BAB II KAJIAN PUSTAKA. Jensen dan Meckling (1976) mendefinisikan hubungan keagenan sebagai

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. peraturan organisasi yang berlaku. Pada organisasi pemerintahan di Indonesia,

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Teori keagenan mendeskripsikan hubungan antara pemegang saham

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kesenjangan anggaran dapat ditelusuri dari pengembangan agency theory

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. peraturan organisasi yang berlaku. Pada organisasi pemerintahan di Indonesia,

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. situasi atau organisasi (perusahaan) tertentu. Dalam partisipasi penyusunan anggaran,

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS. digunakan sebagai acuan dalam pemecahan masalah yang sedang diteliti.

BAB II KAJIAN PUSTAKA. penelitian ini, selanjutnya akan diuraikan mengenai penelitian- penelitian sejenis

BAB I PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang, rumusan masalah,

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. Teori Keagenan merupakan sebuah teori yang membahas mengenai hubungan

BAB I PENDAHULUAN. Penganggaran merupakan suatu unsur atau bagian penting dalam sebuah

BAB I PENDAHULUAN. disfungisional terhadap sikap dan perilaku anggota organisasi (Indriantoro dan

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. 1977; Nori, 1996) dalam (Putu Novia, dkk: 2015). Mardiasmo (2002) dalam (Putu

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Penelitian ini menggunakan teori keagenan ( agency theory) sebagai teori

BAB I PENDAHULUAN. negara, tidak terkecuali di Indonesia. Baik pada sektor publik maupun pada sektor

BAB I PENDAHULUAN. kesinambungan, dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat (Mardiasmo,

BAB I PENDAHULUAN. dalam operasionalnya memiliki tujuan yang hendak dicapai. Untuk mencapai

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS. Hubungan agensi muncul ketika salah satu pihak (prinsipal) menyewa pihak

BAB II LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. Alat utama kebijakan fiskal adalah anggaran. Deddi et al. (2007)

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Akuntansi dan Sistem Pelaporan Terhadap Akuntabilitas Kinerja Instansi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PERANAN PARTISIPASI PENYUSUNAN ANGGARAN TERHADAP HUBUNGAN ANTARA KEADILAN PROSEDURAL DAN KINERJA MANAJERIAL (Survei pada BAPPEDA Surakarta)

BAB I PENDAHULUAN. yaitu fungsi perencanaan (planning), fungsi pelaksanaan (actuating), dan fungsi

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS

2015 PENGARUH PARTISIPASI PENYUSUNAN ANGGARAN TERHADAP SENJANGAN ANGGARAN DENGAN BUDGET EMPHASIS SEBAGAI VARIABEL MODERASI

Kata Kunci :partisipasi penyusunan anggaran, budgetary slack, komitmen organisasi, etika

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. Bab ini akan memaparkan teori-teori yang digunakan dalam penelitian.

BAB I PENDAHULUAN. politik sangat dominan dalam proses pengambilan keputusan penetapan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Anggaran merupakan elemen sistem pengendalian manajemen yang

BABI PENDAHULUAN. Anggaran dalam dunia bisnis merupakan unsur utama dalam perencanan dan

INTERAKSI BUDAYA ORGANISASI, INFORMASI ASIMETRI, DAN GROUP COHESIVENESS DALAM HUBUNGAN ANTARA PARTISIPASI PENGANGGARAN DAN BUDGETARY SLACK

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. adanya faktor-faktor situasional yang dapat mempengaruhi variabel satu dengan

BAB I PENDAHULUAN. Suatu rencana mengidentifikasi tujuan dan tindakan yang akan dilakukan untuk

BAB I PENDAHULUAN. perencanaan yang baik karena merupakan proses penentuan kebijakan dalam rangka

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (suplementer) dan saling terkait antar dokumen kebijakan. (APBD) merupakan dokumen yang saling berkaitan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. yang dibiayai dari uang publik. Melalui anggaran, akan diketahui

BAB II KAJIAN TEORI DAN HIPOTESIS. perusahaan untuk berbagai macam tujuan Otley (1980) dalam Suryanawa (2008).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Anggaran sektor publik merupakan suatu instrumen perencanaan,

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Penjelasan mengenai konsep budgetary slack dimulai dari pendekatan agency

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. Teori agensi merupakan kondisi dimana prinsipal (pemilik atau manajemen

BAB I PENDAHULUAN. tertentu berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat

BAB I PENDAHULUAN UKDW. menggabungkan pendekatan top down dengan pendekatan bottom up dalam

Rina Ismawati B

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan untuk mencapai tujuan tersebut (Hansen dan Mowen [1997]). Proses

BAB II LANDASAN TEORI. principal dan agen. Pihak principal adalah pihak yang memberikan mandat

BAB I PENDAHULUAN. kebijakan ekonomi untuk daerah maupun kebijakan ekonomi untuk pemerintah

BAB 1 PENDAHULUAN. kepuasaan, dan ketenangan. Resort berarti tempat beristirahat untuk sementara waktu.

BAB I PENDAHULUAN. negeri, dan obligasi pemerintah, serta sumber dana lain yang sah dan tidak

BAB I PENDAHULUAN. sebagai kontrak atau dokumen untuk komitmen dan kesepakatan yang telah dibuat

BAB I PENDAHULUAN. yang mengatakan wujud dari penyelenggaraan otonomi daerah adalah

BAB II TINJAUAN TEORITIS DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. dengan teori-teori berikut ini (Shield dan Shield, 1998 dalam Sumarno, 2005).

