BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Keuangan negara sebagai bagian terpenting dalam pelaksanaan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, sehingga harus diberantas 1. hidup masyarakat Indonesia sejak dulu hingga saat ini.

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan Nasional bertujuan mewujudkan masyarakat adil,

PENEGAKAN HUKUM. Bagian Kesatu, Wewenang-Wewenang Khusus Dalam UU 8/2010

PENEGAKAN HUKUM. Bagian Keempat, Penyidikan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 3.4 Penyidikan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874]

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan Nasional bertujuan mewujudkan manusia Indonesia

Komisi Pemberantasan Korupsi. Peranan KPK Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Matriks Perbandingan KUHAP-RUU KUHAP-UU TPK-UU KPK

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

MEMAHAMI UNTUK MEMBASMI BUKU SAKU UNTUK MEMAHAMI TINDAK PIDANA KORUPSI

ANOTASI UNDANG-UNDANG BERDASARKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

BAB I PENDAHULUAN. terkait korupsi merupakan bukti pemerintah serius untuk melakukan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2000 TENTANG TIM GABUNGAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemberantasan tindak pidana korupsi di negara Indonesia hingga saat

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG AKSI PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN KORUPSI TAHUN 2013 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. ditetapkannya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang. Undang Nomor 20 Tahun 2001 selanjutnya disebut dengan UUPTPK.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara hukum yang

BAB I PENDAHULUAN. ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan

NOMOR : M.HH-11.HM th.2011 NOMOR : PER-045/A/JA/12/2011 NOMOR : 1 Tahun 2011 NOMOR : KEPB-02/01-55/12/2011 NOMOR : 4 Tahun 2011 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2000 TENTANG TIM GABUNGAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2000 TENTANG TIM GABUNGAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2000 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Indonesia merupakan salah satu negara yang sedang berkembang. Sebagai

BAB I PENDAHULUAN. dapat mengatasi atau mewaspadai segala bentuk perubahan sosial atau kebudayaan.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA TUNTUTAN GANTI KERUGIAN DAERAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2000 TENTANG

I. PENDAHULUAN. kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat mengakibatkan perubahan kondisi sosial

BAB IV PENUTUP. Tinjauan hukum..., Benny Swastika, FH UI, 2011.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang Masalah. Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah meluas dalam masyarakat

Pendidikan Anti-Korupsi Untuk Perguruan Tinggi

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

9. Para Bupati/Walikota.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 1991 Tentang : Ganti Rugi Dan Tata Cara Pelaksanaannya Pada Peradilan Tata Usaha Negara

KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI REPUBLIK INDONESIA.

BAB I PENDAHULUAN. Pengawasan keuangan negara secara konstitusional dilakukan oleh suatu badan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah sangat meluas dan telah

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BERITA NEGARA. No.711, 2013 MAHKAMAH AGUNG. Penyelesaian. Harta. Kekayaan. Tindak Pidana. Pencucian Uang. Lainnya PERATURAN MAHKAMAH AGUNG

I. PENDAHULUAN. seseorang (pihak lain) kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagai

Peran PPNS Dalam Penyidikan Tindak Pidana Kehutanan. Oleh: Muhammad Karno dan Dahlia 1

TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

KAITAN EFEK JERA PENINDAKAN BERAT TERHADAP KEJAHATAN KORUPSI DENGAN MINIMNYA PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DAN PENYERAPAN ANGGARAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. hidup masyarakat Indonesia sejak dahulu hingga sekarang. banyaknya persoalan-persoalan yang mempengaruhinya. Salah satu persoalan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 1 TAHUN 2010 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini jumlah perkara tindak pidana korupsi yang melibatkan Badan Usaha Milik

BAB I PENDAHULUAN. pidana korupsi yang dikategorikan sebagai kejahatan extra ordinary crime.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BADAN PEMERIKSA KEUANGAN RI PERWAKILAN PROVINSI JAMBI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak

Presiden, DPR, dan BPK.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

KORUPSI MENGHAMBAT PEMBANGUNAN NASIONAL. Oleh : Kolonel Chk Hidayat Manao, SH Kadilmil I-02 Medan

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA JAKSA AGUNG. Sumber Daya Alam. Satuan Tugas. Organisasi. Tata Kerja. Pencabutan.

