Oleh: Moch. Masykur Fuadz A. NIM:

dokumen-dokumen yang mirip
Bab I Pendahuluan. Dorongan beragama bagi manusia merupakan tuntutan yang tidak dapat dihindari.

BAB I PENDAHULUAN. kemajuan teknologi komunikasi dan media massa, mengakibatkan munculnya New

BAB V SIMPULAN DAN REKOMENDASI

2015 KEHID UPAN MASAYARAKAT BAD UY LUAR D I D ESA KANEKES KABUPATEN LEBAK BANTEN

DISFUNGSIONAL PERAN KARANG TARUNA DALAM PELESTARIAN KEARIFAN LOKAL DI KAMPUNG CIREUNDEU

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat pesisir pantai barat. Wilayah budaya pantai barat Sumatera, adalah

BAB II KAJIAN TEORITIS

BAB I PENDAHULUAN. Kampung Naga merupakan salah satu perkampungan masyarakat yang. kampung adat yang secara khusus menjadi tempat tinggal masyarakat

BAB V ANALISIS. Hindu merupakan suatu hewan yang dihormati dan disucikan. beragama tidak dapat dilepaskan dari bendanya.

BAB IV. 1. Makna dan Nilai wariwaa dalam adat. Pada umumnya kehidupan manusia tidak terlepas dari adat istiadat,

2015 PEWARISAN NILAI-NILAI BUDAYA SUNDA PADA UPACARA ADAT NYANGKU DI KECAMATAN PANJALU KABUPATEN CIAMIS

I. PENDAHULUAN. agama-agama asli (agama suku) dengan pemisahan negeri, pulau, adat yang

BAB I PENDAHULUAN. yang terdapat pada tujuh unsur kebudayaan universal. Salah satu hal yang dialami

BAB IV ANALISA DAN REFLEKSI TEOLOGIS. Seperti yang telah dipaparkan dalam Bab I, maka dalam Bab IV ini akan dipaparkan

BAB IV PEMBAHASAN DAN ANALISA. IV.1 Sakralnya Pusat Pulau Dalam Pemahaman Orang Abubu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bangsa Indonesia yang mempunyai ribuan pulau dengan berbagai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dalam rangka memenuhi kebutuhannya. Dalam menjalani kehidupan sosial dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Suku Batak merupakan salah satu suku yang tersebar luas dibeberapa

I. PENDAHULUAN. Secara umum, kebudayaan memiliki tiga wujud, yakni kebudayaan secara ideal

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat majemuk yang memiliki

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB IV TINJAUAN KRITIS INTEGRASI SOSIAL MASYARAKAT YALAHATAN DALAM PLURALITAS AGAMA

BAB I PENDAHULUAN. Baduy merupakan salah satu suku adat di Indonesia yang sampai

BAB 1 PENDAHULUAN. diwariskan secara turun temurun di kalangan masyarakat pendukungnya secara

BAB I PENDAHULUAN. [Type text]

BAB I PENDAHULUAN. kaum tua, dan lambat laun mulai ditinggalkan karena berbagai faktor penyebab.

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kesatuan yang dibangun di atas keheterogenan

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat adalah orang yang hidup bersama yang menghasilkan kebudayaan. Dengan demikian

BAB V KESIMPULAN. Tabob merupakan hewan yang disakralkan oleh masyarakat Nufit (dalam hal ini

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia sebagai negara kepulauan dengan ratusan suku bangsa,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

2013 POLA PEWARISAN NILAI-NILAI SOSIAL D AN BUD AYA D ALAM UPACARA AD AT SEREN TAUN

BAB IV MAKNA PELAKSANAAN UPACARA ADAT ALAWAU AMANO BAGI KEHIDUPAN ORANG NOLLOTH. A. Mendiskripsikan Upacara Adat Kematian Alawau Amano

BAB IV ANALISA HASIL PENELITIAN. 1. Solidaritas Sosial sebagai Kekuatan dalam Hubungan Kekerabatan dan

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN. Berdasarkan pemahaman pada Bab I-IV, maka pada bagian akhir tesis ini terdapat

KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS PENGARAH

BAB I PENDAHULUAN. sampai merauke, menyebabkan Indonesia memiliki banyak pulau. dijadikan modal bagi pengembang budaya secara keseluruhan.

BAB I PENDAHULUAN. istiadat yang berlaku, akan kesulitan dalam menjalani kehidupan bermasyarakat.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Dari hasil pembahasan Bab IV terdahulu, maka peneliti rumuskan

BAB VI PENUTUP VI.1. Kesimpulan Data.

