PROSPEK USAHA PETERNAKAN KAMBING MENUJU 2020

dokumen-dokumen yang mirip
P E N U T U P P E N U T U P

2. JUMLAH USAHA PERTANIAN

Jumlah Penduduk Jawa Timur dalam 7 (Tujuh) Tahun Terakhir Berdasarkan Data dari Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kab./Kota

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI JAWA TIMUR

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 72 TAHUN 2012 TENTANG UPAH MINIMUM KABUPATEN / KOTA DI JAWA TIMUR TAHUN 2013

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 69 TAHUN 2009 TENTANG UPAH MINIMUM KABUPATEN / KOTA DI JAWA TIMUR TAHUN 2010

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang memiliki

PEMBANGUNAN PERPUSTAKAAN DESA/KELURAHAN DI JAWA TIMUR 22 MEI 2012

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor peternakan merupakan bagian integral dari. pembangunan pertanian dan pembangunan nasional. Sektor peternakan di

BAB II GAMBARAN UMUM INSTANSI. 2.1 Sejarah Singkat PT PLN (Persero) Distribusi Jawa Timur

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 78 TAHUN 2013 TENTANG UPAH MINIMUM KABUPATEN/KOTA DI JAWA TIMUR TAHUN 2014

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG

BERITA RESMI STATISTIK

EVALUASI/FEEDBACK KOMDAT PRIORITAS, PROFIL KESEHATAN, & SPM BIDANG KESEHATAN

BAB IV GAMBARAN UMUM PROVINSI JAWA TIMUR. Provinsi Jawa Timur membentang antara BT BT dan

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 121 TAHUN 2016 TENTANG UPAH MINIMUM KABUPATEN/KOTA DI JAWA TIMUR TAHUN 2017

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 75 TAHUN 2015 TENTANG

KEPUTUSAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 188/ 557 /KPTS/013/2016 TENTANG PENETAPAN KABUPATEN / KOTA SEHAT PROVINSI JAWA TIMUR TAHUN 2016

I. PENDAHULUAN. kontribusi positif terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto Indonesia.

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 125 TAHUN 2008

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 68 TAHUN 2015 TENTANG UPAH MINIMUM KABUPATEN/KOTA DI JAWA TIMUR TAHUN 2016

BAB I PENDAHULUAN. Tahun (juta orang)

Grafik Skor Daya Saing Kabupaten/Kota di Jawa Timur

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 72 TAHUN 2014 TENTANG UPAH MINIMUM KABUPATEN/KOTA DI JAWA TIMUR TAHUN 2015

RENCANA PENGADAAN BARANG/JASA SUMBER DANA : DPA APBD SKPD DINAS PETERNAKAN PROVINSI JAWA TIMUR TAHUN ANGGARAN 2012

BAB I PENDAHULUAN. stabilisasi harga masih menjadi hal yang serius hingga saat ini, khususnya

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2005 TENTANG

POTRET PENDIDIKAN PROVINSI JAWA TIMUR (Indikator Makro)

LAPORAN AKHIR PEMANTAPAN PROGRAM DAN STRATEGI KEBIJAKAN PENINGKATAN PRODUKSI DAGING SAPI

GUBERNUR JAWA TIMUR TIMUR

GUBERNUR JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR,

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 72 TAHUN 2012 TENTANG UPAH MINIMUM KABUPATEN / KOTA DI JAWA TIMUR TAHUN 2013

PEMERINTAH PROPINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2000 TENTANG

I. PENDAHULUAN. Tabel 1 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun (juta rupiah)

Sensus Pertanian 2013 (ST2013) merupakan sensus pertanian keenam yang diselenggarakan Badan Pusat Statistik


I. PENDAHULUAN. Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 94 TAHUN 2016

EVALUASI TEPRA KABUPATEN/KOTA PROVINSI JAWA TIMUR OKTOBER 2016

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) JAWA TIMUR TAHUN 2015

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 41/PHPU.D-VI/2008 Tentang Sengketa perselisihan hasil suara pilkada provinsi Jawa Timur

RENCANA KERJA DINAS PERIKANAN DAN KELAUTAN PROVINSI JAWA TIMUR TAHUN 2010

Segmentasi Pasar Penduduk Jawa Timur

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG

PEMERINTAH PROPINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2000 TENTANG

