HAK MILIK ATAS RUMAH SEBAGAI JAMINAN FIDUSIA

dokumen-dokumen yang mirip
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1996 TENTANG HAK TANGGUNGAN ATAS TANAH BESERTA BENDA-BENDA YANG BERKAITAN DENGAN TANAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 42 TAHUN 1999 (42/1999) TENTANG JAMINAN FIDUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

HAK TANGGUNGAN TANAH & BANGUNAN SEBAGAI JAMINAN PELUNASAN UTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1996 TENTANG HAK TANGGUNGAN ATAS TANAH BESERTA BENDA-BENDA YANG BERKAITAN DENGAN TANAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1996 TENTANG HAK TANGGUNGAN ATAS TANAH BESERTA BENDA-BENDA YANG BERKAITAN DENGAN TANAH

BAB I PENDAHULUAN. menyangkut pihak-pihak sebaiknya dituangkan dalam suatu surat yang memiliki

LEMBARAN-NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 168, (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3889)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1996 TENTANG HAK TANGGUNGAN ATAS TANAH BESERTA BENDA-BENDA YANG BERKAITAN DENGAN TANAH

BAB II LAHIRNYA HAK KEBENDAAN PADA HAK TANGGUNGAN SEBAGAI OBYEK JAMINAN DALAM PERJANJIAN KREDIT

Bab 1 PENDAHULUAN. merupakan suatu usaha untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, salah satu

Lex Administratum, Vol. IV/No. 4/Apr/2016. PROSES PEMBERIAN HAK TANGGUNGAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN Oleh : Naomi Meriam Walewangko 2

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan berkembangnya jumlah penduduk, kebutuhan akan tanah terus

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN SEBAGAI HAK JAMINAN. A. Dasar Hukum Pengertian Hak Tanggungan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 Tahun 1985 TENTANG RUMAH SUSUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia

BAB I. Pendahuluan. dan makmur dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. pembangunan di bidang ekonomi. Berbagai usaha dilakukan dalam kegiatan

HIBAH TANAH PEMERINTAHAN KABUPATEN/KOTA KEPADA WARGA NEGARA INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 1985 TENTANG RUMAH SUSUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. Manusia dalam kehidupannya sehari-hari memiliki kebutuhankebutuhan

LEMBARAN-NEGARA Republik Indonesia No.42 Tahun 1996

Lex et Societatis, Vol. V/No. 6/Ags/2017

Pembebanan Jaminan Fidusia

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBUK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

AKTA PEMBERIAN HAK TANGGUNGAN

BAB II TINJAUAN YURIDIS TERHADAP HIPOTIK DAN HAK TANGGUNGAN. Hipotik berasal dari kata hypotheek dari Hukum Romawi yaitu hypotheca yaitu suatu jaminan

Undang Undang No. 16 Tahun 1985 Tentang : Rumah Susun

PERBEDAAN ANTARA GADAI DAN FIDUSIA

Benda??? HUKUM/OBYEK HAK Pengertian Benda secara yuridis : Segala sesuatu yang dapat menjadi obyek Hak Milik (Sri soedewi M.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2015 TENTANG TATA CARA PENDAFTARAN JAMINAN FIDUSIA DAN BIAYA PEMBUATAN AKTA JAMINAN FIDUSIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2015 TENTANG TATA CARA PENDAFTARAN JAMINAN FIDUSIA DAN BIAYA PEMBUATAN AKTA JAMINAN FIDUSIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2015 TENTANG TATA CARA PENDAFTARAN JAMINAN FIDUSIA DAN BIAYA PEMBUATAN AKTA JAMINAN FIDUSIA

2 Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidus

BAB II PERJANJIAN JAMINAN DALAM HUKUM POSITIF. Istilah jaminan dalam peraturan perundang-undangan dapat dijumpai

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 1985 TENTANG RUMAH SUSUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEKUATAN EKSEKUTORIAL SERTIFIKAT JAMINAN FIDUSIA BERDASAR UNDANG UNDANG NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG SURAT KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN (SKMHT) YANG BERSIFAT KHUSUS DAN UNDANG-

DAMPAK PELAKSANAAN EKSEKUSI TERHADAP OBYEK JAMINAN FIDUSIA BERDASARKAN PASAL 29 UNDANG UNDANG NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA

EKSEKUSI OBJEK JAMINAN FIDUSIA

BAB II SEGI HUKUM MENGENAI JAMINAN FIDUSIA

BAB I PENDAHULUAN. ini jasa perbankan melalui kredit sangat membantu. jarang mengandung risiko yang sangat tinggi, karena itu bank dalam memberikannya

MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia

BAB II TINJAUAN HUKUM TENTANG JAMINAN FIDUSIA. Lembaga jaminan fidusia merupakan lembaga jaminan yang secara yuridis

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 1985 TENTANG RUMAH SUSUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sejarah perkembangan kehidupan, manusia pada zaman apapun

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN. Seiring dengan berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5

BAB I PENDAHULUAN. zaman dan kebutuhan modal bagi setiap masyarakat untuk memajukan dan

BAB I PENDAHULUAN. Perjanjian merupakan sesuatu yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan

TINJAUAN YURIDIS EKSEKUSI DALAM PERJANJIAN KREDIT DENGAN JAMINAN FIDUSIA YANG TIDAK DIDAFTARKAN

EKSEKUSI BARANG JAMINAN FIDUSIA DAN HAMBATANNYA DALAM PRAKTEK

BAB I PENDAHULUAN. yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

BAB II. A. Tinjauan Umum Hak Tanggungan. 1. Pengertian Hak Tanggungan. Pengertian Hak Tanggungan secara yuridis yang diatur dalam ketentuan Pasal

BAB I PENDAHULUAN. bertahap, pada hakikatnya merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. satu cara yang dapat dilakukan adalah membuka hubungan seluas-luasnya dengan

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PENDAFTARAN TANAH. A. Pengertian dan dasar hukum pendaftaran tanah

BAB II PROSES PELAKSANAAN PENINGKATAN STATUS TANAH DARI HAK GUNA BANGUNAN MENJADI HAK MILIK DI PERUMNAS MARTUBUNG MEDAN

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya. Dalam memenuhi segala kebutuhan hidup, akal dan pikiran. Ia memerlukan tangan ataupun bantuan dari pihak lain.