BAB I PENDAHULUAN. masa silam. Tidak heran bahwa setiap daerah yang ada di Indonesia memiliki

2015 PENGAKUAN KEESAAN TUHAN DALAM MANTRA SAHADAT SUNDA DI KECAMATAN CIKARANG TIMUR KABUPATEN BEKASI

BAB IV ANALISA DAN REFLEKSI TEOLOGI

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Yuvenalis Anggi Aditya, 2013

BAB IV KONSEP DASAR AGAMA EMILE DURKHEIM

BAB 1 PENDAHULUAN. sakral, sebuah pernikahan dapat menghalalkan hubungan antara pria dan wanita.

SEJARAH PERKEMBANGAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT BADUY PASCA TERBENTUKNYA PROPINSI BANTEN TAHUN 2000

PENDAHULUAN. satuan kekerabatan suatu ikatan yang dituturkan dalam sebuah cerita rakyat,

FUNGSI TRADISI GOBA-GOBA MENYAMBUT HARI RAYA IDUL FITRI BAGI MASYARAKAT BIDAR ALAM KECAMATAN SANGIR JUJUAN KABUPATEN SOLOK SELATAN JURNAL

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

I.PENDAHULUAN. kebiasaan-kebiasaan tersebut adalah berupa folklor yang hidup dalam masyarakat.

PARTISIPAN : (Yang menjual anak) Nama : Alamat : Umur : Pekerjaan : Pendidikan : Jabatan dalam gereja/masyarakat :

BAB I PENDAHULUAN. asia, tepatnya di bagian asia tenggara. Karena letaknya di antara dua samudra,

Ketika Budaya Sasi Menjaga Alam Tetap Lestari

JURNAL SKRIPSI. MAKNA RITUAL DALAM PEMENTASAN SENI TRADISI REOG PONOROGO (Studi Kasus di Desa Wagir Lor, Kecamatan Ngebel, Kabupaten Ponorogo)

BAB II : KAJIAN TEORITIK. mengajar di tingkat universitas memberikan khusus sosiologi pertama kali di

BAB I PENDAHULUAN. Ayu Fauziyyah, 2014

BAB II SOLIDARITAS SOSIAL DALAM PERSPEKTIF EMILE DURKHEIM. dengan pihak-pihak terkait. Peneliti memilih teori Solidaritas Emile Durkhei, teori ini

MAKNA SIMBOL UPACARA MANGONGKAL HOLI (PENGGALIAN TULANG BELULANG) PADA MASYARAKAT BATAK TOBA DI BEKASI

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

JURNAL. Diajukan Oleh : Yohanes Ivan NPM : Program Studi : Ilmu Hukum Program Kekhususan : Peradilan dan Penyelesaian Sengketa Hukum (PK2)

BAB V SIMPULAN DAN REKOMENDASI

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara majemuk yang memiliki beragam suku bangsa,

BAB I PENDAHULUAN. memiliki adat istiadat (kebiasaan hidup) dan kebudayaan masing-masing,

BAB I PENDAHULUAN. dalamnya tumbuh berbagai Suku, Agama, dan bahasa daerah berbeda sehingga

SOSIOLOGI AGAMA PRODI PENDIDIKAN SOSIOLOGI SEMESTER VI PERTEMUAN IV AGAMA DAN MASYARAKAT OLEH: AJAT SUDRAJAT

BAB I PENDAHULUAN. Sastra daerah merupakan bagian dari suatu kebudayaan yang tumbuh dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

2. Macam-Macam Norma. a. Norma Kesusilaan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia dikenal dengan keanekaragaman Suku, Agama, Ras dan Antar

III. KERANGKA PEMIKIRAN Analisis Kelembagaan dan Pembangunan (Institutional Analysis and Development, IAD)

BAB II SOLIDARITAS SOSIAL-EMILE DURKHEIM. objek penelitian.sebagai alat, teori tersebut dipilih yang paling memadai, paling

Secara bahasa, kata AGAMA berasal dari bahasa sangsekerta yang berarti TIDAK PERGI, tetap di tempat.