BAB I PENDAHULUAN. melakukan penyidikan tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang sesuai

b. bahwa Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan

BAB I PENDAHULUAN. membahayakan stabilitas politik suatu negara. 1 Korupsi juga dapat diindikasikan

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERAN SERTA MASYARAKAT

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

NOTA KESEPAHAMAN ANTARA KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA, KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA, DAN BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERCEPATAN PEMBERANTASAN KORUPSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. manusia dalam pergaulan di tengah kehidupan masyarakat dan demi kepentingan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999

BAB 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

Lex Crimen Vol. IV/No. 5/Juli/2015

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. uang. Begitu eratnya kaitan antara praktik pencucian uang dengan hasil hasil kejahatan

I. PENDAHULUAN. dan sejahtera tersebut, perlu secara terus-menerus ditingkatkan usaha-usaha pencegahan dan

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

: UPAYA PERLINDUNGAN ANAK BERHADAPAN HUKUM DALAM SISTEM PERADILAN ANAK FAKULTAS : HUKUM UNIVERSITAS SLAMET RIYADI SURAKARTA ABSTRAK

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2009 TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

PEMERINTAH KOTA PADANG

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keuangan negara sebagai bagian terpenting dalam pelaksanaan pembangunan nasional yang pengelolaannya diimplemantasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional (APBN) maupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan pilar utama pembiayaan penyelenggaraan negara. Untuk itu (Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) Nomor 4286, Pressindo, Jakarta, 2009: 126) dalam rangka mendukung terwujudnya good governance dalam penyelenggaraan negara, pengelolaan keuangan negara perlu diselenggarakan secara profesional, terbuka, dan bertanggungjawab sesuai dengan aturan pokok yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar. Pengelolaan keuangan negara yang demikian perlu dilakukan untuk menghindari adanya penyimpangan keuangan negara baik dalam bentuk pemborosan, ketidakefektifian dan ketidakefisiensinya penggunaan, atau bahkan terjadinya tindak pidana korupsi. Bentuk-bentuk penyimpangan tersebut akan mengakibatkan kerugian keuangan negara yang dalam kenyataannya jumlahnya masih cukup besar. Kerugian keuangan negara yang relatif cukup besar perlu dilakukan pemulihan dengan cara pengembalian kerugian keuangan negara. Cara ini dapat dilakukan melalui instrumen-

2 instrumen hukum yang ada baik melalui hukum administrasi negara, perdata maupun instrumen hukum pidana. Oleh karena itu pengelolaan keuangan negara di samping harus mencerminkan asas-asas umum juga harus mencerminkan asas-asas baru sebagai pencerminan best practice (penerapan kaidah-kaidah yang baik) dalam pengelolaan keuangan negara (Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Tambahan LNRI Nomor 4286, Pressindo, Jakarta, 2009: 126), yaitu : 1. akuntabilitas berorientasi pada hasil; 2. profesionalitas; 3. keterbukaan dalam pengelolaan keuangan negara; 4. pemeriksaan keuangan oleh badan pemeriksa yang bebas dan mandiri. Bentuk penyimpangan keuangan negara yang mengakibatkan terjadinya kerugian keuangan negara yang cukup besar biasanya akibat dari tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab. Tindak pidana korupsi (Pertimbangan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, LNRI Tahun 1999 Nomor : 140, Nuansa Aulia, 2008: 23) sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dan menghambat pembangunan nasional, sehingga harus diberantas dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, di samping itu juga menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut efisiensi tinggi.

