RINGKASAN EKSEKUTIF HASIL PENELITIAN PEMETAAN PERATURAN DAERAH DAN POTENSI DAMPAKNYA TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DI JAWA TENGAH

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumber-sumber yang ada

I. PENDAHULUAN. bertujuan untuk mencapai social welfare (kemakmuran bersama) serta

BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN. Provinsi Jawa Tengah sebagai salah satu Provinsi di Jawa, letaknya diapit

KAJIAN PERATURAN DAERAH DALAM PENINGKATAN INVESTASI DI KOTA SEMARANG

BAB I PENDAHULUAN. (Khusaini 2006; Hadi 2009). Perubahan sistem ini juga dikenal dengan nama

PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI PAJAK. Nur ain Isqodrin, SE., Ak., M.Acc Isqodrin.wordpress.com

Laporan Sintesis Hasil Review 353 Perda * (Tim Peneliti KPPOD) **

BAB I PENDAHULUAN. No.22 tahun 1999 dan Undang-undang No.25 tahun 1999 yang. No.33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat

BAB I PENDAHULUAN. sampai ada kesenjangan antar daerah yang disebabkan tidak meratanya

BAB I PENDAHULUAN. menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. pemerataan yang sebaik mungkin. Untuk mencapai hakekat dan arah dari

BAB I PENDAHULUAN. berasal dari wajib pajak yang berdasarkan peraturan perundangan mempunyai. kewajiban untuk membayar pajak kepada pemerintah.

BAB I PENDAHULUAN. Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah. (PPnBM), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Sektor P3 dan Bea Meterai.

I. PENDAHULUAN. Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi

BAB 3 GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN DAN KEUANGAN DAERAH KAB/KOTA DI JAWA TENGAH

I. PENDAHULUAN. cepat, sementara beberapa daerah lain mengalami pertumbuhan yang lambat.

BAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pelaksanaan

BAB I PENDAHULUAN. berinteraksi mengikuti pola yang tidak selalu mudah dipahami. Apabila

ANALISIS EFEKTIFITAS PEMUNGUTAN PAJAK DAERAH DALAM RANGKA PENINGKATAN PENDAPATAN ASLI DAERAH KABUPATEN BOJONEGORO

BAB I PENDAHULUAN. penyelenggaraan pemerintahan dengan memberikan keleluasaan pada

BAB I PENDAHULUAN. kebijakan daerahnya sendiri, membuat peraturan sendiri (PERDA) beserta

BAB I PENDAHULUAN. negara. Hasil dari pembayaran pajak kemudian digunakan untuk pembiayaan

Keterangan Pers POKOK-POKOK PENGATURAN UNDANG-UNDANG PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. mengurus keuangannya sendiri dan mempunyai hak untuk mengelola segala. sumber daya daerah untuk kepentingan masyarakat setempat.

BAB 5 PEMBAHASAN. Tabel 5.1 Ringkasan Hasil Regresi

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Sektor industri mempunyai peranan penting dalam pembangunan ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. adalah ketersediaan dana oleh suatu negara yang diperlukan untuk pembiayaan

I. PENDAHULUAN. sendiri adalah kemampuan self supporting di bidang keuangan.

2014 ANALISIS POTENSI PENERIMAAN PAJAK PENERANGAN JALAN DI KOTA BANDUNG TAHUN

BAB I PENDAHULUAN. terhadap kebijakan-kebijakan pembangunan yang didasarkan kekhasan daerah

BAB I PENDAHULUAN. Diberlakukannya undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah

BAB I PENDAHULUAN. daerah adalah untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat dimana

BAB I PENDAHULUAN. Pada masa kini, kita tidak bisa bebas dari yang namanya pajak. Bahkan

BAB I PENDAHULUAN. daerah dalam keuangan daerah menjadi salah satu tolak ukur penting dalam

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan termasuk

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan yang mensejahterakan rakyat dapat dilihat dari tercukupinya

BAB I PENDAHULUAN. untuk meningkatan pertumbuhan PDB (Produk Domestik Bruto) di tingkat

BAB I PENDAHULUAN` dengan diberlakukannya otonomi daerah, pemerintah. Pemerintah Pusat dan Daerah, setiap daerah otonom diberi wewenang yang lebih

BAB IV PEMBAHASAN. Pendapatan Asli Daerah Kota Semarang terdiri dari : dapat dipaksakan untuk keperluan APBD.

BAB I PENDAHULUAN. tercantum dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang. penyelenggaraan pemerintah daerah. Berlakunya Undang-Undang Nomor 32

Kontribusi Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah Terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) Di Kabupaten Jember

BAB I PENDAHULUAN. Sejak diberlakukannya Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang Otonomi

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan ke arah desentralisasi. Salinas dan Sole-Olle (2009)

BAB I PENDAHULUAN. bersangkutan, sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 32

BAB I PENDAHULUAN. daerah masalah perimbangan keuangan pusat dan daerah merupakan salah satu

BAB I PENDAHULUAN. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan umum pada Undang-Undang. Nomor 22 Tahun 1999 kemudian direvisi menjadi Undang-Undang Nomor

BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN. perlu terus dilaksanakan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. meningkat. Kemampuan yang meningkat ini disebabkan karena faktor-faktor. pembangunan suatu negara (Maharani dan Sri, 2014).