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian, pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) KOTA PROBOLINGGO TAHUN 2016

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Pemerintah Provinsi Jawa Timur

Lampiran 1 LAPORAN REALISASI DAU, PAD TAHUN 2010 DAN REALISASI BELANJA DAERAH TAHUN 2010 KABUPATEN/KOTA DI JAWA TIMUR (dalam Rp 000)

Bab 4 P E T E R N A K A N

GUBERNUR JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR,

GUBERNUR JAWA TIMUR KEPUTUSAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 188/43/KPTS/013/2006 TENTANG

BAB V SIMPULAN DAN SARAN. Simpulan yang dapat diambil dari hasil penelitian ini sebagai berikut.

BERITA RESMI STATISTIK BPS PROVINSI JAWA TIMUR

per km 2 LAMPIRAN 1 LUAS JUMLAH WILAYAH JUMLAH KABUPATEN/KOTA (km 2 )

BAB II GAMBARAN UMUM INSTANSI. ditingkatkan saat beberapa perusahaan asal Belanda yang bergerak di bidang pabrik

I. PENDAHULUAN. Permintaan dunia terhadap pangan hewani (daging, telur dan susu serta produk

GUBERNUR KEPALA DAERAH TINGKAT I JAWA TIMUR KEPUTUSAN NOMOR 159 TAHUN 1980

BAB II GAMBARAN PELAYANAN SKPD

Gambar 1. Analisa medan angin (streamlines) (Sumber :

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Program dari kegiatan masing-masing Pemerintah daerah tentunya

Analisis Biplot pada Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur Berdasarkan Variabel-variabel Komponen Penyusun Indeks Pembangunan Manusia (IPM)

BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN. sebuah provinsi yang dulu dilakukan di Indonesia atau dahulu disebut Hindia

BAB II GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN. 2.1 Gambaran Umum Badan Ketahanan Pangan Provinsi Jawa Timur

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 110 TAHUN 2016

KAJIAN AWAL KETERKAITAN KINERJA EKONOMI WILAYAH DENGAN KARAKTERISTIK WILAYAH

DATA DINAMIS PROVINSI JAWA TIMUR TRIWULAN IV BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH PEMERINTAH PROVINSI JAWA TIMUR TAHUN ANGGARAN 2017

GUBERNUR KEPALA DAERAH TINGKAT I JAWA TIMUR KEPUTUSAN NOMOR 406 TAHUN 1991 TENTANG

GUBERNUR JAWA TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TIMUR,

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan daerah pada hakekatnya merupakan bagian integral dan

Jumlah rumah tangga usaha pertanian di Jawa Timur Tahun 2013 sebanyak 4,98 juta rumah tangga

1 PENDAHULUAN. Sumber : Direktorat Jendral Peternakan 2010

BAB II GAMBARAN PELAYANAN SKPD

TABEL II.A.1. LUAS LAHAN KRITIS DI LUAR KAWASAN HUTAN JAWA TIMUR TAHUN

BAB I PENDAHULUAN. Isu mengenai ketimpangan ekonomi antar wilayah telah menjadi fenomena

ISU STRATEGIS DAN ARAH KEBIJAKAN

I. PENDAHULUAN. Jumlah penduduk selalu bertambah dari tahun ke tahun, hal tersebut terus

Oleh : Nita Indah Mayasari Dosen Pembimbing : Dra. Ismaini Zain, M.Si

I PENDAHULUAN. 2,89 2,60 2,98 3,35 5,91 6,20 Makanan Tanaman Perkebunan 0,40 2,48 3,79 4,40 3,84 4,03. Peternakan 3,35 3,13 3,35 3,36 3,89 4,08

PERKIRAAN BIAYA (Rp) PENUNJUKAN LANGSUNG/ PEMBELIAN SECARA ELEKTRONIK PENGADAAN LANGSUNG

BAB II GAMBARAN UMUM INSTANSI

Hubungi Kami : Studi Potensi Bisnis dan Pelaku Utama Industri PETERNAKAN di Indonesia, Mohon Kirimkan. eksemplar. Posisi : Nama (Mr/Mrs/Ms)

