SISTEM JARINGAN PENGIMBAS TERIMBAS DALAM MENGOPTIMALKAN PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSI TAHUN 2016

dokumen-dokumen yang mirip
PELAKSANAAN PENDIDIKAN INKLUSI DI KABUPATEN PELALAWAN PROVINSI RIAU TAHUN Oleh

BAB I PENDAHULUAN. dalam melakukan segala aktifitas di berbagai bidang. Sesuai dengan UUD 1945

BAB I PENDAHULUAN. Anak-anak berkebutuhan khusus (ABK) membutuhkan fasilitas tumbuh kembang

BUPATI GARUT PERATURAN BUPATI GARUT NOMOR 735 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

2017, No Tahun 2014 Nomor 16, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5500); 3. Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2015 tentang Kement

BUPATI TRENGGALEK PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI TRENGGALEK NOMOR 15 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam kehidupan bernegara, ada yang namanya hak dan kewajiban warga

Seminar Tugas Akhir BAB I PENDAHULUAN

PERAN GPK DALAM PELAYANAN SISWA ABK DI SEKOLAH INKLUSI PASCA DEKLARASIKAN PROVINSI BALI SEBAGAI PENYELENGARA PENDIDIKAN INKLUSI

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Salah satu tujuan bangsa Indonesia yang tertuang dalam pembukaan

INOVASI MODEL PENANGANAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) DI SEKOLAH DASAR OLEH AGUNG HASTOMO

TINJAUAN MATA KULIAH...

BAB I PENDAHULUAN. menjamin keberlangsungan hidupnya agar lebih bermartabat, karena itu

INOVASI MODEL PENANGANAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) DI SEKOLAH DASAR Oleh AGUNG HASTOMO

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF PROVINSI JAWA TIMUR

P 37 Analisis Proses Pembelajaran Matematika Pada Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) Tunanetra Kelas X Inklusi SMA Muhammadiyah 4 Yogyakarta

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan adalah hak asasi setiap warga negara. Oleh karena itu, pemerintah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Rika Saptaningrum, 2013

MENUJU SEKOLAH INKLUSI BERSAMA SI GURUKU SMART

GUBERNUR ACEH TENTANG PERATURAN GUBERNURACEH NOMOR 92 TAHUN 2012 PENYELENGGARAANPENDIDIKAN INKLUSIF DENGAN RAHMAT ALLAHYANG MARA KUASA

BAB I PENDAHULUAN. berkebutuhan khusus. Permasalahan pendidikan sebenarnya sudah lama

BUPATI CIAMIS PROVISI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI CIAMIS NOMOR 29 TAHUN 2015 TENTANG. PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF Dl KABUPATEN CIAMIS

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. (SUSENAS) Tahun 2004 adalah : Tunanetra jiwa, Tunadaksa

WALIKOTA PADANG PERATURAN WALIKOTA PADANG NOMOR 19 TAHUN 2013 TENTANG PENDIDIKAN KHUSUS DAN LAYANAN KHUSUS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI BANYUWANGI SALINAN PERATURAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR 68 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF KABUPATEN BANYUWANGI

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. memperoleh pendidikan yang seluas-luasnya. Penyelenggaraan pendidikan di

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan memegang peranan penting dalam meningkatkan sumber daya

Bab I Pendahuluan. Sekolah Luar Biasa Tunagrahita di Bontang, Kalimantan Timur dengan Penekanan

BAB I PENDAHULUAN. yang terjadi diantara umat manusia itu sendiri (UNESCO. Guidelines for

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1

PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN BUPATI BELITUNG TIMUR NOMOR 24 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF

BAB I LATAR BELAKANG. dari anak kebanyakan lainnya. Setiap anak yang lahir di dunia dilengkapi dengan

WALIKOTA PROBOLINGGO

BAB I PENDAHULUAN. mendapatkan pelayanan pendidikan di sekolah terdekat.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. untuk suatu profesi, tetapi mampu menyelesaikan masalah-masalah yang

BAB I PENDAHULUAN. orang termasuk anak berkebutuhan khusus, hal ini dapat pula diartikan sebagai

BAB I PENDAHULUAN. dengan jalan merubah cara pandang dalam memahami dan menyadari. memperoleh perlakuan yang layak dalam kehidupan.

