BAB II TINJAUAN PUSTAKA. khas, tumbuh di sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang

dokumen-dokumen yang mirip
TINJAUAN PUSTAKA. Kata mangrove diduga berasal dari bahasa Melayu manggi-manggi, yaitu

BAB I PENDAHULUAN. yaitu mendapatkan makanan, suhu yang tepat untuk hidup, atau mendapatkan

BAB I PENDAHULUAN. ekologis yaitu untuk melakukan pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara

TINJAUAN PUSTAKA. kestabilan pantai, penyerap polutan, habitat burung (Bismark, 1986). Kemampuan mangrove untuk mengembangkan wilayahnya ke arah laut

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Perkembangan Hutan Mangrove di Muara Kali Porong Tahun

BAB I PENDAHULUAN. atas pulau, dengan garis pantai sepanjang km. Luas laut Indonesia

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Kerusakan hutan mangrove di Indonesia, kini semakin merata ke berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Hutan mangrove adalah komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi

TINJAUAN PUSTAKA. Kata mangrove berasal dari bahasa Melayu manggi-manggi, yaitu nama

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia perkiraan luas mangrove sangat beragam, dengan luas

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kata mangrove diduga berasal dari bahasa Melayu manggi - manggi,

1. Pengantar A. Latar Belakang

VI. SIMPULAN DAN SARAN

TINJAUAN PUSTAKA. air laut dan didominasi oleh spesies pohon atau semak yang mampu tumbuh

BAB I PENDAHULUAN. Potensi wilayah pesisir dan laut Indonesia dipandang dari segi. pembangunan adalah sebagai berikut ; pertama, sumberdaya yang dapat

BAB I PENDAHULUAN. antara dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik mempunyai

PENDAHULUAN. terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia

Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang. berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur. Komunitas vegetasi ini

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. wilayah perbatasan antara daratan dan laut, oleh karena itu wilayah ini

Mangrove menurut Macnae (1968) merupakan perpaduan

BAB I PENDAHULUAN. tertentu dan luasan yang terbatas, 2) Peranan ekologis dari ekosistem hutan

SUMBERDAYA ALAM WILAYAH PESISIR

II. TINJAUAN PUSTAKA

PROPOSAL PENELITIAN PENYIAPAN PENYUSUNAN BAKU KERUSAKAN MANGROVE KEPULAUAN KARIMUNJAWA

BAB I PENDAHULUAN. batas pasang surut air disebut tumbuhan mangrove.

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dalam 3 zona berdasarkan perbedaan rona lingkungannya. Zona 1 merupakan

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi

TINJAUAN PUSTAKA. A. Mangrove. kemudian menjadi pelindung daratan dan gelombang laut yang besar. Sungai

TINJAUAN PUSTAKA. merupakan salah satu peran penting mangrove dalam pembentukan lahan baru. Akar mangrove mampu mengikat dan menstabilkan substrat

BAB I PENDAHULUAN. bantu yang mampu merangsang pembelajaran secara efektif dan efisien.

KAJIAN KONDISI, POTENSI DAN PENGEMBANGAN HUTAN MANGROVE DI KABUPATEN SERDANG BEDAGAI

TINJAUAN PUSTAKA. kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. pada iklim tropis dan sub tropis saja. Menurut Bengen (2002) hutan mangrove

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas

TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Ekosistem Mangrove

TINJAUAN PUSTAKA. pada daerah landai di muara sungai dan pesisir pantai yang dipengaruhi oleh

BAB I PENDAHULUAN. pantai sekitar Km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat potensial.

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem mangrove adalah suatu sistem yang terdiri atas berbagai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kata mangrove dilaporkan berasal dari kata mangal yang menunjukkan

Avicenia sp. ( Api-Api ) Rhizophora sp( Bakau ) Nypa sp. ( Nipah ) Bruguiera sp. ( Lacang ) Sonneratia sp. ( Pedada )

PENDAHULUAN. pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove,

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN CILACAP

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut.