BAB I PENDAHULUAN I.1 LATAR BELAKANG MASALAH

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN. A. Pemberian Hak Tanggungan dan Ruang Lingkupnya

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1992 TENTANG PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. yang terikat di dalamnya. Menurut Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,

3 Lihat UU No. 4 Tahun 1996 (UUHT) Pasal 20 ayat (1) 4 Sudarsono, Kamus Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2007, hal. 339

Dimyati Gedung Intan: Prosedur Pemindahan Hak Atas Tanah Menuju Kepastian Hukum

Lex Administratum, Vol. V/No. 6/Ags/2017

BAB II PROSES PEMBEBANAN HAK TANGGUNGAN ATAS OBJEK HAK TANGGUNGAN SEBAGAI JAMINAN KREDIT

Mengenai Hak Tanggungan. Sebagai Satu-Satunya Lembaga Hak Jaminan atas Tanah

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB III TANGGUNG JAWAB PERHIMPUNAN PEMILIK DAN PENGHUNI DALAM MENYELENGGARAKAN PENGURUSAN SATUAN RUMAH SUSUN

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. nasional yang merupakan salah satu upaya untuk mencapai masyarakat yang

UNDANG-UNDANG FIDUSIA NO. 42 TAHUN 1999 MEMBAWA PERUBAHAN DALAM PRANATA JAMINAN RABIATUL SYAHRIAH

POKOK-POKOK PENGETAHUAN TENTANG RUMAH SUSUN. Dosen: Dr. Suryanti T. Arief, SH., MKn., MBA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

pada umumnya dapat mempergunakan bentuk perjanjian baku ( standard contract)

EKSEKUSI JAMINAN FIDUSIA DALAM PENYELESAIAN KREDIT MACET DI PT. ADIRA DINAMIKA MULTI FINANCE KOTA JAYAPURA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG JAMINAN FIDUSIA. Kebutuhan akan adanya lembaga jaminan, telah muncul sejak zaman romawi.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PRINSIP=PRINSIP HAK TANGGUNGAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 1996 TENTANG

BAB II MAKNA PEMILIK BANGUNAN SEBAGAI PEMBERI HAK TANGGUNGAN BERDASARKAN PASAL 4 AYAT (5) UNDANG- UNDANG HAK TANGGUNGAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. harga-harga produksi guna menjalankan sebuah perusahaan bertambah tinggi

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Dalam rangka memelihara

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG SURAT KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN, DAN JAMINAN KREDIT. 2.1 Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan

BAB III PRAKTEK PENDAFTARAN TANAH PEMELIHARAAN DATA DENGAN MENGGUNAKAN SURAT KUASA JUAL

Pendayagunaan tanah secara berlebihan serta ditambah pengaruh-pengaruh alam akan menyebabkan instabilitas kemampuan tanah. 1 Jumlah tanah yang statis

Sertifikat hak guna..., Fransiska KrisnaniBudi Utami, FH UI, Universitas Indonesia

BAB III KEABSAHAN JAMINAN SERTIFIKAT TANAH DALAM PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM DI SLEMAN. A. Bentuk Jaminan Sertifikat Tanah Dalam Perjanjian Pinjam

Lex Crimen Vol. VI/No. 8/Okt/2017

Jurnal Repertorium, ISSN: , Volume II No. 2 Juli - Desember 2015

2016, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1992 TENTANG PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. merupakan jaminan perorangan. Jaminan kebendaan memberikan hak. benda yang memiliki hubungan langsung dengan benda-benda itu, dapat

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2011 TENTANG RUMAH SUSUN

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Transkripsi:

HAK MILIK ATAS RUMAH SEBAGAI JAMINAN FIDUSIA Oleh : Dr. Urip Santoso, S.H, MH. 1 Abstrak Rumah bagi pemiliknya di samping berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian, juga berfungsi sebagai aset bagi pemiliknya. Rumah sebagai aset, maka rumah mempunyai nilai ekonomis sehingga dapat dinilai dengan uang. Oleh karena rumah mempunyai nilai ekonomis, maka rumah dapat dijadikan jaminan utang oleh pemiliknya. Rumah yang dapat dijadikan jaminan utang adalah rumah yang sifatnya dimiliki. Hak milik atas rumah tanpa tanah dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Fidusia. Dokumen yang diserahkan sebagai jaminan Fidusia adalah surat tanda bukti pemilikan rumah. Jaminan Fidusia dibuktikan dengan Akta Pembebanan Fidusia yang dibuat oleh Notaris. Lahirnya Jaminan Fidusia adalah sejak Akta Pembebanan Fidusia didaftarkan ke Kantor Pendaftaran Fidusia. Sebagai tanda bukti Jaminan Fidusia diterbitkan Sertipikat Fidusia oleh Kantor Pendaftaran Fidusia. Kata kunci : Hak milik, rumah, fidusia, akta, sertipikat Pendahuluan Pada mulanya, ketentuan tentang perumahan diatur dalam Undang-undang No. 41 Tahun 1964 tentang Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 6 Tahun 1962 tentang Pokok-pokok Perumahan (Lembaran Negara Tahun 1962 No. 40, Tambahan lembaran Negara Republik Indonesia No. 2476) menjadi Undang-undang (Lembaran Negara Tahun 1964 No. 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 2611). Undang-undang No. 41 Tahun 1964 dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Undang-undang No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman (Lembaran Negara Tahun 1992 No. 23, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3469). Undang-undang No. 4 Tahun 1992 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Undang-undang No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (Lembaran Negara Tahun 2011 No. 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 5188). 1 Dosen Hukum Agraria dan Hukum Perumahan Pada Fakultas Hukum Universitas Airlangga Pengertian rumah disebutkan dalam Pasal 1 angka 7 Undang-undang No. 1 Tahun 2011, yaitu bangunan gedung yang berfungsi sebagai tempat tinggal yang layak huni, sarana pembinaan keluarga, cerminan harkat dan martabat penghuninya, serta aset bagi pemiliknya. Rumah yang ditempati atau dihuni diharapkan tidak sekedar rumah, tetapi rumah yang layak huni dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur. Pasal 21 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 2011 menetapkan jenis rumah dibedakan berdasarkan pelaku pembangunan dan penghunian yang meliputi: a. Rumah komersial Rumah komersial adalah rumah yang diselenggarakan dengan tujuan mendapatkan keuntungan sesuai kebutuhan masyarakat. b. Rumah umum Rumah umum adalah rumah yang diselenggarakan untuk memenuhi kebutuhan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Rumah umum dapat mendapatkan bantuan dan kemudahan dari Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah. 55