PEMETAAN TINGKAT KECINTAAN GENERASI MUDA SUKU NGADA PADA PESTA ADAT REBA di ERA GLOBALISASI (Simbolisme dan Pergulatan Adat Istiadat)

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, REKOMENDASI

BAB I PENDAHULUAN. 1 Bungaran A. Simanjuntak, Konflik, status dan kekuasaan orang Batak Toba, Yogyakarta, Jendela, 2002, hal 10

BAB I PENDAHULUAN. sebuah kelompok orang, dan diwariskan dari generasi ke generasi. 1 Dalam kaitannya

2.4 Uraian Materi Pengertian dan Hakikat dari Pancasila sebagai Pandangan Hidup Bangsa Indonesia Sebagai pendangan hidup bangsa Indonesia,

BAB I PENDAHULUAN. keseluruhan pengertian, nilai, norma, ilmu pengetahuan serta keseluruhan strukturstruktur

BAB 8 KESIMPULAN DAN KONTRIBUSI

BAB V PENUTUP. keluarga serta orang lain atau anggota masyarakat yang lain. Salah satu tradisi

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Manusia adalah makhluk sosial juga makhluk budaya. Sebagai makhluk

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masala

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI

BAB IV SAKRAL DAN PROFAN DALAM PEMAHAMAN MASYARAKAT NUFIT HAROA (TUUN EN FIT) TENTANG TABOB

BAB I PENDAHULUAN. Manusia memiliki kebebasan untuk memeluk dan menjalankan agama menurut

AKULTURASI BUDAYA ISLAM DAN BUDAYA HINDU (Studi Tentang Perilaku Keagamaan Masyarakat Islam Tradisional di Gununggangsir Beji Pasuruan)

B. TOPIK PENDEKATAN SOSIOLOGI TERHADAP AGAMA

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Jovi Nuriana Putra, 2015 Pewarisan Nilai Adat Pikukuh Tilu dalam Kepercayaan Sunda Wiwitan

BAB IV ANALISIS HASIL PENELITIAN

PERKEMBANGAN KEPURBAKALAAN DALAM MENUNJANG PROFIL KEARIFAN LOKAL DI DAERAH MALUKU. M. Nendisa

PERANCANGAN DESAIN KOMUNIKASI VISUAL BUKU UPACARA ADAT NGABEN UMAT HINDU BALI

2015 KAJIAN NILAI-NILAI BUDAYA UPACARA ADAT NYANGKU DALAM KEHIDUPAN DI ERA MODERNISASI

BAB I PENDAHULUAN. Seorang manusia sebagai bagian dari sebuah komunitas yang. bernama masyarakat, senantiasa terlibat dengan berbagai aktifitas sosial

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil laporan, deskripsi serta pembahasan hasil penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Moch Ali M., 2015

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah

Transkripsi:

Eksistensi Sunda Wiwitan (Eksistensi Sunda Wiwitan pada Anggota Suku Baduy di Jakarta) Oleh: Moch. Masykur Fuadz A. NIM: 071014025 Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga Semester Genap/Tahun 2013/2014 Abstrak Masyarakat yang ada di Indonesia adalah masyarakat yang terdiri dari berbagai suku, ras dan agama. Kondisi tersebut karena masyarakat di suatu tempat akan berkumpul, yang terbagi dalam kelompok agama, ras dan budaya. Suku Baduy adalah salah satu suku adat terasing, yang mengasingkan dirinya dari dunia luar dan sangat membatasi interaksi terhadap perkembangan teknologi, serta perkembangan budaya modern lainnya. Penelitian ini berjudul Eksistensi Sunda Wiwitan (Eksistensi Sunda Wiwitan pada Anggota Suku Baduy di Jakarta ). Di mana penelitian ini dilakukan untuk menggambarkan fenomena sosial, yang dialami oleh anggota suku Baduy dalam memahami dan mempertahankan Sunda Wiwitan ketika mereka pindah ke Jakarta. Penelitian ini menggunakan teori Agama yang dikemukakan oleh Emile Durkheim. Teori tersebut digunakan agar dapat menjelaskan fenomena sosial yang terjadi. Teori ini menjelaskan bahwa agama adalah merupakan perwujudan daripada collective consciousness, di mana terdapat ikatan atau kontrak di dalam masyarakat. Tipe penilitian ini merupakan penelitian deskriptif, dan pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif. Hasil penelitian menunjukan bahwa masyarakat adat Baduy merasa mendapatkan banyak cobaan dan rintangan dalam mempertahankan tradisi Sunda Wiwitan di Jakarta. Meskipun demikian, mereka tetap berusaha untuk dapat mempertahankan tradisi tersebut, karena sudah menjadi tanggung jawab dan tugas bagi mereka. Kata Kunci: Eksistensi, Sunda Wiwitan, dan Baduy.

