ESTIMASI DEBIT PUNCAK UNTUK IDENTIFIKASI POTENSI BANJIR PADA DAS JANGKOK MENGGUNAKAN PENGINDERAAN JAUH DAN SIG

dokumen-dokumen yang mirip
ABSTRAK PENDAHULUAN. Desi Etika Sari 1, Sigit Heru Murti 2 1 D3 PJ dan SIG Fakultas Geografi UGM.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Gambar 1. Peta DAS penelitian

DAERAH ALIRAN SUNGAI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10

BAB I PENDAHULUAN. secara topografik dibatasi oleh igir-igir pegunungan yang menampung dan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Perumusan Masalah

PENGARUH PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN TERHADAP DEBIT PUNCAK PADA SUBDAS BEDOG DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA. R. Muhammad Isa

PEMANFAATAN CITRA ASTER DIGITAL UNTUK ESTIMASI DAN PEMETAAN EROSI TANAH DI DAERAH ALIRAN SUNGAI OYO. Risma Fadhilla Arsy

Sungai dan Daerah Aliran Sungai

ANALISIS LIMPASAN PERMUKAAN (RUNOFF) PADA SUB-SUB DAS RIAM KIWA MENGGUNAKAN METODE COOK

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I-1

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Perkiraan Koefisien Pengaliran Pada Bagian Hulu DAS Sekayam Berdasarkan Data Debit Aliran

1. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil analisis mengenai dampak perubahan penggunaan lahan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

III. METODE PENELITIAN. Lokasi penelitian ini adalah di saluran Ramanuju Hilir, Kecamatan Kotabumi, Kabupaten Lampung Utara, Provinsi Lampung.

PENDAHULUAN. tempat air hujan menjadi aliran permukaan dan menjadi aliran sungai yang

BAB III METODA ANALISIS. desa. Jumlah desa di setiap kecamatan berkisar antara 6 hingga 13 desa.

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P. 39/Menhut-II/2009,

Faktor penyebab banjir oleh Sutopo (1999) dalam Ramdan (2004) dibedakan menjadi persoalan banjir yang ditimbulkan oleh kondisi dan peristiwa alam

Gambar 3.1 Peta lokasi penelitian Sub DAS Cikapundung

BAB III METODOLOGI 3.1 METODE ANALISIS DAN PENGOLAHAN DATA

Paramukti Murwibowo Totok Gunawan

PEMBUATAN PETA TINGKAT KERAWANAN BANJIR SEBAGAI SALAH SATU UPAYA MENGURANGI TINGKAT KERUGIAN AKIBAT BENCANA BANJIR 1 Oleh : Rahardyan Nugroho Adi 2

STUDI PERBANDINGAN ANTARA HIDROGRAF SCS (SOIL CONSERVATION SERVICE) DAN METODE RASIONAL PADA DAS TIKALA

dalam ilmu Geographic Information (Geomatics) menjadi dua teknologi yang

I. PENDAHULUAN. angin bertiup dari arah Utara Barat Laut dan membawa banyak uap air dan

Surface Runoff Flow Kuliah -3

III. METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. penduduk akan berdampak secara spasial (keruangan). Menurut Yunus (2005),

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Aliran Sungai

3 METODE PENELITIAN. Tempat dan Waktu Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki dua musim yaitu musim kemarau dan musim penghujan. Kedua musim ini berpotensi menimbulkan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

Kata Kunci : Kerentanan, Banjir, Geoekosistem

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB III METODE PENELITIAN

METODE PENELITIAN Lokasi dan waktu Bahan dan Alat

Oleh : PUSPITAHATI,STP,MP Dosen Fakultas Pertanian UNSRI (2002 s/d sekarang) Mahasiswa S3 PascaSarjana UNSRI (2013 s/d...)

BAB V ANALISA DATA. Analisa Data

DAFTAR ISI. Halaman Judul... Halaman Persetujuan... Kata Pengantar... Daftar Isi... Daftar Tabel... Daftar Gambar... Daftar Peta... Daftar Lampiran...

SKRIPSI. Oleh : MUHAMMAD TAUFIQ

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karakteristik Hujan

BIOFISIK DAS. LIMPASAN PERMUKAAN dan SUNGAI

Kartika Pratiwi Sigit Heru Murti B.S.

KONSEP PENGEMBANGAN SUMUR RESAPAN DI KAMPUNG HIJAU KELURAHAN TLOGOMAS KOTA MALANG

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA...