c. Rumah swadaya Rumah swadaya adalah rumah yang dibangun atas prakarsa dan upaya masyarakat. Rumah swadaya diselenggarakan atas prakarsa dan upaya masyarakat, baik secara sendiri maupun berkelompok. Rumah swadaya dapat memperoleh bantuan dan kemudahan dari Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah. d. Rumah khusus Rumah khusus adalah rumah yang diselenggarakan dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan khusus. Yang dimaksud dengan kebutuhan khusus, antara lain adalah kebutuhan untuk perumahan transmigrasi, permukiman kembali korban bencana alam, dan rumah sosial untuk menampung orang lansia, masyarakat miskin, yatim piatu, dan anak terlantar, serta termasuk juga untuk pembangunan rumah yang lokasinya terpencar dan rumah di wilayah perbatasan wilayah negara. Rumah khusus disediakan oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah. e. Rumah negara Rumah negara adalah rumah yang dimiliki negara dan berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan keluarga serta penunjang pelaksanaan tugas pejabat dan/atau pegawai negeri. Rumah negara disediakan oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah. Pasal 22 ayat (2) Undang-undang No. 1 Tahun 2011 menetapkan bentuk rumah, yaitu: a. Rumah tunggal Rumah tunggal adalah rumah yang mempunyai kaveling sendiri dan salah satu dinding bangunan tidak dibangun tepat pada batas kaveling. b. Rumah deret Rumah deret adalah beberapa rumah yang satu atau lebih dari sisi bangunan menyatu dengan sisi satu atau lebih bangunan lain atau rumah lain, tetapi masing-masing mempunyai kaveling sendiri. c. Rumah susun Rumah susun adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional, baik dalam arah horizontal atau vertikal, dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian, yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama. Pasal 43 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 2011 menetapkan bahwa pembangunan rumah tunggal, rumah deret, dan/atau rumah susun dapat di atas tanah: a. Hak Milik Hak Milik adalah hak turun temurun, terkuat, dan terpenuh, yang dapat dipunyai orang atas tanah dengan mengingat ketentuan Pasal 6 Undang-undang No. 5 Tahun 1960 atau Undang-undang Pokok Agraria (UUPA). b. Hak Guna Bangunan, baik di atas tanah negara maupun di atas tanah Hak Pengelolaan Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan atas tanah yang bukan miliknya, dengan jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) tahun, dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20 (duapuluh) tahun, dan diperbaharui haknya untuk jangka waktu paling lama 30 (tigapuluh) tahun. c. Hak Pakai atas tanah negara Hak Pakai adalah hak untuk mempergunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan Undangundang No. 5 Tahun 1960. Rumah berfungsi sebagai aset (kekayaan) bagi pemiliknya, artinya rumah tersebut mempunyai nilai ekonomis bagi pemiliknya. Hak yang dimiliki pemilik rumah terhadap rumahnya, adalah: a. Menempati atau menggunakan rumah sesuai dengan fungsinya; b. Memberikan hak kepada orang lain untuk menghuni rumahnya dengan cara bukan sewa menyewa; 56

c. Menyewakan rumahnya kepada orang lain; d. Menjual rumahnya kepada orang lain; e. Menghibahkan rumahnya kepada orang lain; f. Menukarkan rumahnya dengan rumah milik orang lain; g. Melelang rumahnya dalam kaitannya dengan pelunasan utang; h. Menjaminkan rumahnya ke dalam utang piutang; i. Mewariskan rumahnya kepada ahli warisnya. Benda-benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, dan Jaminan Fidusia apabila yang dijadikan jaminan utang adalah rumah tidak beserta tanahnya, yang diatur dalam Undang- Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Permasalahan yang hendak dikaji dalam tulisan ini adalah pengaturan hak milik atas rumah sebagai jaminan Fidusia dan mekanisme pembebanan hak milik atas rumah sebagai jaminan Fidusia. Rumah sebagai aset (kekayaan) bagi pemiliknya dan mempunyai nilai ekonomis dapat dijadikan jaminan utang oleh pemiliknya. Utang dengan jaminan rumah dapat dijadikan bagi pemiliknya untuk mengembangkan usaha (bisnis) atau keperluan lainnya. Bentuk rumah yang dapat dijadikan jaminan utang adalah rumah tunggal, rumah deret, dan rumah susun. Tidak setiap jenis rumah dapat dijadikan jaminan utang. Jenis rumah yang dapat dijadikan jaminan utang adalah rumah komersial, rumah swadaya, dan rumah umum, sedangkan jenis rumah yang tidak dapat dijadikan jaminan utang adalah rumah khusus dan rumah negara. Rumah komersial, rumah swadaya, dan rumah umum dapat dijadikan jaminan utang sebab rumah tersebut dapat diperjualbelikan oleh pemilik rumah kepada orang lain. Rumah khusus tidak dapat dijadikan jaminan utang sebab rumah tersebut dibangun dalam rangka memenuhi kebutuhan untuk transmigrasi, permukiman kembali korban bencana alam, dan rumah sosial untuk menampung orang lansia, masyarakat miskin, yatim piatu, dan anak terlantar, serta termasuk juga untuk pembangunan rumah yang lokasinya terpencar dan lokasinya dan rumah di wilayah perbatasan negara. Demikian pula, rumah negara juga tidak dapat dijadikan jaminan utang sebab rumah negara sifatnya bukan untuk dimiliki, akan tetapi hanya dihuni oleh pegawai negeri dan/atau pejabat negara atau pejabat Pemerintah. Lembaga jaminan yang mewadahi hak milik atas rumah sebagai jaminan utang adalah Hak Tanggungan apabila yang dijadikan jaminan utang adalah rumah beserta hak atas tanahnya, yang diatur dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Pembahasan 1. Pengaturan Jaminan Fidusia Atas Rumah Undang-undang No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman tidak mengatur hak milik atas rumah sebagai Jaminan Fidusia. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 7 Undang-undang No. 1 Tahun 2011, rumah sebagai aset bagi pemiliknya yaitu rumah mempunyai nilai ekonomis bagi pemiliknya sehingga dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Jaminan Fidusia. Pertama kali diatur, bahwa rumah susun dan hak milik atas satuan rumah susun dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Jaminan Fidusia adalah Pasal 12 Undang-undang No. 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun, yaitu: (1) Rumah susun berikut tanah tempat bangunan itu berdiri serta benda lainnya yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut dapat dijadikan jaminan utang dengan : a. dibebani hipotik, jika tanahnya tanah Hak Milik atau Hak Guna Bangunan; b. dibebani fidusia, jika tanahnya tanah Hak Pakai atas tanah negara. (2) Hipotik atau fidusia dapat juga dibebankan atas tanah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) beserta rumah yang akan dibangun sebagai jaminan pelunasan kredit yang dimaksudkan untuk membiayai pelaksanaan pembangunan rumah susun yang telah direncanakan di atas tanah yang bersangkutan dan yang pemberian kreditnya dilakukan secara bertahap sesuai dengan pelaksanaan pembangunan rumah susun tersebut. 57