- 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH

BAB I PENDAHULUAN. mengurus dan mengatur keuangan daerahnya masing-masing. Hal ini sesuai

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini, program pembangunan lebih menekankan pada penggunaan

4. DINAMIKA POLA KONSUMSI DAN KETAHANAN PANGAN DI PROVINSI JAWA TIMUR

BAB I PENDAHULUAN. A. LATAR BELAKANG MASALAH Dinamika yang terjadi pada sektor perekonomian Indonesia pada masa lalu

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Data Perkembangan Koperasi tahun Jumlah

1.1. UMUM. Statistik BPKH Wilayah XI Jawa-Madura Tahun

PRODUKSI PADI, JAGUNG, DAN KEDELAI (Angka Ramalan II Tahun 2014)

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan tersebut belum diimbangi dengan penambahan produksi yang memadai.

PRODUKSI PADI DAN PALAWIJA (Angka Sementara Tahun 2014)

RILIS HASIL LISTING SENSUS EKONOMI 2016 PROVINSI JAWA TIMUR TEGUH PRAMONO

Nomor : KT.304/ 689 /MJUD/XI/2014 Surabaya, 20 Nopember 2014 Lampiran : - Perihal : Awal Musim Hujan 2014/2015 Prov. Jawa Timur.

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PRODUKSI PANGAN INDONESIA

KARYA ILMIAH PELUANG USAHA PETERNAKAN SAPI

BAB I. PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

PRODUKSI PADI DAN PALAWIJA (Angka Ramalan II 2015)

Transkripsi:

PROSPEK USAHA PETERNAKAN KAMBING MENUJU 2020 YUSMICHAD YUSDJA Puslitbang Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian ABSTRAK Kambing merupakan ternak dunia karena hidup menyebar ke seluruh dunia, namun Indonesia mempunyai peluang besar dalam mengembangkan ternak kambing untuk pasar dunia tahun 2020 karena Indonesia mempunyai sumberdaya alam yang mendukung. Tulisan ini merupakan naskah gagasan pemikiran tentang prospek usahaternak kambing. Pendekatan analisis dilakukan melalui dari kinerja pasar dan suplai dalam negeri serta luar negeri. Pada kenyataaannya, Indonesia bukan pasar yang menarik bagi baik dalam hal impor mau pun ekspor daging kambing. Kesimpulan utama adalah bahwa prospek usaha ternak jauh lebih menguntungkan jika diarahkan ke pasar dunia. Untuk memenuhi pasar dunia perlu didirikan perusahaan-perusahaan komersil baik skala menengah dan besar. Sedangkan untuk pasar dalam negeri, pemerintah harus tetap mempertahankan situasi usaha ternak kambing yang sudah ada namun perhatian khusus harus diberikan pada usaha-usaha ternak rakyat skala menengah. Kata kunci: Kambing, usaha peternakan, prospek PENDAHULUAN Globalisasi pasar dunia akan terus berlangsung pada masa-masa yang akan datang dan akan membawa angin perubahan dan perubahanperubahan itu tampaknya akan melindas sistem landasan perdagangan internasional yang mengutamakan perolehan dollar menjadi globalisasi pasar yang lebih menggandalkan pergerakan oleh karena kebutuhan manusia terhadap bahan-bahan makanan. Atas dasar itu, Indonesia harus bersiap-siap meletakan diri dalam posisi yang tepat sehingga Indoesia mempunyai peran yang menentukan dalam globalisasi tahun 2020. Bergabungnya 97 negara berkembang melawan beberapa negara maju memperlihatkan bagaimana kekuatan dunia sudah mulai bergoyang ke arah lain yang belum jelas. Hal yang terakhir ini membuktikan bahwa globalisasi dunia akan terus berkembang. Salah satu komoditas pertanian yang dimiliki hampir seluruh dunia adalah kambing, namun Indonesia merupakan salah satu negara yang dapat mengandalkan produksi ternak kambing potong menghadapi globalisasi hasil pertanian tahun 2020. Indonesia merupakan negara tropis yang memiliki tipe iklim yang sesuai bagi pengembangan ternak kambing, tanah yang luas dan prduksi hijauan yang jauh dari cukup untuk memelihara 100 juta juta ternak kambing atau 10 kali dari jumlah populasi kambing yang ada sekarang. Pada sisi lain pemasaran ternak kambing di dalam negeri mencapai titik jenuh. Jumlah suplai daging kambing lebih besar dari jumlah permintaan. Tulisan ini merupakan sumbangan pemikiran yang bertujuan untuk melihat prospek pengusahaan kambing sebagai usaha ekonomi yang menguntungkan. POPULASI DAN PRODUKSI KAMBING Populasi Kambing Jumlah kambing di Indonesia diperkirakan sebesar 12.5 juta pada tahun 2001. Jumlah ini mungkin tidak sulit dievaluasi. Namun demikian, setelah kerisis ekonomi tahun 1997 ada perubahan dalam pengumpulan data yang lebih dekat pada kebenaran. Sebagaimana pada Tabel 1, sejak tahun 1997 terjadi penurunan populasi kambing yang diperkirakan sebesar 3.8 persen per tahun. Angka populasi kambing sejak tahun 1998 mendapat koreksi dari beberapa daerah yang melakukan perhitungan kembali seperti NTB dan juga disebabkan oleh krisis ekonomi yang dimulai tahun 1997. Krisis telah menyebabkan semua jenis ternak mengalami penurunan setelah tahun 1997. Diperkirakan sebesar 54% dari jumlah kambing di Indonesia berada di Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat (Tabel 2). Informasi ini memperlihatkan bahwa kambing sebagai sumber pendapatan rakyat lebih banyak dimanfaatkan di Jawa dibandingkan Sumatera dan wilayah lainnya. Sebagai contoh, hanya sekitar 10% berada di Sumatera. Hal ini tidak mengherankan karena pemeliharaan ternak kambing mengikuti pertanian. Semakin luas wilayah pertanian semakin tinggi jumlah kambing. Pola ini menyamai pola jumlah populasi sapi potong di Jawa yang mengikuti luas lahan sawah. Informasi ini juga memperlihatkan bahwa pemeliharaan kambing mengikuti pola usaha tradisional. 21

