Resolusi PBB dan Kecaman dunia internasional atas agresi Israel ke Jalur Gaza tidak sanggup menyurutkan nafsu Israel menggempur Gaza. Sejak agresi dimulai, pada 27 Desember 2008 sampai sekarang, korban jiwa di kalangan sipil telah melebihi 1000 orang. Agresi ini memiliki arti penting tersendiri bagi kelompok-kelompok yang bertikai, baik dari pihak Palestina maupun Israel. Namun sejauh mana peranan agresi ini bagi kemenangan rakyat Palestina untuk membebaskan diri dari penjajahan Israel dan Imperialisme AS? Pada saat ini, agresi yang dilakukan Israel telah melibatkan seluruh kesatuan dalam ketentaraannya. Israel tidak lagi memuntahkan bom-bom cluster melalui serangan udara dan laut, melainkan telah merangsek jauh ke jalur gaza dengan mengerahkan kekuatan kavaleri dan infantry. Sementara dari pihak Hamas, selain masih meluncurkan roket ke wilayah Selatan Israel, menghadapi serangan darat dengan mengandalkan taktik bertahan dengan menggunakan sniper. Sejauh ini, belum ada tanda-tanda gempuran Israel ke wilayah Gaza akan berhenti. Sebaliknya, Israel justru menegaskan akan terus melakukan agresi untuk menumpas Hamas sampai ke akar-akarnya. Tidak hanya Israel, Hamas pun cenderung memiliki sikap yang sama. Menurut Hamas, gencatan senjata sesungguhnya hanya mendamaikan pelaku dengan korban kejahatan. Dengan alasan masing-masing, kedua pihak tersebut seolah berkeinginan untuk terus mengobarkan peperangan. Bagi klas-klas yang berkuasa di Israel, perang agresi memiliki arti strategis dan taktis adalah cara untuk mengembangkan wilayah kekuasaan sekaligus memastikan Israel sebagai penjaga paling setia kepentingan AS di Timur Tengah. Khususnya sejak imperialis Inggris melepaskan penjajahan langsung atas Mesir, Suriah, Jordania, dan beberapa wilayah Arab lainnya, imperialisme AS praktis memegang kendali secara langsung. Dukungan ekonomi, politik, kebudayaan, dan militer AS terhadap Israel telah menjadikan negara pimpinan kaum zionis tersebut sebagai kekuatan superior. Negara Israel dukungan AS juga menjadi penghalang terbebasnya Arab tidak hanya Palestina dari pengaruh AS dan penghambat gerak maju seluruh bangsa Arab. Dalam kaitannya dengan perang yang sedang berlangsung, AS telah secara terbuka memberikan bantuan langsung ke Fatah. Dukungan tersebut berupa bantuan ekonomi, politik dan militer yang sengaja diberikan kepada Fatah untuk menghancurkan kekuatan Hamas yang memenangkan pemilu 2006. Tindakan ini bukan kali pertama bagi AS. Ini tindakan lumrah yang dilakukan di seluruh belahan dunia manapun, berkedok mendorong demokrasi melaui pemilu untuk membentuk pemerintah boneka, bila gagal maka akan mengancurkan pemerintah yang terpilih. Serangan Israel ke wilayah Gaza diklaim pihak Israel sebagai upaya menghentikkan serangan roket yang diluncurkan Hamas ke wilayah Israel. Serangan roket yang sesungguhnya kurang signifikan ditinjau dari efektivitas serangan terhadap instalasi militer Israel maupun dari kerusakan dan korban jiwa yang ditimbulkannya dijadikan alasan utama Israel (dengan dukungan Amerika Serikat) untuk melancarkan serangan kepada Israel. 1 / 5
Faktor Hamas memang memegang peranan penting yang melatarbelakangi agresi Israel ke wilayah Gaza. Berkembangnya kekuasaan Hamas di Palestina dan kegagalan klik Olmert dari Israel dalam menghancurkan kekuatan Hezbollah yang berbasis di Libanon Selatan tahun 2006 lalu, akan semakin menyulitkan posisi Israel. Khususnya pasca kemenangan Hamas dalam pemilu 2006 yang juga mencerminkan bangkrutnya politik diplomasi Fatah pimpinan Mahmoud Abbas Ehud Olmert yang berasal dari partai tengah yang didukung partai buruh yang berhaluan kiri tidak lagi bisa mempermainkan rakyat Palestina melalui meja perundingan. Usaha-usaha Israel untuk menganulir kemenangan Hamas, dengan blokade ekonomi, seruan penghentian bantuan yang didukung Uni Eropa dan Amerika Serikat, termasuk dengan