Pembebanan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun diatur dalam Pasal 13 Undang-undang No. 16 Tahun 1985, yaitu: Dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 12, Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) dapat dijadikan jaminan utang dengan: a. dibebani hipotik, jika tanahnya tanah Hak Milik atau Hak Guna Bangunan; b. dibebani fidusia, jika tanahnya tanah Hak Pakai atas tanah negara. Berdasarkan ketentuan Pasal 12 dan Pasal 13 Undangundang No. 16 Tahun 1985 dapat dijelaskan bahwa: a. rumah susun dan hak milik atas satuan rumah susun dapat dibebani hipotik jika tanahnya Hak Milik atau Hak Guna Bangunan; b. rumah susun dan hak milik atas satuan rumah susun dapat dibebani fidusia jika tanahnya Hak Pakai atas tanah negara. Undang-undang No. 16 Tahun 1985 dilaksanakan oleh Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 1988 tentang Rumah Susun. Pembebanan rumah susun atau hak milik atas satuan rumah susun dengan dibebani hipotik atau fidusia diatur dalam Pasal 43 nya, yaitu: Dalam hal terjadi pembebanan atas rumah susun, pendaftaran hipotik atau fidusia yang bersangkutan dilakukan dengan menyampaikan: a. sertipikat hak milik atas satuan rumah susun yang bersangkutan; b. akta pembebanan hipotik atau fidusia; c. surat-surat lainnya yang diperlukan untuk pembebanan. Pasal 15 Undang-undang No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman mengatur hak milik atas rumah dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Fidusia, yaitu : (1) Pemilikan rumah dapat dijadikan jaminan utang. (2) a. pembebanan fidusia atas rumah dilakukan dengan akta otentik yang dibuat oleh notaris sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; b. pembebanan hipotek atas rumah beserta tanah yang haknya dimiliki oleh pihak yang sama dilakukan dengan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. Penjelasan Pasal 15 ayat (1) Undang-undang No. 4 Tahun 1992 menyatakan bahwa pemilikan rumah oleh bukan pemilik hak atas tanah, dengan persetujuan tertulis pemilik hak atas tanah, dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani fidusia. Pemilikan rumah oleh pemilik hak atas tanah, rumahnya dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani fidusia. Pemilikan rumah oleh pemilik hak atas tanah, rumah beserta tanahnya dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hipotek. Undang-undang No. 16 Tahun 1985, Undang-undang No. 4 Tahun 1992, dan Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 1988 mengatur bahwa rumah susun, hak milik atas satuan rumah susun, dan rumah dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani fidusia, tetapi tidak memberikan pengertian tentang fidusia dan tidak mengatur tata cara (prosedur) pembebanan fidusia. 7 (tujuh) tahun setelah berlakunya Undang-undang No. 4 Tahun 1992 diundangkan Undang-undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, tanggal 30 September 1999. Fidusia merupakan istilah yang sudah lama dikenal di Indonesia, namun Undangundang yang mengatur tentang fidusia baru ada tahun 1999 dengan Undang-undang No. 42 Tahun 1999. Fidusia menurut Munir Fuady, juga disebut dengan istilah Penyerahan Hak Milik Dengan Kepercayaan. Dalam terminologi Belandanya disebut dengan istilah lengkapnya Fiduciare Eigendom Overdracht, sedangkan dalam Bahasa Inggrisnya disebut dengan istilah lengkapnya Fiduciary Transfer of Ownership. 2 2 Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis Menata Bisnis Modern di Era Global, Cet. III, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2008, h. 151. 58

Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-undang No. 42 Tahun 1999, yang dimaksud fidusia adalah hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda. Selanjutnya, dalam Pasal 1 angka 2 nya dinyatakan bahwa jaminan fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang telah berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditor lainnya. Dari ketentuan Pasal 1 angka 2 Undang-undang No. 42 Tahun 1999 dapat diketahui bahwa objek Jaminan Fidusia, adalah : a. Benda bergerak, meliputi : 1. benda bergerak berwujud; 2. benda bergerak tidak berwujud. b. Benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dibebani dengan Hak Tanggungan. Bangunan termasuk rumah yang menjadi objek Jaminan Fidusia disebutkan dalam Penjelasan Pasal 15 ayat (1) Undang-undang No. 4 Tahun 1992, yaitu: a. Pemilikan rumah oleh bukan pemilik hak atas tanah, dengan persetujuan dengan tertulis pemilik hak atas tanah dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Fidusia; b. Pemilikan rumah oleh pemilik hak atas tanah, rumahnya dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Fidusia. Rumah yang menjadi objek Jaminan Fidusia dapat berdiri di atas tanah haknya sendiri, atau berdiri di atas tanah Hak Milik orang lain. Kalau rumah yang mau dijadikan jaminan utang dengan dibebani Fidusia berada di atas tanah milik orang lain, maka harus mendapatkan persetujuan tertulis terlebih dahulu dari pemilik tanah. Objek Jaminan Fidusia adalah rumah saja tanpa hak atas tanah. Dari aspek hak atas tanah yang di atasnya berdiri bangunan rumah dapat dijelaskan: a. Rumah yang berdiri di atas tanah haknya sendiri Rumah yang berdiri di atas tanah haknya sendiri, yaitu rumah tersebut berdiri di atas tanah berstatus Hak Milik, Hak Guna Bangunan, atau Hak Pakai. b. Rumah yang berdiri di atas tanah Hak Milik orang lain Rumah yang berdiri di atas tanah Hak Milik orang lain, yaitu rumah tersebut berdiri di atas tanah berstatus Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik, Hak Pakai atas tanah Hak Milik, atau Hak Sewa Untuk Bangunan. Syarat rumah tidak beserta tanah, baik yang berdiri di atas tanahnya sendiri atau berdiri di atas tanah Hak Milik orang lain yang menjadi objek Jaminan Fidusia adalah rumah yang sifatnya dimiliki bukan rumah sewa. Jenis rumah yang dapat dijadikan objek Jaminan Fidusia adalah rumah komersial, rumah swadaya, dan rumah umum, sedangkan rumah khusus dan rumah negara tidak dapat menjadi objek Jaminan Fidusia. Pemilikan rumah yang berdiri di atas tanah Hak Milik orang lain, yang pembangunan rumahnya atas persetujuan dari pemilik tanah merupakan penerapan asas pemisahan horizontal (horizontale scheiding beginsel). Menurut Djuhaendah Hasan, dinyatakan bahwa dalam asas pemisahan horizontal, pemilikan atas tanah dan benda atau segala sesuatu yang berdiri di atas tanah itu adalah berbeda. Asas pemisahan horizontal memisahkan tanah dengan benda lain yang melekat pada tanah itu. 3 Ter Haar yang pendapatnya dikutip oleh Iman Sudiyat menyatakan bahwa, tanah adalah terpisah dari segala sesuatu yang melekat padanya atau pemilikan atas tanah terlepas dari benda 3 Djuhaendah Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain Yang Melekat Pada Tanah Dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horizontal, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, h. 76. 59

yang berada di atas tanah itu. Sehingga pemilik atas tanah dan bangunan yang berada di atasnya dapat berbeda. 4 Dalam asas pemisahan horizontal, bangunan dan tanaman yang ada di atas tanah bukan merupakan satu kesatuan, pemilikan atas tanah tidak selalu memiliki bangunan atau tanaman yang ada di atasnya, dan perbuatan hukum mengenai tanah tidak selalu meliputi bangunan atau tanaman yang ada di atasnya kecuali diperjanjikan lain Di samping asas pemisahan horizontal, terdapat asas perlekatan (accessie beginsel), yaitu bangunan atau tanaman di atas tanah merupakan satu kesatuan, pemilikan atas tanah termasuk memiliki bangunan atau tanaman yang ada di atasnya, dan perbuatan hukum mengenai tanah meliputi pula bangunan atau tanaman yang ada di atas tanah kecuali diperjanjikan lain. Dalam UUPA dan Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 diterapkan asas pemisahan horizontal, yaitu: a. Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Pengelolaan Pemilikan bangunan di atas tanah yang berstatus Hak Guna Bangunan yang berasal dari tanah Hak Pengelolaan. b. Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik Pemilikan bangunan di atas tanah yang berstatus Hak Guna Bangunan yang berasal dari tanah Hak Milik. c. Hak Pakai atas tanah Hak Pengelolaan Pemilikan bangunan di atas tanah yang berstatus Hak Pakai yang berasal dari tanah Hak Pengelolaan. d. Hak Pakai atas tanah Hak Milik Pemilikan bangunan di atas tanah yang berstatus Hak Pakai yang berasal dari tanah Hak Milik. e. Hak Sewa Untuk Bangunan Pemilikan bangunan di atas tanah yang berstatus Hak Sewa yang berasal dari tanah Hak Milik. Dalam Pasal 1 angka 2 Undang-undang No. 42 Tahun 1999 dinyatakan bahwa jaminan fidusia adalah hak 4 Iman Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Asas, Liberty, Yogyakarta, 1981, h. 54. jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undangundang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang telah berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditor lainnya. Berdasarkan ketentuan ini, bangunan rumah yang tidak dapat dibebani Hak Tanggungan dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Fidusia dengan syarat bangunan rumah tersebut merupakan rumah komersial, rumah swadaya, dan rumah umum, bukan rumah negara atau rumah khusus, baik yang berdiri di atas tanah haknya sendiri maupun di atas tanah Hak Milik orang lain yang sifat penguasan rumahnya adalah dimiliki bukan sewa. Ketentuan hak milik atas rumah sebagai Jaminan Fidusia dapat disebutkan, yaitu: a. Pemberi Fidusia adalah pemilik rumah yang juga pemegang hak atas tanah atau pemilik rumah yang bukan pemilik tanah sebagai debitor atau pihak yang berutang; b. Penerima Fidusia adalah perseorangan atau badan hukum yang memberikan utang kepada Pemberi Fidusia sebagai kreditor atau pihak yang berpiutang; c. Objek Jaminan Fidusia adalah bangunan rumah saja tidak beserta tanahnya yang sifat penguasaan rumahnya dimiliki bukan sewa; d. Jaminan Fidusia merupakan perjanjian ikutan dari suatu perjanjian pokok yang berupa perjanjian utang piutang antara Pemberi Fidusia dan Penerima Fidusia; e. Secara riil, Penerima Fidusia hanya berfungsi sebagai pemegang jaminan, bukan sebagai pemilik yang sebenarnya; f. Hak milik atas rumah tidak beserta tanahnya sebagai objek Jaminan Fidusia diserahkan secara yuridis oleh Pemberi Fidusia kepada Penerima Fidusia yang dibuktikan dengan Akta Jaminan Fidusia yang dibuat oleh dan dihadapan notaris; 60