Tabel 1. Perkembangan Populasi Berbagai Jenis Ternak Tahun Sapi Perah Sapi Potong Ayam Buras Ayam Petelur Ayam Pedaging Kerbau Babi Kambing Domba 1990 294 10,410 201,366 43,185 326,612 3,335 7,136 11,298 6,006 1991 306 10,667 208,966 46,885 407,908 3,311 7,612 11,484 6,108 1992 312 11,211 222,530 54,146 459,097 3,342 8,135 12,062 6,235 1993 329 10,829 222,893 54,736 528,159 3,057 8,704 11,502 6,240 1994 334 11,367 243,261 63,334 622,965 3,104 8,858 12,770 6,741 1995 341 11,534 250,080 68,897 689,467 3,136 7,720 13,167 7,168 1996 348 11,816 260,713 78,706 755,956 3,171 7,597 13,840 7,724 1997 334 11,939 260,835 70,623 641,374 3,065 8,233 14,163 7,698 1998 322 11,634 253,133 38,861 354,004 2,829 7,798 13,560 7,144 1999 332 11,276 252,653 45,531 324,347 2,504 7,042 12,701 7,226 2000 354 11,008 259,257 69,366 530,874 2,405 5,357 12,566 7,427 Trend 1.270 0.757 2.464 1.999 1.296-2.806-1.709 1.588 2.404 Sumber: STATISTIK PETERNAKAN 2001 Tabel 2. Proporsi terbesar populasi kambing dan domba Propinsi Kambing Domba Populasi (ekor) % Populasi (ekor) % Sumut 698851 5.56 184583 2.49 Lampung 625514 4.98 - - Jabar 1705605 13.57 3475019 46.79 Jateng 2968072 23.62 1982988 26.70 Jatim 2284244 18.18 1342186 18.07 Aceh - - 119963 1.62 Indonesia 12565569 65.91 7426992 95.66 Sekalipun populasi kambing terbesar terdapat di Jawa namun pergerakan kambing hidup untuk di potong ke wilayah konsumsi relatif sangat rendah. Informasi ini memperlihatkan bahwa kebutuhan daging kambing di wilayah konsumsi cukup disediakan dari wilayah yang bersangkutan atau dari wilayah sekitarnya. Misalnya kebutuhan konsumsi daging kambing di wilayah Jakarta cukup dipenuhi oleh produksi kambing dari wilayah Bogor dan sekitarnya. Demikian juga dengan Sumatera yang memiliki populasi kambing yang relatif rendah, tidak perlu mendatangkan kambing dari Jawa, karena kebutuhan cukup di datangkan dari Sumatera sendiri. Dengan demikian dapat dikatakan tidak ada keterpaduan pasar kambing antara satu wilayah Jawa dan Sumatera dan antara wilayah-wilayah dalam pulau Jawa. Atas dasar itu 22 jika seseorang membangun usaha ternak kambing potong, ia akan berhadapan dengan bentuk pasar daging yang sulit diprediksi. Sekalipun pasar hampir berbentuk persaingan sempurna yakni banyak perusahaan dan banyak pembeli namun dalam kasus komoditas kambing ternyata pasar tidak menjadi media persaingan Namun demikian berdasarkan data skunder ada beberapa hal yang bertentangan, jika dilihat lebih spesifik pada kasus Jawa Timur yang memiliki jumlah kambing nomor dua terbesar di Indobnesia. Distribusi jumlah kambing per kabupaten di Jawa Timur untuk tahun 2003 Tabel 3). Pertama yang ingin disampaikan bahwa tidak ada korelasi antara jumlah populasi sapi potong dengan jumlah kambing menurut wilayah. Artinya jumlah sapi potong di suatu wilayah tidak menentukan jumlah kambing. Jika