memprovokasi perang saudara antara kelompok militer Hamas dengan Polisi pro-fatah, mengalami kegagalan dan malah membuahkan adanya dua pemerintahan di Palestina yang berdiri di Tepi Barat yang dipimpin Perdana Menteri Salam Fayad dari Partai Fatah dan Jalur Gaza yang dipimpin Ismael Haniyeh dari Hamas. Tidak hanya itu, hegemoni Israel di Palestina semakin merosot seiring dengan melorotnya wibawa Presiden Mahmoud Abbas. Gagalnya Mahmoud Abbas dalam mencegah berkuasanya Hamas tentunya mengecewakan pihak Israel. Dari dalam negerinya, krisis Gaza menyebabkan Abbas dinilai tidak mampu mengambil alih peran almarhum Yasser Arafat dalam mempersatukan rakyat Palestina. Kini, ketika konsentrasi agresi Israel terfokus ke Gaza, posisi Mahmoud Abbas kian terjepit. Dengan sejarah konflik antara partainya dengan Hamas, Mahmoud Abbas akan dianggap mendukung agresi Israel tersebut. Faktor lain yang juga mendorong agresi Israel adalah keinginan PM Ehud Olmert untuk menghapuskan ingatan atas kegagala perang melawan gerilyawan Hezbollah di Libanon Selatan. Kegagalan tersebut sempat menyebabkan posisi Olmert terpojok. Partai Likud pimpinan Benjamin Netanyahu yang berhaluan konservatif yang berkali-kali menuduh Olmert sebagai pemerintahan "banci". Tuduhan ini jelas merugikan posisi Olmert dan Partai Kadima menjelang pelaksanaan Pemilu Israel yang akan digelar Februari 2009 yang akan datang. Meski belum tentu dapat memenangkan pertempuran secara mutlak, namun ibarat istilah sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui, Ehud Olmert tidak hanya bermaksud menghilangkan kekuatan Hamas, melainkan sekaligus melapangkan jalannya untuk memenangkan pertarungan pemilu melawan partai Likud yang konservatif pimpinan Netanyahu. Bagi Hamas, secara taktikal perang ini memiliki banyak arti untuk terutama untuk menjaga eksistensinya sebagai Pemerintah Yang Sah di Gaza dan memblejeti Fatah sebagai kaki tangan AS dan Israel. Akan tetapi arti taktis ini tidak memberikan sumbangan berarti bagi penggelembungan kekuatan dalam negeri (pembangunan tentara) dan penggalangan kekuatan rakyat Gaza melawan imperialis di masa mendatang. Perang melawan Israel pimpinan Ehud Olmert adalah kesempatan untuk membuktikan diri sebagai kelompok paling militan dalam perjuangan melawan Israel. Peluncuran roket Hamas yang berulangkali dinyatakan sebagai bentuk protes Hamas atas blokade ekonomi dan militer 2 / 5
yang dilakukan Israel atas wilayah Jalur Gaza, bisa jadi tidak lebih dari bentuk propaganda untuk menunjukkan pada dunia Arab tentang siapa yang sesungguhnya paling militan melawan Israel. Meski propaganda Hamas di dunia Arab sendiri tidak terlalu berpengaruh, namun hal itu tidak membuat Hamas berkecil hati. Kelompok tersebut sadar betul bahwa politik dunia Arab atas masalah Israel dan Palestina selalu mendua. Solidaritas sesama muslim di dunia Arab sesungguhnya telah terpecah dalam kelompok-kelompok kepentingan yang tidak satu. Semangat persatuan bangsa-bangsa Arab, sebagaimana terjadi dalam perang Arab-Israel di dekade 1960-an, sesungguhnya tinggal kenangan yang tidak lagi berarti. Di sisi lain, kedekatan Hamas dengan jaringan Ikhwanul Muslimin yang kurang disukai oleh pemimpin-pemimpin negara-negara Arab, semakin mengucilkan posisi Hamas. Karena itu, target yang bisa diraih Hamas dalam perang melawan Israel pada saat ini, bukanlah mengalahkan Israel, bukan pula untuk membangkitkan solidaritas bangsa-bangsa Arab sebagaimana terjadi di masa lalu. Target yang paling realistis bagi Hamas adalah mengokohkan kepemimpinan politik atas Fatah dengan cara menampilkan diri sebagai kelompok paling militan sekaligus legitimate untuk memimpin bangsa Palestina. Bila Hamas berhasil mempertahankan diri dari gempuran Israel, peluang untuk mengonsolidasikan Palestina, baik di kawasan Tepi Barat yang dikuasai Fatah maupun Jalur Gaza yang de facto dikuasai Hamas