Akhirnya, ucapan terima kasih disampaikan kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian laporan ini.

KAJIAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE DI TELUK YOUTEFA KOTA JAYAPURA ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhannya bertoleransi terhadap salinitas (Kusmana, 2003). Hutan mangrove

PENDAHULUAN BAB I Latar Belakang

I. Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh

4 KERUSAKAN EKOSISTEM

TINJUAN PUSTAKA. Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal

Struktur dan Komposisi Mangrove di Pulau Hoga Taman Nasional Wakatobi, Sulawesi Tenggara Jamili

PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAROS NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG PELESTARIAN, PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN HUTAN MANGROVE

PENDAHULUAN. banyak efek buruk bagi kehidupan dan lingkungan hidup manusia. Kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang khusus terdapat

PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia. Hutan

TINJAUAN PUSTAKA. A. Perencanaan Lanskap. berasal dari kata land dan scape yang artinya pada suatu lanskap terdapat

PENDAHULUAN. garis pantai sepanjang kilometer dan pulau. Wilayah pesisir

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan garis pantai sepanjang

BAB I PENDAHULUAN. berkaitan erat. Selain keunikannya, terdapat beragam fungsi yang dapat dihasilkan

TINJAUAN PUSTAKA. terpengaruh pasang surut air laut, dan didominasi oleh spesies pohon atau semak

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. kerusakan sehingga perlu dijaga kelestariannya. Hutan mangrove adalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

BAB I PENDAHULUAN. tempat dengan tempat lainnya. Sebagian warga setempat. kesejahteraan masyarakat sekitar saja tetapi juga meningkatkan perekonomian

TINJAUAN PUSTAKA. komunitas tumbuhannya bertoleransi terhadap kadar garam. Ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhan yang hidup di lingkungan yang khas seperti daerah pesisir.

PENDAHULUAN Latar Belakang

SERI BUKU INFORMASI DAN POTENSI MANGROVE TAMAN NASIONAL ALAS PURWO. Penyunting : Rudijanta Tjahja Nugraha. Penyusun : Dian Sulastini

BAB I PENDAHULUAN. yang tidak dapat pulih (seperti minyak bumi dan gas serta mineral atau bahan

BAB I PENDAHULUAN. ekosistem lamun, ekosistem mangrove, serta ekosistem terumbu karang. Diantara

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan

I. PENDAHULUAN. pantai yang mempunyai arti strategis karena merupakan wilayah terjadinya

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan mangrove sering kali disebut dengan hutan bakau. Akan tetapi sebenarnya

PENDAHULUAN. dan juga nursery ground. Mangrove juga berfungsi sebagai tempat penampung

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2016 TENTANG BATAS SEMPADAN PANTAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 33 ayat (2)

ANALISIS VEGETASI DAN STRUKTUR KOMUNITAS MANGROVE DI TELUK BENOA-BALI. Dwi Budi Wiyanto 1 dan Elok Faiqoh 2.

BAB I PENDAHULUAN. luar biasa ini memberikan tanggung jawab yang besar bagi warga Indonesia untuk

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian. Kabupaten Gorontalo Utara merupakan wilayah administrasi yang

TINJAUAN PUSTAKA. Ekosistem mangrove adalah ekosistem yang unik karena terjadi perpaduan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. secara tradisional oleh suku bangsa primitif. Secara terminologi, etnobotani

GUBERNUR SULAWESI BARAT

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Hutan mangrove desa Margasari memiliki luas 700 ha dengan ketebalan hutan

BAB I PENDAHULUAN. baik bagi pesisir/daratan maupun lautan. Selain berfungsi secara ekologis,