BAB I PENDAHULUAN. Kemandirian keuangan daerah sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. dikelola dengan baik dan benar untuk mendapatkan hasil yang maksimal.

BAB I PENDAHULUAN. didalam Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

KEMENTERIAN DALAM NEGERI DIREKTORAT JENDERAL BINA KEUANGAN DERAH

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN. Jawa Tengah terletak di antara B.T B.T dan 6 30 L.S --

BAB I PENDAHULUAN. disediakan oleh pemerintah dan dikelola oleh pemerintah. Beberapa ciri yang melekat pada retribusi daerah yang saat ini

TIM KOORDINASI PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAERAH KABUPATEN KENDAL. 0 Laporan Pelaksanaan Penanggulangan Kemiskinan Daerah (LP2KD) Kabupaten Kendal

ANALISIS EFEKTIVITAS DAN KONTRIBUSI PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERDESAAN DAN PERKOTAAN (PBB P2) TERHADAP PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) KABUPATEN JEMBER

BAB I PENDAHULUAN. mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANJARNEGARA,

PAJAK AIR TANAH PERDA KABUPATEN MUNA NO. 3 TAHUN PAJAK AIR TANAH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BOKS RINGKASAN EKSEKUTIF HASIL PENELITIAN ANALISIS DAMPAK PENERAPAN ONE STOP SERVICE (OSS) TERHADAP PENINGKATAN INVESTASI DI JAWA TENGAH

BAB I PENDAHULUAN. dengan potensi dan kepentingan daerah itu sendiri. yang sesuai denganperaturan perundang-undangan. Oleh

BAB I PENDAHULUAN. kebijakan tersendiri dalam pembangunan manusia,hal ini karena. sistem pemerintahan menjadi desentralisasi.

PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH TAHUN 2014 PROVINSI JAWA TENGAH

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional. Pembangunan di Indonesia secara keseluruhan

BAB IV GAMBARAN UMUM

BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK

BAB III KONTRIBUSI PENDAPATAN PAJAK PARKIR TERHADAP PENDAPATAN ASLI DAERAH DI DINAS PENGELOLAAN KEUANGAN DAN ASET DAERAH KOTA SEMARANG

BAB 1 PENDAHULUAN. suatu Negara, ketersediaan data dan informasi menjadi sangat penting dalam

BAB I PENDAHULUAN. rakyat. Untuk mencapai cita-cita tersebut pemerintah mengupayakan. perekonomian adalah komponen utama demi berlangsungnya sistem

PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2013

BAB 1 PENDAHULUAN. Sistem pemerintahan dengan otonomi daerah yang mulai direalisasikan

GUBERNUR JAWA TENGAH

Kajian Perda Provinsi Bali Tentang Bagi Hasil Pajak Provinsi kepada Kab./Kota

BAB I PENDAHULUAN. rakyat dan pemerintah di daerah adalah dalam bidang public service

BAB 1 PENDAHULUAN. dan Jusuf Kalla, Indonesia mempunyai strategi pembangunan yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Pemerintah sebagai pengatur dan pembuat kebijakan telah memberi

BAB I PENDAHULUAN. menjadi tempat pusat pemerintahan. Dahulunya pemerintahan pusat harus mengurusi

EVALUASI DAERAH PRIORITAS PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAN PENARGETAN BERBASIS WILAYAH

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat adil dan makmur sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar pembangunan tersebut dibutuhkan dana yang cukup besar.

JURNAL SKRIPSI EVALUASI POTENSI PENDAPATAN PAJAK DAN RETRIBUSI DAERAH DI KABUPATEN WONOGIRI

Kajian 4 Rancangan Peraturan Nagari/Desa Kasang di Kabupaten Padang Pariaman

BAB I PENDAHULUAN. ini tidak terlepas dari keberhasilan penyelenggaraan pemerintah propinsi maupun

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan.

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar 1945 telah mengatur tentang pemerintahan provinsi,

BAB 1 PENDAHULUAN. penelitian, proses penelitian dan sistematika penulisan.