Tahun Penelitian 2005

TUGAS AKHIR Perencanaan Pengendalian Banjir Kali Kemuning Kota Sampang

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 TINJAUAN UMUM SUB-DAS CITARIK

SKRIPSI PEMODELAN SPASIAL UNTUK IDENTIFIKASI BANJIR GENANGAN DI WILAYAH KOTA SURAKARTA DENGAN PENDEKATAN METODE RASIONAL (RATIONAL RUNOFF METHOD)

ESTIMASI POTENSI LIMPASAN PERMUKAAN MENGGUNAKAN PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DI DAERAH ALIRAN SUNGAI SERANG

BAB I PENDAHULUAN. terus-menerus dari hulu (sumber) menuju hilir (muara). Sungai merupakan salah

Penelitian Untuk Skripsi S-1 Program Studi Geografi. Diajukan Oleh : Mousafi Juniasandi Rukmana E

PENDUGAAN PARAMETER UPTAKE ROOT MENGGUNAKAN MODEL TANGKI. Oleh : FIRDAUS NURHAYATI F

BAB IV METODOLOGI. Gambar 4.1 Flow Chart Rencana Kerja Tugas Akhir

ANALISIS KELEMBABAN TANAH PERMUKAAN MELALUI CITRA LANDSAT 7 ETM+ DI WILAYAH DATARAN KABUPATEN PURWOREJO

PENGEMBANGAN KONSERVASI LAHAN TERHADAP EROSI PARIT/JURANG (GULLY EROSION) PADA SUB DAS LESTI DI KABUPATEN MALANG

III. FENOMENA ALIRAN SUNGAI

BAB III METODA ANALISIS. Wilayah Sungai Dodokan memiliki Daerah Aliran Sungai (DAS) Dodokan seluas

BAB V PEMBAHASAN. menentukan tingkat kemantapan suatu lereng dengan membuat model pada

PERSYARATAN JARINGAN DRAINASE

Aplikasi Teknik Penginderaan Jauh Untuk Mengkaji Pengaruh Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap Debit Puncak Di Sub DAS Garang ( Kreo Basin ) Semarang

TATA CARA PEMBUATAN RENCANA INDUK DRAINASE PERKOTAAN

TINJAUAN PUSTAKA Siklus Hidrologi

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Interpretasi Citra Landsat Tahun 1990, 2001 dan 2010 Interpretasi citra landsat dilakukan dengan melihat karakteristik

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Berikut ini beberapa pengertian yang berkaitan dengan judul yang diangkat oleh

BAB II KAJIAN PUSTAKA

Perencanaan Penanggulangan Banjir Akibat Luapan Sungai Petung, Kota Pasuruan, Jawa Timur

BAB I PENDAHULUAN. penghujan mempunyai curah hujan yang relatif cukup tinggi, dan seringkali

ANALISA BATAS DAERAH ALIRAN SUNGAI DARI DATA ASTER GDEM TERHADAP DATA BPDAS (STUDI KASUS : SUB DAS BUNGBUNTU DAS TAROKAM)

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

APLIKASI PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK PEMETAAN DAERAH RAWAN BANJIR DI KOTA MALANG

ANALISIS KOEFISIEN ALIRAN PERMUKAAN DENGAN MENGGUNAKAN METODE BRANSBY-WILLIAMS DI SUB DAERAH ALIRAN SUNGAI BABURA PROVINSI SUMATERA UTARA

BAB II STUDI PUSTAKA

KAJIAN HUBUNGAN SIFAT HUJAN DENGAN ALIRAN LANGSUNG DI SUB DAS TAPAN KARANGANYAR JAWA TENGAH :

BAB II TEORI DASAR. 2.1 Hidrologi

BAB V ANALISIS HIDROLIKA DAN PERHITUNGANNYA

Bab V Analisa dan Diskusi

ANALISIS DEBIT BANJIR SUNGAI TONDANO MENGGUNAKAN METODE HSS GAMA I DAN HSS LIMANTARA

Gambar 4.15 Kenampakan Satuan Dataran Aluvial. Foto menghadap selatan.

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Banjir 2.2 Tipologi Kawasan Rawan Banjir

KAJIAN KAWASAN RAWAN BANJIR DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI DI DAS TAMALATE

III. METODE PENELITIAN. Lokasi penelitian ini adalah di saluran drainase Antasari, Kecamatan. Sukarame, kota Bandar Lampung, Provinsi Lampung.

METODOLOGI Tinjauan Umum 3. BAB 3

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Tinjauan Umum 1.2 Latar Belakang

III. METODOLOGI PENELITIAN

Transkripsi:

ESTIMASI DEBIT PUNCAK UNTUK IDENTIFIKASI POTENSI BANJIR PADA DAS JANGKOK MENGGUNAKAN PENGINDERAAN JAUH DAN SIG Sigit Heru Murti B.S 1, Ach. Firyal Wijdani 1, Aisya Jaya D 1, Andika Putri F 1*, Assyria Fahsya U 1, Dian Prabantoro 1, Dzimar A.R.P 1, Nila Ratnasari 1 1 Prodi Kartografi dan Penginderaan Jauh, Fakultas Geografi UGM, Sekip Utara, Sleman, Yogyakarta 55281 Email: sigit@geo.ugm.ac.id, firyalwijdani@gmail.com, aisyadhannahisvara2206@gmail.com, andika.putri.f@mail.ugm.ac.id, afumela@gmail.com, dian.prabantoro3@gmail.com, dzimar.akbarur.r@mail.ugm.ac.id, nila.ratnasari@mail.ugm.ac.id *Corresponding author: andika.putri.f@mail.ugm.ac.id ABSTRAK Banjir merupakan permasalahan utama yang terjadi pada beberapa DAS di Indonesia, termasuk DAS Jangkok di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Untuk mengatasi permasalahan bajir di DAS Jangkok diperlukan upaya untuk mengetahui besarnya debit puncak yang terjadi pada musim penghujan, sebagai langkah awal dalam mengantisipasi datangnya bencana banjir. Namun sayangnya sampai saat ini tidak tersedia data debit puncak untuk DAS Jangkok, sehingga diperlukan upaya untuk menghitung besarnya debit puncak yang berpotensi terjadi di DAS tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengestimasi besarnya debit puncak DAS Jangkok memanfaatkan citra penginderaan jauh dengan metode Cook pada tahun 2015. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah : citra penginderaan jauh yang digunakan dalam penelitian ini adalah Citra Landsat 8 OLI yang direkam bulan Mei 2014, Peta Rupabumi Indonesia, Peta Tanah Tinjau, Peta Jalan dan Peta Sungai/Batas Das. Untuk mendapatkan hasil yang valid, dilakukan kegiatan survei lapangan pada bulan Mei 2015 pada 4 titik sampel pengukuran lapangan yang ditentukan berdasarkan metode sampel bersyarat. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa besarnya debit puncak DAS Jangkok pada kondisi hujan maksimum di musim penghujan mencapai 494,38 m 3 /detik. Besarnya daya tampung Sungai Jangkok (kapasitas maksimum saluran) berdasarkan perhitungan menggunakan metode Manning adalah 390,29 m 2 /detik. Berdasarkan kedua data tersebut, terdapat potensi banjir yang meluap dari Sungai Jangkok dengan debit sebesar 104,07 m 3 /detik. Jumlah debit luapan Sungai Jangkok tersebut termasuk kategori besar, sehingga potensi banjir di DAS Jangkok termasuk tinggi. KATA KUNCI: Citra Landsat 8 OLI, debit puncak, DAS Jangkok, Metode Cook, Metode Manning 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan utama di sebagaian besar DAS di Indonesia adalah banjir yang secara rutin terjadi pada musim penghujan. Ditinjau dari penyebabnya, peristiwa banjir tersebut banyak disebabkan oleh : (a) alih fungsi lahan dan pemanfaatan lahan yang tidak tepat, (b) penurunan kualitas dan daya dukung DAS, dan (c) perubahan pola hujan. Disamping itu, karakteristik DAS juga sangat menentukan besarnya potensi banjir dalam DAS tersebut. Salah satu parameter dalam karakteristik DAS yang mempengaruhi terjadinya banjir adalah morfometri saluran yang berupa lebar dan kedalaman sungai. Setiap DAS memiliki lebar dan kedalaman sungai utama yang berbeda beda. Lebar dan kedalaman sungai utama berkaitan dengan seberapa besar kapasitas sungai tersebut mampu menampung air pada kondisi debit maksimum Debit puncak akan terakumulasi pada outlet sungai yang merupakan akhir dari percabangan sungai. Untuk mengantisipasi bencana banjir, diperlukan informasi besarnya debit puncak yang dapat terjadi dalam suatu DAS serta besarnyadaya tampung sungai dalam DAS tersebut. Perhitungan debit puncak secara langsung di lapangan merupakan pekerjaan yang berat, terutama untuk DAS yang ukurannya besar dan kondisi medannya berat. Untuk itu diperlukan teknologi penginderaan jauh (PJ) dan sistem informasi geografis (SIG) untuk membantu proses analisis debit puncak. Peran PJ adalah untuk mengidentifikasi parameter parameter yang mempengaruhi debit puncak seperti curah hujan, koefisien limpasan permukaan, dan luas DAS. Sementara SIG berfungsi untuk membantu proses analisis dan pengolahan data debit puncak tersebut. 176

