BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Blustru/Mentimun Aceh (Luffa aegyptica Roxb.) Luffa aegyptica merupakan tanaman yang termasuk dalam famili Cucurbitaceae (Gambar 1). Hemburg (1994) menyatakan bahwa biji Luffa aegyptica mengandung kukurbitasin B. Selanjutnya Harborne (1987) menyebutkan bahwa kukurbitasin B merupakan kelompok triterpenoid yang mempunyai rasa pahit. Yanini (1989) menyatakan, bahwa biji Luffa aegyptica Roxb. mengandung tiga jenis senyawa sterol, yang satu diantaranya menunjukkan spektrum massa yang identik dengan stigmasterol. Berndt (1982) menyebutkan, bahwa stigmasterol dapat disintesis menjadi progesteron. Menurut Corner & Watanabe (1969), susunan taksonomi Luffa aegyptica adalah sebagai berikut : Kingdom : Plantae Divisi : Spermatophyta Kelas : Dicotyledoneae Ordo : Cucurbitales Famili : Cucurbitaceae Genus : Luffa Species : Luffa aegyptica Roxb. Ekstrak seluruh bagian tanaman Luffa aegyptica Roxb, berpengaruh terhadap penekanan jumlah anak mencit yang dilahirkan (Fransworth et al, 1975). Pemberian ekstrak biji blustru sebanyak 270 mg/25 g BB mencit dapat menghambat laju kebuntingan mencit dengan aktivitas positif tercermin dari rendahnya angka kebuntingan. Ekstrak biji blustru 270 mg/25 g BB mencit dapat menurunkan tapak implantasi, jumlah fetus yang dikandung dan jumlah korpus luteum (Dian et al, 1998).
Gambar 1. Foto lapangan buah blustru (Luffa aegyptica Roxb.) Menurut Purwaningsih (2003), mekanisme kerja suatu zat yang bersifat anti fertilitas terhadap organ reproduksi pria dapat digolongkan menjadi tiga lokasi, yaitu: a. Cara pretestikuler; adalah cara yang menghambat proses spermatogenesis diluar atau sebelum testis, yaitu dengan menghambat spermatogenesis melalui penekanan pada hipotalamus - hipofisis dalam mensekresi hormon gonadotropin. b. Cara testikuler; adalah cara yang menghambat proses spermatogenesis (pembentukan sperma) di dalam testis. c. Cara pascatestikuler; adalah cara yang dapat menghambat pematangan spermatozoa setelah berada dalam epididimis.
2.2 Organ Reproduksi Jantan 2.2.1 Testis Testis merupakan organ kelamin jantan yang berfungsi sebagai tempat sintesis hormon androgen (terutama testosteron) dan tempat berlangsungnya proses spermatogenesis. Kedua fungsi testis ini menempati lokasi yang terpisah di dalam testis. Biosintesis androgen berlangsung dalam sel Leydig di jaringan inter tubuler, sedangkan proses spermatogenesis berlangsung dalam epitel tubulus seminiferus (Syahrum, 1994). Testis merupakan sepasang struktur berbentuk oval, agak gepeng dengan panjang sekitar 4 cm dan diameter sekitar 2,5 cm. Bersama epididimis, testis berada di dalam skrotum yang merupakan sebuah kantung ekstra abdomen tepat di bawah penis. Dinding pada rongga yang memisahkan testis dengan epididimis disebut tunika vaginalis. Tunika vaginalis dibentuk dari peritoneum intra abdomen yang bermigrasi ke dalam skrotum primitif selama perkembangan genitalia interna pria. Setelah migrasi ke dalam skrotum, saluran tempat turunnya testis (prosesus vaginalis) akan menutup (Heffner & Schust, 2006). Testis mengandung banyak tubulus seminiferus. Tubulus seminiferus tersebut terdiri atas deretan sel epitel yang akan mengadakan pembelahan mitosis dan meiosis sehingga menjadi sperma. Sel-sel yang terdapat di antara tubulus seminiferus disebut interstitial (leydig). Sel ini menghasilkan hormon seks pria yang disebut testosteron (Syahrum, 1994). Menurut Saryono (2008), sel yang berperan dalam testis adalah: a. Tubulus seminiferus, bagian utama dari massa testis yang bertanggung jawab terhadap produksi sekitar 30 juta spermatozoa per hari selama masa produksi. Sel ini terdiri dari sperma dan sel sertoli. b. Sel leydig (sel interstisial), menyusun komponen endokrin utama yang bertanggung jawab menghasilkan testosteron. c. Sel sertoli.
