BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa penuh gejolak emosi dan. ketidakseimbangan, yang tercakup dalam storm dan stres, sehingga remaja

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Sebuah pemberitaan di Jakarta menyatakan ham p ir 40% tindak

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. psikis, maupun secara sosial (Hurlock, 1973). Menurut Sarwono (2011),

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS DIPONEGORO

HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH DEMOKRATIS ORANG TUA DAN KEMANDIRIAN DENGAN KEMAMPUAN MENYELESAIKAN MASALAH PADA REMAJA SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. manusia, ditandai dengan perubahan-perubahan biologis, kognitif dan sosial-emosional

KEPRIBADIAN TANGGUH PADA SISWA KORBAN KEKERASAN TEMAN SEBAYA

BAB 1 PENDAHULUAN. Remaja merupakan masa peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Intany Pamella, 2014

BAB I PENDAHULUAN. Hampir setiap hari kasus perilaku agresi remaja selalu ditemukan di media

HUBUNGAN ANTARA KEHARMONISAN KELUARGA DENGAN PERILAKU AGRESIF PADA REMAJA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. remaja (Hurlock, 2003). Di dalam masa remaja juga terdapat tahapan perkembangan yang

BAB I PENDAHULUAN. A.Latar Belakang Masalah. menyenangkan, dimana terjadi juga perubahan pada dirinya baik secara fisik,

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. kemampuan intelektual dan kognitif. Kemampuan intelektual ini ditandai

BAB I PENDAHULUAN. Salah satunya adalah krisis multidimensi yang diderita oleh siswa sebagai sumber

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Diah Rosmayanti, 2014

BAB I PENDAHULUAN. alkohol, napza, seks bebas) berkembang selama masa remaja. (Sakdiyah, 2013). Bahwa masa remaja dianggap sebagai suatu masa dimana

BAB I PENDAHULUAN. Proses timbulnya perilaku tersebut ialah ketika seseorang dalam suatu titik. perilaku yang dinamakan perilaku agresif.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa transisi dari anak-anak ke fase remaja. Menurut

BAB 1 PENDAHULUAN. Masa remaja adalah periode perkembangan disaat individu mengalami

BAB I PENDAHULUAN. minat, sikap, perilaku, maupun dalam hal emosi. Tingkat perubahan dalam sikap

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bagi sebagian besar orang, masa remaja adalah masa yang paling berkesan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja adalah masa yang sangat penting. Masa remaja adalah

BAB I PENDAHULUAN. baik dari faktor luar dan dalam diri setiap individu. Bentuk-bentuk dari emosi yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa yang penuh konflik, karena masa ini adalah

BAB 1 PENDAHULUAN. penuh gejolak dan tekanan. Istilah storm and stress bermula dari psikolog

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. untuk berpikir, kemampuan afektif merupakan respon syaraf simpatetik atau

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dewasa ini sering kita dengar tentang banyaknya kasus kekerasan yang

HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN ASERTIVITAS PADA REMAJA DI SMA ISLAM SULTAN AGUNG 1 SEMARANG. Rheza Yustar Afif ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan luar. Perubahan-perubahan tersebut menjadi tantangan besar bagi

BAB I PENDAHULUAN. berhubungan dengan orang lain, atau dengan kata lain manusia mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa seorang individu mengalami peralihan dari

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. laku spesifik yang bekerja secara individu dan bersama sama untuk mengasuh

BAB I PENDAHULUAN. Valentina, 2013). Menurut Papalia dan Olds (dalam Liem, 2013) yang dimaksud

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Remaja merupakan generasi penerus bangsa di masa depan, harapanya

BAB I PENDAHULUAN. manusia pun yang dapat hidup sendiri tanpa membutuhkan kehadiran manusia lain

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH PENELITIAN

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. adalah bahwa aksi-aksi kekerasan baik individual maupun massal sudah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mencapai kedewasaan sesuai dengan norma-norma yang ada dalam

BAB I PENDAHULUAN. mengatakan mereka telah dilukai dengan senjata. Guru-guru banyak mengatakan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Salah satu kebijakan pemerintah di sektor pendidikan yang mendukung

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini,

BAB I PENDAHULUAN. jangka waktunya berbeda bagi setiap orang tergantung faktor sosial dan budaya.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kesuksesan yang dicapai seseorang tidak hanya berdasarkan kecerdasan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa transisi antara masa kanak-kanak dengan

BAB I PENDAHULUAN. ikatan yang bernama keluarga. Manusia lahir dalam suatu keluarga,

BAB I PENDAHULUAN. penuh dengan kenangan yang tidak mungkin akan terlupakan. Menurut. dari masa anak ke masa dewasa yang mengalami perkembangan semua

BAB I PENDAHULUAN. namun akan lebih nyata ketika individu memasuki usia remaja.