3 Permasalahan keuangan negara dan pemberantasan tindak pidana korupsi secara normatif sebagai sebuah nilai ideal yang harus diwujudkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara telah diatur dalam peraturan perundang-undangan yaitu : 1. Undang-Undang Dasar 1945, BAB VIII Hal Keuangan, Pasal 23 ayat (1), mengatur tentang pengelolaan keuangan negara yang harus dilaksanakan secara terbuka dan bertanggungjawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (Sekretariat Jenderal MPR RI, 2007: 96). 2. Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, LNRI Tahun 2003 Nomor : 47, BAB I Ketentuan Umum, Pasal 3 ayat (1), menentukan pengelolaan keuangan negara dilakukan dengan efisien, ekonomis, efektif, trasparan dan bertanggungjawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan (Pressindo, 2009: 106). 3. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, LNRI Tahun 1999 Nomor : 140, BAB II Tindak Pidana Korupsi, Pasal 18 ayat (1), (2) dan (3), dirumuskan tentang jenis pidana tambahan dan tata cara pelaksanaan pidana tambahan dalam tindak pidana korupsi sebagai upaya pengembalian kerugian keuangan negara (Nuansa Aulia, 2008: 27-28). 4. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, LNRI Tahun 2001 Nomor : 134, BAB IV Penyidikan, Penuntutan, dan Pemeriksaan di Sidang Pengadilan, Pasal 37A ayat (1),

4 terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang didakwakan (Nuansa Aulia, 2008: 57). 5. Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi, yang secara khusus menginstruksikan kepada Jaksa Agung Republik Indonesia dan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk bekerja sama dengan lembaga terkait dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi untuk menghukum pelaku dan menyelamatkan uang negara (Nuansa Aulia, 2008: 272). 6. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2005 tentang Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Keppres ini membentuk Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diantaranya bertugas mencari dan menangkap para pelaku yang diduga keras melakukan tindak pidana korupsi, serta menelusuri dan mengamankan aset-asetnya dalam rangka pengembalian keuangan negara secara optimal (Nuansa Aulia, 2008: 275). 7. Keputusan Bersama Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Dan Jaksa Agung Republik Indonesia, Nomor : KEP - 1/12/2005 dan Nomor : /A/JA/12/2005, tentang Kerjasama Antara Komisi Pemberantasan Korupsi Dengan Kejaksaan Republik Indonesia Dalam Rangka Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, BAB II Tujuan, Sifat dan Ruang Lingkup, Pasal 2, menentukan tujuan kerjasama adalah untuk saling membantu dalam upaya

5 pemberantasan tindak pidana korupsi secara optimal (Nuansa Aulia, 2008: 282). Pemulihan kerugian keuangan negara dengan upaya pengembalian kerugian keuangan negara dalam tindak pidana korupsi dalam kenyataannya masih menghadapi hambatan-hambatan baik pada tataran prosedural maupun pada tataran teknis. Pada tataran prosedural memerlukan instrumen-intrumen hukum tertentu yang tepat sesuai dengan modus operandi tindak pidana dan obyek permasalahan hukumnya. Dalam kasus tindak pidana korupsi hasil dari tindak pidana yang berupa keuangan negara dalam kenyataannya tidak hanya diterima atau dinikmati oleh terdakwa, tetapi juga diterima atau dinikmati oleh pihak ketiga yang tidak menjadi terdakwa. Dalam hal yang demikian upaya pengembalian kerugian keuangan negara oleh pihak ketiga secara prosedural memerlukan instrumen hukum yang tepat dan efektif. Upaya pemberantasan tindak pidana korupsi oleh Pemerintah dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya dengan membentuk lembaga khusus yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), lembaga KPK diharapkan mempunyai kredibilitas yang memadai. Presiden telah mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sejak dikeluarkannya Inpres tersebut grafik tindak pidana korupsi tidak menunjukkan penurunan, tetapi justru menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat, sebagaimana dapat dilihat data dibawah ini (Sumber data dari Direktorat Penuntutan Tindak Pidana Khusus Kejagung RI dan KPK) :