g. Untuk memenuhi keterbukaan, Jaminan Fidusia wajib didaftarkan oleh Penerima Fidusia ke Kantor Pendaftaran Fidusia, yaitu Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Provinsi untuk dicatat dalam Daftar Buku Fidusia dan diterbitkan Sertipikat Jaminan Fidusia sebagai tanda bukti Jaminan Fidusia; h. Setiap janji yang memberi kewenangan kepada Penerima Fidusia untuk memiliki rumah yang menjadi objek Jaminan Fidusia apabila debitor cidera janji adalah batal demi hukum; i. Hak Penerima Fidusia untuk mengeksekusi hak milik atas rumah sebagai Jaminan Fidusia jika ada wanprestasi dari pihak Pemberi Fidusia sebagai debitor; j. Apabila hutang Pemberi Fidusia dilunasi, maka hak milik atas rumah sebagai Jaminan Fidusia harus dikembalikan kepada Pemberi Fidusia; k. Jika hasil penjualan hak milik atas rumah sebagai Jaminan Fidusia melebihi jumlah hutangnya, maka sisa hasil penjualan harus dikembalikan kepada Pemberi Fidusia. 2. Mekanisme Pembebanan Hak Milik Atas Rumah Sebagai Jaminan Fidusia Syarat sahnya Jaminan Fidusia atas pemilikan rumah harus memenuhi 3 (tiga) tahapan yang bersifat kumulatif, yaitu: a. Adanya Perjanjian Utang Piutang Pemilik rumah membutuhkan uang untuk suatu keperluan atau pengembangan usaha (bisnis). Untuk memenuhi kebutuhan itu, ia berhutang kepada pihak lain, misalnya bank. Utang piutang itu dituangkan dalam perjanjian utang piutang antara pemilik rumah sebagai Pemberi Fidusia atau debitor dan pihak bank sebagai Penerima Fidusia atau kreditor. Perjanjian utang piutang ini sebagai perjanjian pokok dalam Jaminan Fidusia. Perjanjian utang piutang ini dapat dibuat dengan akta autentik yaitu aktanya dibuat oleh notaris, atau dibuat dengan akta di bawah tangan, yaitu aktanya dibuat oleh Pemberi Fidusia dan Penerima Fidusia. Utang Pemberi Fidusia atau debitor kepada Penerima Fidusia atau kreditor dengan jaminan berupa hak milik atas rumah yang dimiliki oleh Pemberi Fidusia atau debitor. Utang piutang antara Pemberi Fidusia atau debitor dan Penerima Fidusia atau kreditor yang dituangkan dalam bentuk perjanjian tertulis merupakan perjanjian pokok dalam Jaminan Fidusia. b. Adanya Akta Jaminan Fidusia Untuk memberikan jaminan utang Pemberi Fidusia atau debitor kepada Penerima Fidusia atau kreditor, Pemberi Fidusia atau debitor menyerahkan secara yuridis hak milik atas rumah tidak beserta hak atas tanahnya kepada Penerima Fidusia atau kreditor. Penyerahan hak milik atas rumah tidak beserta hak atas tanahnya sebagai jaminan utang merupakan perjanjian ikutan atau perjanjian tambahan atau bersifat accessoir dari perjanjian pokok berupa perjanjian utang piutang. Menurut Pasal 4 Undang-undang No. 42 Tahun 1999, jaminan fidusia merupakan perjanjian ikutan dari suatu perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi suatu prestasi. Yang dimaksud perjanjian ikutan (perjanjian accessoir) adalah perjanjian yang mengikuti perjanjian lain yang disebut perjanjian pokok, dan berakhir apabila perjanjian pokoknya berakhir. 5 Pada Jaminan Fidusia terdapat 2 (dua) perjanjian, yaitu perjanjian utang piutang sebagai perjanjian pokok, dan penyerahan secara yuridis jaminan berupa objek Jaminan Fidusia oleh Pemberi Fidusia atau debitor kepada Penerima Fidusia atau kreditor sebagai perjanjian ikutan atau perjanjian tambahan yang bersifar accessoir. 5 Sutan Remy Syahdeni, Komentar Pasal Demi Pasal Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, Majalah HUKUM BISNIS, Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, Jakarta, 1999, h. 42. 61

Untuk menjamin pelunasan utang Pemberi Fidusia atau debitor kepada Penerima Fidusia atau kreditor, maka dilakukan penyerahan secara yuridis hak milik atas rumah tidak beserta hak atas tanahnya oleh Pemberi Fidusia atau debitor kepada Penerima Fidusia atau kreditor. Penyerahan secara yuridis hak milik atas rumah sebagai Jaminan Fidusia oleh Pemberi Fidusia kepada Penerima Fidusia adalah surat bukti kepemilikan bangunan gedung rumah. Pengaturan surat tanda bukti kepemilikan bangunan gedung diatur dalam Undang-undang No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung dan Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 2005 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung. Dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-undang No. 28 Tahun 2002 ditetapkan bahwa setiap bangunan gedung harus memenuhi persyaratan administratif yang meliputi: a) status hak atas tanah, dan/atau izin pemanfaatan dari pemegang hak atas tanah; b) status kepemilikan bangunan gedung; dan c) izin mendirikan bangunan gedung, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 12 Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 2005 mengatur status kepemilikan bangunan gedung, yaitu: (1) Status kepemilikan bangunan gedung dibuktikan dengan surat bukti kepemilikan bangunan gedung yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah, kecuali bangunan gedung fungsi khusus oleh Pemerintah, berdasarkan hasil kegiatan pendaftaran bangunan gedung. (2) Kepemilikan bangunan gedung dapat dialihkan kepada pihak lain. (3) Dalam hal pemilik bangunan gedung bukan pemilik tanah, pengalihan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus mendapat persetujuan pemilik tanah. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai surat bukti kepemilikan bangunan gedung diatur dengan Peraturan Presiden. Hak milik atas rumah yang diserahkan secara yuridis sebagai Jaminan Fidusia oleh Pemberi Fidusia kepada Penerima Fidusia adalah surat tanda bukti kepemilikan rumah. Hambatan dan permasalahan penyerahan yuridis hak milik atas rumah sebagai Jaminan Fidusia adalah sampai sekarang belum ada surat tanda bukti kepemilikan rumah. Penyerahan secara yuridis hak milik atas rumah sebagai jaminan utang dibuktikan dengan Akta Jaminan Fidusia yang dibuat oleh dan dihadapan notaris. Pengertian notaris disebutkan dalam Pasal 1 angka 1 Undang-undang No. 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, yaitu pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini. Produk dari tugas notaris adalah akta notaris, pengertian akta notaris disebutkan dalam Pasal 1 angka 7 Undang-undang No. 2 Tahun 2014, yaitu akta otentik yang dibuat oleh atau dihadapan notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam Undang-undang ini. Akta otentik menurut Pasal 1868 Burgerlijk Wetboek (BW), adalah akta di dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-undang, dibuat oleh dan dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu, di tempat dimana akta itu dibuatnya. 6 Unsur utama yang merupakan essensialia agar terpenuhi syarat formal bahwa suatu akta merupakan akta otentik, yaitu: 6 R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia Burgerlijk Wetboek, Paradnja Paramita, Jakarta, 1985, h. 419. 62