akan semakin terbuka. Persatuan inilah modal utama Hamas untuk kembali mengobarkan perlawanan yang lebih besar terhadap Israel. Masalahnya, apa yang menjadi arti strategis maupun taktis bagi Hamas belum tentu selaras dengan kepentingan umum Rakyat Palestina dalam membebaskan diri dari penjajahan zionis Israel-Amerika Serikat. Rakyat Palestina tentu saja menganggap perang sebagai keadaan yang tidak bisa dihindarkan untuk membebaskan diri dari imperialis Israel yang selama ini menjadi kaki-tangan AS di Timur Tengah. Akan tetapi, taktik perang puputan yang dikembangkan Hamas saat ini tidak memiliki arti taktis untuk mendukung perjuangan strategis Rakyat Palestina. Bukan Perang, tapi Genosida! Perang Agresi Israel yang dalam takaran tertentu juga dikehendaki oleh Hamas telah menyebabkan jatuhnya korban jiwa dari pihak sipil yang cukup besar. Sampai 14 Januari 2009, jumlah korban jiwa dari kalangan sipil dari pihak Palestina telah mencapai 1,013 korban tewas dan 4650 luka-luka. Sementara dari pihak Israel, korban tewas mencapai 13 orang dan sekitar 138 luka-luka. Mayoritas korban tewas dan luka-luka dari pihak Palestina berasal dari kalangan sipil. Sekitar 315 anak-anak dan 100 perempuan termasuk kalangan dari pihak Palestina yang tewas akibat agresi tersebut. Sementara dari pihak Israel sebagian besar korban tewas adalah tentara. 3 / 5
Dari postur korban yang jatuh akibat agresi Israel ke Gaza, jelas terlihat bahwa esensi dari agresi ini adalah pembantaian massal (genosida) terhadap bangsa Palestina yang berdiam di Gaza. Jarang sekali diberitakan adanya baku tembak antar tentara yang melibatkan militer Israel dengan pejuang Palestina. Sebagian besar sasaran gempuran Israel adalah instalasi-instalasi sipil, seperti rumah sakit, sekolah, universitas, pemukiman sipil, termasuk rombongan yang menyalurkan bantuan pangan dan obat-obatan bagi warga Gaza. Sasaran-sasaran tersebut dikatakan Israel sebagai instalasi-instalasi militer Hamas. Indikasi lainnya terlihat dari blokade ekonomi dan bantuan kemanusiaan yang tidak hanya dilakukan Israel melainkan juga diterapkan Mesir yang berbatasan dengan Rafah. Media massa melaporkan, saat ini pasokan bahan makanan semakin menipis, sarana air bersih dan listrik telah hancur digempur Israel. Rakyat Gaza dicekam oleh krisis pangan dan krisis obat-obatan di tengah musim dingin tanpa penerangan dan listrik. Taktik bertahan militer Hamas yang tidak segera memisahkan diri dari rakyat secara tidak langsung malah menjadikan warga sipil Gaza seperti tameng untuk menangkis gempuran bom dan peluru-peluru kendali yang dimuntahkan militer Israel. Agresi Israel ke Gaza saat ini adalah perang kotor yang tidak adil. Ibarat pertarungan antara David dengan Goliath. Bencana kemanusiaan yang kian memburuk tentu saja melahirkan simpati dan kecaman dari dunia internasional. Rakyat dari berbagai negara, termasuk dari kalangan masyarakat Israel, mengobarkan aksi-aksi protes menentang perang yang tidak adil yang dilakukan Israel. Kampanye anti-zionis yang meluas di berbagai kawasan dunia menepiskan anggapan bahwa perang agresi Israel ke Palestina sebagai perang agama. Dari keadaan seperti ini, posisi Israel sebagai aggressor sesungguhnya telah semakin melemah sebagai akibat dari memburuknya krisis ekonomi di Amerika Serikat. Bom-bom yang dimuntahkan pesawat-pesawat Israel ternyata melahirkan gerakan rakyat Internasional yang semakin mengucilkan posisi Israel. Tekanan politik dari Venezuela, yang disusul oleh Bolivia, yang memutuskan hubungan diplomatik dengan Israel, sesungguhnya mengindikasikan semakin terkucilnya posisi Israel di mata internasional. Kecuali ditopang oleh politik kepala batu imperialisme Amerika Serikat yang kerap memveto seruan internasional kepada Israel, tidak ada lagi tempat bagi rezim zionis Israel untuk berlindung. Pada saat ini, ketika Imperialisme Amerika Serikat