EKOSISTEM LAUT DANGKAL EKOSISTEM LAUT DANGKAL

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Mangrove Hutan mangrove merupakan tipe hutan tropika dan subtropika yang khas, tumbuh di sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Mangrove banyak di jumpai di wilayah pesisir yang terlindung dari gempuran ombak dan daerah yang landai. Mangrove tumbuh optimal di wilayah pesisir yang memiliki muara sungai besar dan delta yang aliran airnya banyak mengandung lumpur. Sedangkan di wilayah pesisir yang tidak bermuara sungai, pertumbuhan vegetasi mangrove tidak optimal. Mangrove sulit tumbuh di wilayah pesisir yang terjal dan berombak besar dengan arus pasang surut kuat, karena kondisi ini tidak memungkinkan terjadinya pengendapan lumpur yang diperlukan sebagai substrat bagi pertumbuhannya (Dahuri, 2003). Ekosistem mangrove adalah suatu sistem di alam tempat berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya dan di antara makhluk hidup itu sendiri, terdapat pada wilayah pesisir, terpengaruh pasang surut air laut dan didominasi oleh spesies pohon atau semak yang khas dan mampu tumbuh dalam perairan asin/payau (Santoso, 2000). Hutan mangrove meliputi pohon-pohon dan semak yang tergolong ke dalam 8 (delapan) famili, dan terdiri atas 12 (dua belas) genera tumbuhan berbunga yaitu Avicennia, Sonneratia, Rhyzophora, bruguiera, Ceriops,

Xylocarpus, Lumnitzera, Languncularia, Aegiceras, Aegiatilis, Snaeda, dan Conocarpus (Bengen, 2002). 2.2 Fungsi Ekologis Hutan Mangrove Mangrove merupakan salah satu ekosistem yang mempunyai peranan penting dalam upaya pemanfataan berkelanjutan sumberdaya pesisir dan laut, yang memiliki fungsi penting sebagai penyambung ekologi darat dan laut, serta gejala alam yang ditimbulkan oleh perairan, seperti abrasi, gelombang dan badai. Disamping itu juga merupakan penyangga kehidupan sumberdaya ikan, karena ekosistem mangrove merupakan daerah pemijahan (spawning ground), daerah asuhan (nursery ground) dan daerah mencari makan (feeding ground) (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2009). Ujung Kulon Conservation Society (2010) menyebutkan beberapa fungsi hutan mangrove secara ekologis, diantaranya fungsi fisik dan fungsi biologis. Fungsi fisik, menjaga garis pantai agar tetap stabil, melindungi pantai dari erosi (abrasi) dan intrusi air laut, peredam gelombang dan badai, penahan lumpur, penangkap sedimen, pengendali banjir, mengolah bahan limbah, penghasil detritus, memelihara kualitas air, penyerap CO 2 dan penghasil O 2. Fungsi ekologis mangrove menurut Dahuri et al. (1996) dalam Azis (2006) adalah sebagi berikut: a) Dalam ekosistem hutan mangrove terjadi mekanisme hubungan antara ekosistem mangrove dengan jenis-jenis ekosistem lainnya seperti padang lamun dan terumbu karang.

b) Dengan sistem perakaran yang kokoh ekosistem hutan mangrove memiliki kemampuan meredam gelombang, menahan lumpur dan melindungi pantai dari abrasi, gelombang pasang dan topan. c) Sebagai pengendalian banjir, hutan mangrove yang banyak tumbuh di daerah estuaria juga dapat berfungsi untuk mengurangi bencana banjir. d) Hutan mangrove dapat berfungsi sebagai penyerap bahan pencemar (environmental service), khususnya bahan-bahan organik. e) Sebagai penghasil bahan organik yang merupakan mata rantai utama dalam jaring-jaring makanan di ekosistem pesisir, serasah mangrove yang jatuh dan gugur ke dalam air akan menjadi substrat yang baik bagi bakteri dan sekaligus berfungsi membantu proses daun-daun tersebut menjadi detritus. Selanjutnya detritus menjadi bahan makanan bagi hewan pemakan, seperti cacing, udangudang kecil dan akhirnya hewan-hewan ini akan menjadi makanan larva ikan, udang, kepiting dan hewan lainnya. f) Merupakan daerah asuhan (nursery ground) hewan-hewan muda (juvenile stage) yang akan bertumbuh kembang menjadi hewan-hewan dewasa dan juga merupakan daerah pemijahan (spawning ground) beberapa perairan seperti udang, ikan dan kerang-kerangan. Fungsi dan manfaat mangrove telah banyak diketahui, baik sebagai tempat pemijahan ikan di perairan, pelindung daratan dari abrasi oleh ombak, pelindung daratan dari tiupan angin, penyaring intrusi air laut ke daratan dan kandungan logam berat yang berbahaya bagi kehidupan, tempat singgah migrasi burung, dan sebagai