a. di dalam bentuk yang ditentukan oleh Undangundang; b. dibuat oleh dan dihadapan pejabat umum; c. akta itu dibuat oleh dan dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu dan di tempat dimana akta itu dibuat. 7 Pendapat yang sama tentang unsur-unsur akta otentik dikemukakan oleh Wawan Setiawan, yaitu: a. bentuk akta harus ditentukan oleh Undangundang, artinya tidak boleh ditentukan oleh perangkat peraturan perundang-undangan di bawah Undang-undang; b. dibuat oleh dan dihadapan pejabat umum; c. akta dibuat oleh dan dihadapan pejabat umum dalam wilayah jabatannya. 8 Berdasarkan ketentuan Pasal 1868 BW, suatu akta dinyatakan sebagai akta otentik apabila memenuhi 3 (tiga) unsur yang bersifat kumulatif, yaitu: a. bentuk akta ditentukan oleh Undang-undang; b. akta dibuat oleh dan dihadapan pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta; c. akta dibuat oleh pejabat umum dalam daerah (wilayah) kerjanya. Kewenangan notaris untuk membuat akta ditetapkan dalam Pasal 15 Undang-undang No. 2 Tahun 2014, yaitu: akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh Undang-undang. (2) Notaris berwenang pula: a. mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus; b. membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus; c. membuat kopi dan asli surat-surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan; d. melakukan pengesahan kecocokan foto kopi dengan surat aslinya; e. memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta; f. membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau g. membuat akta risalah lelang; (3) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. (1) Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan 7 Irawan Soerodjo, Kepastian Hak Atas Tanah di Indonesia, Apollo, Surabaya, 2003, h. 250. 8 Wawan Setiawan, Kedudukan dan Keberadaan Pejabat Umum Serta PPAT Dibandingkan Dengan Kedudukan Pejabat Tata Usaha Negara Menurut Sistem Hukum Nasional, Makalah, Surabaya, 1 Juni 1996, h. 12. Pasal 6 Undang-undang No. 42 Tahun 1999 menetapkan bahwa Akta Jaminan Fidusia yang dibuat oleh notaris sekurang-kurangnya memuat: a) identitas pihak Pemberi dan Penerima Fidusia; b) data perjanjian pokok yang dijamin Fidusia; c) uraian mengenai benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia; d) nilai penjaminan; dan e) nilai benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia. c. Adanya Pendaftaran Jaminan Fidusia Untuk terwujudnya tertib administrasi, asas publisitas, dan jaminan kepastian hukum bagi kreditor terhadap kreditor lainnya, maka hak milik 63

atas rumah yang dibebani dengan Jaminan Fidusia wajib didaftarkan ke Kantor Pendaftaran Fidusia. Kantor Pendaftaran Fidusia berada dalam lingkup tugas Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Kantor Pendaftaran Fidusia didirikan untuk pertama kali di Jakarta dengan wilayah kerja mencakup seluruh wilayah Negara Republik Indonesia dan secara bertahap didirikan di setiap wilayah ibukota provinsi. Dalam hal Kantor Pendaftaran Fidusia belum didirikan di tiap kabupaten/kota, maka wilayah kerja Kantor Pendaftaran Fidusia di ibukota provinsi meliputi seluruh kabupaten/kota yang berada di lingkungan wilayahnya. Saat ini, Kantor Pendaftaran Fidusia baru didirikan di ibukota provinsi. Kantor Pendaftaran Fidusia adalah Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Provinsi. Permohonan pendaftaran Jaminan Fidusia dilakukan oleh Penerima Fidusia, kuasa atau wakilnya dengan melampirkan pernyataan pendaftaran Jaminan Fidusia. Pernyataan pendaftaran Jaminan Fidusia memuat: a. identitas pihak Pemberi dan Penerima Fidusia; b. tanggal, nomor akta Jaminan Fidusia, nama, dan tempat kedudukan notaris yang memuat akta Jaminan Fidusia; c. data perjanjian pokok yang dijamin Fidusia; d. uraian mengenai benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia; e. nilai penjaminan; dan f. nilai benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia. Kantor Pendaftaran Fidusia mencatat Jaminan Fidusia dalam Buku Daftar Fidusia pada tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan permohonan pendaftaran. Pendaftaran Jaminan Fidusia oleh Penerima Fidusia ke Kantor Pendaftaran Fidusia menjadi tanda lahirnya Jaminan Fidusia. Sebagai tanda bukti terjadinya Jaminan Fidusia, Kantor Pendaftaran Fidusia menerbitkan Sertipikat Jaminan Fidusia dan menyerahkan kepada Penerima Fidusia pada tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan permohonan pendaftaran. Sertipikat Jaminan Fidusia merupakan salinan dari Buku Daftar Fidusia. Jaminan Fidusia lahir pada tanggal yang sama dengan tanggal dicatatnya Jaminan Fidusia dalam Buku Daftar Fidusia. Dalam Pasal 15 ayat (1) Undang-undang No. 42 Tahun 1999 ditetapkan bahwa dalam Sertipikat Jaminan Fidusia dicantumkan kata-kata DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. Berdasarkan kata-kata ini, Sertipikat Jaminan Fidusia mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Yang dimaksud dengan kekuatan eksekutorial adalah langsung dapat dilaksanakan tanpa melalui pengadilan dan bersifat final serta mengikat para pihak untuk melaksanakan putusan tersebut. 9 Apabila Pemberi Fidusia wanprestasi, eksekusi terhadap hak milik atas rumah yang menjadi objek Jaminan Fidusia dapat dilakukan dengan cara: a) pelaksanaan title eksekutorial oleh Penerima Fidusia; b) penjualan rumah yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasaan Penerima Fidusia sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan; c) penjualan di bawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan Pemberi Fidusia dan Penerima Fidusia jika dengan cara demikian dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan para pihak. Dalam hal hasil eksekusi melebihi nilai penjaminan, Penerima Fidusia wajib mengembalikan kelebihan tersebut kepada Pemberi Fidusia. Apabila hasil eksekusi tidak mencukupi untuk pelunasan utang 9 Sutan Remy Syahdeni, Op.cit., h. 45. 64