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS. Bagian ini membahas mengenai teori-teori dan pendekatan yang

BAB I PENDAHULUAN. melaksanakan kegiatan organisasi secara lebih efektif dan efisien (Scief dan

suatu kegiatan/ program/ kebijaksanaan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi digunakan dalam pengendalian disiapkan dalam rangka menjamin bahwa

BAB I PENDAHULUAN. perusahaan untuk mencapai tujuannya, yaitu memperoleh laba.

PENGARUH ASIMETRI INFORMASI DAN PELIMPAHAN WEWENANG TERHADAP HUBUNGAN ANTARA PARTISIPASI DALAM PENYUSUNAN ANGGARAN DAN KINERJA MANAJER

BAB I PENDAHULUAN. membutuhkan suatu manajemen yang baik. Menurut Welsch (2000) misinya tanpa suatu manajemen yang baik.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kepentingan organisasi dibandingkan dengan tujuan-tujuan individu

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Organisasi pemerintah daerah merupakan lembaga yang menjalankan roda

Materi kuliah ASP dapat di unduh (download) di : Agus Widarsono, SE.,M.Si, Ak

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan paradigma anggaran daerah dilakukan untuk menghasilkan

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan aspek transparansi dan akuntabilitas menjadi hal penting dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. publik terkait dengan proses penentuan jumlah alokasi dana untuk tiap-tiap

BAB I PENDAHULUAN. dan inovatif dengan mempertimbangkan faktor-faktor ekstern organisasi yang. tujuan organisasi secara efektif dan efisien.

BAB I PENDAHULUAN. sektor swasta, anggaran merupakan bagian dari rahasia perusahaan yang tertutup

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah daerah dan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang. perimbangan keuangan antara pusat dan daerah, membawa perubahan

BAB I PENDAHULUAN. serta tujuan jangka pendek dan jangka panjang (Hansen dan Mowen, 2001).

BAB I PENDAHULUAN. digerakkan oleh sektor bisnis (Privat) dan sektor publik (entitas publik).

BAB I PENDAHULUAN. penyelenggara negara atas kepercayaan yang diamanatkan kepada mereka. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. Anggaran merupakan kunci penting bagi seluruh jenis organisasi, baik

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. Menurut Stoner (1992), Organisasi adalah suatu pola hubungan-hubungan yang

Agar anggaran itu tepat sasaran dan sesuai dengan tujuan, maka diperlukan. kinerja yang baik antara atasan dan bawahan, pegawai dan pimpinan dalam

BAB I PENDAHULUAN. Disamping itu, dalam menghadapi pesaing-pesaingnya perusahaan harus

PENGARUH PENGANGGARAN PARTISIPATIF TERHADAP KINERJA MANAJERIAL DENGAN STRUKTUR ORGANISASI SEBAGAI VARIABEL MODERATING

BAB II DASAR TEORI Anggaran Definisi Anggaran. Anggaran menurut Henry Simamora (1999) merupakan suatu

BAB 1 PENDAHULUAN. masalah, menyeleksi serta mengimplementasikan proses adaptasi dengan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pengelolaan dana publik dan pelaksanaan program-program yang dibiayai. secara sistematis untuk satu periode.

BAB I PENDAHULUAN. penting untuk mengkomunikasikan rencana-rencana manajemen, peranan dalam hal merencanakan pembiayaan dan pendapatan pada suatu

BAB I PENDAHULUAN. sentralisasi menjadi desentralisasi. Menurut UU Nomor 5 Tahun 1974 yang telah

BAB II KAJIAN TEORI DAN HIPOTESIS. membuat rencana kegiatan untuk mencapai tujuan dan sasaran tersebut. Dampak

BAB II LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan atau lebih (Mikesell, 2007) dalam Widhianto (2010). Kenis (1979) koordinasi, komunikasi, evaluasi kerja, serta motivasi.

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. didefinisikan sebagai suatu kontrak yang terjadi pada saat prinsipal mulai

BAB I PENDAHULUAN. kepentingan elit. Dengan demikian maka pembangunan sebagai continuously

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS. Anggaran merupakan suatu alat perencanaan mengenai pengeluaran dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Organisasi sektor publik pada dasarnya membutuhkan sebuah

BAB I PENDAHULUAN. peluang baru bagi negara-negara berkembang, seperti di Indonesia. Persaingan antar

BAB I PENDAHULUAN. persaingan global akan menyebabkan suatu ketidakpastian dalam lingkungan bisnis

BAB II KAJIAN PUSTAKA. (1984) mengungkapkan bahwa hubungan keagenan di pemerintahan antara

BAB I PENDAHULUAN. direvisi menjadi Undang-Undang No. 32 tahun 2004 serta Undang-Undang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. organisasi secara efektif dan efisien (Schief dan Lewin,1970; Welsch, Hilton, dan

BAB I PENDAHULUAN. Hal tersebut akan berdampak pada pelanggan, persaingan, dan perubahan.

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan tahunan yang disusun untuk menjamin keterkaitan dan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

Transkripsi:

9 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Teori Keagenan Jensen dan Meckling (1976) mendefinisikan hubungan keagenan sebagai sebuah kontrak antara satu atau lebih yang bertindak sebagai prinsipal (yaitu pemegang saham) yang menunjuk orang lain sebagai agen (yaitu manajer) untuk melakukan beberapa jasa untuk kepentingan prinsipal termasuk mendelegasikan kekuasaan dalam pembuatan keputusan. Entitas di Indonesia terdiri dari dua sektor, yaitu entitas sektor publik dan non publik/swasta. Anggaran sektor publik berhubungan dengan proses penentuan jumlah dana untuk tiap-tiap program dan aktivitas dalam satuan moneter yang menggunakan dana masyarakat, serta bersifat terbuka untuk publik. Sedangkan anggaran pada sektor swasta bersifat tertutup untuk publik. Meskipun berbeda, kedua sektor memiliki kesamaan dalam hal pihak-pihak yang mengelola entitas tersebut yaitu prinsipal dan agen. Eisenhard (1989) dalam Sandrya (2012), menyatakan ada tiga asumsi mengenai teori keagenan yaitu : 1) asumsi tentang sifat manusia, yaitu sifat manusia yang mengutamakan kepentingan sendiri (self interest), keterbatasan rasionalitas atau daya pikir terhadap persepsi masa depan (bounded rationality), dan cenderung untuk menghindari resiko; 2) asumsi tentang keorganisasian, adalah konflik antar anggota organisasi, efisiensi, dan asimetri informasi yang terjadi antara prinsipal dan agen; dan 3) asumsi tentang informasi, adalah 9

10 informasi dianggap sebagai barang komoditi yang dapat diperjualbelikan. Berdasarkan ketiga asumsi tersebut manusia akan bertindak opportunistik, yaitu mengutamakan kepentingan pribadi daripada kepentingan organisasi. Agen akan termotivasi untuk meningkatkan kompensasi dan jenjang karir di masa mendatang, sedangkan prinsipal termotivasi untuk meningkatkan utilitas dan profitabilitasnya. Konflik kepentingan antara agen dan prinsipal akan terus meningkat, karena prinsipal tidak dapat memonitor kegiatan agen setiap hari. Sebaliknya, agen memiliki lebih banyak informasi penting mengenai kapasitas diri, lingkungan kerja dan organisasinya secara keseluruhan. Hal inilah yang menimbulkan asimetri informasi yaitu ketidakseimbangan informasi antara prinsipal dan agen. Teori keagenan juga menyatakan bahwa entitas merupakan urat nadi dari hubungan-hubungan keagenan dan mencoba untuk memahami perilaku organisasi dengan menguji bagaimana pihak-pihak dalam hubungan keagenan tersebut memaksimumkan utilitas melalui kerjasama. Latuheru (2005) menyatakan jika bawahan (agent) yang berpartisipasi dalam proses penyusunan anggaran mempunyai informasi khusus tentang kondisi lokal, akan memungkinkan bawahan memberikan informasi yang dimilikinya untuk membantu kepentingan perusahaan. Namun sering keinginan atasan tidak sama dengan bawahan sehingga menimbulkan konflik diantara mereka. Hal ini dapat terjadi dalam melakukan kebijakan pemberian rewards organisasi kepada bawahan didasarkan pada pencapaian anggaran. Bawahan cenderung memberikan informasi yang bias agar anggaran mudah dicapai dan mendapatkan

11 rewards berdasarkan pencapaian anggaran tersebut. Kondisi ini akan menyebabkan terjadinya senjangan anggaran. 2.2 Pendekatan Kontijensi Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa ada ketidakkonsistenan antara satu peneliti dengan peneliti lainnya, sehingga para peneliti berkesimpulan bahwa ada variabel lain yang memengaruhinya. Govindarajan (1986) dalam Husnatarina dan Nor (2007) mengemukakan bahwa untuk menyelesaikan perbedaan dari berbagai hasil temuan tersebut, dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan kontijensi (contigency approach). Pendekatan kontijensi tersebut memungkinkan adanya variabel-variabel lain yang dapat bertindak sebagai variabel moderating maupun intervening yang memengaruhi hubungan antara partisipasi penganggaran dengan senjangan anggaran. Murray (1990) dalam Husnatarina dan Nor (2007) menjelaskan bahwa Variabel Moderating adalah variabel yang memengaruhi hubungan antara dua variabel. Sedangkan variabel intervening adalah variabel yang dipengaruhi oleh suatu variabel lain dan memengaruhi variabel lainnya. Dengan kata lain variabel intervening merupakan variabel perantara antara dua variabel. Dalam penelitian ini, pendekatan kontijensi akan digunakan untuk mengevaluasi keefektifan hubungan partisipasi penganggaran pada senjangan anggaran. Berdasarkan pendekatan kontijensi di atas peneliti menduga keadilan prosedural dan iklim kerja etis akan memoderasi hubungan partisipasi anggaran dengan senjangan anggaran.

12 2.3 Anggaran Anggaran merupakan rencana kegiatan yang terdiri dari sejumlah target yang akan dicapai oleh pimpinan organisasi dalam melaksanakan serangkaian kegiatan tertentu pada masa yang akan datang (Husnatarina dan Nor, 2007). Rencana kegiatan ini memerlukan informasi lokal dari bawahan untuk tercapainya target tersebut. Anggaran juga dapat dikatakan sebagai pernyataan mengenai estimasi kinerja yang hendak dicapai selama perioda waktu tertentu dalam ukuran finansial (Mardiasmo, 2002). Anggaran daerah harus bisa menjadi tolak ukur pencapaian kinerja yang diharapkan, sehingga perencanaan anggaran daerah harus bisa menggambarkan sasaran kinerja secara jelas. Kejelasan sasaran anggaran merupakan sejauh mana tujuan anggaran ditetapkan secara jelas dan spesifik dengan tujuan agar anggaran tersebut dapat dimengerti oleh pihak yang bertanggung jawab atas pencapaian sasaran anggaran tersebut (Kenis, 1979). Pencapaian sasaran anggaran akan lebih mudah dicapai ketika pihak penyusun mengerti mengenai rencana yang akan dilaksanakan. Yusfaningrum dkk. (2005) menyatakan bahwa anggaran memberikan manfaat, antara lain: 1) Anggaran merupakan hasil dari proses perencanaan dan anggaran berarti mewakili kesepakatan negosiasi diantara partisipasi dominan dalam suatu organisasi mengenai tujuan kegiatan pada masa akan datang. 2) Anggaran merupakan gambaran tentang prioritas alokasi sumber daya karena dapat bertindak sebagai blue print aktivitas perusahaan.