suatu wilayah mempunyai banyak sapi potong tidak berarti di wilayah itu terdapat banyak jumlah kambing (secara statitstik, korelasi antara kedua hubungan itu tidak nyata). Tabel 3. Populasi kambing menurut kecamatan dan porsi penduduk per pemotongan kambing. Populasi Pemotongan Penduduk Pddk/Pemotongan Sapi Potong Pacitan 68 17 543 32 1 Ponorogo 107 23 898 39 1 Trenggalek 192 37 671 18 1 Tulungagung 64 25 972 39 3 Blitar 88 18 1101 61 3 Kediri 129 42 1400 33 3 Malang 125 50 2399 48 15 Lumajang 99 30 948 32 6 Jember 58 23 2120 92 8 Banyuwangi 31 12 1475 123 11 Bondowoso 44 17 673 40 7 Situbondo 46 8 600 75 5 Probolinggo 64 5 961 192 5 Pasuruan 56 42 1225 29 6 Sidoarjo 19 11 1293 118 15 Mojokerto 52 21 887 42 3 Jombang 178 18 1135 63 7 Nganjuk 112 35 1016 29 4 Madiun 34 13 654 50 2 Magetan 20 28 683 24 2 Ngawi 51 24 862 36 2 Bojonegoro 112 35 1191 34 5 Tuban 79 22 1027 47 5 Lamongan 37 11 1210 110 3 Gresik 65 19 963 51 6 Bangkalan 97 9 773 86 9 Sampang 62 5 721 144 5 Pamekasan 37 14 683 49 6 Sumenep 140 5 978 196 10 Kota Kediri 4 8 238 30 3 Kota Blitar 2 7 123 18 3 Kota Malang 5 1 743 743 1 Kota Batu 3 36-18 Kota P. Linggo 4 3 181 60 2 Kota Pasuruan 2 2 159 80 4 Kota Mojekerto 1 9 108 12 3 Kota Madiun 1 11 189 17 4 Kota Surabaya 1 223 2463 11 119 23