Abstract Community in Indonesia is a community consisting of a variety of ethnicities, races and religions. These conditions because people would gather in a place, which is divided into religious groups, races and cultures. Baduy tribe is one of the isolated indigenous tribes, who alienated himself from the outside world and very limiting interaction to the development of technology, as well as other modern cultural development. This study, entitled "Existence Wiwitan Sunda (Sundanese existence Wiwitan the Baduy Tribe Members in Jakarta). Where the study was conducted to describe social phenomena, which is experienced by members of the Bedouin tribe in understanding and maintaining the Sunda Wiwitan when they moved to Jakarta. This study uses the theory of religion proposed by Emile Durkheim. The theory is used in order to explain social phenomena. This theory explains that religion is a manifestation than the Collective Consciousness, where there is a bond or contract within a society. Type of this research is a descriptive study, and the approach used is qualitative approach. The results showed that the indigenous Bedouin was getting a lot of trials and a lot of hurdles in maintaining the tradition of Sundanese Wiwitan in Jakarta. Nevertheless, they are still trying to maintain the tradition, because it is the responsibility and duty for them. Keywords: Existence, Sunda Wiwitan, and Baduy. Pendahuluan Suku adat terasing yang ada di Indonesia bukan hanya suku kajang, suku adat lainnya yang termasuk terasing adalah suku adat Baduy yang terdapat di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten. Suku adat ini juga termasuk terasing atau bahkan mengasingkan diri, walaupun letaknya tidak jauh dari hiruk pikuk kota Banten. Suku Baduy ini bermukim di pulau Jawa, di mana Pulau Jawa merupakan pusat pembangunan di Indonesia saat ini. Namun di dalamnya, masih terdapat suku adat yang masih memegang nilai luhur budayanya, sehingga tidak terkikis dengan adanya perubahan jaman yang sangat pesat. Anggota masyarakat Baduy mempunyai identitas sosial yang berkeyakinan pada sebuah ajaran agama tertentu. Selain itu, anggota masyarakat Baduy atau Kanekes memiliki agama kepercayaan yang disebut Sunda Wiwitan, tetapi juga ada beberapa anggota masyarakat Baduy yang sudah memeluk agama Islam atau Budha. Keberagaman dalam memeluk agama pada anggota masyarakat Baduy, merupakan bentuk ketaatan yang dilakukan terhadap nilai-nilai dan pandangan hidup yang diturunkan oleh nenek moyang mereka. Agama apapun yang menjadi kepercayaan masyarakat Baduy mengajarkan bahwa, semua hal yang berkaitan dengan pola kehidupan mereka tidak boleh atau pantang untuk diubah 1, 1 http://kebudayaanindonesia.net/id/culture/ 1039/Sunda-Wiwitan

sehingga mereka berkeyakinan terhadap suatu hal yang mereka anggap benar dan menjadi penuntun hidupnya. Seperti anggota masyarakat tradisional lainnya, beberapa anggota suku Baduy juga ada yang tinggal di perkotaan atau hanya sekedar mencari pekerjaan yang dianggap lebih baik. Kondisi tersebut sedikit banyak akan mempengaruhi mereka dalam mempertahankan identitas kesukuan dan tentunya mempertahankan agama atau kepercayaannya. Oleh karena itu, sesuai dengan permasalahan yang telah diuraikan di atas, maka fokus penelitian yang diangkat adalah bagaimana anggota suku Baduy yang berada di Jakarta memahami dan mempertahankan Sunda Wiwitan? Kajian Teori dan Metode Penelitian Kajian Teori Teori yang digunakan dalam studi ini adalah teori agama dari Emile Durkheim. Menurut Durkheim agama berasal dari anggota masyarakat sendiri Setiap anggota masyarakat selalu membedakan mengenai hal hal yang di anggap sakral dan di anggap profane atau duniawi. Durkheim menjelaskan bahwa, agama adalah perwujudan daripada collective consciousness, walaupun selalu ada perwujudan perwujudannya yang lain. Collective consciousness sendiri pengertiannya menurut Durkheim adalah aturan aturan yang berada di luar kontrak, tetapi memungkinkan diadakannya kontrak kontrak sosial yang mengikat dan menentukan sah tidaknya suatu kontrak. Aturan aturan yang berada di luar kontrak inilah yang disebut Durkheim dengan collective consciousness atau kesadaran kolektif. Kesadaran Kolektif (Collective Consciousness) Durkheim menyatakan terdapat dua sifat dalam kesadaran kolektif, yaitu yang bersifat exterior dan constraint. Sifat exterior yang termasuk di dalamnya adalah kesadaran kolektif yang berada di luar kesadaran individu manusia dan yang masuk ke dalam individu tersebut dalam perwujudannya adalah aturan aturan moral, aturan aturan agama, aturan aturan baik dan buruk, luhur dan mulia dan lain sebagainya. Aturan aturan tersebut akan tetap ada sekalipun individu individu yang bersangkutan sudah tidak ada lagi. Sedangkan dalam sifatnya yang constraint, kesadaran kolektif tersebut memiliki daya memaksa terhadap individu individu. Pelanggaran yang dilakukan oleh anggota masyarakat terhadap kesadaran kolektif, akan mengakibatkan adanya sanksi sanksi hukuman terhadap anggota masyarakat yang bersangkutan, atau dapat dikatakan bahwa kesadaran kolektif itu adalah suatu konsensus anggota masyarakat yang mengatur hubungan sosial diantara anggota masyarakat yang bersangkutan. Kepercayaan Kepercayaan, Ritual Ritual dan Gereja Terdapat tiga kondisi yang diperlukan dalam perkembangan agama, yaitu: (1). Harus ada perkembangan sekumpulan kepercayaan agamis kepercayaan kepercayaan itu adalah representasi representasi yang