Sebagai wilayah kajian dalam penelitian ini dipilih DAS Jangkok yang secara administratif terletak di tiga wilayah kabupaten, yaitu Kabupaten Lombok Utara, Lombok Barat, dan Lombok Tengah. DAS Jangkok memiliki dua hulu, yaitu di Gunung Pusuk dan Gunung Rinjani. Bagian hilir dari DAS Jangkok meliput sebagian wilayah Kota Mataram bagian utara, sehingga banjir yang terjadi pada Sungai Jangkok akan berpengaruh langsung terhadap Kota Mataram sebagai ibukota Provinsi Nusa Tenggara Barat (Gambar 1). Gambar 1. Digital Elevation Model Daerah Lombok dan Batas DAS Jangkok 1.1 Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk melakukan perhitungan debit puncak DAS Jangkok sebagai dasar identifikasi potensi banjir mengunakan metode rasional berbasis pada pengolahan citra Landsat 8 OLI dan sistem informasi geografis. 2. TINJAUAN PUSTAKA Masukan curah hujan dalam daur hidrologi akan didistribusikan melalui beberapa cara yaitu air lolos (througfall), aliran batang (stemflow), dan air hujan yang langsung sampai ke permukaan tanah untuk kemudian terbagi menjadi air larian, evaporasi dan air infiltrasi. Pengaruh DAS terhadap air larian adalah melalui bentuk dan ukuran (morfometri) DAS, topografi, geologi dan tataguna lahan (jenis dan kerapatan vegetasi). Semakin besar ukuran DAS, semakin besar air larian dan volume air larian. Tetapi, baik laju maupun volume air larian per satuan wilayah dalam DAS tersebut turun apabila luas daerah tangkapan air (Catchment Area) bertambah besar. Dengan demikian, kondisi aliran air permukaan yang berbeda akan menentukan bentuk dan besaran hidrograf aliran (bentuk hubungan grafis antara debit dan waktu). Hal ini terdiri atas luas, kemiringan lereng, bentuk dan kerapatan drainase DAS, terhadap besaran dan timing dari hidrograf aliran yang dihasilkannya. Luas DAS merupakan salah satu faktor penting dalam pembentukan hidrograf aliran. Semakin besar luas DAS, ada kecenderungan semakin besar jumlah curah hujan yang diterima. Akan tetapi, beda waktu (time lag) antara puncak curah hujan dan puncak hidrograf aliran menjadi lebih lama. Demikian pula waktu yang diperlukan untuk mencapai puncak hidrograf dan lama waktu untuk keseluruhan hidrograf aliran juga menjadi lebih panjang. Faktor berikutnya adalah kemiringan lereng DAS yang mempengaruhi perilaku hidrograf dalam hal timing. Semakin besar kemiringan lereng suatu DAS, semakin cepat laju air larian, dan dengan demikian akan mempercepat respons DAS tersebut oleh adanya curah hujan. Dengan kata lain, sebagian aliran air ditahan dan diperlambat kecepatannya sebelum mencapai lokasi pengamatan. Hal ini dapat diketahui dari bentuk hidrograf yang menjadi lebih datar. Bentuk DAS yang memanjang dan sempit cenderung menurunkan laju air larian daripada DAS berbentuk melebar walaupun luas keseluruhan dari dua DAS tersebut sama. Pada DAS berbentuk memanjang, bila arah hujan sejajar dengannya, hujan yang bergerak kea rah hulu akan menurunkan laju air larian. Hal ini tejradi karena pada hujan yang bergerak kea rah hulu, air larian pada bagian bawah DAS tersebut telah berhenti sebelum air larian berikutnya tiba di daerah bawah tersebut. Sebaliknya, hujan yang bergerak ke daerah hilir menyebabkan air larian yang besar pada bagian bawa DAS dan pada saat yang bersamaan datang air larian dari bagian atas DAS tersebut. 177

Kerapatan daerah aliran (drainase) juga merupakan faktor penting dalam menentukan kecepatan air larian. Kerapatan drainase adalah jumlah dari semua saluran air/sungai (km) dibagi luas DAS. Semakn tinggi kerapatan daerah aliran, semakin besar kecepatan air larian untuk curah hujan yang sama. Oleh karenanya, dengan kerapatan daerah aliran tinggi, debit puncak akan tercapai dalam waktu yang lebih cepat. Pengaruh vegetasi dan cara bercocok tanam terhadap air larian dapat diterangkan bahwa vegetasi dapat memperlambat jalannya air larian dan memperbesar jumlah air yang tertahan di atas permukaan tanah (surface detention), dan dengan demikian, menurunkan laju air larian. Berkurngnya laju dan volume air larian berkaitan dengan perubahan (penurunan) nilai koefisien air larian. Faktor faktor tersebut dapat menentukan hasil dari data debit atau aliran sungai yang merupakan informasi yang paling penting bagi pengelola sumberdaya air. Data Debit puncak (banjir) diperlukan untuk merancang bangunan pengendali banjir. Sementara data debit aliran kecil diperlukan untuk perencanaan alokasi (pemanfaatan) air untuk berbagai macam keperluan terutama pada musim kemarau panjang. Debit aliran rata rata tahunan dapat memberikan gambaran potensi sumberdaya air yang dapat dimanfaatkan dari suatu daerah aliran sungai. 3. METODE 3.1 Alat dan Bahan Alat alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah: a. Seperangkat Komputer b. Aplikasi ArcGIS 10.1 c. Aplikasi ENVI 5.0 d. Alat Tulis e. Double Ring Infiltrometer f. GPS g. Pita Ukur h. Yalon i. Pemberat j. Tali Rafia/ Tali Tambang Bahan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: a. Citra Landsat 8 perekaman bulan Mei 2014 b. Data curah hujan DAS Jangkok (2009 2014) c. Peta Kontur Wilayah DAS Jangkok d. Peta Batas DAS e. Peta Batas Sub DAS f. Peta Sungai g. Peta Jalan h. Peta RBI skala 1: 25.000 lembar 1807 521, 1807 512, 1807 511, 1807 233, 1807 234 3.2 Tahapan Penelitian 3.2.1 Pra Lapangan Koreksi Radiometrik Koreksi radiometrik dilakukan untuk memperbaiki nilai piksel pada citra sehingga pengaruh dari gangguan atmosfer dapat diminimalisir, sehingga nilai pantulannya mendekati nilai pantulan objek yang sebenarnya. Nilai digital number pada citra tergantung pada pantulan objek sebenarnya. Metode koreksi radiometrik yang ada adalah koreksi bayangan, koreksi topografi, dan koreksi cahaya matahari pada permukaan air laut (Hedley et al.2005; Wicaksono; 2012). Koreksi radiometrik yang dilakukan dalam penelitian ini adalah koreksi atmosferik yang termasuk dalam kalibrasi bayangan dan koreksi Dark Substract. Ekstraksi data Sungai dan batas DAS Data sungai yang digunakan adalah Sungai Jangkok yang berada di Kabupaten Lombok Barat dan Kota Mataram. Ekstraksi data sungai dan batas DAS dilakukan menggunakan peta Rupabumi Indonesia lembar 1807 521, 1807 512, 1807 511, 1807 233, 1807 234. Data sungai yang diekstraksi dari peta RBI di 178