6 Tabel 1 : Data Perkara Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia 2004-2008 Tahun Kejaksaan RI Kepolisian RI KPK Prosentase (%) Kejaksaan Prosentase (%) Kepolisian Prosentase (%) KPK 2004 460 157 2 74,31 25,38 0,32 2005 542 187 17 72,65 25,07 2,28 2006 515 279 23 63,04 34,15 2,82 2007 512 200 27 69,28 27,09 3,65 2008 1.114 178 37 83,82 13,39 2,78 Di sisi lain dari sekian kasus yang disidangkan di pengadilan dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap tidak banyak kerugian keuangan negaranya yang berhasil dikembalikan atau diselamatkan. Mengingat tujuan utama pemberantasan tindak pidana korupsi yang terpenting adalah pengembalian atau penyelamatan keuangan negara di samping bentuk pemidanaan lainnya yang diharapkan mampu memberikan efek jera bagi pelaku dan masyarakat pada umumnya. Kasus konkret adalah Kasus Penyalahgunaan Kewenangan Pimpinan DPRD Kab. Boyolali Periode 1999-2004 (Kejaksaan Negeri Boyolali, 2009), yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Boyolali Nomor : 107/Pid.B/2009/PN.Bi., tanggal 2 Oktober 2009 jo. Putusan Pengadilan Tinggi Semarang Nomor : 565/Pid/2009/PT.Smg., tanggal 23 Desember 2009. Dalam kasus tersebut kerugian keuangan negaranya relatif besar yaitu sebesar Rp. 3.207.953.158,00 (tiga milyar dua ratus tujuh juta sembilan ratus lima puluh tiga ribu seratus lima puluh delapan) akan tetapi

7 diterima atau dinikmati oleh pihak-pihak yang secara hukum tidak menjadi terdakwa atau tidak bisa dipertanggungjawabkan di pengadilan karena sebatas menerima aliran dana. Permasalahan pengembalian kerugian keuangan negara secara prosedural memerlukan instrumen hukum yang tepat dan efisien terhadap pihak ketiga yang menerima hasil tindak pidana korupsi. Langkah hukum menarik keuangan negara dari pihak ketiga yang tidak menjadi terdakwa dalam kasus tindak pidana korupsi tersebut sebagai upaya pemulihan kerugian keuangan negara dalam rangka mendukung terlaksananya pembangunan nasional yang adil dan makmur. Peneliti menganggap penting melakukan penelitian dengan issu hukum korupsi dengan judul Sanksi Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Terhadap Pihak Ketiga Yang Menerima Hasil Tindak Pidana Korupsi. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana penerapan sanksi pengembalian kerugian keuangan negara dalam tindak pidana korupsi? 2. Berupa apakah sanksi terhadap pihak ketiga yang menerima hasil tindak pidana korupsi dan instrumen hukum pengembalian kerugian keuangan negara? C. Batasan Masalah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak

8 Pidana Korupsi dalam pertimbangannya menetapkan bahwa tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, sehingga tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa. Pertimbangan tersebut dapat dimaknai bahwa kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat. Untuk itu perlu dilakukan pengembalian kerugian keuangan negara dengan cara yang luar biasa juga, sebagai kompensasi pemulihan hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat. Permasalahaannya dalam praktek upaya pemulihan kerugian keuangan negara masih banyak menghadapi hambatan-hambatan, dari sisi instrumen hukumnya maupun dari teknis proseduralnya. Dalam kasus tindak pidana korupsi hasil dari tindak pidana yang berupa keuangan negara dalam kenyataannya tidak hanya diterima atau dinikmati oleh terdakwa, tetapi juga diterima atau dinikmati oleh pihak ketiga yang tidak menjadi terdakwa. Berdasarkan permasalahan tersebut dalam penyusunan tesis ini penulis membatasi pada permasalahan sanksi dan instrumen hukum pengembalian kerugian keuangan negara terhadap pihak ketiga yang menerima hasil tindak pidana korupsi. D. Keaslian Penelitian Dalam penyusunan tesis ini penulis mengambil judul Sanksi Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Terhadap Pihak Ketiga Yang