mengungkapkan hakikat hal hal yang sakral dan relasi relasi yang mereka pertahankan, baik antara satu sama lain maupun dengan hal hal yang duniawi. 2 (2). Dibutuhkan sekumpulan ritual agamis, hal hal itu adalah aturan aturan perilaku yang menetapkan bagaimana seorang manusia harus membawakan diri dalam kehadiran objek objek sakral tersebut. 3 (3). Agama akhirnya memerlukan sebuah gereja, atau suatu komunitas moral tunggal yang melingkupi, antar hubungan di antara yang suci, kepercayaan kepercayaan, ritual ritual, dan gereja. Totemisme Totemisme adalah suatu sistem agamis yang di dalam benda benda tertentu, khususnya binatang dan tumbuhan, dipandang sebagai hal yang sakral dan sebagai lambang klan. Durkheim memandang totemisme sebagai bentuk agama yang paling sederhana dan paling primitif, dan dia percaya totemisme terkait dengan bentuk sederhana, yang serupa dengan organisasi sosial, yakni klan. Totem ini merupakan pusat ritus/ upacara keagamaan dari orang orang sederhana tersebut, dalam hal ini adalah anggota masyarakat pedalaman Australia. Para individu yang mengalami energi kekuatan sosial yang dipertinggi pada saat berkumpulnya klan, mengusahakan 2 Durkheim, E. (1959). The Elementary Forms of the Religious Life [1912]. Na, hal 56 penjelasan untuk keadaan tersebut. Durkheim berpendapat bahwa, berkumpul itu sendiri adalah penyebab yang nyata, tetapi sekarang pun, orang enggan menghubungkan kekuatan tersebut dengan kekuatan kekuatan sosial. Sebenarnya totem di anggap sebagai sesuatu yang suci itu tidak lain adalah simbol belaka, yaitu simbol dari Tuhan. Durkheim menyatakan bahwa, Tuhan tidak lain merupakan lambang atau simbol daripada anggota masyarakat itu sendiri, yaitu sebagai collective consciousness yang kemudian menjelma ke dalam collective representation, yakni berupa lambang lambang yang berwujud ajaran ajaran totemisme. Berdasarkan penyelidikan di pedalaman Australia, Durkheim berkesimpulan bahwa, Tuhan itu hanya merupakan idealisme dari anggota masyarakat itu sendiri, yang menganggapnya sebagai makhluk yang paling sempurna. Tuhan dianggap sebagai simbol dari masyarakat itu sendiri, sebagai collective consciouness, kemudian menjelma ke dalam collective representation. Tuhan itu hanyalah idealisme dari masyarakat itu sendiri yang menganggapnya sebagai makhluk yang paling sempurna (Tuhan adalah personifikasi masyarakat) dan melebihi apa yang dimiliki oleh manusia. Durkheim menyatakan terdapat dua hal pokok dalam agama, yaitu kepercayaan dan ritus atau upacara-upacara, serta keyakinan adalah pikiran dan ritus adalah tindakan. 3 Ibid