koreksi dengan menggunakan citra Landsat dan Data DEM kemudian di cek lagi di lapangan. Batas DAS ditentukan berdasarkan referensi data sungai, data kontur, dan data DEM dengan penarikan batas berdasarkan igir terluar sungai kajian. DAS Jangkok dibagi lagi ke dalam 5 Sun DAS karena dalam metode Cook lebih baik digunakan pada DAS dengan luas maksimal 800 Ha. Dari data sungai dan batas DAS kan di peroleh kerapatan aliran tiap SubDas dengan membagi antara panjang alur sungai dengan luas tiap Sub DAS. Interpretasi Jenis Tanah Interpretasi jenis tanah dilakukan untuk mendapat informasi terkait tekstur tanah untuk mengetaahui tingkat infiltrasi sebagai salah satu parameter koefisien limpasan. Interpretasi dilakukan menggunakan Citra Landsat 8 OLI yang difusi dengan data DEM untuk menonjolkan informasi relief dan pola aliran. Pembuatan peta jenis tanah dilakukan dengan interpretasi bentuklahan dan menggunakan satuan pemetaan bentuklahan dengan asumsi tiap bentuklahan memiliki karakteristik tanah yang sama. Interpretasi Kemiringan Lereng Informasi lereng didapatkan dengan pemoresan data kontur yang diturunkan menjadi kemiringan lereng (Gambar 2). Terdapat empat kelas dari kemiringan, dimana wilayah atas didominasi dengan lereng yang sangat tinggi karena merupakan puncak. Gambar 2. Peta lereng Interpretasi Kerapatan Aliran Kerapatan aliran sangat bergantung pada percabangan sungai yang ada di wilayah DAS Jangkok, semakin banyak percabangan sungainya maka semakin rapat pula aliran sungainya (Gambar 3). Gambar 3. Peta subdas dan pola aliran Vegetation Index Transformation Transforrmasi indeks vegetasi yang digunakan adalah Normalized Difference Vegetation Index (NDVI). Nilai indeks vegetasi pada NDVI digunakan untuk menentukan nilai dari kerapatan vegetasi pada wilayah kajian (Gambar 4). Saluran yang digunakan adalah saluran merah dan inframerah dekat. Rumus yang digunakan dalam transformasi ini adalah: = ( ) ( + ) NIR = Band Inframerah Dekat R = Band Merah 179

3.2.2 Lapangan Gambar 4. Hasil transformasi NDVI Pengukuran Infiltrasi Pengukuran infiltrasi dilakukan dengan dua metode, yaitu kualitatif dengan cara feel method, sedangkan kuantitatif menggunakan double ring infiltrometer. Pengukuran kuantitaif dilakukan saat hasil dari data kualitatif dirasa meragukan kebenarannya. Titik sampel infiltrasi tersebar disetiap sub satuan bentuklahan sebanyak 10 sampel. Akan tetapi, hanya 4 dari 10 sampel yang diharapkan yang tercapai, karena letak sampel yang sulit untuk di jangkau. Keempat sampel yang telah diambil dirasa telah cukup mewakili untuk mengetahui tingkat infiltrasi setiap sub bentuklahannya. Peta tekstur tanah disajikan pada Gambar 5. Gambar 5. Peta tekstur tanah Pengukuran Kerapatan Vegetasi Titik sampel untuk melakukan pengukuran parameter vegetasi berjumlah 30 sampel. Persebarannya berdasarkan pada perbedaan indeks kerapatan vegetasi. Indeks tersebut didapatkan dari hasil transformasi NDVI. Setiap titik sampel mewakili satu piksel pada citra Landsat 8 multispektral yang memilki resolusi spasial 30 meter x 30 meter, akan tetapi karena dianggap ada pergeseran posisi piksel sehingga satu sampel berukuran 35 meter x 35 meter, sehingga yang kemudian di regresikan dengan data lapangan. Data lapangan berupa diameter tajuk maksimal dan minimum pada setiap pohon. kemudian diambil diameter rata rata sehingga didapatkan jari jari untuk menghitung luas tajuk pada setiap pohon. Pengukuran dilapangan dilakukan dengan sensus pohon pada luas sampel dengan kondisi vegetasi yang beragam. Vegetasi pada titik sampel di lapangan sebagian besar berupa vegetasi dengan masa tanam yang seragam sehingga dapat didekati dengan pengukuran sampling. Teknik pengukuran tersebut dirasa mampu menghemat waktu pengukuran. Pengukuran Morfometri Sungai Pengukuran morfometri sungai terdiri dari tiga aspek utama yaitu kedalaman sungai, lebar sungai, dan kecepatan sungai. Persebaran titik sampel disesuaikan dengan outlet setiap sub DAS yang berjumlah 7 sampel, akan tetapi sampel yang memungkinkan diambil hanya 4 outlet. Kedalaman sungai diukur dari penampang sungai yang di bagi menjadi beberapa segmen dengan panjang antar segmen yaitu 1 meter. Pengukuran kedalaman sungai dilakukan dengan pengukuran dengan bantuan jembatan dan pengukuran secara langsung. Kedalaman sungai yang dipertimbangkan pada dasar sungai hingga batas banjir yang pernah terjadi. Identifikasi daerah yang pernah mengalami banjir dengan melihat adanya sampah yang tersangkut pada tanggul sungai. Kecapatan aliran dilakukan dengan meletakan botol yang berisi pasir dengan menghitung jarak antara titik mulai hingga akhir beserta waktu tempuhnya. Daerah sungai yang dihitung kecepatanya terletak pada daerah yang masih alami (belum ada campur tangan aktivitas manusia). 180