BAB I PENDAHULUAN. adolescence yang berasal dari kata dalam bahasa latin adolescere (kata

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

TAHAP PERKEMBANGAN ANAK USIA TAHUN

BAB I PENDAHULUAN. dijalanan maupun ditempat-tempat umum lainnya (Huraerah, 2007).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menimbulkan konflik, frustasi dan tekanan-tekanan, sehingga kemungkinan besar

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. atau keinginan yang kuat tentang perubahan-perubahan yang terjadi pada

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan

BAB I PENDAHULUAN. pada masa remaja, salah satunya adalah problematika seksual. Sebagian besar

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terutama karena berada dibawah tekanan sosial dan menghadapi kondisi baru.

1. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. manusia, yang menjembatani masa kanak-kanak dengan masa dewasa (Santrock,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Menurut Imran (1998) masa remaja diawali dengan masa pubertas,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. lingkungan tempat individu berada. Remaja menurut Monks (2002) merupakan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. yang ditandai dengan adanya perubahan-perubahan fisik, kognitif, dan psikososial

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. bahwa aksi-aksi kekerasan baik individual maupun massal sudah merupakan

BAB I PENDAHULUAN. dapat diabaikan dalam kehidupan manusia. Namun demikian, orang tua masih

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Remaja adalah masa peralihan diantara masa kanak-kanak dan dewasa.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kembang remaja. Istilah remaja sendiri berasal dari bahasa latin yaitu adolescere

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan periode baru didalam kehidupan seseorang, yang

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 1. Pengertian Perilaku Seksual Pranikah

BAB I PENDAHULUAN. sebagai contoh kasus tawuran (metro.sindonews.com, 25/11/2016) yang terjadi. dengan pedang panjang dan juga melempar batu.

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja dikenal dengan masa yang penuh dengan pergolakan emosi yang diiringi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang. tidak terlepas dari pertumbuhan dan perkembangan yang dialami oleh setiap individu. Periode

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kekerasan dalam pacaran bukan hal yang baru lagi, sudah banyak

BAB II KAJIAN TEORI. dibaca dalam media massa. Menurut Walgito, (2000) perkawinan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. lain, saling memberikan pengaruh antara satu dengan yang lain dan ingin

BAB IV HASIL PENELITIAN. remaja ini terbagi di SMKN 1, SMKN 2, SMKN 5, SMA Mataram, SMA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dan pengurus pondok pesantren tersebut. Pesantren memiliki tradisi kuat. pendahulunya dari generasi ke generasi.

BAB 1 PENDAHULUAN. (Santrock,2003). Hall menyebut masa ini sebagai periode Storm and Stress atau

BAB 1 PENDAHULUAN. Remaja adalah individu yang unik. Remaja bukan lagi anak-anak, namun

BAB 1 PENDAHULUAN. Remaja merupakan suatu periode yang disebut sebagai masa strum and drang,

BAB I PENDAHULUAN. bagi perubahan besar sebuah negara. Ujung tombak sebuah negara ditentukan

BAB I PENDAHULUAN. dalam Friz Oktaliza, 2015). Menurut WHO (World Health Organization), remaja adalah penduduk dalam rentang usia tahun, menurut

BAB I PENDAHULUAN. memiliki konsep diri dan perilaku asertif agar terhindar dari perilaku. menyimpang atau kenakalan remaja (Sarwono, 2007).