9 Menerima Hasil Tindak Pidana Korupsi yang merupakan karya asli penulis bukan merupakan karya orang lain baik sebagian maupun seluruhnya. Penelitian dalam tesis ini memfokuskan pada : 1. Penerapan sanksi pengembalian kerugian keuangan negara dalam tindak pidana korupsi. 2. Berupa apakah sanksi terhadap pihak ketiga yang menerima hasil tindak pidana korupsi dan instrumen hukum pengembalian kerugian keuangan negara. Dengan demikian penelitian ini, yang memfokuskan pada aspek pengembalian kerugian keuangan negara pada tindak pidana korupsi, berbeda dengan penelitian yang sudah pernah dilaksanakan oleh para peneliti sebelumnya yang memfokuskan pada issu hukum korupsi, sebagaimana tersebut di bawah ini : 1. Hendro Setyo Utomo, No. Mhs : 03 / 941 / PS / MH, Program Pascasarjana Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta, yaitu : a. Judul Penelitian Kajian Sejarah Hukum Terhadap Pengertian Korupsi b. Tujuan Penelitian 1) Untuk mengetahui dan mengevaluasi perkembangan sejarah hukum terhadap unsur, pengertian dan perundang-undangan tentang korupsi yang terjadi di Indonesia.

10 2) Untuk mengetahui dan mengevaluasi implementasi perundangundangan pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia. c. Hasil Penelitian Sejarah Hukum mengenai pengertian dan unsur-unsur korupsi mengalami perkembangan yaitu dalam bentuk pemberian dalam arti luas yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma dan fasilitas lainnya. Dilihat dari segi implementasinya penyelesaian dan pemberantasan korupsi di Indonesia lebih cenderung ke pertanggungjawaban perdatanya daripada pertanggungjawaban pidananya. 2. Gagat Gatra Krisnanta, No. Mhs : 08.1245 / PS / MIH, Program Pascasarjana Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta, yaitu : a. Judul Penelitian Eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Studi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 012-016-019/PUU-IV/2006 b. Tujuan Penelitian 1) Untuk mengetahui eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. 2) Untuk mengetahui model pemberantasan korupsi yang tepat untuk dilaksanakan di Indonesia. c. Hasil Penelitian

11 Dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 012-016- 019/PUU-IV/2006 yang membatalkan Pasal 53 UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengatur tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi memberikan landasan hukum yang lebih kuat bagi keberadaan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dan pemberantasan korupsi di Indonesia. Model pemberantasan korupsi yang tepat untuk dilaksanakan di Indonesia adalah perkara-perkara korupsi ditangani oleh badan tersendiri tanpa campur tangan dari lembaga penegak hukum lain, sehingga tidak menimbulkan tumpang tindih kewenangan, seperti yang dilaksanakan di Singapura. 3. Agus Budijarto, No. Mhs : 04.981 / PS / MIH, Program Pascasarjana Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta, yaitu : a. Judul Penelitian Kewenangan Kejaksaan Terhadap Kerahasiaan Bank Untuk Melakukan Proses Penyidikan Perkara Korupsi b. Tujuan Penelitian 1) Untuk mengetahui, mengevaluasi mengenai alasan Jaksa dalam melakukan penyidikan perkara korupsi yang menyangkut keadaan keuangan tersangka harus memperoleh ijin dari Gubernur Bank Indonesia.

12 2) Untuk mengetahui, mengevaluasi mengenai akibat yang muncul dalam praktek apabila proses perijinan dari Gubernur Bank Indonesia untuk memeriksa keadaan keuangan tersangka tidak turun atau turun dalam waktu yang lama. c. Hasil Penelitian Dengan menggunakan penelitian hukum normatif ditemukan bahwa dalam praktek untuk meminta ijin tertulis kepada Gubernur Bank Indonesia harus melalui prosedur panjang sehingga memerlukan waktu lama sehingga proses penyidikan juga bertambah lama. Diharapkan Bank Indonesia berani menerobos aturan permohonan ijin membuka kerahasiaan bank antara lain dengan cara mendelegasikan pemberian ijin tersebut ke Pimpinan Bank Indonesia di daerah-daerah dengan membedakan jumlah besaran rekening yang akan dibuka oleh penyidik sehingga permohonan ijin lebih cepat diterima oleh Pimpinan Kejaksaan diberi kebijakan-kebijakan kepada tim penyidik dalam rangka mempercepat perkara yang ditangani. E. Manfaat Penelitian Adapun penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk kepentingan teoritis maupun kepentingan praktis : 1. Manfaat Teoritis Diharapkan dapat memberikan kontribusi ilmiah bagi pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya salah satu cabang ilmu hukum yaitu sejarah hukum dan politik hukum berkaitan dengan pembaharuan hukum tindak