3.2.3 Pasca Lapangan Analisis Data Curah Hujan Data curah hujan yang digunakan bersumber dari 7 stasiun hujan dengan periode waktu 5 tahun. Data tersebut didapat dari data BMKG di wilayah Lombok. Perhitungan intensitas curah hujan berdasarkan pada perhitungan hujan rancangan dari catatan hujan maksimum rata rata bulanan. Satuan analisis data curah hujan menggunakan Poligon Thiessen. Perhitungan analisis frekuensi dilakukan dengan menggunakan metode LOG PEARSON TIPE III. Data intensitas curah hujan digunakan dalam perhitungan debit puncak dengan metode rasional. Analisis Regresi Data sampel kerapatan vegetasi yang diperoleh dari hasil pengukuran lapangan berjumlah 30 sampel diregresi dengan nilai piksel pada Citra LANDSAT 8 OLI hasil transformasi NDVI (Normalized Differencial Vegetation Index), sehingga diperolah persentase kerapatan vegetasi tiap piksel yang digunakan sebagai salah parameter limpasan permukaan. Overlay Overlay yang dilakukan adalah overlay berjenjang bertingkat dengan 4 parameter yaitu kerapatan vegetasi, infiltrasi dengan satuan pemetaan bentuklahan, data kerapatan aliran dengan satuan pemetaan Sub DAS, dan kemiringan lereng. Hasil overlay ke empat parameter tersebut menghasilkan satuan lahan dengan nilai koefisien limpasan. Perhitungan Morfometri Sungai Perhitungan morfometri sungai dilakukan dengan menghitung kedalaman tiap segmen yang ditentukan yaitu setiap 1 meter sehingga diketahui luas penampang sungai. Perhitungan Debit Puncak Perhitungan Debit puncak dilakukan dengan menggunakan metode Cook. Pengukuran debit puncak dengan Metode Cook, parameter yang dipertimbangkan adalah koefisien limpasan, intensitas curah hujan dan luas DAS. Pengukuran debit puncak dengan overlay tersebut digunakan untuk mendapatkan nilai koefisien limpasan permukaan. = 0.278 Qp = Debit Puncak (m²/dt) C = Koefisien Limpasan Permukaan I = Intensitas Hujan (mm/jam) A = Luas DAS (km²) Perhitungan Kapasitas Saluran Sungai Agar dapat mengetahui besarnya kapasitas saluran pada Sungai Jangkok dilakukan pengukuran dengan metode Manning. Selanjutnya hasil pengukuran debit puncak menggunakan metode Cook dibandingkan dengan hasil pengukuran kapasitas sungai dengan metode Manning. Jika debit lebih kecil dari kapasitas saluran, maka potensi banjir akan kecil, namun jika debit sama dengan atau lebih besar dari kapasitas saluran, maka potensi banjir besar. Metode Manning menggunakan penilaian dengan memperhatikan morfometri sungai. 3.3 Diagram Alir Penelitian Diagram alir penelitian disajikan pada Gambar 6. 181

Peta RBI Citra Landsat 8 Data Curah hujan Peta DAS kemiringan lereng kerapatan aliran NDVI Infilrasi tanah Cek lapangan Kerapatan vegetasi dan infiltrasi Metode manning Koefisien limpasan Kapasitas sungai Metode Cook Debit puncak Potensi banjir INPUT PROSES HASIL SEMENTARA HASIL Gambar 6. Diagram alir penelitian 182