BAB I PENDAHULUAN. berkesinambungan dalam kehidupan manusia. Perkembangan adalah perubahanperubahan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. mengenal awal kehidupannya. Tidak hanya diawal saja atau sejak lahir, tetapi keluarga

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Peristiwa merosotnya moral di kalangan remaja, akhir-akhir ini

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sekolah merupakan salah satu tempat bertumbuh dan berkembangnya

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan emosi menurut Chaplin dalam suatu Kamus Psikologi. organisme mencakup perubahan-perubahan yang disadari, yang mendalam

BAB I PENDAHULUAN. Keluaga mempunyai fungsi tidak hanya terbatas sebagai penerus keturunan

BAB I PENDAHALUAN. A. Latar Belakang Masalah. status sebagai orang dewasa tetapi tidak lagi sebagai masa anak-anak. Fase remaja

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang menghubungkan masa kanak-kanak dan masa dewasa (Santrock,

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja merupakan masa penuh gejolak emosi dan ketidakseimbangan, yang tercakup dalam storm dan stres, sehingga remaja mudah terkena pengaruh oleh lingkungan. Hal ini disebabkan karena pada masa tersebut, remaja berada dalam kondisi yang tidak menentu, pertentanganpertentangan dan krisis penyesuaian diri, kecenderungan mengalami peningkatan konflik dengan orangtua, impian dan khayalan, perilaku berpacaran dan percintaan, serta keterasingan dari kehidupan dewasa dan norma kebudayaan (Gunarsa, 2004). Pada masa storm dan stres ini, bila dapat terarah dengan baik, maka remaja dapat menjadi seorang individu yang memiliki rasa tanggung jawab, tetapi bila tidak terarah dengan baik, maka dapat menjadi seorang yang tidak memiliki masa depan yang baik (Dariyo, 2004). Pada masa ini, remaja juga mengalami banyak perubahan. Perubahan yang terjadi yaitu perubahan biologis, kognitif, dan sosial-emosional. Perubahan biologis meliputi perubahan fisik, termasuk perkembangan otak, perubahan hormon pubertas, pertambahan tinggi dan berat badan. Perubahan kognitif meliputi perubahan dalam pikiran dan kecerdasan individu. Perubahan sosioemosional meliputi perubahan dalam hubungan seseorang dengan orang lain termasuk dalam emosi (Santrock, 2008). 1

Masalah emosional ini digambarkan dengan ketegangan emosi yang meninggi sebagai akibat dari perubahan fisik dan hormon. Didukung oleh pernyataan Yusuf (2004) bahwa masa remaja merupakan puncak perkembangan emosi yang tinggi. Pada usia remaja, perkembangan emosi menunjukkan sifat yang sensitif dan reaktif terhadap berbagai peristiwa atau situasi sosial, emosinya bersifat negatif dan temperamental seperti mudah tersinggung atau marah, mudah sedih atau murung. Ketidaknyaman emosional tersebut menyebabkan remaja cenderung memunculkan tingkah laku maladjustment atau penyesuaian sosial yang kurang baik. Hal ini dapat menimbulkan keinginan untuk bertindak agresif. Setiap saat, perilaku dapat dipastikan memiliki maksud atau tujuan. Menurut Ajzen dan Fisbein (1980), intensi merupakan sumber yang akurat munculnya tingkah laku. Sebelum melakukan perilaku agresi, individu memiliki tujuan (intensi) tertentu yang menyebabkannya melakukan agresivitas. Aronson, Wilson, dan Akert (2004) menjelaskan dalam contoh yang lebih aplikatif yaitu jika seseorang melemparkan botol ke kepala orang lain dan botol tersebut tidak mengenai kepala orang tersebut maka hal tersebut tetap merupakan suatu agresivitas. Hal ini dikarenakan orang tersebut memiliki intensi untuk melakukan agresivitas walaupun tindakan tersebut tidak berhasil. Agresi merupakan perilaku yang diarahkan secara langsung terhadap orang lain dengan tujuan untuk menyakiti orang tersebut (Anderson & Huesmann, 2003). Sedangkan Baron (dikutip dari Berkowitz, 1995) mendefinisikan agresi 2