habitat satwa liar serta manfaat langsung lainnya bagi manusia. Musibah gempa dan ombak besar tsunami yang melanda Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Pulau Nias akhir tahun 2004 yang lalu telah mengingatkan kembali betapa pentingnya mangrove dan hutan pantai bagi perlindungan pantai. Berdasarkan karakteristik wilayahnya, pantai di sekitar kota Padang pun masih merupakan alur yang sama sebagai alur rawan gempa tsunami. Dilaporkan bahwa pada wilayah yang memiliki mangrove dan hutan pantai relatif baik, cenderung kurang terkena dampak gelombang tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketebalan mangrove selebar 200 m dengan kerapatan 30 pohon/100 m 2 dengan diameter batang 15 cm dapat meredam sekitar 50% energi gelombang tsunami (Harada dan Fumihiko, 2003 dalam Diposaptono, 2005). Gelombang laut setinggi 1,09 m di Teluk Grajagan, Banyuwangi dengan energi gelombang sebesar 1.493,33 Joule tereduksi gelombangnya oleh hutan mangrove menjadi 0,73 m (Pratikno, 2002). Mangrove juga memiliki fungsi ekologis sebagai habitat berbagai jenis satwa liar. Keanekaragaman fauna di hutan mangrove cukup tinggi, secara garis besar dapat dibagi dua kelompok, yaitu fauna akuatik seperti ikan, udang, kerang, dan lainnya serta kelompok terestrial seperti insekta, reptilia, amphibia, mamalia, dan burung (Nirarita et al., 996). Gunawan (1995) menemukan 12 jenis satwa melata dan amphibia, 3 jenis mamalia, dan 53 jenis burung di hutan mangrove Arakan Wawontulap dan Pulau Mantehage di Sulawesi Utara. Hasil survey Tim ADB dan Pemerintah Indonesia (1992) menemukan 42 jenis burung yang berasosiasi dengan

hutan mangrove di Sulawesi. Di Pulau Jawa tercatat 167 jenis burung dijumpai di hutan mangrove, baik yang menetap maupun migran (Nirarita, 1996). Kalong (Pteropus vampyrus), monyet (Macaca fascicularis), lutung (Presbytis cristatus), bekantan (Nasalis larvatus), kucing bakau (Felis viverrina), luwak (Paradoxurus hermaphroditus), dan garangan (Herpetes javanicus) juga menyukai hutan mangrove sebagai habitatnya (Nontji, 1987). Beberapa jenis reptilia yang hidup di hutan bakau antara lain biawak (Varanus salvator), ular belang (Boiga dendrophila), ular sanca (Phyton reticulatus),dan jenis-jenis ular air seperti Cerbera rhynchops, Archrochordus granulatus, Homalopsis buccata, dan Fordonia leucobalia. Dua jenis katak yang dapat ditemukan di hutan mangrove adalah Rana cancrivoradan R. limnocharis(nirarita, 1996). Hutan mangrove juga sebagai habitat beberapa jenis burung yang dilindungi seperti pecuk ular (Anhinga anhinga melanogaster), bintayung (Freagata andrewsi), kuntul perak kecil (Egretta garzetta), kowak merah (Nycticorax caledonicus), bangau tongtong (Leptoptilos javanicus), ibis hitam (Plegadis falcinellus), bangau hitam (Ciconia episcopus), burung duit (Vanellus indicus), trinil tutul (Tringa guitifer), blekek asia (Limnodromus semipalmatus), gajah besar (Numenius arquata), dan trulek lidi (Himantopus himantopus) (Sutedja dan Indrabrata, 1992). Jenis-jenis burung Egretta eulophotes, kuntul perak (E. intermedia), kuntul putih besar (E. alba), bluwok (Ibis cinereus), dan cangak laut (Ardea sumatrana) juga mencari makan di dekat hutan mangrove (Whitten, 1988).

