekhawatirannya tersebut. Melihat hasil penelitian-penelitian yang telah dijelaskan, dapat memberi gambaran tentang pentingnya citra tubuh bagi remaja khususnya remaja putri. Meskipun telah dijelaskan sebelumnya, citra tubuh saat ini merupakan suatu hal yang dianggap penting, khususnya bagi remaja. Hal tersebut dapat terlihat dari pengamatan peneliti, bahwa saat ini banyak sarana atau fasilitas kebugaran diberbagai tempat. Meskipun menawarkan harga yang tidak murah, sarana kebugaran tersebut selalu dipenuhi oleh pengunjung yang ingin memperbaiki atau meningkatkan citra tubuh yang dimiliki. Adapun alasan individu untuk meningkatkan citra tubuhnya adalah untuk mendapatkan pasangan. Penelitian ini juga dilakukan dengan alasan perilaku seksual dapat dilakukan oleh individu yang berpacaran ataupun yang telah menikah. Meskipun demikian, perilaku seksual yang dilakukan oleh individu yang telah menikah ternyata juga banyak dilakukan oleh individu yang berpacaran. Peneliti merasa tertarik dan penting untuk meneliti tentang hubungan antara citra tubuh dan perilaku seksual remaja dalam berpacaran karena minimnya penelitian yang dilakukan untuk meneliti hal tersebut. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan pada individu yang sedang berpacaran.

7 I. 2 Masalah Penelitian Masalah yang ingin diangkat dalam penelitian ini adalah Apakah terdapat hubungan yang signifikan antara citra tubuh dengan perilaku seksual dalam berpacaran pada remaja putri? I. 3 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara citra tubuh dengan perilaku seksual remaja dalam berpacaran. I. 4 Manfaat Penelitian Manfaat teoritis dalam penelitian ini adalah untuk meningkatkan pemahaman tentang hubungan citra tubuh dengan perilaku seksual remaja putri dalam berpacaran. Berkaitan dengan alat ukur, diharapkan alat ukur ini dapat digunakan kembali untuk penelitian lain yang berhubungan. Selain itu melalui penelitian ini juga diharapkan muncul minat untuk meneliti lebih lanjut hal-hal yang berkaitan baik dengan citra tubuh maupun perilaku seksual dalam berpacaran. Manfaat praktis dari penelitian ini adalah agar alat ukur penelitian ini mampu membedakan remaja putri yang memiliki gangguan citra tubuh sehingga dapat dilakukan intervensi maupun prevensi oleh konselor, orang tua, dan pendidik. Melalui penelitian ini diharapkan remaja putri lebih mengetahui citra tubuh yang dimiliki sehingga dapat membantu dalam kehidupan sehari-hari. 1.5. Sistematika Penulisan Bab I Pendahuluan Menjelaskan tentang latar belakang masalah, permasalahan, tujuan dan manfaat penelitian serta sistematika penulisan. Bab II Landasan Teori

8 Menjelaskan teori-teori yang digunakan untuk menganalisis serta menjawab pertanyaan penelitian. Bab III Permasalahan dan Hipotesis Menjelaskan tentang pemaparan masalah serta hipotesis penelitian. Bab IV Metode Penelitian Menjelaskan mengenai pelaksanaan penelitian, responden, alat ukur yang digunakan, serta prosedur penelitian. Bab V Hasil Penelitian Menjelaskan hasil yang diperoleh dari penelitian, analisis, serta interpretasi. Bab VI Kesimpulan, Diskusi, dan Saran Menjelaskan kesimpulan penelitian, diskusi, serta saran-saran yang diajukan.