sebagai segala bentuk perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti atau melukai orang lain yang sebenarnya tidak mau mendapatkan perlakuan seperti itu. Agresi berupa perilaku agresi yang terjadi antara lain perselisihan antar pribadi, perusakan fasilitas umum, perlakuan tidak terpuji terhadap guru dan orangtua, perkelahian siswa antar sekolah, perlakuan sewenang-wenang antar siswa (Thalib, 2002). Perilaku agresi seperti tawuran, misalnya banyak terjadi di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan. Data yang ada di Jakarta misalnya (Bimmas Polri Metro Jaya), tahun 1992 tercatat 157 kasus perkelahian pelajar. Tahun 1994 meningkat menjadi 183 kasus dengan menewaskan 10 pelajar, tahun 1995 terdapat 194 kasus dengan korban meninggal 13 pelajar dan 2 anggota masyarakat lain. Tahun 1998 ada 230 kasus yang menewaskan 15 pelajar serta 2 anggota Polri, dan tahun berikutnya korban meningkat dengan 37 korban tewas. Terlihat dari tahun ke tahun jumlah perkelahian dan korban cenderung meningkat. Bahkan sering tercatat dalam satu hari terdapat sampai tiga perkelahian di tiga tempat sekaligus (Tambunan, 2001). Sedangkan berdasarkan survei nasional penyalahgunaan narkoba yang dilaksanakan oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) terhadap 13.710 responden yang terdiri dari pelajar SLTP, SLTA dan mahasiswa pada tahun 2003 diperoleh data bahwa dalam setahun terakhir terdapat 3,9% responden yang menyalahgunakan narkoba. Berbagai fenomena penyelesaian konflik melalui perilaku agresi yang dilakukan oleh remaja tersebut merupakan suatu bentuk perilaku agresi. Salah satu perilaku agresi yang marak terjadi pada remaja adalah perkelahian antar siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) yang seringkali menimbulkan korban, misalnya, di kota 3

Makassar dan Pemalang pada bulan September 2008. Selanjutnya, pada bulanbulan berikutnya tawuran terjadi di kota Kendari, Padang, dan Tasikmalaya. Pada awal tahun 2009, terjadi tawuran di Jakarta (www.liputan 6.com). Prilaku agresi juga terjadi di Sekolah Setia Bhakti yang bertepat di Tanggerang, prilaku agresi yang terjadi di sekolah ini yaitu perselisihan antar siswa dan perlakuan tidak terpuji terhadap guru yang menyebabkan pihak sekolah memberikan hukuman dengan memanggil orang tua siswa dan menyediakan bimbingan konseling bagi para siswa yang terlibat dalam prilaku agresi. Dalam perbedaan jenis kelamin, ditemukan bahwa laki-laki lebih berperilaku agresif daripada perempuan (Hidayat, 2004). Menurut teori biologi, hormon testosteron yang banyak pada laki-laki dianggap sebagai pembawa sifat agresif (Sarwono, dalam Hidayat 2004). Meskipun ada temuan yang konsisten bahwa laki-laki lebih agresif dari perempuan, tidak berarti agresi pada perempuan tidak ada (dikutip dari Krahe, 2005). Misalnya, sekarang ini di kalangan remaja perempuan banyak juga terjadi aksi agresi sebagai perwujudan tingkah laku agresi. Sebagai contoh, kasus ritual perpeloncoan oleh geng remaja Nero di Jawa Tengah, geng motor di Kalimantan Timur, aksi agresi remaja putri di Jawa Timur dan Kalimantan Tengah (www.liputan6.com). Harris menyatakan bahwa perilaku agresi pada remaja laki-laki lebih tinggi bila dibandingkan perilaku agresi pada remaja perempuan (Baron & Byrne, 2004). Hal ini sejalan dengan penyataan tokoh lain, misalnya Bailey (1988), Baron dan Byrne (2004), serta Maccoby dan Jacklin (Craig, 1992) yang menyatakan bahwa tingkat hormon testosteron yang tinggi pada laki-laki 4