debitor tetap bertanggung jawab atas utang yang belum terbayar. Hapusnya hak milik atas rumah sebagai Jaminan Fidusia berdasarkan ketentuan Pasal 25 dan Pasal 26 Undang-undang No. 42 Tahun 1999, yaitu: a. hapusnya utang yang dijamin dengan fidusia berupa hak milik atas rumah; b. pelepasan hak atas Jaminan Fidusia oleh Penerima Fidusia; dan c. rumah yang menjadi objek Jaminan Fidusia musnah. Penerima Fidusia memberitahukan kepada Kantor Pendaftaran Fidusia mengenai hapusnya Jaminan Fidusia dengan melampirkan pernyataan mengenai hapusnya utang, pelepasan hak, atau musnahnya rumah yang menjadi objek Jaminan Fidusia tersebut. Dengan hapusnya Jaminan Fidusia, Kantor Pendaftaran Fidusia mencoret pencatatan Jaminan Fidusia dari Daftar Buku Fidusia. Kantor Pendaftaran Fidusia menerbitkan surat keterangan yang menyatakan Sertipikat Jaminan Fidusia yang bersangkutan tidak berlaku lagi. Hambatan dan permasalahan yuridis yang muncul berkaitan dengan hak milik atas rumah tidak beserta tanahnya dijadikan jaminan utang dengan dibebani Fidusia adalah sampai sekarang belum ada surat tanda bukti kepemilikan bangunan rumah yang menjadi perintah Undang-undang No. 28 Tahun 2002 juncto Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 2005. Atas dasar hambatan dan permasalahan ini, dalam pelaksanaan hak milik atas rumah tidak beserta tanahnya yang menjadi objek Jaminan Fidusia akan menemui kesulitan penjaminannya, yaitu rumah yang diserahkan secara yuridis oleh Pemberi Fidusia kepada Penerima Fidusia sebagai Jaminan Fidusia tidak ada surat tanda bukti kepemilikannya. Penutup Rumah mempunyai fungsi sebagai aset bagi pemiliknya, maka rumah mempunyai nilai ekonomis yang dapat dinilai dengan uang, sehingga rumah dapat dijadikan jaminan utang. Apabila yang dijadikan jaminan utang adalah rumah tidak beserta hak atas tanahnya, maka lembaga jaminannya adalah Fidusia. Rumah yang dijadikan jaminan utang dengan dibebani Jaminan Fidusia adalah rumah yang sifatnya dimiliki bukan bukan rumah sewa. Mekanisme pembebanan jaminan Fidusia adalah rumah adalah adanya perjanjian utang piutang antara pemilik rumah sebagai debitur dengan pihak lain (bank) sebagai kreditur, adanya Akta Pembebanan Fidusia yang dibuat oleh notaris, dan pendaftaran Jaminan Fidusia kepada Kantor Pendaftaran Fidusia. Sebagai tanda bukti Jaminan Fidusia diterbitkan Sertipikat Jaminan Fidusia oleh Kantor Pendaftaran Fidusia. Rekomendasi yang dapat disampaikan adalah agar hak milik atas rumah dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Jaminan Fidusia, maka Pemerintah Daerah harus melaksanakan perintah Undang-undang No. 28 Tahun 2002 juncto Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 2005 untuk menerbitkan Peraturan Daerah yang mengatur surat tanda bukti kepemilikan bangunan. 65

DAFTAR PUSTAKA Fuady, Munir, Pengantar Hukum Bisnis Menata Bisnis Modern di Era Global, Cet. III, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2008. Hasan, Djuhaendah, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain Yang Melekat Pada Tanah Dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horizontal, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996. Setiawan, Wawan, Kedudukan dan Keberadaan Pejabat Umum Serta PPAT Dibandingkan Dengan Kedudukan Pejabat Tata Usaha Negara Menurut Sistem Hukum Nasional, Makalah, Surabaya, 1 Juni 1996. Soerodjo, Irawan, Kepastian Hak Atas Tanah di Indonesia, Apollo, Surabaya, 2003. Subekti dan R. Tjitrosudibio, R., Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia Burgerlijk Wetboek, Paradnja Paramita, Jakarta, 1985. Sudiyat, Iman, Hukum Adat Sketsa Asas, Liberty, Yogyakarta, 1981. Syahdeni, Sutan Remy, Komentar Pasal Demi Pasal Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, Majalah HUKUM BISNIS, Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, Jakarta, 1999. Undang-undang No. 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun. Undang-undang No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman. Undang-undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Undang-undang No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung. Undang-undang No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman. Undang-undang No. 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 2005 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung. 66