13 3) Sebagai alat komunikasi antar divisi, dimana anggaran dapat sangat membantu melakukan komunikasi internal antar divisi dalam organisasi maupun manajemen puncak. Proses penyusunan anggaran menurut Chandra (1993) dibagi menjadi dua pendekatan yaitu imposed budgets approaches dan participative budgeting approaches. Proses penganggaran imposed budget dikenal dengan pendekatan top-down, sedangkan participative budgeting dikenal dengan pendekatan bottom-up. Menurut Siegel dan Marconi (1989) proses penyusunan anggaran melibatkan banyak pihak, mulai dari manajemen tingkat atas sampai manajemen tingkat bawah. Anggaran mempunyai dampak langsung terhadap perilaku manusia, terutama bagi individu yang langsung terlibat dalam penyusunan anggaran. Adapun tujuan dari penyusunan anggaran menurut Anthony dan Govindarajan (2011) adalah sebagai berikut: 1) Memperbaiki rencana strategis. 2) Mengkoordinasikan aktivitas berbagai bagian organisasi. 3) Mengarahkan tanggung jawab kepada manajer, memberikan otorisasi besarnya biaya yang boleh dikeluarkan dan memberikan umpan balik kepada manajer atas kinerjanya. 4) Sebagai perjanjian atau komitmen yang merupakan dasar untuk mengevaluasi kinerja manajer sesungguhnya.

14 Mardiasmo (2005:63) menyatakan terdapat beberapa alasan pentingnya anggaran sektor publik yaitu: a) Anggaran merupakan alat bagi pemerintah untuk mengarahkan pembangunan sosial-ekonomi, menjamin kesinambungan, dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat. b) Anggaran diperlukan karena adanya kebutuhan dan keinginan masyarkat yang tak terbatas dan terus berkembang, sedangkan sumber daya yang ada terbatas. Anggaran diperlukan karena adanya masalah keterbatasan sumber daya (scarcity of resources), pilihan (choice), dan trade offs. c) Anggaran diperlukan untuk meyakinkan bahwa pemerintah telah bertanggung jawab terhadap rakyat. Dalam hal ini anggaran publik merupakan instrumen pelaksanaan akuntabilitas publik oleh lembagalembaga publik yang ada. 2.4 Proses Penyusunan anggaran Pada dasarnya prinsip-prinsip dan mekanisme penganggaran relatif tidak berbeda antara sektor swasta dengan sektor publik (Henley et al., 1990). Menurut Mardiasmo (2002) siklus anggaran meliputi empat tahap yang terdiri atas : 1) Tahap persiapan anggaran Pada tahap persiapan anggaran dilakukan taksiran pengeluaran atas dasar taksiran pendapatan yang tersedia. Terkait dengan masalah

15 tersebut, yang perlu diperhatikan adalah sebelum menyetujui taksiran pengeluaran, hendaknya dilakukan penaksiran pendapatan secara lebih akurat. Perlu disadari adanya masalah yang cukup berbahaya jika anggaran pendapatan diestimasi pada saat bersamaan dengan pembuatan keputusan tentang anggaran pengeluaran. 2) Tahap ratifikasi Tahap ini merupakan tahap yang melibatkan proses politik yang cukup rumit dan cukup berat. Pimpinan eksekutif dituntut tidak hanya memiliki managerial skill, namun juga harus mempunyai political skill, salesman ship dan coalition building yang memadai. Integritas dan kesiapan mental yang tinggi dari eksekutif sangat penting dalam tahap ini. Hal tersebut penting karena dalam tahap ini pimpinan eksekutif harus mempunyai kemampuan untuk menjawab dan memberikan argumentasi yang rasional atas segala pertanyaan dan bantahan dari pihak legislatif. 3) Tahap implementasi/pelaksanaan anggaran Dalam tahap ini yang paling penting harus diperhatikan oleh manajer keuangan publik adalah dimilikinya sistem informasi akuntansi dan sistem pengendalian manajemen. Manajer keuangan publik dalam hal ini bertanggung jawab untuk menciptakan sistem akuntansi yang memadai dan andal untuk perencanaan dan pengendalian anggaran yang telah disepakati sehingga dapat diandalkan untuk tahap

16 penyusunan anggaran periode berikutnya. Sistem akuntansi yang baik dapat dilihat dari sistem pengendalian intern yang memadai. 4) Tahap pelaporan dan evaluasi anggaran Tahap pelaporan dan evaluasi terkait dengan aspek akuntabilitas. Pada saat tahap implementasi telah didukung dengan sistem akuntansi dan sistem pengendalian manajemen yang baik, maka diharapkan tahap pelaporan dan evaluasi anggaran tidak akan menemukan banyak masalah. Proses penyusunan anggaran pemerintah daerah dimulai dengan pelaksanaan Musyawarah Pembangunan Desa (Musrenbangdes) yang dilaksanakan bulan Januari dengan menyerap aspirasi atau program-program yang diajukan oleh masyarakat dalam bentuk prioritas pembangunan desa sebagai bentuk partisipasi masyarakat dalam pembangunan daerah. Pada bulan Pebruari dilanjutkan dengan Musyawarah Pembangunan Kecamatan (Musrenbangcam) untuk membahas program-program yang diajukan oleh desa yang menjadi prioritas yang sudah dibahas dalam Musrenbangdes. Kemudian bulan Maret dilaksanakan Forum Satuan Kerja Perangkat Daerah (Forum SKPD) untuk membahas program-program SKPD yang sinkron dengan programprogram yang sudah disepakati dalam Muserenbangcam dan menentukan SKPD yang mana akan melaksanakan program tersebut yang dilanjutkan dengan Musyawarah Perencanaan Pembangunan Kabupaten/Kota, sehingga bulan Mei sudah dihasilkan penetapan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD). Dari RKPD tersebut pada bulan Juni diadakan pembahasan dan kesepakatan