Jika dilihat bahwa jumlah kambing di Jawa Timur sebanyak 2,3 juta dan jumlah sapi 3,1 juta maka jelas dapat dikatakan bahwa bahwa peternak sapi berbeda dengan peternak kambing. Ini juga memperlihatkan bahwa sebagian besar kambing tidak dipelihara oleh peternak padi sawah. Dengan kata lain kambing lebih banyak dihasilkan di wilayah lahan non sawah yang kemungkinan wilayah lahan kering dan kambing dipelihara sebagai cabang usaha rumah tangga petani. Beberapa hal penting sehubungan dengan tujuan penulisan makalah ini yang dapat dilihat dari Tabel 3 tersebuit adalah sebagai berikut: Semua kabupaten memiliki ternak kambing dengan kisaran antara 40 sampai 140 ribu ekor (kecuali kotamadya). Sehingga produksi kambing relatif tidak bergerak dari suatu wilayah lain kecuali ke kotamadya seperti Surabaya. Kesimpulan dari diskusi bahwa dengan tipe pasar kambing seperti ini tidak akan mempunyai daya tarik terhadap investor untuk membangun usaha ternak kambing. Lokasi pemasaran yang luas namun sangat yang bersaing dengan usaha rakyat. Juga jelas terlihat bahwa pola distribusi suplai yang merata di seluruh wilayah mendorong setiap wilayah swasembada daging kambing. Seorang investor yang ingin berusaha ternak kambing potong di Jawa Timur -sebagai kasus- dengan tujuan untuk memenuhi pasar konsumsi terutama Surabaya akan mendapat persaingan yang kuat dari usaha rakyat yang datang dari semua penjuru. Apalagi usaha ternak kambing dan domba dapat dikatakan membutuhkan biaya pakan dalam bentuk uang tunai yang relatif mendekati nol. Karena itu harga kambing pada tingkat peternak sulit disaingi oleh perusahaan komersil. Ini merupakan salah satu pertimbangan bagi investor untuk mengadakan usaha penggemukan sapi potong lokal. Usaha ternak kambing yang dibangun oleh perusahaan akan mempunyai kelayakan finansial jika menggunakan bakalan impor untuk tujuan memenuhi konsumsi daging masyarakat internasional karena konsumen ini tidak dapat dijangkau oleh peternakan rakyat. Prospek yang baik adalah bagi pengembangan usaha tradisonal itu sendiri dengan menggeser usaha skala menengah dengan pola pemeliharaan pakan yang mendekati nol. PERKEMBANGAN PERMINTAAN DAGING KAMBING Perkembangan konsumsi hasil ternak tahun 1996 dan 1999 berdasarkan data Susenas (Tabel 4). Kebetulan data ini dikumpulkan pada masa 24 sebelum dan sesuah krisis ekonomi, sehingga ada kecenderungan kansumsi semua komoditas menurun untuk daerah perkotaan. Namun demikian konsumsi daging sapi dan kambing tidak mengalami perubahan. Hal ini disebabkan konsumsi daging sapi yang mahal sedangkan konsumsi daging yang memang relatif sangat kecil, sehingga perubahannya tidak banyak berarti. Konsumsi daging kambing secara relatif masih relatif rendah dibandingkan konsumsi babi yang 6 kali lebih besar sedangkan konsumsi daging sapi 24 kali lebih besar. Hal kedua adalah pada krisis ekonomi kambing potong tidak memasuki pasar kota tetapi lebih banyak beredar di daerah pedesaan selain diperoleh dari pesta keramaian tetapi juga dari pemotongan ternak milik sendiri. Namun demikian yang menjadi fokus perhatian adalah mengapa angka konsumsi daging kambing sangat rendah. kambing bukanlah bahan makanan pokok yang setingkat dengan daging sapi dan daging ayam karena daging kambing lebih banyak dikonsumsi sebagai makanan penghibur terutama bagi kaum muda dan dewasa. Orang yang berusia lebih 50 tahun pada umumnya, para penderita penyakit jantung dan darah tinggi dan sebagainya tidak menggemari makan daging kambing. Demikian juga dengan anak-anak di bawah umur 10 tahun jarang mengkonsumsi daging kambing, sangat rendah berbeda dengan konsumsi daging sapi dan daging ayam. kambing sering dianggap dapat meningkatkan suhu tubuh dan membuat jantung berdebar-debar. Sehingga dua hal yang berkaitan dengan konsumsi daging kambing adalah penyakit dan kegemaran. Berbeda dengan mengapa orang mengkonsumsi daging sapi, telur dan susu yang dilandasi oleh kebutuhan protein yang erat hubungannya dengan tingkat kecerdasan dan pertumbuhan. Kenyataan ini menjadi bahan pertimbangan utama bagi produsen ternak kambing dalam hal mensiasati pasar. Misalnya karena daging kambing merupakan makanan kegemaran, maka peningkatan konsumsi daging kambing dapat dilakukan dengan peningkatan ragam makanan, menciptakan lebih banyak pesta-pesta dengan menjadikan kambing sebagai bahan makanan utama. Siasat yang lain menjangkau lebih banyak penduduk untuk makan kambing. Misalnya memproduksi daging kambing untuk pasar dunia dimana daya jangkaunya adalah paling tidak 3 milyar penduduk berusia muda dan dewasa untuk mengkonsumsi daging kambing. Peluang pasar menjadi sangat besar dibandingkan jika terpaku dengan pasar domestik. Untuk Indonesia membangun perusahan peternakan kambing akan mendapat kesulitan dengan pola