Metode Penelitian Studi ini menggunakan metode kualitatif dengan tipe deskriptif. Studi ini bertujuan untuk menjelaskan secara deskriptif terhadap data yang didapatkan dari para informan. Penelitian deskriptif bertujuan untuk mengumpulkan informasi secara aktual dan terperinci, mengidentifikasikan masalah, membuat perbandingan atau evaluasi, menentukan apa yang dilakukan orang lain dalam menghadapi masalah yang sama dan belajar dari pengalaman mereka untuk menetapkan rencana dan keputusan pada waktu yang akan datang. Lokasi yang di pilih adalah di Baduy dan Jakarta yaitu lebih tepatnya di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Alasan memilih lokasi penelitian di Baduy, karena Baduy merupakan suku pedalaman yang masih asli dan masih murni baik dari kebudayaan, agama, atau kehidupan sosialnya. Sementara itu Jakarta merupakan tempat dimana anggota suku Baduy mencari pekerjaan guna menunjang kehidupannya. Penelitian ini menggunakan teknik purposif dalam menentukan subjek atau informan yang relevan. Purposif adalah cara pengambilan subjek penelitian dengan kriteria dan situasi-situasi khusus. Penelitian ini berusaha untuk mencari karakteristik dari masing-masing informan, yaitu mulai dari latar belakang informan, hambatan serta rintangan yang di lakukan, serta pengaruh dari budaya budaya serta agama lain terhadap eksistensi Sunda Wiwitannya. Kemudian, kriteria informan dalam hal ini adalah yang melakukan migrasi di atas 2 bulan. Dikarenakan, 2 bulan di anggap waktu yang cukup lama bagi anggota Baduy untuk tidak tinggal di tempat tinggalnya, serta usianya di atas 15 tahun karena, pada usia tersebut anggota Baduy sudah ada beberapa yang lebih memilih untuk bekerja di kota. Studi ini menggunakan teknik pengumpulan data dengan cara wawancara mendalam. Data yang didapatkan kemudian dianalisa menggunakan teknik analisis data oleh Huberman dan Miles yang terdiri atas tiga hal, yaitu reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan 4. Pembahasan Eksistensi Agama Sunda Wiwitan Agama merupakan sebuah unsur penting dari sebuah masyarakat, karena masyarakat banyak juga yang berpendapat bahwa agama berperan sebagi penuntun atau menjadi panutan hidup dalam setiap umatnya, sehingga agama sendiri berperan sebagai penerang, penjelas antara yang benar dan yang buruk, pemberi arahan untuk melakukan tindakan, bahkan agama juga bisa menjadi rumah yang dapat menampung jiwa jiwa yang kosong atau jiwa jiwa yang membutuhkan pencerahan. Perbedaan persepsi tentang agama juga ditunjukkan pada setiap pengikut atau penganut agama, yang mempunyai kedudukan berbeda dalam agama tersebut, sehingga dalam kesehariannya terdapat perbedaan diantara individu yang memahaminya seperti hal yang biasa, dengan yang berperan secara langsung dalam setiap kegiatan dan 4 Muhammad, Idrus, 2009, Metode Penelitian Ilmu Sosial Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif Edisi Kedua, Jakarta: Erlangga. Halaman 146-147.