memberikan pengaruh langsung pada perilaku agresif, sedangkan hormon estrogen yang dimiliki perempuan memberikan pengaruh langsung pada suasana hati (Bailey, 1988). Adanya perbedaan hormon laki-laki dan perempuan, dan deskripsi diri dari BEM Sex-Role Inventory bahwa, agresi lebih tinggi pada laki-laki daripada perempuan karena laki-laki mendeskripsikan diri mereka memiliki sifat agresif, kejam, kasar dan keras dibandingkan perempuan (Baron & Byrne (2004). Sementara Tieger (dikutip dalam Craig,1992) menyatakan bahwa laki-laki lebih agresif daripada perempuan tidak disebabkan karena hormon seks, tetapi lebih disebabkan sosialisasi peran gender. Sosialisasi terjadi pada lingkungan keluarga, dalam arti asuh orangtua turut berperan dalam pembentukan perilaku anak. Keluarga merupakan lingkungan pertama bagi individu melakukan kontak sosial. Lingkungan keluarga dengan suasana yang mendukung dapat membuat individu menjadi lebih sehat dan optimal dalam menjalani kehidupannya. Baumrind (dalam Zahra, 2005) menyatakan bahwa lingkungan keluarga memiliki peran besar untuk memberikan dukungan fisik dan emosional bagi perkembangan remaja. Dukungan sosial yang baik dari keluarga dapat menjadikan remaja lebih tangguh dalam menghadapi tantangan hidup sehari-hari. Penelitian menunjukkan bahwa remaja dipengaruhi oleh cara mereka dibesarkan oleh orang tua melalui representasi mental mereka terhadap tingkah laku orang tua. Dengan kata lain, remaja memiliki persepsi terhadap tingkah laku orangtua atas pola asuh yang dialaminya. Menurut Darling, Flaherty, dan Dwyer (2002), pola asuh orang tua dapat didefinisikan sebagai persepsi anak akan 5

tingkah laku orang tua terhadap mereka didasarkan pengalaman dan juga sejarah perkembangan pribadi. Berbagai penelitian yang dikutip oleh Blokland, Engels, dan Finkenauer (2006) menunjukkan bahwa remaja yang tidak dapat mengontrol emosi, lebih cenderung terlibat dalam agresi. Kemampuan remaja untuk mengontrol diri dipengaruhi oleh cara mereka dibesarkan oleh orang. Orang tua mempunyai pengaruh langsung terhadap tingkah laku anak dimana orang tua bertindak sebagai model dari tingkah laku sosial. Orang tua juga mengajarkan ketrampilan sosialisasi pada anak. Berk (2003) menyatakan bahwa pola asuh permissive juga menyebabkan remaja cenderung agresif dimana remaja memiliki kontrol diri yang rendah dan juga tidak memiliki aktvitas yang bertujuan. Dornbusch, et. al (dikutip dari Reaves, 2006) menyatakan bahwa pola asuh yang permissive menyebabkan anak cenderung agresif. Pola asuh uninvolved juga dapat menyebabkan anak remaja tidak dapat mengatur emosinya sendiri. Remaja menunjukkan tingkah laku agresif, kurangnya kemampuan bersosialisasi dan berhubungan dengan teman sebaya yang bermasalah. Hal ini dikarenakan orang tua dengan pola asuh uninvolved menyediakan sedikit waktu, perhatian dan komitmen emosional pada anak mereka (Positive Parenting Research, 2006). Baumrind & Black (dikutip dari Kreig, 2003) menyatakan bahwa persepsi pola asuh orang tua berhubungan dengan intensi agresi seorang anak. Anak yang mengalami pola asuh yang negatif lebih terlibat dalam agresi. 6

Hal ini didukung pernyataan Patten (dikutip oleh Kreig, 2003) bahwa persepsi pola asuh orang tua memberikan kontribusi terhadap intensi agresi remaja. Martin (dikutip oleh Reaves, 2006) menyatakan bahwa orang tua yang memiliki anak yang cenderung agresif merupakan orang tua yang menerapkan pola asuh authoritarian. Rubin, Burgess, Dwyer, & Hastings (dikutip oleh Runions & Keating, 2005), menyatakan bahwa pola asuh authoritarian dapat mengarah pada munculnya peningkatan agresi. Selain itu, Runions & Akan tetapi, pola asuh authoritative menyebabkan remaja memiliki kematangan sosial dan moral, dapat mengontrol diri. Selain itu remaja dari pola asuh authoritative dapat membina hubungan yang baik dengan teman sebayanya (Hetherington & Parke, 2003). Pola asuh authoritarian, menurut Keating (2005) merupakan penyebab utama atas tingkah laku bermasalah anak, salah satunya adalah kecenderungan agresi. Akan tetapi, Maccoby & Martin (dikutip dari Reaves, 2006) menyatakan bahwa anak yang memiliki orang tua authoritarian dapat berperilaku agresi dan kemungkinan kecil (tidak) memunculkan perilaku agresi. Berdasarkan pernyataan-pernyataan yang telah dikemukakan dapat dinyatakan bahwa persepsi pola asuh tertentu dapat menimbulkan intensi agresi yang berbeda-beda pada remaja. Pada masa remaja perkembangan emosi cenderung tidak stabil. Remaja yang tidak dapat mengontrol emosi, lebih cenderung terlibat dalam agresi. Kemampuan remaja untuk mengontrol diri dipengaruhi oleh cara mereka dibesarkan oleh orang tua. Kurangnya dukungan orang tua menimbulkan hasil yang bertentangan seperti maladjustment / 7