13 pidana korupsi sebagai ius constituendum atau sebagai hukum yang seharusnya berlaku atau yang seharusnya diterapkan yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan praktis negara Indonesia. 2. Manfaat Praktis a. Diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi proses penegakan hukum di Indonesia khususnya pemberantasan tindak pidana korupsi, terutama bagi aparat penegak hukum sehingga terjadi kesamaan persepsi dalam melakukan penerapan hukum di bidang tindak pidana korupsi. b. Diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi upaya pengembalian dan penyelamatan kerugian keuangan negara di Indonesia, sehingga proses penegakan hukum tidak semata-mata memberikan hukuman penjara bagi pelaku, tetapi harus juga diikuti dengan penyelamatan kekayaan negara demi terlaksananya pembangunan nasional. Lebih khusus lagi dapat memberikan masukan kepada Kejaksaan dalam upaya pengembalian dan penyelamatan kerugian keuangan negara melalui sanksi hukum yang efektif dan efisien. F. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui dan mengevaluasi penerapan sanksi pengembalian kerugian keuangan negara dalam tindak pidana korupsi. 2. Untuk mengetahui dan mengevaluasi sanksi terhadap pihak ketiga yang menerima hasil tindak pidana korupsi dan instrumen hukum pengembalian kerugian keuangan negara.

14 G. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan dalam penelitian ini terdiri dari 5 (lima) bagian yang masing-masing terbagi dalam beberapa sub bagian yaitu : 1. Bab I Pendahuluan Bab ini memuat latar belakang masalah yaitu belum adanya sanksi terhadap pihak ketiga yang menerima hasil tindak pidana korupsi dan instrumen hukum pengembalian kerugian keuangan negara, rumusan masalah, batasan masalah, keaslian penelitian, manfaat penelitian, tujuan penelitian, dan sistematika penulisan. 2. Bab II Tinjauan Pustaka Bab ini menguraikan tinjauan pustaka mengenai pengertian sanksi, istilah pengembalian dan kerugian, konsep keuangan negara, pengertian pihak ketiga, tindak pidana, dan korupsi. Bab ini juga menguraikan teori sebagai landasan penulisan yaitu teori tujuan hukum prioritas kasuistik dan teori keadilan restorative justice. 3. Bab III Metode Penelitian Bab ini menguraikan tentang penelitian hukum normatif dengan pendekatan sejarah hukum, pendekatan kasus, dan politik hukum mengenai sanksi terhadap pihak ketiga yang menerima hasil tindak pidana korupsi dan instrumen hukum pengembalian kerugian keuangan negara. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer yaitu peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan instrumen hukum pengembalian kerugian keuangan

15 negara dan sanksi terhadap pihak ketiga yang menerima hasil tindak pidana korupsi, dan bahan hukum sekunder yang terdiri dari buku, makalah, majalah, jurnal, dokumen, surat kabar, dan bahan bacaan/informasi dari internet. 4. Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan Bab ini memuat hasil penelitian mengenai sanksi pengembalian kerugian keuangan negara terhadap pihak ketiga yang menerima korupsi. Hasil penelitian kemudian dibahas untuk menjawab rumusan masalah, mengenai penerapan sanksi pengembalian kerugian keuangan negara dalam tindak pidana korupsi dan mengenai instrumen hukum pengembalian kerugian keuangan negara dan sanksi terhadap pihak ketiga yang menerima hasil tindak pidana korupsi, beserta gagasan ius constituendum. 5. Bab V Penutup Bab ini memuat kesimpulan yang merupakan jawaban dari rumusan masalah dan saran-saran yang diajukan penulis berkaitan dengan sanksi pengembalian kerugian keuangan negara terhadap pihak ketiga yang menerima hasil tindak pidana korupsi.