Ditinjau secara histologi, testis mencit terdiri atas jaringan epitel seminiferus, jaringan pengikat dinding tubulus seminiferus, jaringan pengikat intertubuler testis dan jaringan pengikat padat pembungkus testis. Sebagaimana fungsi testis pada umumnya, maka testis mencit juga berfungsi selain merupakan kelenjar endokrin yang menghasilkan hormon steroid, juga bersifat sebagai kelenjar eksokrin karena menghasilkan spermatozoa (Burkitt et al, 1993). 2.2.2 Epididimis Epididimis merupakan suatu struktur berbentuk koma yang menahan batas posterolateral testis. Epididimis dibentuk oleh saluran yang berlekuk-lekuk secara tidak teratur yang disebut duktus epididimis. Duktus epididimis memiliki panjang sekitar 600 cm. Duktus ini berawal pada puncak testis yang merupakan kepala epididimis. Setelah melewati jalan yang berliku-liku, duktus ini berakhir pada ekor epididimis yang kemudian menjadi vas deferens (Heffner & Schust, 2006). Epididimis terletak pada bagian dorsal lateral testis, merupakan suatu struktur memanjang dari bagian atas sampai bagian bawah testis. Organ ini terdiri dari bagian kaput, korpus dan kauda epididimis (Rugh, 1968). Epitel epididimis memiliki dua fungsi. Pertama, mensekresikan plasma epididimis yang bersifat kompleks tempat sperma tersuspensikan dan mengalami pematangan. Kedua, mengabsorbsi kembali cairan testikuler yang mengangkut sperma dari tubulus semineferus dan sperma yang sudah rusak (Hafez & Prasad, 1976). 2.2.3 Vas Deferens Vas deferens merupakan suatu saluran yang menghubungkan epididimis dan uretra. Letak vas deferens dimulai dari ujung kauda epididimis yang ada dalam kantung skrotum, lalu naik ke bagian atas lipat paha. Pada bagian ujungnya, vas deferens dikelilingi oleh suatu pembesaran kelenjar-kelenjar yang disebut ampula. Sebelum masuk ke uretra, vas deferens ini bergabung terlebih dahulu dengan saluran ekskresi
vesika seminalis membentuk duktus ejakulatoris. Pada saat ejakulasi sperma dari epididimis diangkut melalui vas deferens dengan suatu seri kontraksi yang dikontrol oleh syaraf (Brueschke et al, 1976). Vas deferens akan melalui kanalis inguinalis masuk ke dalam rongga tubuh dan akhirnya menuju uretra penis. Uretra penis dilalui oleh sperma dan urin. Sperma akan melalui vas deferens oleh kontraksi peristaltik dindingnya. Sepanjang saluran sperma terdapat beberapa kelenjar yang menghasilkan cairan semen. Sebelum akhir vas deferens terdapat kelenjar vesikula seminalis. Pada bagian dorsal buli-buli, uretra dikelilingi oleh kelenjar prostat. Selain itu terdapat juga kelenjar ketiga yaitu kelenjar Cowper. Keluar dari saluran reproduksi pria berupa semen yang terdiri dari sel sperma dan sekresi kelenjar-kelenjar tersebut (semen plasma). Semen plasma berfungsi sebagai medium sperma dan dipergunakan sebagai buffer dalam melindungi sperma dari lingkungan asam saluran reproduksi wanita (Syahrum, 1994). 2.2.4 Kelenjar- Kelenjar Aksesoris Kelenjar-kelenjar aksesoris menghasilkan plasma semen yang memungkinkan sperma dapat bergerak aktif dan hidup untuk waktu tertentu. Kelenjar-kelenjar aksesoris tersebut adalah kelenjar Bulbourethra, kelenjar prostat, dan vesikula seminalis (Rugh, 1968). 2.3 Spermatogenesis Spermatogenesis adalah suatu rangkaian perkembangan sel spermatogonia dari epitel tubulus seminiferus yang mengadakan proliferasi dan selanjutnya berubah menjadi spermatozoa yang bebas. Rangkaian perkembangan ini dapat dibagi menjadi tiga tahap. Tahap pertama, sel spermatogonia mengadakan pembelahan mitosis menghasilkan spermatosit dan sel induk spermatogonia. Tahap kedua, pembelahan meiosis (reduksi) spermatosit primer dan sekunder menghasilkan spermatid yang haploid. Tahap ketiga, perkembangan spermatid menjadi spermatozoa melalui