penyesuaian sosial yang kurang baik dan juga menimbulkan keinginan untuk bertindak agresif. Hal ini dapat disimpulkan penulis bahwa terdapat perbedaan pandangan dalam pola asuh terhadap munculnya perilaku agresif. Berdasarkan hal ini penulis tertarik untuk melakukan penelitian atas intensi agresi remaja berdasarkan pola asuh orangtua. B. Identifikasi Masalah Sebagaimana yang telah dipaparkan di latar belakang penelitian bahwa, masa remaja merupakan tahap yang dilalui oleh seorang individu sepanjang rentang kehidupannya. Menurut Papalia, Olds, dan Feldman (2001), pada masa ini merupakan tahap peralihan atau transisi dari masa kanak kanak menuju ke masa dewasa. Remaja dapat dibedakan dalam berbagai tahapan usia, yaitu dalam 3 tahap, yaitu remaja awal, remaja pertengahan dan remaja akhir. Remaja awal berkisar antara usia 12 15 tahun, remaja pertengahan antara 15 18 tahun, dan masa remaja akhir antara 18-21 tahun. Jadi, rentang usia yang tergolong sebagai remaja sekitar usia 12 sampai 21 tahun (Monks, Knoer & Haditono 2002). Remaja memiliki kecenderungan kurang dapat mengontrol emosi. Remaja yang mengalami hal ini lebih cenderung terlibat dalam perilaku agresi. Kemampuan remaja untuk mengontrol diri dipengaruhi oleh cara mereka dibesarkan oleh orang tua. Kurangnya dukungan orang tua akan menghasilkan 8

perilaku yang bertentangan seperti penyesuaian sosial yang kurang baik sehingga menimbulkan keinginan untuk bertindak agresif. Agresi didefinisikan sebagai tingkah laku yang tujuannya adalah menyakiti orang lain dimana orang tersebut tidak menginginkan untuk disakiti (Baron & Byrne, 2004). Berkowitz (1995) mengatakan bahwa perilaku agresi merupakan perilaku yang bertujuan untuk menyakiti baik secara fisik dan mental. Perilaku agresi merupakan bentuk khusus perilaku agresi yang bersifat aktual, yang secara fisik maupun verbal menimbulkan dampak negatif termasuk merusak, menyakiti, melukai, atau merugikan orang lain, atau obyek perilaku agresi (Wimbarti 1997 dalam Thalib, 2002). Faktor-faktor yang mempengaruhi munculnya intensi agresi seperti kemiskinan, tayangan media massa atau televisi dan pola asuh orang tua. Pola asuh orang tua terhadap remaja dapat memprediksikan munculnya intensi agresi. Pola asuh juga merupakan faktor yang penting terhadap perilaku anak dalam berinteraksi dengan lingkungan di luar keluarga (Basir, 2003). Persepsi merupakan komponen penting dalam mempengaruhi tingkah laku remaja. Persepsi remaja tentang kehidupan keluarga merupakan salah satu cara untuk mengetahui fungsi dalam keluarga. Fungsi keluarga merupakan acuan utama dalam mengembangkan kemampuan remaja dalam menghadapi tekanan sehari-hari (dikutip dari Alnajjar, 1996). Persepsi juga merupakan akibat dari proses psikologis dimana arti, hubungan, konteks, penilaian, pengalaman masa lalu dan memori memegang peranan penting. Persepsi melibatkan interpretasi dan pemberian arti terhadap apa 9