mengerti betul nilai nilai agama yang terkandung di dalamnya. Seperti yang diungkapkan oleh Emile Durkheim tentang agama adalah asal mula agama adalah dari masyarakat itu sendiri. 5 Secara tidak langsung hal ini sesuai dengan agama Sunda Wiwitan, yang ajarannya berasal dari sesepuh sesepuh yang memberikan amanat pada penerusnya untuk tetap melestarikan agama Sunda Wiwitan tersebut, hal itu ditunjukkan baik melalui lisan ataupun praktek yang langsung dilakukan. Anggota suku Baduy juga mempunyai sikap tersendiri, antara hal hal yang dianggap suci seperti upacara, ritual keagamaan dan kegiatan kegiatan yang berhubungan dengan dewi sri atau Tuhannya, dibandingkan dengan perintah adat yang lebih ke dalam hukum hukum. Durkheim juga mengaitkan agama ada hubungannya dengan kesadaran kolektif atau collective consciousness yang terwujud dari anggota suku Baduy sendiri. Hal ini tercermin dengan adanya suatu pengikat yang erat antara pengikut Sunda Wiwitan yang sejatinya adalah anggota suku Baduy itu sendiri. Exterior Exterior ini terlihat dari dengan tindakan tindakan yang sangat tercermin dalam menyangkut dengan kegiatan ritual atau upacara keagamaan. Tindakan tindakan itu sangat kontras atau sangat terlihat dalam pelaksanaan kegiatan keagamaan. Mereka tidak perduli dengan hambatan atau rintangan yang harus dihadapai untuk melakukan kegiatan keagamaan tersebut, sehingga tanpa ada perintah ataupun tuntutan dari siapapun, pemeluk agama Sunda Wiwitan rela untuk melakukan seluruh perintah sesuai dengan kesadaran dirinya, bukan karena paksaan dari pihak manapun. Hal tersebut juga ditunjukkan oleh para informan yang rela melakukan ritual atau upacara guna untuk mendekatkan diri dengan Tuhannya, meskipun banyak hambatan yang dialami baik dari ekonomi, pekerjaan, maupun resiko yang harus diambil untuk menunjang kehidupannya. Informan juga mengharapkan adanya sebuah kesadaran, yang tetap terus ada pada setiap anggota suku Baduy. Buktinya dari generasi ke generasi kesadaran seperti ini akan tetap terus ada dan lestari, yang tujuannya untuk dapat meneruskan agama Sunda Wiwit. Constraint Constraint tidak menunjukkan sebuah ketakutan tersendiri dari para informan, karena informan menganggap hukuman yang diterima pasti ada, dan hukuman tersebut dianggap akan sangat merugikan kehidupannya. Namun, semua itu berbeda dengan kesadaran yang dimiliki oleh para informan. Constraint yang mereka tunjukkan lebih kepada sumpah pitutuh karuhun dan tetap menjaga amanat yang diberikan oleh leluhurnya untuk dapat menjadikan pengikut atau anggota suku Baduy. Mereka yang beragama Sunda Wiwitan akan tetap terus ingat, dan hal itu lebih bersifat pada peringatan dan identitas yang harus dipegang teguh oleh anggota suku Baduy. 5 Siahaan, Hotman M, 1986, Pengantar ke Arah Sejarah dan Teori Sosiologi, Jakarta: Penerbit Erlangga

Kepercayaan, Kepercayaan, Ritual Ritual Dan Tempat Ibadah. Pertama, yang di tunjukkan oleh agama Sunda Wiwitan tersebut adanya regenerasi dari yang tua, untuk memberikan pengetahuan kepada yang muda melalui lisan, serta keterkaitan antara anggota suku Baduy yang menganut Sunda Wiwitan, yang dipercaya dapat menunjang kehidupannya lebih baik. Kedua, ritual ritual agamis ditunjukkan dengan adanya 9 rukun yang di percayai oleh Sunda Wiwitan, di mana dari 9 rukun tersebut tentunya menjadikan setiap umatnya mendekatkan diri pada yang suci atau yang sakral. Kegiatan tersebut dilakukan agar mereka mendapatkan ketenangan, serta menggugurkan tanggung jawab serta kewajiban yang dimiliki. Ketiga, Adanya tempat berkumpul yang sangat suci yaitu hutan titipan yang menjadi wadah untuk mendapatkan petunjuk serta mendapatkan penerangan terhadap hal hal yang di anggap suci dan di anggap menjadi sakral. Totemisme Sunda Wiwitan sendiri termasuk sebagai agama yang primitif, karena dalam kesehariannya, baik ritual dan upacara yang dilakukan menunjukkan lebih ke dalam unsur Alam dan unsur penyembahan terhadap Dewi Sri atau yang menjadi dewi dari masyarakat Baduy itu sendiri. Dewi Sri sendiri berperan sebagai Dewi yang diagung agungkan namanya, untuk membantu masyarakat suku Baduy dalam memelihara alam, baik untuk keberlangsungan hidupnya yang lebih baik, maupun keberkahan yang diberikan oleh Dewi Sri tersebut pada saat melakukan kegiatan sehari hari. Anggota suku Baduy mempunyai tempat yang sangat sakral di dalam kehidupannya, yang bertujuan untuk pelaksanaan ritual ritual pemujaan yang dilaksanakan, agar mendapatkan petunjuk dan wangsit atau bisikan dari Tuhannya, dan untuk melakukan kegiatan yang memang seharusnya dilakukan. Tempat yang sakral di sini disebut dengan titipan, yaitu berupa hutan lindung yang merupakan tempat sakral bagi penganut agama Sunda Wiwitan. Sunda Wiwitan sendiri juga mempunyai simbol dari setiap ritual ritual yang diadakan, dan tentunya setiap ritual ritual atau upacara upacara keagamaan itu sendiri mempunyai tujuan dan misi yang berbeda beda tentang dirinya kepada Tuhannya. Bentuk Eksistensi Sesuai dengan pernyataan Durkheim, yaitu pada waktu orang terlibat dalam upacara upacara keagamaan, maka kesadaran mereka tentang collective consciousness semakin bertambah kuat. Sesudah upacara upacara keagamaan, suasana keagamaan tersebut akan dibawa dalam kehidupan sehari hari mereka. Hal itu juga ditunjukkan oleh anggota suku Baduy yang menjadi informan. Meskipun kedudukan dan statusnya sebagai anggota suku Baduy yang bekerja di kota, tidak menyurutkan mereka untuk mendapatkan semangat, serta keikutsertaan dalam setiap kegiatan keagamaan, meskipun ada rukun yang dilewatkan, karena hanya di lakukan di kampungnya. Namun, rukun yang memang harus dilakukan dan rukun yang bersifat fleksibel