PENGUATAN EKOSISTEM PENDIDIKAN MELALUI BATOBO SEBAGAI OPTIMALISASI PENDIDIKAN INKLUSI DI PAUD

WALIKOTA BATU PERATURAN WALIKOTA BATU NOMOR 24 TAHUN

BAB I PENDAHULUAN. berkembang sesuai dengan kodrat kemanusiaannya.

PENDIDIKAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS

BAB I. A. Latar Belakang Masalah

PENGUMUMAN PENERIMAAN PESERTA DIDIK BARU (PPDB) MELALUI JALUR OFFLINE DAN ONLINE Nomor: 425/464/ /2018 TAHUN PELAJARAN 2018/2019

jtä ~Éàt gtá ~ÅtÄtçt

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian Saat ini permasalahan pendidikan di Indonesia sangatlah penting dan ini

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL NOMOR 24 TAHUN 2006 dan NOMOR 6 TAHUN 2007 Tentang PELAKSANAAN STANDAR ISI DAN STANDAR KOMPETENSI KELULUSAN

BAB I PENDAHULUAN. Pembukaan Undang-Undang Dengan kata lain tujuan membentuk Negara ialah. mengarahkan hidup perjalanan hidup suatu masyarakat.

SIMPOSIUM GURU DAN TENAGA KEPENDIDIKAN ARTIKEL PELAN TAPI PASTI MELAYANI PENDIDIKAN INKLUSIF TIADA HENTI

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan dasar bertujuan untuk memberikan bekal kemampuan. dasar kepada peserta didik untuk mengembangkan kehidupannya sebagai

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Bentuk, Bidang, dan Perkembangan Usaha. merespon perubahan perubahan yang terkait secara cepat, tepat

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan inklusif atau yang sering disebut dengan inclusive class

GAMBARAN SEKOLAH INKLUSIF DI INDONESIA TINJAUAN SEKOLAH MENENGAH PERTAMA

ARTIKEL OPTIMALISASI PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF DI KOTA BANJARBARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pendidikan dijadikan sorotan oleh berbagai negara-negara di dunia saat

BAB I PENDAHULUAN. mencapai tujuan dalam pembangunan. Salah satu cara untuk meningkatkan

Implementasi Program Nawacita dalam Bidang Pendidikan untuk. Siswa Berkebutuhan Khusus di Sekolah Luar Biasa. Negeri 1 Bantul Tahun 2017

KISI-KISI PENGEMBANGAN SOAL UJI KOMPETENSI AWAL SERTIFIKASI GURU DALAM JABATAN MATA PELAJARAN GURU KELAS SDLB KOMPETENSI PEDAGOGIK

I. PENDAHULUAN. dan berjalan sepanjang perjalanan umat manusia. Hal ini mengambarkan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Budaya belajar merupakan serangkaian kegiatan dalam

WALIKOTA PAREPARE PERATURAN WALIKOTA PAREPARE NOMOR 47 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF DI KOTA PAREPARE

BUPATI BADUNG PROVINSI BALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF

BAB I PENDAHULUAN. 1 SLB Golongan A di Jimbaran. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Maha Esa dan berbudi pekerti luhur. Sebagaimana yang diamanatkan Undang-

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG LATAR BELAKANG PENGADAAN PROYEK

penyelenggaraan pendidikan khusus, pendidikan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1967 tentang Pembentukan Provinsi Bengkulu (Lembaran Negara

PERATURAN MENDIKNAS NOMOR 24 TAHUN 2006

BERITA DAERAH KABUPATEN KULON PROGO

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BATANG NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DAN PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN DI KABUPATEN BATANG

PENDIDIKAN KHUSUS PUSAT KURIKULUM BALITBANG DIKNAS

Landasan Yuridis SI, SKL dan KTSP menurut UU No 20/2003 tentang Sisdiknas

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan di Indonesia merupakan suatu hal yang wajib ditempuh oleh semua warga negara.

PENDIDIKAN KHUSUS LANDASAN YURIDIS

D S A A S R A R & & FU F N U G N S G I S PE P N E D N I D DI D KA K N A N NA N S A I S ON O A N L A

SUMIYATUN SDN Ketami 1 Kec. Pesantren Kota Kediri

BAB I PENDAHULUAN. rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Penelitian tentang indeks inklusi ini berdasarkan pada kajian aspek

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2014 TENTANG

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70 TAHUN 2009

Adaptif. Adaptif dapat diartikan sebagai, penyesuaian, modifikasi, khusus, terbatas, korektif, dan remedial.