2.3 Tipe Vegetasi Mangrove Komunitas mangrove di Indonesia pada dasarnya terdiri atas paling sedikit 47 jenis pohon, 5 jenis semak, 9 jenis herba/rumput, 9 jenis liana, 29 jenis epifit dan 2 jenis parasit (Yayasan Mangrove, 1993). Menurut Sukardjo (1996), di Indonesia terdapat 75 jenis tumbuhan mangrove, sehingga Indonesia termasuk pula sebagai wakil pusat geografi beberapa marga mangrove, Rhizophora, Bruguiera, Avicennia, Ceriops, dan Lumnitzera. Meskipun demikian tidak semua jenis mangrove tersebut ada pada setiap tipe komunitas mangrove, menyatakan bahwa mangrove di Indonesia dikenal mempunyai keragaman jenis yang tinggi,seluruhnya tercatat sebanyak 89 jenis tumbuhan, 35 jenis diantaranya berupa pohon dan selebihnya berupa terna (5 jenis), perdu (9 jenis), liana (9 jenis), epifit (29 jenis) dan parasit (2 jenis). Menurut Noor et al.,(1999), tipe vegetasi mangrove terbagi atas empat bagian antara lain : a) Mangrove terbuka, mangrove berada pada bagian yang berhadapan dengan laut. b) Mangrove tengah, mangrove yang berada di belakang mangrove zona terbuka. c) Mangrove payau, mangrove yang berada disepanjang sungai berair payau hingga air tawar. d) Mangrove daratan, mangrove berada di zona perairan payau atau hampir tawar di belakang jalur hijau mangrove yang sebenarnya. 2.4 Zonasi Penyebaran Mangrove

Jika diperhatikan di daerah yang makin mengarah ke darat dari laut terdapat zonasi penguasaan oleh jenis-jenis mangrove yang berbeda. Dari arah laut menuju ke daratan terdapat pergantian jenis mangrove yang secara dominan menguasai masingmasing habitat zonasinya. Mangrove yang kondisinya buruk karena terganggu, atau berada pada derah pantai yang sempit, tidak menunjukkan keteraturan dalam pembagian jenis pohon dan zonasi di sepanjang pantai. Fenomena zonasi ini belum sepenuhnya dipahami dengan jelas. Faktor-faktor yang mempengaruhi pembagian zonasi terkait dengan respons jenis tanaman terhadap salinitas, pasang-surut dan keadaan tanah. Kondisi tanah mempunyai kontribusi besar dalam membentuk zonasi penyebaran tanaman dan hewan seperti perbedaan spesies kepiting pada kondisi tanah yang berbeda. Api-api dan pedada tumbuh sesuai di zona berpasir, mangrove cocok di tanah lembek berlumpur dan kaya humus sedangkan jenis tancang menyukai tanah lempung dengan sedikit bahan organik. Keadaan morfologi tanaman, daya apung dan cara penyebaran bibitnya serta persaingan antar spesies, merupakan faktor lain dalam penentuan zonasi ini. Formasi hutan mangrove yang terbentuk di kawasan mangrove biasanya didahului oleh jenis pohon pedada dan api-api sebagai pionir yang memagari daratan dari kondisi laut dan angin. Jenis-jenis ini mampu hidup di tempat yang biasa terendam air waktu pasang karena mempunyai akar pasak. Pada daerah berikutnya yang lebih mengarah ke daratan banyak ditumbuhi jenis bakau (Rhizophora sp). Daerah ini tidak selalu terendam air. Pohon tancang tumbuh di daerah berikutnya