serangkaian metamorfosa yang panjang dan kompleks disebut spermiogenesis (Syahrum, 1994). Proses spermatogenesis pada mencit terbagi atas empat siklus epitel seminiferus. Tiap siklus terdiri dari 12 stadia. Lebih dari satu siklus pertama diperlukan untuk menghasilkan spermatosit primer (Oakberg, 1956). Siklus pertama ini dimulai dari perkembangan sel-sel genosit (primordial germ cell) yang pada mencit sudah mulai terlihat pada hari ke-8 masa embrio, menjadi sel-sel spermatogonium. Pada mencit dan tikus ada tiga tipe spermatogonia, yaitu spermatogonia tipe A, tipe intermediet (In) dan tipe B (Clermont & Leblond, 1953). Spermatogonia tipe A yang disebut juga sebagai spermatogonia induk (stem cell), akan mengalami pembelahan secara mitosis membentuk spermatogonia induk baru. Spermatogonia tipe A lainnya kemudian berdiferensiasi menjadi spermatogonia tipe intermediet (In), spermatogonia tipe B dan selanjutnya spermatosit primer. Pada tahap perkembangan berikutnya, spermatosit primer akan mengalami pembelahan meiosis menjadi spermatosit sekunder. Tahap perkembangan berikutnya dimulai dari spermatosit sekunder yang membelah lagi menjadi spermatid. Akhirnya, pada tahap perkembangan terakhir sel-sel spermatid akan mengalami transformasi menjadi sel-sel spermatozoa dewasa (Paulsen, 1974). Pada tubulus seminiferus mengandung banyak sel epitel germinativum yang berukuran kecil, dinamakan spermatogenia menjadi spermatosit membelah diri membentuk dua spermatosit yang masing-masing mengandung 23 kromosom. Setelah beberapa minggu menjadi spermatozoa spermatid, pertama kali dibentuk masih mempunyai sifat umum sel epiteloid. Kemudian sitoplasma menghilang, spermatid memanjang menjadi spermatozoa terdiri atas kepala, leher, badan dan ekor (Syaifuddin, 2006). Siklus epitel seminiferus adalah rangkaian perubahan pematangan pada daerah epitel germinativum, akibat timbulnya dua tahap perkembangan sel kelamin yang berurutan (Junquera dan Carneiro, 1980).
Pada mencit, siklus epitel seminiferus terdiri dari 12 stadia. Waktu yang diperlukan untuk satu siklus epitel seminiferus pada mencit antara 201 203 jam (8-9 hari). Dengan demikian waktu seluruhnya yang diperlukan untuk proses spermatogenesis yang terdiri dari empat siklus epitel seminiferus, adalah berkisar antara 34,5-35,5 hari (Rugh, 1968). Proses spermatogenesis ini baru dimulai secara aktif pada hari ke-9 setelah lahir. Selama spermatogenesis, aktivitas sel-sel spermatogenik sangat tinggi dengan melibatkan proses perubahan morfologi dan biokimia dari sel-sel tersebut. Untuk mendukung aktivitas tersebut, sel-sel spermatogenik sangat tergantung pada sumber enegi terutama glukosa. Khususnya sel spermatosit primer pakhiten dan sel spermatid diketahui menggunakan sumber energinya secara tidak langsung dalam bentuk asam laktat dan piruvat yang disuplai oleh sel Sertoli. Adapun produk asam laktat dan piruvat tersebut terutama dipengaruhi oleh hormon FSH (Jutte et al, 1981). 2.4 Testosteron Undekanoat Testosteron Undekanoat (17-hydoxy-4-androsten-3-0ne 17-undecanoate) (Gambar 2.) terdiri dari bahan yang mudah dicerna, alifatik, ester asam lemak testosteron yang sebagiannya diabsorpsi lewat usus yang mengandung sistem limfatikus setelah pemberian secara oral. Pemberian TU secara oral telah digunakan pada terapi penggantian androgen dan hal lain yang berhubungan dengan perlakuan klinik selama lebih dari 2 dekade. TU secara oral juga telah diuji sebagai kontrasepsi tunggal atau dikombinasikan dengan progestin (Kamische et al, 2002). Beberapa hal yang menyebabkan TU secara oral diberikan sebagai kontrasepsi pria kurang baik adalah: frekuensi pemberian, ukuran testosteron serum, kurangnya penekanan gondotropin dan spermatogenesis. Seperti pada penelitian terdahulu yang menunjukan bahwa pemberian TU tunggal secara oral atau dikombinasikan dengan CPA (Cyproterone Plus Acetate) masih kurang efektif dalam penekanan spermatogenik (Meriggiola et al, 2003).