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu ;

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN. pembelajaran dengan menggunakan perangkat pembelajaran yang telah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Asep Maosul, 2013

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

Bagaimana? Apa? Mengapa?

LAPORAN OBSERVASI SLB-A-YKAB SURAKARTA

IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF SDN No MEDAN MARELAN

2014 MODEL PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM PADA SISWA TUNANETRA

BAB I PENDAHULUAN. Menengah Pertama Negeri (SMPN) inklusif di Kota Yogyakarta, tema ini penting

GUBERNUR JAWA BARAT PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 16 TAHUN TENTANG

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2006 TENTANG

Transkripsi:

SISTEM JARINGAN PENGIMBAS TERIMBAS DALAM MENGOPTIMALKAN PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSI TAHUN 2016 OLEH NAMA : AGUS JUNAEDI, S.Pd. NUPTK : 7151760662200013 KABUPATEN : BANYUASIN PROPINSI : SUMATERA SELATAN PEMERINTAHAN KABUPATEN BANYUASIN DINAS PENDIDIKAN SATDIK NONFORMAL SANGGAR KEGIATAN BELAJAR JL. KH. Sulaiman Kelurahan Kedondong Raye, Pangkalan Balai Banyuasin 30753 i

SURAT PERNYATAAN Saya yang bertandatangan dibawah ini : Nama : Agus Junaedi, S.Pd. NUPTK : 7151760662200013 Jabatan : Pamong Belajar Unit Kerja : SPNF SKB Kabupaten Banyuasin menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa naskah simposium yang berjudul Sistem Jaringan Pengimbas Terimbas dalam Mengoptimalkan Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi Tahun 2016 disusun berdasarkan observasi literatur. Karya tulis ini belum pernah saya ajukan untuk lomba tingkat nasional. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam karya tulis ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah. Banyuasin, 14 November 2016 Pamong Belajar, AGUS JUNAEDI, S.Pd. ii

LEMBAR PENGESAHAN Karya tulis ilmiah yang berjudul SISTEM JARINGAN PENGIMBAS - TERIMBAS DALAM MENGOPTIMALKAN PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSI TAHUN 2016 DISUSUN OLEH : AGUS JUNAEDI, S.Pd. diajukan untuk melengkapi persyaratan Simposium GTK Kemdikbud Tahun 2016 dan dinyatakan telah mendapat pengesahan sebagai karya tulis. : iii

KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunia-nya, sehingga penyusunan naskah simposium berjudul Sistem Jaringan Pengimbas Terimbas dalam Mengoptimalkan Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi Tahun 2016 dapat diselesaikan tepat waktunya. Karya Tulis ini diajukan sebagai peran serta Pamong Belajar untuk mengikuti simposium guru dan tenaga kependidikan tahun 2016. Semoga naskah yang telah diajukan diterima oleh berbagai pihak sehingga dapat mengoptimalkan pendidikan inkusi di seluruh sekolah yaitu PAUD/TK, SD, SMP dan SMA/SMK sederajat. Sistem Jaringan Pengimbas Terimbas dibutuhkan sebagai bentuk dukungan pengoptimalan pendidikan inklusi secara masif. Untuk itu, atas dukungan, kerjasama, dan bantuan yang diberikan, saya sampaikan terima kasih. Mudah-mudahan naskah yang saya susun ini dapat memberikan manfaat bagi anak berkebutuhan khusus, pedidik dan tenaga kependidikan serta pemangku kebijakan untuk merubah SLB menjadi sekolah inklusi. Banyuasin, 14 November 2016 Penulis, AGUS JUNAEDI, S.Pd. iv

DAFTAR ISI Halaman Sampul...... Surat Pernyataan...... Lembar Pengesahan... Kata Pengantar...... Daftar Isi Daftar Gambar...... i ii iii iv v vi I. PENGANTAR...... 1 II. MASALAH...... 2 III. PEMBAHASAN DAN SOLUSI... 3 IV.. KESIMPULAN DAN HARAPAN PENULIS... 10 DAFTAR PUSTAKA... 12 Lampiran v

DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Contoh struktur organisasi sekolah inklusi... 5 Gambar 2. Contoh alur sekolah pengimbas-terimbas pendidikan inklusi.. 9 vi