17 mengenai Kebijakan Umum APBD (KUA) antara kepala daerah dan DPRD yang berisikan kebijakan secara umum mengenai anggaran pendapatan dan belanja daerah. Berdasarkan KUA dilanjutkan dengan pembahasan dan kesepakatan Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS) yang berisikan program dan kegiatan masing-masing SKPD dan plafon anggaran untuk membiayai program dan kegiatan tersebut, kemudian dilanjutkan dengan penyusuanan Rencana Kerja Anggaran (RKA) SKPD berdasarkan plafon anggaran yang ada. RKA-SKPD yang sudah final dibuatkan Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) yang akan menjadi Rancangan APBD (RAPBD) yang disusun antara bulan Juli sampai September. Pada bulan Oktober sampai Nopember dilaksanakan pembahasan dan persetujuan RAPBD antara kepala daerah dan DPRD, penyusunan rancangan Perda tentang APBD dan penetapan Perda APBD bulan Desember yang dilampiri DPA masing-masing SKPD sehingga pada bulan Januari tahun berikutnya APBD sudah bisa dilaksankan. 2.5 Partisipasi Penganggaran Brownell (1982) dalam Rosalia (2004) menyatakan salah satu fungsi dari partisipasi penganggaran adalah sarana komunikasi antara bawahan dan atasan, tidak hanya seputar masalah anggaran, tetapi juga isu lain yang terkait dengannya. Partisipasi Penganggaran memungkinkan bawahan untuk bertukar dan mencari informasi dari atasan mereka, yang tentunya dapat mendukung terciptanya pemahaman yang lebih mendalam mengenai proses penentuan anggaran dan urusan keorganisasian lainnya. Selain itu juga memungkinkan

18 bawahan untuk menyampaikan kritiknya, untuk mencari informasi bagi penyelesaian tugasnya. Siegel dan Marconi (1989) dalam Falikhatun (2007) menyatakan bahwa partisipasi bawahan dalam penyusunan anggaran mempunyai hubungan yang positif dengan pencapaian tujuan organisasi. Bawahan mempunyai kesempatan untuk melaporkan informasi yang dimiliki kepada atasannya, sehingga atasan dapat memilih keputusan yang terbaik untuk pencapaian tujuan organisasi. Menyusun anggaran secara partisipatif diharapkan dapat meningkatan kinerja para pimpinan dan bawahannya. Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa ketika suatu tujuan atau standar yang dirancang secara partisipatif disetujui, maka bawahan akan bersungguh-sungguh pada tujuan atau standar yang ditetapkan, dan bawahan akan memiliki rasa tanggung jawab pribadi untuk mencapainya karena ikut serta terlibat dalam penyusunannya (Milani, 1975). Utomo (2006) mengemukakan bila partisipasi penganggaran tidak dilaksanakan dengan baik dapat mendorong bawahan atau pelaksana anggaran tidak melaksanakan dengan baik sehingga dapat mendorong bawahan atau pelaksana anggaran melakukan senjangan anggaran. Pendapat yang hampir sama dikemukakan oleh Sastropoetro (1980;39) partisipasi adalah keterlibatan yang bersifat spontan yang disertai kesadaran dan tanggung jawab terhadap kepentingan kelompok untuk mencapai tujuan bersama. Batasan pengertian tentang partisipasi dari pendapat diatas, memberikan gambaran tentang adanya beberapa hal pokok yang terkandung dalam partisipasi yaitu:

19 1) Partisipasi berarti keterlibatan mental dan emosi yang lebih banyak daripada fisik. Partisipasi yang didorong oleh mental dan emosi akan menimbulkan kesadaran yang menumbuhkan partisipasi sukarela, bukan ikut-ikutan atau tertekan dan terpaksa untuk keikutsertaan karena paksaan bukan partisipasi. 2) Partisipasi mendorong orang untuk menyumbang atau mendukung (to contribute) kepada kehidupan kelompok atau institusi kehidupan bersama bukan menyumbang (hadiah) kepada seseorang, sehingga adanya sumbangan (dukungan) kepada kehidupan kelompok dari anggota kelompok, jelas akan memberikan pengaruh yang sangat menentukan pada kelangsungan kehidupan kelompok. 3) Partisipasi mendorong orang untuk ikut bertanggung jawab dalam suatu kegiatan untuk kepentingan bersama. Karena apa yang disumbangkan itu adalah berdasarkan sukarela, sehingga menimbulkan rasa self involved kepada organisasi. Soobaroyen (2005) dalam Pratama (2013) menyebutkan bahwa partisipasi penganggaran dapat dilihat dari beberapa indikator yaitu : 1) Keikutsertaan penyusunan anggaran. 2) Besarnya pengaruh terhadap penetapan anggaran. 3) Kebutuhan memberikan pendapat.