yang dirasakan oleh organ tubuh (Schiffman, 1996). Jadi, dapat disimpulkan bahwa persepsi merupakan proses yang melibatkan penerimaan dan pemrosesan informasi sensoris dalam membuat perkiraan, interpretasi dan juga keadaan di luar lingkungan. Persepsi pola asuh orang tua berbeda satu sama lain. Baumrind menyatakan bahwa remaja yang mempersepsikan orang tuanya sebagai orang tua yang bersifat responsive biasanya bersifat responsif, mendukung kepercayaan diri anak dengan cara bersifat hangat, terlibat dan menerima kebutuhan dan perasaan anak. Orang tua juga bersedia menjelaskan tingkah laku mereka ketika mereka memberikan batasan kepada anak (dikutip dari Blewitt & Broderick, 1999). Remaja yang mempersepsikan orang tuanya sebagai orang tua yang bersifat demanding biasanya membuat tuntutan terhadap anak dengan menekankan prestasi dan kedisiplinan. Orang tua juga membuat tuntutan pada anaknya dan memaksakan suatu peraturan (dikutip dari Blewitt & Broderick, 1999). Orang tua yang responsive dan demanding membentuk pola asuh authoritative. Orang tua yang responsive tetapi tidak demanding membentuk pola asuh permissive. Orang tua yang tidak responsive tetapi demanding membentuk pola asuh authoritarian. Orang tua yang tidak responsive dan tidak demanding membentuk pola asuh uninvolved (dikutip dari Blewitt & Broderick, 1999). Pola asuh authoritative mendorong remaja menjadi mandiri tetapi masih menempatkan batasan-batasan dan kontrol terhadap tingkah laku mereka (Santrock, 1998). Orang tua yang memiliki pola asuh authoritative terlibat dan mendukung tingkah 10

laku anak yang membangun. Selain itu, orang tua juga bersifat hangat dan mengkomunikasikan segala sesuatu dengan baik. (Hetherington & Parke, 2003). Orang tua yang memiliki pola asuh authoritarian menunjukkan sedikit keterlibatan yang positif, menunjukkan kemarahan dan mendisiplinkan anak dengan cara menghukum secara fisik (Hetherington & Parke, 2003). Pola asuh ini menuntut remaja mengikuti peraturan orang tua. Orang tua menempatkan batasan dan kontrol yang tegas pada remaja (Santrock, 1998). Orang tua yang memiliki pola asuh permissive memberikan kebebasan kepada remaja dan tidak mengontrol tingkah laku anaknya (Weiten & Lloyd, 2003). Selain itu, orang tua dengan pola asuh permissive tidak mendisiplinkan anak secara konsisten seperti mengabaikan dan menerima tingkah laku yang buruk (Hetherington & Parke, 2003). Pola asuh uninvolved menunjukkan sedikit ketertarikan pada anak mereka. Orang tua dengan pola asuh uninvolved menyediakan sedikit waktu, perhatian dan komitmen emosional pada anak mereka (Positive Parenting Research, 2006). Berdasarkan uraian di atas, penulis akan melakukan kajian untuk mengupas masalah adanya perbedaan intensi perilaku agresi remaja berdasarkan persepsi pola asuh orangtua. Untuk menjawab pertanyaan apakah terdapat perbedaan intensi agresi remaja berdasarkan persepsi pola asuh orangtua? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan tujuan 1. Untuk mendapatkan gambaran intensi agresi remaja 2. Untuk mendapatkan gambaran persepsi pola asuh orangtua 11

3. Untuk mengetahui adanya perbedaan intensi agresi remaja berdasarkan persepsi pola asuh orangtua D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoretis adalah untuk pengembangan teori dalam psikologi remaja, psikologi sosial dan psikologi keluarga. Secara khusus teori agresi, dan teori pola asuh orangtua. 2 Manfaat Praktis untuk menerapkan teori-teori yang ada di dalam penelitian sehingga bagi remaja, orangtua dan masyarakat pada umumnya dapat mengetahui penyebab atau sumber dari munculnya perilaku agresi pada remaja. Selain itu, penelitian ini memberikan wawasan bagi orangtua akan pentingnya dukungan dan perhatian dari mereka pada saat anak memasuki masa remaja. E. Kerangka Berfikir Remaja memiliki kecenderungan kurang dapat mengontrol emosi. Remaja yang mengalami hal ini lebih cenderung terlibat dalam perilaku agresi. Kemampuan remaja untuk mengontrol diri dipengaruhi oleh cara mereka dibesarkan oleh orang tua. Kurangnya dukungan orang tua akan menghasilkan perilaku yang bertentangan seperti penyesuaian sosial yang kurang baik sehingga menimbulkan keinginan untuk bertindak agresif. Menginjak usia remaja, anak akan lebih banyak menghabiskan waktu bersama teman-temannya. Sehingga dapat dikatakan, remaja akan menerima banyak pengaruh dari teman sebaya dan lingkungan sosialnya. Pada usia tersebut, 12