tersebut pasti akan dilakukan oleh informan yang bekerja di Jakarta. Hal tersebut dikarenakan telah menjadi sebuah tanggung jawab dan kewajiban yang memang sudah seharusnya dilakukan, serta menjadi kesadaran tersendiri bagi setiap anggota suku Baduy. Bentuk eksistensi yang dilakukan oleh para anggota suku Baduy yang berada di Jakarta, untuk tetap mempertahankan identitasnya sebagai Sunda Wiwitan tersebut memiliki berbagai macam cara. Hal itu semua tercermin pada, bagaimana sulitnya mempertahankan eksistensi yang harus mereka lakukan, sedangkan mereka harus memenuhi berbagai kebutuhan di dalam kehidupan, yang tidak hanya untuk Sunda Wiwitan. Anggota suku Baduy yang ada di Jakarta lebih memilih untuk tetap melakukan kegiatan ritual ritual serta upacara upacara keagamaan, dibandingkan dengan perannya saat berada di Jakarta atau berada di kota. Semua itu memang harus dilakukan untuk kesejahteraan individu, Sunda Wiwitan maupun untuk anggota suku Baduy pada umumnya. Kesimpulan Eksistensi yang banyak dilakukan melalui beberapa cara, dan memiliki tahapan yang berbeda pada masing masing anggota suku Baduy, serta pemahaman pemahaman yang dipahami oleh masing masing anggota juga berbeda. Kondisi tersebut terlihat dari beberapa pernyataan tentang pemahaman keagamaan yang berbeda dari informan satu dengan informan lainnya. Selain itu pemahaman yang di mengerti hanya inti inti dari agamanya, yaitu Sunda Wiwitan, di mana intinya adalah upacara yang sudah biasa dilakukan dan dilaksanakan sebagaimana mestinya dan upacara - upacara atau ritual yang memang di perkenalkan pada masyarakat luas. Namun, untuk upacara atau ritual yang lain pemahaman dari setiap anggota berbeda beda. Sunda Wiwitan merupakan kepercayaan yang termasuk agama primitif, tentunya sangat harus dijaga kelestariannya agar tidak mudah hilang dan tidak mudah tergeser keberadaannya. Penganut penganut Sunda Wiwitan sendiri semakin lama semakin berkembang, karena anggota suku Baduy semakin banyak, sehingga mendorong pengikutnya untuk dapat menjaga amanat yang telah disampaikan dalam bentuk pikukuh karuhun dan bacaan bacaan. Hal tersebut memang harus dipegang teguh baik masyarakat yang berada di tempat asalnya ataupun masyarakat yang sedang berada Jakarta atau di daerah perkotaan. Anggota suku Baduy yang di Jakarta akan semakin rentan untuk meninggalkan identitas dan kesukuannya karena banyak terjadinya benturan benturan dan masuknya budaya budaya serta ajaran ajaran yang tidak sejalan dengan Sunda Wiwitan. Namun, anggota suku Baduy yang berada di Jakarta masih tetap menjaga semua itu, yang dapat dilihat dengan bagaimana pernyataan serta ketegasan mereka terhadap agama serta kesukuannya, karena dirasa sudah menjadi tanggung jawab dan menjadi tugas masyarakat adat Baduy.

Daftar Pustaka Buku Durkheim, E. (1959) The Elementary Forms of the Religious Life [1912]. Siahaan, Hotman. (1986) Pengantar ke Arah Sejarah dan Teori Sosiologi. Jakarta: Penerbit Erlangga. Muhammad, Idrus. (2009) Metode Penelitian Ilmu Sosial Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif Edisi Kedua. Jakarta: Erlangga Web http://kebudayaanindonesia.net/id/cul ture/1039/sunda-wiwitan