makin menjauhi laut, ke arah daratan. Daerah ini tanahnya agak keras karena hanya sesekali terendam air yaitu pada saat pasang yang besar dan permukaan laut lebih tinggi dari biasanya. Gambar.2.1 Zonasi penyebaran jenis pohon mangrove. Onrizal, 2007. 2.5 Kondisi Fisik Ekosistem Hutan Mangrove Vegetasi mangrove secara khas memperlihatkan adanya pola zonasi. Beberapa ahli (seperti Chapman, 1977 & Bunt & Williams, 1981) menyatakan bahwa hal tersebut berkaitan erat dengan tipe tanah (lumpur, pasir atau gambut), keterbukaan (terhadap hempasan gelombang), salinitas serta pengaruh pasang surut. Sebagian besar jenis-jenis mangrove tumbuh dengan baik pada tanah berlumpur,terutama di daerah dimana endapan lumpur terakumulasi (Chapman, 1977). Di Indonesia, substrat berlumpur ini sangat baik untuk tegakan Rhizophora mucronata and Avicennia marina (Kint, 1934). Jenis-jenis lain seperti Rhizopora stylosa tumbuh dengan baik pada substrat berpasir, bahkan pada pulau karang yang memiliki substrat berupa pecahan karang, kerang dan bagian-bagian dari Halimeda

(Ding Hou, 1958). Kint (1934) melaporkan bahwa di Indonesia, R. stylosa dan Sonneratia alba tumbuh pada pantai yang berpasir, atau bahkan pada pantai berbatu. Pada kondisi tertentu, mangrove dapat juga tumbuh pada daerah pantai bergambut, misalnya di Florida, Amerika Serikat (Chapman, 1976a). Di Indonesia, kondisi ini ditemukan di utara Teluk Bone dan di sepanjang Larian Lumu, Sulawesi Selatan, dimana mangrove tumbuh pada gambut dalam (>3m) yang bercampur dengan lapisan pasir dangkal (0,5 m) (Giesen, dkk, 1991). Substrat mangrove berupa tanah dengan kandungan bahan organik yang tinggi (62%) juga dilaporkan ditemukan di Kepulauan Seribu, Teluk Jakarta (Hardjowigeno, 1989). Kondisi salinitas sangat mempengaruhi komposisi mangrove. Berbagai jenis mangrove mengatasi kadar salinitas dengan cara yang berbeda-beda. Beberapa diantaranya secara selektif mampu menghindari penyerapan garam dari media tumbuhnya, sementara beberapa jenis yang lainnya mampu mengeluarkan garam dari kelenjar khusus pada daunnya. Avicennia merupakan marga yang memiliki kemampuan toleransi terhadap kisaran salinitas yang luas dibandingkan dengan marga lainnya. A. marina mampu tumbuh dengan baik pada salinitas yang mendekati tawar sampai dengan 90 o / oo (MacNae, 1966;1968). Pada salinitas ekstrim, pohon tumbuh kerdil dan kemampuan menghasilkan buah hilang. Jenis-jenis Sonneratia umumnya ditemui hidup di daerah dengan salinitas tanah mendekati salinitas air laut, kecuali S. caseolaris yang tumbuh pada salinitas kurang dari 10 o / oo. Beberapa jenis lain juga dapat tumbuh pada salinitas tinggi seperti Aegiceras corniculatum pada salinitas 20 40 o / oo, Rhizopora