20 2.6 Keadilan Prosedural Peran keadilan dalam proses penganggaran telah menjadi fokus riset akuntansi perilaku. Pihak yang bekerja dengan sumber-sumber yang terbatas tidak dapat memenuhi semua permintaan yang berkaitan dengan penganggaran, artinya masalah-masalah tentang keadilan nampaknya akan muncul ketika dinas menghadapi sumber-sumber daya yang terbatas (Libby, 1999). Kehadiran suatu prosedur diawali dengan pemikiran bahwa semua operasional lembaga akan berjalan sebagaimana yang diharapkan. Sementara adil adalah tidak berat sebelah dan hanya berpihak kepada yang benar (Syukri, 2012). Keadilan secara umum diartikan sebagai perbuatan atas perlakuan yang adil. Menurut Greenberg dan Baron (2003) keadilan prosedural didefinisikan sebagai persepsi keadilan atas pembuatan keputusan dalam organisasi yang telah dibuat. Pihak-pihak di dalam organisasi sangat memperhatikan dalam pembuatan keputusan secara adil dan mereka beranggapan bahwa organisasi dan karyawan akan diuntungkan jika organisasi melaksanakan prosedur dengan adil secara konsisten. Sedangkan definisi keadilan prosedural menurut Kreitner dan Kinicki (2000) adalah keadilan yang dirasakan dari proses dan prosedur yang digunakan untuk mengalokasikan keputusan. Keadilan prosedural terkait dengan kepatuhan dan transparansi dari proses-proses pembuatan keputusan. Mendengarkan keterangan semua pihak sebelum membuat keputusan merupakan salah satu langkah yang dianggap tepat untuk diambil, agar suatu proses dapat dianggap adil secara prosedural (Syukri, 2012 dalam Meiraningsih, 2014).

21 Leventhal (1980) mengusulkan beberapa kriteria yang dapat digunakan dalam mengevaluasi keadilan dalam suatu proses pengalokasian: Representativeness: proses tersebut menggabungkan minat dan nilai-nilai dari semua subgroup penting dalam masyarakat yang dipengaruhi oleh keputusan itu; Accuracy: keputusan-keputusan yang berdasarkan informasi yang benar dan akurat, pendapat yang mengandung informasi yang baik; Competency: semua orang yang dipengaruhi oleh proses menerima perlakuan yang sama (konsisten antar orang) dan proses yang digunakan dibuat dalam cara yang sama setiap saat (konsisten antar waktu); Bias Suppression: pengambilan keputusan tidak memiliki kepentingan pribadi dalam keputusan tersebut dan memberikan semua pandangannya dengan pertimbangan yang cukup; Correctability: proses tersebut memungkinkan melakukan koreksi terhadap keputusan yang buruk; dan Ethically: proses tersebut sesuai dengan standar etika dan moralitas pribadi. Pareke (2003) dalam Fitri (2009) menyatakan bahwa perspektif komponen-komponen struktural mengatakan bahwa keadilan prosedural merupakan suatu fungsi dari sejauh mana sejumlah aturan-aturan prosedural dipatuhi atau dilanggar. Aturan-aturan tersebut memiliki implikasi yang sangat penting karena dipandang sebagai manifestasi nilai-nilai proses dasar dalam organisasi. Jadi individu dalam organisasi akan mempersepsikan adanya keadilan prosedural manakala aturan prosedural yang ada dalam organisasi dipenuhi oleh para pengambil kebijakan. Sebaliknya apabila prosedur dalam organisasi itu dilanggar maka individu akan mempersepsikan adanya ketidakadilan. Karenanya keputusan harus dibuat secara konsisten tanpa adanya bias-

22 bias pribadi dengan melibatkan sebanyak mungkin informasi yang akurat, dengan kepentingan-kepentingan indivudu yang terpengaruh terwakili dengan cara-cara yang sesuai dengan nilai-nilai etis mereka. Dengan adanya keadilan prosedural diduga akan memperlemah pengaruh partisipasi penganggaran pada senjangan anggaran. 2.7 Iklim Kerja Etis Istilah etika secara etimologis berasal dari kata ethos yang berarti karakter, watak kesusilaan atau adat kebiasaan, yang dibatasi dengan dasar nilai moral menyangkut apa yang diperbolehkan atau tidak diperbolehkan, yang baik atau tidak baik, yang pantas atau tidak pantas pada perilaku manusia. Menurut para ahli maka etika tidak lain adalah aturan perilaku, adat kebiasaan manusia dalam pergaulan antara sesamanya untuk menegaskan mana yang benar dan salah. Etika merupakan pedoman cara bertingkah laku yang baik dari sudut pandang budaya, susila serta agama (Pramono, 2012). Etika mengatur hubungan antara manusia mengenai bagaimana orang berperilaku dalam berhubungan dengan orang lain. Menurut Aren (1995) perilaku beretika diperlukan oleh masyarakat agar semua sisi kehidupan dapat berjalan dengan baik dan teratur. Kebutuhan akan etika dalam masyarakat sangat penting, sehingga banyak diantara nilai-nilai etika dimasukkan dalam undang-undang. Terdapat dua alasan utama mengapa orang tidak beretika: 1) Standar etika seseorang berbeda dari masyarakat secara keseluruhan. 2) Seseorang memutuskan untuk bertindak semaunya.