I. PENGANTAR Anak berkebutuhan khusus (ABK) adalah anak dengan karakteristik khusus yang berbeda dengan anak pada umumnya tanpa selalu menunjukkan pada ketidakmampuan mental, emosi atau fisik. Karena karakteristik dan hambatan yang dimilki, ABK memerlukan bentuk pelayanan pendidikan khusus yang disesuaikan dengan kemampuan dan potensi mereka, contohnya bagi tunanetra mereka memerlukan modifikasi teks bacaan menjadi tulisan Braille dan tunarungu berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat. Anak berkebutuhan biasanya bersekolah di Sekolah Luar Biasa (SLB). (Dr. Mujito dkk, 2012 : 25-26). Dari definisi diatas telah jelas menyatakan bahwa kebutuhan anak ABK wajib difasilitasi dikarenakan kemampuan dan potensi anak bisa digali jika pendidik mampu memahami karakteristik dan hambatannya. Pendidik harus lebih kerja keras dalam memahami akan kecerdasan, sosial emosional, bahasa, seni dan nilai moral agama ABK mengingat hambatan yang dihadapi jauh berbeda dengan anak normal pada umumnya. Hambatan ini bisa disebabkan oleh ketidaksempurnaan fisik atau gangguan psikologis anak. Meninjau dari definisi diatas SLB merupakan solusi yang dibuat sebagai wadah lembaga pendidikan untuk mengembangkan potensi ABK, akan tetapi jumlah SLB saat ini masih jauh dari kata cukup yaitu hanya 1.962 lembaga atau 28.493 Rombel. (Statistik Sekolah Luar Biasa (SLB), 2015 : 1). Sedangkan jumlah anak berkebutuhan khusus di Indonesia diperkirakan kurang lebih 4,2 juta. Ketimpangan yang jauh ini maka pemerintah mulai tahun 2009 dengan mengembangkan pendidikan yang berbasis pembauran (inklusif). 1

Dalam Permendiknas No 70 tahun 2009 pasal 1, yang dimaksud dengan pendidikan inklusif adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam satu lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya. Definisi tersebut jelas bahwa ABK diharapkan bisa mendapatkan pelayanan pendidikan diluar SLB yaitu sekolah umum tanpa harus dikelompokkan pada satu tempat (segresi). Dengan demikian pelayanan pendidikan inklusi sangat perlu dioptimalkan mengingat selain ketimpangan jumlah ABK dengan SLB cukup besar maupun pelaksanaan pendidikan tanpa segresi. Berdasarkan uraian tersebut maka penulis mengangkat karya tulis dengan judul Sistem Jaringan Pengimbas Terimbas dalam Mengoptimalkan Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi Tahun 2016. II. MASALAH Berdasarkan uraian tersebut diatas maka penulis menarik permasalahan, yaitu : 1. tidak adanya sistem yang dibangun secara masif dalam pendidikan inklusi; 2. belum adanya peran SLB pada pendidikan inklusi disekolah umum; 3. belum tersosialisasi dengan baik kepada sekolah agar melakukan pendidikan inklusi; dan 4. keberadaan SLB sebagai sekolah khusus ABK (segresi). 2

III. PEMBAHASAN DAN SOLUSI Pendidikan inklusi merupakan salah satu solusi dalam menyelesaikan permasalahan tentang hak setiap orang memperoleh pendidikan terutama ABK. Pendidikan inklusi ini hadir dikarenakan banyaknya keterbatasan sarana dan prasarana yang disediakan pemerintah dalam layanan pendidikan khusus (LPK). Hal ini cukup jelas terlihat dari ketimpangan yang cukup besar antara jumlah SLB dengan jumlah ABK. Ketimpangan ABK dan SLB bisa dilihat berdasarkan data Statistik Sekolah Luar Biasa (SLB) Tahun 2015/2016 jumlah SLB hanya 1.962 lembaga atau 28.493 Rombel. Sedangkan jumlah ABK di Indonesia diperkirakan kurang lebih 4,2 juta, berarti jika menggunakan standar ideal 36 orang/rombel, maka dibutuhkan 117.000 rombel atau 9.700 lembaga SLB dengan jumlah 12 rombel/sekolah. Berarti menjadi PR pemerintah untuk pemenuhan LPK untuk seluruh hak pendidikan ABK maka harus disediakan 7.738 lembaga SLB lagi. Hal ini tentunya membutuhkan anggaran biaya yang cukup besar dalam pendirian satuan pendidikan. Perlu menjadi perhatian bagi pemerintah tentang pendidikan inklusi yaitu membaurkan ABK dengan anak lain tanpa diskriminasi, seperti tertuang dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 11 ayat 1 adalah Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi. Sebaiknya pemerintah lakukan dalam keterbatasan SLB dan cara menjalankan undang-undang tersebut yaitu memberdayakan terlebih dahulu peran SLB sebagai calon pendamping sekolah inklusi 3