remaja juga mulai dituntut untuk lebih mandiri, memiliki kemampuan mengatasi permasalahan yang timbul serta menyesuaikan diri dengan aturan dan norma yang berlaku. Oleh karena itu, remaja akan membutuhkan ketrampilan sosial yang dapat membantunya beradaptasi dan berinteraksi dengan lingkungan sosialnya. Ketrampilan sosial ini diperoleh dari pola asuh orang tua. Selain itu pada masa remaja awal merupakan masa storm and stress dimana emosinya tidak stabil sehingga remaja mudah terpengaruh dengan lingkungan. Jadi asuh orang tua sangat penting agar remaja tidak terpengaruh halhal yang tidak baik dari lingkungan. Salah satunya adalah meningkatnya intensi agresi yang dapat mengarah ke perilaku agresif. Masa remaja dibagi menjadi tiga bagian yaitu masa remaja awal, pertengahan dan akhir. Pada masa remaja awal (12-15 tahun), individu mulai meninggalkan perannya sebagai anak-anak. Individu berusaha mengembangkan diri sebagai makhluk yang unik. Pada tahap ini ditandai adanya konformitas yang kuat dengan teman sebaya. Pada masa remaja pertengahan ( 15-18 tahun), teman sebaya masih memiliki peran yang penting. Remaja mulai belajar mengendalikan impulsivitas serta mulai berkembangnya kemampuan berpikir yang baru. Terakhir, pada masa remaja akhir ( 19-22 tahun) remaja mempersiapkan diri untuk memasuki peran-peran orang dewasa. Ditandai dengan adanya keinginan yang kuat untuk diterima dalam kelompok teman sebaya dan orang dewasa. Agresi yang dilakukan remaja dapat berupa fisik maupun verbal. Meskipun ada temuan-temuan konsisten bahwa laki-laki lebih agresif dibandingkan perempuan, tidak berarti agresi pada perempuan tidak ada. Laki-laki 13

lebih terlibat dalam agresi fisik sedangkan perempuan lebih terlibat dalam agresi verbal. Sebagian besar peneliti setuju bahwa agresi fisik lebih terjadi pada pria seperti memukul, menendang daripada perempuan. Mengasuh selama masa remaja merupakan suatu masa yang sulit. Hal itu dikarenakan masa remaja merupakan masa storm and stress. Selain itu pada masa remaja, remaja mencari identitas diri, remaja juga menjadi tidak bergantung pada orang tua. Konflik antara orang tua dan anak meningkat selama remaja. Konflik ini biasanya berfokus pada masalah kencan, dengan siapa remaja boleh bersama dan kemana mereka boleh pergi. Orang tua yang memiliki anak yang cenderung agresif merupakan orang tua yang menerapkan pola asuh authoritarian. Pola asuh authoritarian dapat mengarah pada munculnya peningkatan agresi. Selain itu, pola asuh authoritarian merupakan penyebab utama atas tingkah laku bermasalah anak, salah satunya adalah kecenderungan agresi. Berdasarkan pernyataan-pernyataan yang telah dikemukakan dapat dinyatakan bahwa persepsi pola asuh tertentu dapat menimbulkan intensi agresi yang berbeda-beda pada remaja awal. Pada masa remaja awal, perkembangan emosi cenderung tidak stabil. Remaja yang tidak dapat mengontrol emosi, lebih cenderung terlibat dalam agresi. Kemampuan remaja untuk mengontrol diri dipengaruhi oleh cara mereka dibesarkan oleh orang tua. Kurangnya dukungan orang tua menimbulkan hasil yang bertentangan seperti penyesuaian sosial yang kurang baik dan juga menimbulkan keinginan untuk bertindak agresif. 14

INTENSI AGRESI REMAJA POLA ASUH ORANGTUA Authoritharian Authoritive Permissive Uninvolved REMAJA: Perkembangan Fisik, Emosi dan Kognisi Gambar 1.1 Kerangka Berfikir 15