23 Iklim etis didefinisikan sebagai kebijakan-kebijakan dan prosedurprosedur organisasi yang khusus yang berisi nilai-nilai etis. Iklim etis merupakan persepsi- persepsi yang menunjukkan tipe kebijakan dan prosedur organisasi yang memiliki nilai-nilai etis. Ethical work climate bukan suatu konstruk normatif untuk mengukur bagaimana etika yang berlangsung dalam suatu organisasi, tetapi dapat digunakan untuk menegakkan suatu indikator pemikiran etikal dalam suatu organisasi (Victor dan Cullen, 1988). Pertimbangan atas situasi-situasi etika dengan memperhatikan ruang lingkup etika, biasanya memerlukan dua dimensi fokus pengamatan (Rachels, 1989, 1999; Solomon, 1992 dalam Sulasmi dan Widhianto, 2009), yaitu: 1) Pertama menyangkut kriteria etika yang digunakan yang menyangkut masalah hasilnya, prinsip-prinsip yang berkembang atau aturan lain untuk membuat keputusan. 2) Dimensi kedua, yang disebut sebagai locus of analysis menjelaskan tentang siapa atau apa yang dipengaruhi oleh kejadian dengan cara yang relevan secara etika. Lingkupnya dapat bersifat individual (self), organisasi atau masyarakat. Victor dan Cullen (1988) dalam Sulasmi dan Widhianto (2009) menggunakan tiga klasifikasi moral philosophy untuk mendesain dimensi kriteria ethical work climate, yaitu: 1) Egoism artinya memaksimalkan kepentingan pribadi. 2) Benevolence artinya memaksimalkan kepentingan bersama.

24 3) Principle artinya ketaatan pada tugas, peraturan, hukum atau standar yang berlaku. Iklim kerja etis sangat penting diterapkan secara konsisten dalam organisasi sektor publik sebagai acuan anggota organisasi dalam berperilaku. Terutama sebagai pedoman etika bagi pihak penyusun anggaran dalam proses penyusunan anggaran sehingga menghasilkan keputusan penganggaran yang sesuai dengan aturan. Semakin etis iklim kerja suatu organisasi, diduga akan memperlemah pengaruh partsisipasi penganggaran pada senjangan anggaran, sebaliknya semakin tidak etis suatu organisasi, diduga akan semakin memperkuat pengaruh partisipasi anggaran pada senjangan anggaran. 2.8 Senjangan Anggaran Senjangan anggaran adalah perbedaan antara jumlah anggaran yang diajukan oleh subordinates dengan jumlah estimasi yang terbaik dari organisasi (Anthony dan Govindarajan, 2011). Faktor yang memotivasi bawahan untuk melakukan senjangan anggaran adalah untuk mendapatkan penilain kinerja yang baik dari atasan. Desmiyawati (2009) mendefinisikan senjangan anggaran sebagai tindakan bawahan yang mengecilkan kapasitas produktifnya ketika bawahan diberi kesempatan untuk menentukan standar kinerjanya. Hal ini menyebabkan perbedaan antara anggaran yang dilaporkan dengan anggaran yang sesuai dengan estimasi terbaik bagi organisasi. Senjangan anggaran terjadi apabila manajer dengan sengaja melakukan permintaan yang lebih besar terhadap sumber-sumber melebihi anggaran yang

25 sebenarnya dibutuhkan atau manajer dengan sengaja menyatakan kemampuan produktivitasnya lebih kecil dari yang sebenarnya ketika diberi kesempatan untuk memilih suatu standar kerja yang akan digunakan untuk menilai kinerjanya (Young, 1985). Anthony dan Govindarajan (1998) mendefinisikan senjangan anggaran sebagai perbedaan antara anggaran yang dilaporkan dengan anggaran yang sesuai estimasi terbaik bagi perusahan. Senjangan anggaran dipengaruhi oleh beberapa faktor termasuk diantaranya partisipasi bawahan dalam penyusunan anggaran (Yuwono, 1999). Faktor lain seperti kebijakan pemberian reward atau promosi atas pencapaian target anggaran. Senjangan anggaran timbul karena keinginan dari atasan dan bawahan yang tidak sama terutama jika kinerja tergantung pada pencapaian sasaran anggaran, maka mereka akan membuat senjangan anggaran melalui proses partisipatif (Schiff dan Lewin, 1970; Chow et al., 1988 dalam Grediani dan Sugiri, 2010). Adanya keinginan untuk menghindari risiko dari bawahan yang terlibat dalam penyusunan anggaran memberikan kecenderungan pemberian informasi yang tidak obyektif kepada atasannya tentang potensi, sumber daya dan kemampuannya dalam mencapai anggaran. Asrininggati (2006) dalam Pratama (2013) menyebutkan beberapa indikator senjangan anggaran yaitu: 1) Perbedaan jumlah anggaran yang dinyatakan dengan estimasi terbaik. 2) Kelonggaran dalam anggaran. 3) Standar anggaran. 4) Keinginan untuk mencapai target.

26 2.9 Penelitian Terdahulu 2.9.1 Penelitian Internasional 1) Penelitian Stede (2000) mengumpulkan data melalui kuesioner dengan menggunakan 341 responden, yaitu manajer unit bisnis umum dengan garis pelaporan langsung ke perusahaan di Belgia, menemukan bukti bahwa budgetary control berpengaruh negatif dan signifikan pada senjangan anggaran. 2) Penelitian Adnan dan Sulaiman (2007) menguji variabel budaya nasional, agama dan religiusitas dalam penciptaan senjangan anggaran. Dalam penelitian ini pengumpulan data dilakukan dengan memberikan kuesioner kepada 63 manajer departemen yang sebagian besar adalah orang Malaysia pada perusahaan Korea. Hasil penelitian menyatakan bahwa partisipasi anggaran dan budget emphasis memengaruhi penciptaan senjangan anggaran, tetapi tidak menemukan bukti bahwa budaya nasional, agama dan relegiusitas memengaruhi kecenderungan manajer untuk menciptakan senjangan anggaran. 3) Penelitian Rankin et al. (2008) yang menguji pengaruh kejujuran dan otorisasi yang unggul pada proposal anggaran dengan metoda kuesioner, menggunakan 60 lulusan sarjana dari sebuah universitas besar di AS. Hasil penelitian menunjukkan bahwa saat bawahan memiliki kewenangan akhir atas anggaran, secara signifikan slack berkurang dengan adanya pernyataan faktual dalam budget communication.