pada sekolah umum melalui pendidikan inklusi. Pendidikan ini dilakukan karena jumlah sekolah di Indonesia bisa memfasilitasi semua ABK yang diperkirakan 4,2 juta jiwa tersebut. Jumlah lembaga pendidikan yaitu TK : 74.982 lembaga, SD : 148. 272 lembaga, MI : 23.678 lembaga, SMP : 35.488 lembaga, MTs : 16.283, SMA : 12.409 lembaga, MA : 96.704 lembaga, dan SMK : 11.726 lembaga (Sumber: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sampai tahun 2014, dikutip dan dipublikasikan oleh Statistik Indonesia tahun 2016). Berdasarkan uraian diatas jelas bahwa besarnya lembaga pendidikan secara keseluruhan sebanyak 322.838 lembaga, hal ini perlu dioptimalkan jika ada sebuah sistem jaringan yang dibangun oleh pemerintah. Dalam hal ini penulis menawarkan sistem jaringan pengimbas terimbas dengan mengadopsi cara multi level marketing sebagai solusi pendidikan inklusi secara masif. Menurut Kamus Bahasa Online pengimbas berarti perolehan sesuatu sebagai akibat pengaruh sesuatu yang lain, maka yang menjadi sekolah pengimbas diperoleh dari pembinaan pihak yang dilatih pemerintah. Dari definisi akan sistem jaringan pengimbas terimbas maka ada 4 tahap kerja yang harus dilakukan dalam mengoptimalkan pendidikan inklusi tersebut yaitu tahap pelatihan (trainer), tahap pembinaan (contruction), tahap pengembangan (expantion) dan tahap peleburan (smelter). 1. Tahap pelatihan (trainer) Tahap pelatihan merupakan langkah awal dalam proses sistem jaringan pengimbas terimbas. Tahap pelatihan ini dikhususkan untuk Kepala SLB yang disiapkan sebagai Pendamping Sekolah Inklusi. Materi yang diajarkan dalam tahap 4

pelatihan ini terutama pada merubah struktur organisasi disekolah (restruktusisasi organisasi) yaitu penambahan LPK pada bidang kurikulum. Materi tentang penyusunan proposal bantuan sekolah inklusi yaitu sarana belajar ABK juga tidak kalah pentingnya diajarkan, hal ini agar bantuan bisa tepat sasaran. Contoh bantuan buku atau panduan huruf braile untuk mendampingi ABK yang tunanetra, bantuan buku atau panduan bahasa isyarat untuk ABK yang tunarungu dan seterusnya. Selebihnya materi tentang pendidikan inklusi, pengenalan ABK, Kebijakan Ditjen dan lain-lain juga diberikan tergantung dari kebutuhan dan waktu pelaksanaan. STRUKTUR ORGANISASI SEKOLAH INKLUSI Komite Kepala Sekolah Kepala TU Waka Kurikulum Waka Kesiswaan Waka Sapras Waka Humas Tim Pengembang Kurikulum Pembina OSIS Koordinator Laboratorium PGRI Koordinator Mata Pelajaran Pembina Ektra Kurikuler Kepala Perpustakaan Kopri Tim Website Pembina Tata Tertib Koordinator Layanan Pendidikan Khusus (LPK) Petugas Kebersihan Guru Gambar 1. Contoh struktur organisasi sekolah inklusi 5

2. Tahap pembinaan (contruction) Tahap pembinaan dilakukan dengan 3 cara yaitu pemetaan sekolah inklusi pengimbas, pendidikan dan latihan (diklat) dan kunjungan sekolah inklusi pengimbas. Pemetaan sekolah inklusi pengimbas dipilih disetiap kecamatan, tentunya harus memperhatikan letak geografis, ketersediaan sarana dan prasana dan sumber daya manusianya. Kemudian sekolah inklusi pengimbas ini diberikan pembinaan melalui Diklat tentang Layanan Pendidikan Khusus di Sekolah Inklusi dikhususkan bagi wakasek kurikulum. Tujuan diklat diharapkan semua wakasek kurikulum mampu merumuskan kebutuhan pendidikan inklusi di lembaga sekolahnya masing-masing. Selanjutnya materi tentang guru pendamping khusus (GPK) sangat penting diajarkan dalam diklat, karena GPK memiliki tugas yaitu : 1. mendampingi /menerjemahkan dalam proses pembelajaran, 2. menyusun instrumen asesmen pendidikan khusus, 3. memberikan bimbingan secara berkesinambungan untuk anak berkebutuhan khusus, 4. memberikan konsultasi kepada orang tua yang memiliki siswa yang berkebutuhan khusus. Implementasi kehadiran GPK sangat penting dilaksanakan karena bisa membantu ABK dalam menerima pelajaran dari guru di kelas. Selain itu, hadirnya GPK sangat membantu dalam kegiatan belajar mengajar guru dan siswa lain dikelas tanpa terhambat dengan hadirnya ABK. 6