Tabel 4. Perkembangan Konsumsi Per MG/Kapita Keterangan Susenas '96 Susenas '99 Pedesaan Perkotaan Pedesaan Perkotaan segar sapi 0.005 0.024 0.005 0.014 kerbau 0.001 0.003 0.001 0.001 kambing 0.001 0.002 0.001 0.001 babi 0.006 0.004 0.003 0.003 ayam ras 0.025 0.082 0.011 0.039 ayam kampung 0.025 0.020 0.011 0.010 unggas lainnya 0.001 0.001 0.001 0.000 lainnya 0.001 0.001 0.001 0.000 Telur dan Susu Telur ayam ras 0.060 0.112 0.038 0.079 Telur ayam kampung (btr) 0.205 0.152 0.152 0.077 Susu murni (ltr) 0.001 0.008 pemasaran yang sangat ditentukan secara spsifik lokasi kecuali untuk pusat-pusat konsumsi. Namun demikian pasar-pasar di pusat konsumsi berada di bawah pengaruh produsen kambing yang menyebar relatif tinggi, sehingga perkembangan harga sulit diprediksi Pada kenyataannya Indonesia, sekalipun jumlah kambing cukup untuk memenuhi konsumsi daging dalam negeri masih melakukan impor. Karena daging kambing domestik diisukan sebagai bermutu rendah dan tidak sesuai dengan konsumsi masyarakat internasional yang menetap di Indonesia dan penghuni hotel-hotel internasional. Secara logis alasan ini dapat diterima karena daging kambing yang dipasar di Indonesia tidak jelas sumber pemeliharaan dan bagaimana pola pakan yang diberikan dan kontinuitas suplai yang dapat dikatakan tidak ada, sehingga setiap membeli kambing selalu berasal dari sumber yang berbeda. Kekurangan ini sebenarnya dapat di atas dengan membangun peternakan skala menengah yang kusus menggunakan bibit domestik dengan pola makanan yang berbeda dibandingkan cara-cara tradisional. Sekitar 500 ribu ton daging kambing diimpor atau setara dengan 10 000 ribu ekor/tahun (Tabel 5). Masalahnya memang kalsik, usaha ternak kambing selalu dianggap kurang menguntungkan dan resiko tinggi sehingga investor enggan menanam modal. Untuk menghilangkan isue ini maka sebaiknya pemerintah bersama-sama organisasi peternakan memberikan informasi seluas-luasnya kepada investor tentang citra positip pengusahaan ternak kambing. Tabel 5 juga memperlihatkan hanya permintaan daging kambing impor yang mengalami penurunan setelah krisis ekonomi tahun 1997. Tabel 5. Perkembangan impor daging 1997-2000 (000 ton) Jenis 1997 1998 1999 2000 Trend Sapi 23,315 8,814 10,553 26,962 17 Kambing 675 412 435 592 (6) Babi 101 58 108 321 170 Unggas 811 572 4,070 14,017 1,208 Hati sapi 8,942 6,229 7,746 30,103 149 Gambar 1 dan Gambar 2 serta Tabel 6 memperlihatkan perkembangan suplai dan konsumsi daging sapi dan kambing tahun 1997-2000. Dari kedua gambar tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa: Posisi suplai daging sampi satu tahun ke depan akan berada semakin jauh di bawah kurva konsumsi. Konsumsi daging sapi akan terus melonjak pada tahun-tahun mendatang yang tidak akan dapat dikejar oleh suplai dalam negeri jika tidak dilakukan antisipasi. Kekurangan ini tidak akan dapat digantikan oleh daging kambing tetapi digantikan oleh daging kerbau dan unggas. Karena itu, gap permintaan yang besar dibandingkan dengan produksi daging sapi tidak memberikan peluang bagi masuknya daging kambing. Situasi pasar daging kambing berbeda dengan daging sapi. 25