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Penelitian Penelitian ini menghasilkan peta peta dengan skala 1:50.000 sebagai berikut. 4.1.1 Peta Batas DAS dan Sub-DAS Jangkok Batas dari DAS Jangkok diidentifikasi dengan menggunakan batas igir dan sungai dari Gunung Rinjani dan Gunung Pusuk. Puncak igir akan mengakibatkan aliran dari sungai akan mengalir dan terakumulasi di outlet tunggal yakni di kota mataram. DAS Jangkok terbagi menjadi tujuh subdas. Tiap subdas tersebut tergantung pada percabangan sungai yang menjadi sungai utamanya (Gambar 7). Gambar 7. Peta batas DAS dan subdas Jangkok 4.1.2 Peta Kecepatan Infiltrasi Tanah DAS Jangkok Kelas dalam kecepatan infiltrasi di DAS Jangkok dibagi menjadi tiga, yakni rendah, sedang, dan tinggi (Gambar 8). Infiltrasi di wilayah yang tinggi memiliki infiltrasi yang tinggi dan sedang, sedangkan di wilayah yang rendah memiliki infiltrasi yang cenderung rendah pula. Gambar 8. Peta kecepatan inflitrasi tanah 4.1.3 Peta Kerapatan Vegetasi DAS Jangkok Vegetasi di wilayah atas DAS Jangkok memiliki kerapatan yang tinggi, sedangkan di wilayah hilir utamanya di wilayah Kota Mataram kerapatan vegetasinya cukup rendah dan terdapat beberapa bagian yang merupakan wilayah dengan permukaan diperkeras atau bangunan (Gambar 9). Gambar 9. Peta kerapatan vegetasi DAS Jangkok 4.1.4 Peta Curah Hujan DAS Jangkok Pembuatan peta curah hujan dilakukan dengan menggunakan metode Thiessen yang dihitung melalui stasiun hujan yang ada di DAS Jangkok (Gambar 10). 183

Gambar 10. Peta curah hujan DAS Jangkok 4.1.5 Peta Kemiringan Lereng DAS Jangkok Terdapat empat kelas dari kemiringan, dimana wilayah atas didominasi dengan lereng yang sangat tinggi/curam karena merupakan puncak dari gunung (Gambar 11). Gambar 11. Peta kemiringan lereng DAS Jangkok 4.1.6 Peta Kerapatan Aliran DAS Jangkok Peta kerapatan aliran sangat bergantung pada percabangan sungai yang ada di wilayah DAS Jangkok, semakin banyak percabangan sungai maka semakin rapat pula aliran sungainya (Gambar 12). 184 Gambar 12. Peta kerapatan aliran DAS Jangkok 4.1.7 Koefisien Limpasan Permukaan di DAS Jangkok Koefisien limpasan yang ekstrim (75 100%) terdapat pada puncak gunung pusuk. Koefisien Limpasan yang normal (25 50%) terdapat pada wilayah tengah, dan kebanyakan wilayah di DAS Jangkok termasuk dalam kategori tinggi yakni (50 75%) 4.1.8 Nilai Debit Puncak tiap Subdas di DAS Jangkok Perhitungan debit puncak dengan menggunakan metode Cook pada dasarnya kurang baik untuk wilayah dengan luasan DAS yang cukup besar. Tetapi untuk mensiasatinya perhitungannya dibagi kedalam subdas kecil sehingga didapat hasil seperti pada Tabel 1. Tabel 1. Perhitungan debit Puncak tiap SubDAS No C (%) I (mm/jam) A (km 2 ) Q (m 3 /s) 1 57.51 24.37 35.59 138.62 2 49.49 28.96 45.44 181.02 3 60.56 16.07 29.47 79.74