Cara terakhir dalam tahapan ini yaitu kunjungan ke sekolah pengimbas oleh pendamping sekolah inklusi. Tujuan kunjungan ini yaitu untuk membimbing (konseling) dalam proses pembentukkan LPK, seperti kurikulum berbasis LPK, program kerja sekolah inklusi pengimbas dan pembimbingan GPK. Pembinaan sekolah pengimbas tentunya melihat jumlah GPK yang disiapkan yang disesuaikan dengan jumlah kelas untuk ABK, misal SD Negeri 1 Sembawa sebagai sekolah pengimbas memiliki 3 ruang di kelas I, yaitu: 1) Kelas I.A pelayanan untuk ABK tunanetra dan tunarungu; GPK tunanetra yaitu Adenarisuji, S.Pd. dan GPK tunarungu Mia Trianza, S.Pd. 2) Kelas I.B pelayanan untuk ABK tunagrahita dan tunadaksa; GPK tunagrahita yaitu Dwi Maharani, S.Pd. SD dan GPK tunadaksa Ayu Andira, S.Pd. 3) Kelas I.C pelayanan untuk ABK tunalaras dan cacat ganda; GPK tunalaras yaitu Harun Al Rasyid, S.Pd. SD dan GPK cacat ganda Emilda Sriwahyuningsih, S.Pd. 3. Tahap pengembangan (expantion) Tahap pengembangan dilakukan setelah sekolah pengimbas sudah melaksanakan pendidikan inklusi secara baik. Tugas sekolah pengimbas menjadi contoh bagi sekolah terimbas sebagai pengembangan pendidikan inklusi secara masif. Perlu diperhatikan sekolah terimbas tidak harus memiliki LPK secara keseluruhan tetapi dua atau tiga LPK sudah cukup, misal SD Negeri 1 Sembawa ini memiliki sekolah terimbas yaitu SD Negeri 2 dengan LPK tunanetra dan tunarungu, SD Negeri 3 dengan LPK tunalaras dan downsindrom, SD Negeri 4 dengan LPK tunagrahita dan tuna daksa. 7

Cara yang dilakukan dalam tahap pengembangan ini sama seperti dalam tahap pembinaan, akan tetapi yang perlu menjadi penekanan dalam tahap pengembangan yaitu kunjungan ke sekolah pengimbas jauh lebih banyak diberikan langsung (praktek). Tujuan kegiatan ini agar sekolah terimbas bisa langsung mencontoh cara pelaksanaan LPK dalam pendidikan inklusi disekolah. 4. Tahap peleburan (smelter) Tahap ini hanya bisa dilakukan oleh kebijakan pemerintah dan pemerintah daerah dalam mengubah SLB menjadi sekolah umum yaitu, TK/PAUD, SD atau SMP atau SMA inklusi percontohan. Jika ini tidak dilakukan maka pelaksanaan jaringan ini kurang sempurna dikarenakan pandangan masyarakat jika ABK hanya bisa menuntut di SLB saja. Untuk itu yang perlu menjadi perhatian pemerintah sebelum melebur SLB menjadi sekolah umum yaitu: 1. Sekolah pengimbas dan terimbas menjalankan LPK dengan baik; 2. Keberadaan sekolah-sekolah inklusi sudah tersosialisasi di masyarakat secara luas; 3. Kesiapan tenaga pendidik dan tenaga kependidikan di SLB untuk menjalankan kurikulum sekolah umum. 8