mengalami krisis yang cukup berat, posisi politik Israel sesungguhnya kian terjepit. Krisis ekonomi maupun politik warisan Presiden George W. Bush yang mulai 20 Januari 2009 yang akan datang diambil-alih oleh Presiden terpilih Obama, menyebabkan Amerika Serikat akan lebih cenderung terfokus pada masalah dalam negerinya sendiri. Pengalaman perang agresi Irak dan Afganistan yang kian memburuk dan tidak berkesudahan, menyebabkan rakyat Amerika Serikat akan cenderung memilih solusi-solusi non-perang. Pilihan inilah yang samar-samar menjadi faktor penyebab kemenangan Barack Obama dalam Pemilu AS tahun lalu, meskipun secara implisit, Presiden terpilih Barack Obama pun mendukung agresi Israel terhadap Gaza. Dalam keadaan yang serba tidak menguntungkan seperti ini, kedudukan agresi militer Israel dapat dipahami sebagai bentuk penyelesaian krisis dan kontradiksi-kontradiksi di dalam negerinya sendiri. Namun, meski mengerahkan seluruh kekuatannya untuk menggempur 4 / 5
militant Hamas, tidak ada jaminan Israel dapat memenangkan peperangan ini secara paripurna. Sebab, meski mungkin kekuatan Hamas akan mengalami kerusakan, kemerosotan, atau bahkan kehancuran, namun semangat pembebasan dari rakyat Palestina sudah pasti akan semakin berkobar. Kemudian, terlepas dari keberanian pejuang Hamas dalam bertempur melawan tentara Israel yang didukung teknologi persenjataan dan berbagai peralatan canggih lainnya, namun secara umum taktik Hamas cenderung bersifat avonturis (petualangan). Memang benar bila kemenangan dalam peperangan tidak ditentukan oleh teknologi persenjataan. Namun bila perlawanan tidak ditopang oleh taktik dan strategi yang terarah dan sistematis, tidak mungkin peperangan bisa diakhiri dengan kemenangan. Selain itu, terus bertambahnya jumlah korban sipil dari pihak Palestina, bukan tidak mungkin akan memerosotkan dukungan rakyat terhadap Hamas. Korban-korban sipil yang terus berguguran ini akan mudah memunculkan opini bahwa Hamas tidak mampu memberikan perlindungan dan keamanan yang memadai untuk menjamin keselamatan rakyat. Bila hal itu terjadi, posisi Hamas akan semakin terjepit dan kian tidak menguntungkan. Rakyat Palestina pasti berani dan memiliki moral yang sangat tinggi untuk memenangkan perang, sekalipun dengan kekuatan ekonomi, politik dan militer seadanya. Rakyat seluruh dunia pun berada dipihak mereka. Ini keuntungan terbesar yang harus dimengerti dan harus dipergunakan dengan baik oleh HAMAS untuk membebaskan rakyat Palestine. Tapi strategi dan taktik apa yang dimiliki HAMAS untuk memenangkan perang? Komponen perang apa saja (tentara, daerah basis dan tuntutan politiknya untuk mempersiapkan rakyat ambil bagian dalam perang) yang Hamas miliki sekarang? Perang adalah soal manusia. Senjata harus dipimpin oleh strategi dan taktik yang benar. Hamas berada dalam kedudukan amat lemah secara strategis. Jumlah personal yang terlatih hanya 20 ribu dengan tidak semuanya merupakan kombatan (pasukan tempur), senjata terbatas (tidak dapat menghancurkan tank dan pesawat), demikian pula dengan luasan daerah maneuver, dan lain-lain. Apa yang membuat Hamas berani mengatakan akan berperang habis-habisan? Tidakkah dia menggunakan perang yang sekarang untuk kepentingan membanyak senjata, senjata dan mempersiapkan rakyatnya untuk perang untuk menciptakan manuver area. Bila Hamas tidak segera mengubah taktik perang-puputan, sangat sulit bagi Rakyat Palestina untuk menyandarkan keselamatan dan harapannya kepada Hamas. Secara obyektif, kelemahan-kelemahan taktikal hamas yang justru merugikan rakyat sipil kian terbuka. Kini Rakyat Palestina dipaksa bekerja sendiri, mengambil saripati krisis gaza dan kegagalan Hamas serta kebangkrutan Fatah, dan merumuskan strategi dan taktik perjuangan yang lebih sistematis dan terorganisasi. Tanpa itu, kemerdekaan bangsa dari penjajahan zionis Israel mustahil bisa diwujudkan.*** 5 / 5