Testosteron Undekanoat yang dikembangkan untuk kontrasepsi pria digunakan dalam bentuk injeksi (liquid). Sediaan tersebut diberikan dengan cara injeksi secara intramuskular. Ada juga TU dalam bentuk powder yang kadang-kadang dibungkus dengan kapsul. Testosteron Undekanoat dihasilkan melalui esterifikasi testosteron alami pada posisi 17β. Testosteron Undekanoat ini merupakan steroid dengan 19 atom karbon dengan rumus kimia C 19 H 28 O 2 serta nama kimianya adalah 17 beta-hydroxyandrost-4-en-3-one (Ilyas, 2008). Tujuan utama dari pemberian testosteron adalah mempertahankan tingginya tingkat serum testosteron jangka panjang pada pria yang ikut dalam kontrasepsi pria. Hal ini bertujuan untuk menekan spermatogenesis sehingga terjadi azoospermia atau oligozoospermia berat yang berlangsung lebih lama namun bersifat aman, efektif, reversibel dan aseptibel (Ilyas, 2008). O O C-(CH 2 ) 9-CH 3 O Gambar 2. Rumus bangun Testosteron Undekanoat (TU) 2.5 Hubungan Testosteron dalam Spermatogenesis Telah diketahui bahwa testosteron merupakan androgen yang secara langsung mempunyai aksi genomik dengan berikatan pada reseptor androgen (RA). Reseptor androgen memiliki famili reseptor inti yang bertindak sebagai ligand-responsive transcription factor. Pada testis RA ada pada sel Leydig, sel peritubular, dan sel
Sertoli. Testosteron secara bebas berdifusi melalui membran plasma dan mengikat RA membentuk komplek yang kemudian berinteraksi dengan androgen reseptor element (ARE) pada bagian promotor gen target (Gambar 3). Transkripsi gen target dapat diinduksi atau ditekan tergantung pada faktor yang berhubungan dengan ikatan ligand-reseptor complex dengan ARE (Sadate-Ngatchou et al., 2003). Melalui respon long-term, testosteron mengaktifkan atau menonaktifkan ekspresi gen yang berhubungan dengan perkembangan sel germinal. Seperti peningkatan ekspresi gen protamin 1 dan protein transisi 2 (secara spesifik diekspresikan pada spermatid) terjadi setelah induksi testosteron propionat pada tikus hpg (hypogondal) sehingga meningkatkan kandungan testosteron intratestikular. Selain itu ekspresi gen Pem (gen androgen yang terdapat pada testis dan epididimis) meningkat bersamaan dengan meningkatnya hormon testikular testis (Sadate- Ngatchou et al, 2003). Peningkatan ekspresi gen tersebut mendukung proliferasi dan diferensiasi sel germinal di dalam tubulus seminiferus testis. Gambar 3. Mekanisme genomik dan nongenomik androgen
Efek nongenomik T dipicu oleh ikatan pada sebuah reseptor membran yang belum dikarakterisasi (nonclassical). Aktivasi second messenger termasuk Ca 2+ dan protein kinase, menghasilkan respon cepat secara khas yaitu efek genomik. T melewati membran sel merubah estradiol dengan aromatase yang kemudian terikat dan mengaktifkan ER dan ERβ. DHT masuk ke sel mengikat dan mengaktifkan AR (andogen receptor). Ikatan ligan ER atau AR menghubungkan heat schock protein (HSP) mereka mengalami perubahan penyesuaian, dimerisasi, dan translokasi ke dalam inti dimana mereka terikat pada tempat spesifik yang diketahui sebagai estrogen response elements (ERE) atau androgen response element (ARE) berlokasi dalam DNA gen inti target menghasilkan efek long-term genomic dari testosteron (Sadate-Ngatchou et al, 2003).