SISTEM JARINGAN PENGIMBAS TERIMBAS DALAM MENGOPTIMALKAN PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSI Sekolah Pengimbas TK Negeri 1 Sembawa Sekolah Terimbas TK N 2 Sembawa LPK Tunanetra LPK Tunarungu TK N 3 Sembawa LPK Tunalaras LPK DS 1 Tahap Trainer Kepala SLB Melatih Pemerintah Merubah SLB menjadi TK/PAUD/SD/SMP/SMA /SMK Inklusi Percontohan Membina 2 Tahap Construction SD N 1: Mariana 3 Tahap Expantion SMP N 1: Sungsang Mencontoh TK N 4 Sembawa LPK Tunagrahita LPK Tunadaksa SD N 2 Mariana LPK Tunanetra LPK Tunarungu SD N 3 Mariana LPK Tunalaras LPK DS SD N 4 Mariana LPK Tunagrahita LPK Tunadaksa SMP N 2 Sungsang LPK Tunanetra LPK Tunarungu SMP N 3 Sungsang LPK Tunalaras LPK DS SMP N 4 Sungsang LPK Tunagrahita LPK Tunadaksa 4 Tahap Smelter Keterangan : LPK : Layanan Pendidikan Khusus DS : Down Sindrom SMA N 1: BA III Berjalan Baik SMA N 2 BA III LPK Tunanetra LPK Tunarungu SMA N 3 BA III LPK Tunalaras LPK DS SMA N 4 BA III LPK Tunagrahita LPK Tunadaksa Gambar 2. Contoh alur sekolah pengimbas-terimbas dalam pendidikan inklusi 9

IV. KESIMPULAN DAN HARAPAN PENULIS Pendidikan inklusi merupakan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada anak berkebutuhan khusus (ABK) untuk mengikuti pembelajaran dalam satu lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya. Prinsip inklusi ini yaitu membaurkan ABK dengan anak normal tanpa dikelompokkan menjadi satu (segresi). Pendidikan inklusi merupakan solusi terbaik untuk mengatasi keterbatasan SLB yang ada saat ini yaitu 1.962 lembaga. Sedangkan jumlah ABK diperkirakan 4,2 juta jiwa harus membutuhkan 9.700 lembaga SLB jika jumlah 12 rombel. Berarti masih 7.738 lembaga SLB lagi dan tentunya membutuhkan anggaran biaya yang cukup besar dalam pendirian satuan pendidikan tersebut. Sistem jaringan pengimbas terimbas dibangun dengan mengadopsi cara multi level marketing sebagai solusi pendidikan inklusi secara masif dengan pendekatan sekolah umum yaitu TK/PAUD, SD, SMP dan SMA/SMK. Ada 4 tahap kerja yang harus dilakukan dalam sistem jaringan ini agar bisa berjalan baik, yaitu: 1. tahap pelatihan (trainer); Kepala SLB disiapkan sebagai Pendamping Sekolah Inklusi, 2. pembinaan (contruction); pemetaan sekolah inklusi pengimbas, diklat dan kunjungan sekolah inklusi pengimbas, 3. tahap pengembangan (expantion); sekolah terimbas mencontoh sekolah pengimbas. 4. tahap peleburan (smelter); kebijakan pemerintah mengubah SLB menjadi sekolah umum. 10

Jika tahapan-tahapan ini dilaksanakan dengan baik maka harapan penulis, yaitu : 1. Seluruh sekolah pengimbas dan terimbas bisa melaksanakan pendidikan inklusi, 2. Ada kebijakan pemerintah tentang perubahan SLB agar menjadi sekolah inklusi percontohan seperti, TK/PAUD, SD atau SMP atau SMA/SMK, dan 3. Seluruh ABK bisa dijumpai dan belajar disekolah-sekolah umum tanpa dikelompokkan pada satu tempat (segresi) yaitu SLB. 11

DAFTAR PUSTAKA Anonimus. 2003. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta : Sesneg RI. Anonimus. 2016. Statistik Sekolah Luar Biasa (SLB) 2015/2016. Jakarta : Kemdikbud http://health.detik.com/read/2013/07/17/184234/2306161/1301/jumlahanak-berkebutuhan-khusus-di-indonesia-diperkirakan-42-juta http://www.kajianteori.com/2015/12/pengertian-pendidikan-inklusi.html https://www.bps.go.id/linktabelstatis http://kamusbahasaindonesia.org/imbas Mudjito, dkk. 2012. Pendidikan Inklusif. Jakarta : Baduose Media. 12

LAMPIRAN 13

14

KTP PENULIS NPWP PENULIS 15