4 63.48 10.51 11.65 21.60 5 67.95 6.10 3.35 3.86 6 61.49 11.97 14.86 30.40 7 54.30 9.28 27.94 39.13 Total Q (m 3 /s) 494.38 4.1.9 Nilai Kapasitas sungai di Muara DAS Jangkok Kapasitas sungai dihitung untuk mengetahui apakah suatu debit yang mengalir di sungai tersebut mencukupi atau tidak. Nilai kapasitas sungai yang didapatkan dengan menggunakan metode Manning dengan memperhatikan morfometri sungai adalah 914 m 3 /s. 4.2 Pembahasan Pengukuran debit puncak di DAS Jangkok dilakukan dengan menggunakan metode Cook, sedangkan perhitungan kapasitas tampung sungai menggunakan metode Manning. Metode Cook digunakan untuk menentukan parameter dalam perhitungan debit puncak. Koefisien limpasan permukaan, curah hujan, dan luas DAS merupakan parameter yang digunakan dalam perhitungan debit puncak yang menggunakan penginderaan jauh dan SIG. Metode Manning digunakan untuk mengetahui kapasitas sungai yang berdasar pada pengukuran di lapangan dengan parameter kekasaran permukaan, tinggi tanggul, dan gradien hidrolik dari sungai. DAS Jangkok dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu Hulu, Tengah, dan Hilir. Wilayah hulu terdapat pada Gunung Pusuk dan Gunung Rinjani. Wilayah tengah merupakan wilayah antar gunung api yakni Gunung pusuk dan Gunung Rinjani. Sedangkan di wilayah hilir terdapat pada wilayah utara Kota Mataram. Dari hasil perhitungan, koefisien limpasan permukaan tertinggi terdapat pada hulu Gunung Pusuk dan Gunung Rinjani, serta di wilayah hilir Kota Mataram. Wilayah puncak Gunung Pusuk memiliki vegetasi dengan kerapatan sedang dengan tekstur tanah lempung berpasir. Kerapatan vegetasi menyebabkan koefisien limpasan permukaan menjadi rendah. Hal ini dikarenakan air hujan yang jatuh dipermukaan akan tertahan oleh vegetasi sehingga akan lebih banyak mengalami evapotranspirasi dan air akan mengalir pada sistem perakaran atau masuk sebagai infiltrasi. Tekstur tanah berpasir akan memberikan efek penyerapan air pada tanah menjadi cukup cepat apabila air jatuh di atasnya. Akan tetapi, parameter yang dominan di wilayah ini adalah kemiringan lereng dan kerapatan aliran. Kemiringan yang mendominasi wilayah ini adalah sangat terjal yang terbentuk oleh bentuklahan vulkanik dengan banyak lembah dan jurang. Pada setiap kenaikan kemiringan lereng mengakibatkan tingginya limpasan permukaan karena air hujan yang jatuh didalamnya akan cepat dialirkan kedalam sistem aliran. Hal ini menyebabkan kerapatan aliran cukup tinggi karena banyak jurang yang masuk kedalam sistem sungai sehingga akan banyak sistem sungai yang akan menampung air dari aliran permukaan tersebut. Wilayah Tengah, bagian utara merupakan Gunung Rinjani dengan elevasi tinggi, dan di bagian selatan rendah. Berdasarkan pada kerapatan vegetasi dan parameter infiltrasi, tipe tanahnya homogen tetapi memiliki faktor dominan yaitu kerapatan aliran pada wilayah utara lebih padat dibandingkan di wilayah selatan. Wilayah cekungan antar gunung api memiliki koefisien limpasan permukaan yang normal. Wilayah ini merupakan zona deposisi dengan lereng yang datar dan sedikit miring. Tekstur tanah pada wilayah ini adalah lempung dengan kerapatan aliran yang sedang. Pada wilayah hilir, di bagian utara Kota Mataram memiliki nilai limpasan permukaan yang cukup tinggi karena disana merupakan wilayah datar dengan vegetasi yang rendah serta didominasi dengan wilayah terbangun akibat dari aktivitas manusia. Wilayah terbangun akan mengakibatkan rendahnya infiltrasi dan tingginya limpasan permukaan. Hasil perhitungan menunjukkan debit puncak di DAS Jangkok sebesar 494,38 m3 / s. Hal ini sangat jauh nilainya di bawah nilai kapasitas sungai yang dimiliki. Dengan menggunakan metode Manning, didapatkan nilai kapasitas sungai sebesar 914 m 3 /s. Hasil perhitungan tersebut menunjukkan bahwa debit puncak yang terjadi selama ini masih dapat ditampung oleh sungai Jangkok. Debit yang dapat ditampung menunjukkan bahwa Sungai Jangkok tersebut tidak berpotensi banjir. Setelah dilakukan beberapa model perhitungan, butuh curah hujan dua kali lebih besar dari curah hujan rata rata untuk dapat memenuhi kapasitas sungai Jangkok tersebut. Selain berdasarkan hasil pengamatan dan perhitungan hasil lapangan, hasil wawancara terhadap masyarakat sekitar juga menunjukkan bahwa akhir akhir ini di sebagian besar wilayah DAS Jangkok tidak terjadi banjir. Hal tersebut dikarenakan seluruh tanggul sungai yang dikaji sudah mengalami peninggian, sehingga air sangat sulit untuk melewatinya, serta nilai intensitas hujan yang dijadikan dasar perhitungan debit puncak tidak tercapai akhir akhir ini. Menurut hasil wawancara wilayah 185

yang masih berpotensi banjir adalah di wilayah muara sungai. Akan tetapi karena sudah dibuat tanggul buatan, masalah banjir tersebut sudah teratasi. 5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Debit puncak di DAS Jangkok sebesar 494,38 m 3 /s sedangkan kapasitas sungai di DAS Jangkok sebesar 914 m 3 /s sehingga sungai Jangkok dapat dikatakan tidak berpotensi banjir. 5.2 Saran 1. Jumlah dan lokasi sampel yang diambil harus lebih menyebar dan mewakili seluruh satuan pemetaan. Misalnya pada proses pengambilan sampel untuk analisis regresi vegetasi seharusnya dilakukan lebih merata di wilayah kajian minimal sebanyak 30 sampel atau lebih agar hasil lebih akurat. 2. Parameter dalam estimasi potensi banjir sangat banyak, tidak hanya debit puncak dan kapasitas sungai, sehingga untuk penelitian selanjutnya lebih baik parameter tersebut diperhatikan. 3. Penting untuk memahami metode metode terkait pengambilan sampel dilapangan agar data yang dikumpulkan benar benar akurat. Penggunaan metode pengukuran debit sungai yang berbeda (metode Cook dan Manning) memungkinkan terjadinya ketidakakuratan perhitungan, sehingga penelitian lebih lanjut diperlukan dengan menggunakan metode yang lebih baik. DAFTAR PUSTAKA Asdak, Chay. 2002. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press Asdak, Chay. 2007. Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dalam Konteks Solidaritas Daerah Hulu dan Hilir, Jakarta: LIPI Press Hedley, J. D., Harbone, A. R., & Murby, O. J. 2005. Simple and Robust Removal of Sunlight for Mapping Shallow Water Benthos. Journal of Remote Sensing, 26 (10), 2107 2112. Wicaksono, P.(2012). The effect of sunlight on satellite based benthic habitat inditification. International Journal of Advanced Research in Computer and Communication Engineering, 1 (6),364 370. 186