Perkembangan suplai daging kambing terus melonjak lebih cepat dibandingkan dengan permintaan kambing potong. Artinya, suplai daging kambing telah berlebihan dan Indonesia sudah mencapai swasembada daging kambing. Keadaan ini ini akan mempengaruhi harga daging kambing. 000 ton 300 270 240 210 180 150 120 90 60 30 0 penawaran 2000 2001 2002 2003 2004 2005 permintaan Gambar 5. Proyeksi penawaran dan permintaan daging sapi Sebenarnya kelebihan ini dapat dipasok untuk kebutuhan atau substitusi impor. Tetapi kita membutuhkan bantuan investor atau pemasok daging kambing impor untuk mengelola kelebihan suplai dalam negeri. Kesimpulan dari kedua butir di atas adalah jelas tidak menarik prospek usaha ternak kambing potong jika mengharapkan pasar produksi daging dalam negeri. Peluang terbesar adalah pasar ekspor. Bagaimana peluang pasar ekspor tersebut? 000 ton 59 58 57 56 55 54 53 52 51 50 Penawaran Permintaan 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Gambar 6. Proyeksi penawaran dan permintaan daging kambing Tabel 6. Perkembangan SD (Suplai) dan Demand (DD) dan Gap Sapi (GDS), 2000-2005. Jenis sapi kambing /domba babi ayam broiler Total Uraian 2000 2001 2002 2003 2004 2005 G (%/th) SDS 203,164 202,980 202,780 202,563 202,329 202,079-0,1070 DDS 225,156 233,540 242,900 253,325 264,918 277,794 42,920 GDS -21,992-30,559-40,119-50,762-62,588-75,716 xxx SDK 54,204 54,782 55,406 56,076 56,795 57,564 12,102 DDK 54,250 54,521 54,814 55,129 55,466 55,825 0,5740 GDK -0,046 0,261 0,592 0,947 1,329 1,739 xxx SDB 109,489 125,042 142,998 163,754 187,775 215,611 145,146 DDB 99,415 103,101 107,079 111,373 116,006 121,006 40,092 GDB 10,074 21,941 35,919 52,381 71,770 94,604 xxx SDA 196,846 196,020 195,192 194,363 193,532 192,700-0,4248 DDA 200,839 202,431 204,106 205,967 207,716 209,655 0,8629 GDA -3,993-6,411-8,914-11,504-14,184-16,955 xxx SD 563,703 578,824 596,376 616,756 640,666 667,954 34,536 DD 579,660 593,593 608,899 625,694 644,106 664,280 27,630 GD -15,957-14,768-12,522-8,938-3,673 3,672 xxx 26

SARAN KEBIJAKAN Prospek usaha peternakan kambing potong di Indonesia dapat dikatakan sangat memungkinkan dari segi teknis dan sosial ekonomi. Namun demikian, ada dua tipe jenis usaha yang sebaiknya menjadi pertimbangan: tipe Perusahaan yang dapat berukuran komersial untuk tujuan ekspor terutama negara-negara Afrika. Perusahaan semacam ini tidak mungkin memasarkan daging kambing di dalam negeri. Perusahaan berukuran skala menengah untuk tujuan subtitusi impor. Perusahaan skala menengah ini diambil para peternakan yang ada secara selektif untuk didorong pengembangannya. Usaha peternakan rakyat secara selektif menurut struktur pemilikan dan penguasaan ternak harus dibantu pengembangannya untuk mempertahankan usaha rakyat dan melestarikan populasi. Salah satu pendekatan yang dapat dilakukan adalah agribisnis pada tingkat industri maupun pada tingkat wilayah untuk meningkatkan peran pemerintah. 27