mucronata dan R. Stylosa pada salinitas 55 o / oo, Ceriops tagal pada salinitas 60 o / oo dan pada kondisi ekstrim ini tumbuh kerdil, bahkan Lumnitzera racemosa dapat tumbuh sampai salinitas 90 o / oo (Chapman, 1976a). Jenis-jenis Bruguiera umumnya tumbuh pada daerah dengan salinitas di bawah 25 o / oo. MacNae (1968) menyebutkan bahwa kadar salinitas optimum untuk B. parviflora adalah 20 o / oo, sementara B. gymnorrhiza adalah 10 25 o / oo. Zona vegetasi mangrove nampaknya berkaitan erat dengan pasang surut. Beberapa penulis melaporkan adanya korelasi antara zonasi mangrove dengan tinggi rendahnya pasang surut dan frekuensi banjir (van Steenis, 1958 & Chapman, 1978a). Di Indonesia, areal yang selalu digenangi walaupun pada saat pasang rendah umumnya didominasi oleh Avicennia alba atau Sonneratia alba. Areal yang digenangi oleh pasang sedang didominasi oleh jenis-jenis Rhizophora. Adapun areal yang digenangi hanya pada saat pasang tinggi, yang mana areal ini lebih ke daratan, umumnya didominasi oleh jenisjenis Bruguiera dan Xylocarpus granatum, sedangkan areal yang digenangi hanya pada saat pasang tertinggi (hanya beberapa hari dalam sebulan) umumnya didominasi oleh Bruguiera sexangula dan Lumnitzera littorea. Pada umumnya, lebar zona mangrove jarang melebihi 4 kilometer, kecuali pada beberapa estuari serta teluk yang dangkal dan tertutup. Pada daerah seperti ini lebar zona mangrove dapat mencapai 18 kilometer seperti di Sungai Sembilang, Sumatera Selatan (Danielsen & Verheugt, 1990) atau bahkan lebih dari 30 kilometer seperti di Teluk Bintuni, Irian Jaya (Erftemeijer, dkk, 1989). Adapun pada daerah pantai yang tererosi dan curam, lebar zona mangrove jarang melebihi 50 meter.

Untuk daerah di sepanjang sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut, panjang hamparan mangrove kadang-kadang mencapai puluhan kilometer seperti di Sungai Barito, Kalimantan Selatan. Panjang hamparan ini bergantung pada intrusi air laut yang sangat dipengaruhi oleh tinggi rendahnya pasang surut, pemasukan dan pengeluaran material kedalam dan dari sungai, serta kecuramannya. 2.6 Pengelolaan Ekosistem Mangrove Pengelolaan sumberdaya alam adalah upaya manusia dalam mengubah sumberdaya alam agar diperoleh manfaat yang maksimal dengan mengutamakan kontinuitas produksi (Soerianegara, 1977 dalam Harahap 2001). Davis (1960) dalam Harahap (2001) menyatakan bahwa tujuan utama pengelolaan hutan, termasuk hutan mangrove adalah untuk mempertahankan produktivitas lahan hutan sehingga kelestarian hasil merupakan tujuan utama pengelolaan hutan. Kelestarian produktivitas mempunyai dua arti, yaitu kesinambungan pertumbuhan dan kesinambungan hasil panen. Menurut Bengen (2001) dalam Haikal (2008), menyebutkan bahwa pelestarian hutan mangrove merupakan suatu unit usaha yang kompleks untuk dilaksanakan karena kegiatan tersebut sangat membutuhkan sifat akomodatif terhadap pihak-pihak terkait baik yang berbeda di sekitar maupun di luar kawasan. Kegiatan pelestarian mangrove pada dasarnya dilakukan demi memenuhi kebutuhan dari berbagai kepentingan. Sifat akomodatif tersebut akan lebih dirasakan manfaatnya bila keberpihakan pada institusi yang rentan terhadap sumberdaya mangrove, diberikan

porsi yang lebih besar. Untuk itu yang perlu diperhatikan adalah menjadikan penduduk sebagai komponen penggerak pelestarian hutan mangrove.