27 4) Penelitian Ozer dan Yilmaz (2011) yang menguji pengaruh persepsi keadilan prosedural, efektivitas pengendalian anggaran dan iklim kerja etis kecenderungan untuk menciptakan senjangan anggaran. Data penelitian dikumpulkan dengan memberikan kuesioner kepada 465 manajer yang bekerja pada organisasi sektor publik sebagai sampel penelitian. Penelitian tersebut menemukan efektivitas pengendalian anggaran, iklim kerja etis dan persepsi keadilan prosedural dari manajer memiliki dampak signifikan terhadap kecenderungan manajer untuk menciptakan senjangan anggaran. 5) Pada tahun 2011, Yilmaz dan Ozer kembali melakukan penelitian mengenai senjangan anggaran dengan menggunakan variabel lain, yaitu: pengaruh ketidakpastian lingkungan dan efektivitas pengendalian anggaran pada sektor publik. Penelitian ini dilakukan di Turkey, dengan 460 responden yang merupakan manajer pada organisasi sektor publik dengan pengumpulan data menggunakan kuesioner. Pada penelitian ini menemukan hubungan negatif dan signifikan antara ketidakpastian lingkungan dan efektivitas pengendalian anggaran yang cenderung dapat menciptakan senjangan anggaran. Namun ketidakpastian lingkungan memiliki hubungan positif signifikan pada senjangan anggaran. 2.9.2 Penelitian di Indonesia 1) Penelitian yang dilakukan oleh Belianus Patria Latuheru (2005) menguji pengaruh variabel komitmen organisasi dan partisipasi anggaran pada

28 senjangan anggaran. Hasil dari penelitian tersebut adalah interaksi antara variabel komitmen organisasi dengan partisipasi anggaran akan menurunkan kecenderungan manajer dalam menciptakan senjangan anggaran. 2) Suhartono dan Solichin (2006) menguji pengaruh kejelasan sasaran anggaran terhadap senjangan anggaran instansi pemerintah daerah dengan komitmen organisasi sebagai pemoderasi, mengumpulkan data melalui metoda survei pada dinas pemerintah daerah se-provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Simpulan penelitian ini adalah kejelasan sasaran anggaran berpengaruh negatif signifikan pada senjangan anggaran. Kejelasan sasaran dengan komitmen organisasi juga berpengaruh negatif signifikan pada senjangan anggaran. 3) Pengaruh partisipasi anggaran terhadap senjangan anggaran dengan menggunakan lima variabel pemoderasi diuji Ikhsan dan Ane (2007). Menggunakan 37 responden pada perusahaan manufaktur yang berada pada Kawasan Industri Medan dengan menggunakan teknik kuesioner. Temuan dari hasil pengujian adalah partisipasi anggaran berpengaruh positif terhadap senjangan anggaran. 4) Penelitian pengaruh keterlibatan pekerjaan dan budget emphasis pada hubungan antara partisipasi anggaran dengan senjangan anggaran dilakukan oleh Husnatarina dan Nor (2007). Dalam penelitian ini menggunakan sampel di kantor dinas dan badan yang ada di Kota Palangka Raya dengan memberikan kuesioner kepada 66 responden.

29 Hasil penelitian ini menyatakan partisipasi penyusunan anggaran berpengaruh positif signifikan pada senjangan anggaran, tapi interaksi antara partisipasi anggaran dengan keterlibatan kerja dan budget emphasis secara empiris tidak terbukti dapat menjadi variabel pemoderasi hubungan partisipasi anggaran pada senjangan anggaran. 5) Desmiyawati (2009) menguji pengaruh partisipasi anggaran terhadap senjangan anggaran dengan komitmen organisasi sebagai variabel moderating, pengumpulan data dengan menggunakan kuesioner terhadap 103 responden di lingkungan pemerintah daerah Kabupaten Indragiri Hulu. Dari hasil pengujian dapat disimpulkan bahwa partisipasi anggaran berpengaruh negatif signifikan terhadap senjangan anggaran. Tetapi tidak terdapat pengaruh interaksi partisipasi anggaran dan komitmen organisasi pada senjangan anggaran. 6) Penelitian Grediani dan Sugiri (2010) tentang pengaruh tekanan ketaatan dan tanggung jawab persepsian pada penciptaan senjangan anggaran. Pengumpulan data dengan kuesioner terhadap 63 mahasiswa program Magister Sains dan program sarjana jurusan Akuntansi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Temuan penelitian ini membutikan bahwa rekomendasi anggaran secara signifikan lebih tinggi daripada estimasi awal (akuntan manajemen di bawah tekanan dari atasan, akan melanggar kebijakan anggaran perusahaan dan menciptakan budgetary slack, sehingga menghasilkan rekomendasi anggaran yang lebih tinggi.

30 7) Penelitian Meiraningsih (2014) tentang pengaruh partisipasi penganggaran pada senjangan anggaran dengan keadilan prosedural dan iklim kerja etis sebagai variabel pemoderasi (studi empiris di Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga se-provisnsi Bali). Pengumpulan data dengan menggunakan kuesioner terhadap 138 Kepala Dinas, Kepala Subdinas/Kepala Bagian/Kepala Bidang dan Kepala Subbagian/Kepala Subbidang/Kepala seksi di Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga se- Provinsi Bali. Hasil penelitian menyatakan bahwa partsisipasi penganggaran berpengaruh positif pada senjangan anggaran, keadilan prosedural dan iklim kerja etis dapat berperan sebagai variabel pemoderasi hubungan antara patisipasi penganggaran dengan senjangan anggaran.