BADAN KETAHANAN PANGAN PROVINSI JAWA TENGAH KONSOLIDASI LUMBUNG PANGAN MASYARAKAT TAHUN 2015

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, melalui pengeluaran-pengeluaran rutin dan pembangunan yang

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang. Pemerintahan Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk

BAB I PENDAHULUAN. nyata dan bertanggung jawab. Sesuai UU Nomor 23 Tahun 2014 pasal 1

ANALISIS PENGARUH RETRIBUSI PARKIR KENDARAAN TERHADAP PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) KOTA SURAKARTA TAHUN NASKAH PUBLIKASI

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan Undang-undang No.25 Tahun 2000 tentang Program. Pembangunan Nasional , bahwa program penataan pengelolaan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pelaksanaan Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 1999 dan

MACHDANIYATUL AZIZAH B

PROVINSI JAWA TENGAH. Data Agregat per K b t /K t

BAB I PENDAHULUAN. Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemilihan Judul

BAB 1 PENDAHULUAN. Pengaruh Pendapatan..., Fani, Fakultas Ekonomi 2015

Transkripsi:

BOKS RINGKASAN EKSEKUTIF HASIL PENELITIAN PEMETAAN PERATURAN DAERAH DAN POTENSI DAMPAKNYA TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DI JAWA TENGAH. Latar Belakang Keluarnya UU No. 22 tahun 999 tentang pemerintahan daerah serta UU No.25 Tahun 999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat yang kemudian disempurnakan dengan UU No. 32 dan UU No.33 Tahun 2004 menandai era baru penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia. Era baru penyelenggaraan pemerintahan yang memberikan kewenangan yang lebih luas kepada pemerintah daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan dan mengembangkan ekonomi sesuai dengan kekhasan lokal yang dimilikinya. Setelah berjalan hampir lima tahun sejak efektif dilaksanakan pada tahun 200, otonomi daerah sejauh ini lebih diterjemahkan oleh pemerintah daerah untuk menggali potensi-potensi penerimaan daerah. Implementasi otonomi daerah banyak dimaknai sebagai upaya meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dalam pengertian jangka pendek. Oleh karena itu, banyak sekali peraturan-peraturan daerah (perda) dikeluarkan oleh pemerintah daerah hanya untuk meningkatkan PAD, terutama perda pajak dan retribusi daerah yang seringkali mengabaikan prisip-prinsip dan dasr filosofi pajak dan retribusi. Yang kemudian banyak terjadi adalah perbenturan antar perda perang perda baik antara satu perda dengan perda lainnya, perda suatu daerah dengan daerah lainnya, perda daerah dengan perda provinsi. Keberadaan berbagai macam perda, terutama perda pajak dan perda tentang retribusi seringkali justru tidak kondusif bagi aktivitas investasi dan ekonomi daerah serta kontraproduktif terhadap tujuan otonomi daerah dalam mengembangkan kemadirian perekonomian. Berbagai pajak, retribusi dan berbagai pungutan yang seringkali tumpang tindih dan banyak membebani pelaku ekonomi menyebabkan ketidakpastian bagi iklim investasi di daerah. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) mengenai faktor yang mempengaruhi daya tarik investasi daerah, faktor kepastian hukum menempati urutan pertama (39 persen), faktor perda (25 persen), faktor aparatur (22 persen) serta faktor keuangan daerah (4 persen). Apabila faktor-faktor tersebut dijabarkan dalam indikator yang lebih spesifik, keberadaan perdaperda bermasalah diindikasikan sebagai faktor yang paling banyak mempengaruhi daya tarik investasi statu daerah. Berdasarkan survei KPPOD, Jawa Tengah merupakan salah satu provinsi yang kondusif bagi investasi (dengan Kota Semarang pada urutan pertama dan Kabupaten Tegal pada urutan keempat). Meskipun Demikian, investasi tidak menunjukkan perkembangan yang signifikan. Ada beberapa persoalan mendasar yang patut diperhatikan. Pertama, perlu adanya pemahaman bersama bahwa kemandirian kabupaten/ kota hanya bisa dibangun secara kuat kalau kabupaten/ kota tersebut berbasis pada kekuatan ekonomi yang bersifat sustain. Kedua, sesuai dengan survei KPPOD, berkaitan dengan kepastian peraturan dan pelaksanaannya. Ketiga, perlu 22

kajian Perda secara komprehensif. Identifikasi terhadap Perda-perda yang tidak konsisten, overlapping maupun yang terlalu banyak. Dengan melihat bahwa Jawa Tengah dianggap sebagai provinsi yang proinvestasi di satu sisi, akan tetapi investasi tidak juga menunjukkan perkembangan yang cukup signifikan dan melihat keberadaan perdaperda yang justru diperkirakan menghambat pertumbuhan ekonomi, studi pemetaan perda beserta potensinya dalam menghambat perekonomian daerah menjadi urgen untuk dilakukan. Penelitian ini akan mengidentifikasi perda-perda yang memiliki potensi menghambat investasi dan perekonomian. 2. Tujuan Penelitian Dan Lingkup Penelitian Tujuan penelitian ini adalah:. Mengidentifikasi dan menganalisis Perda-perda yang telah diterbitkan oleh pemerintah kabupaten/kota yang berpotensi menghambat pertumbuhan ekonomi di Jawa Tengah 2. Memformulasikan alternatif penyelesaian masalah dan rekomendasi kebijakan atas Perda-perda yang berpotensi menghambat pertumbuhan ekonomi tersebut 3. Metode Penelitian 3.. Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah data yang berkaitan dengan persepsi para stakeholder mengenai perda-perda yang berkaitan dengan investasi dan pertumbuhan ekonomi. Data primer diperoleh dengan melalukan interview maupun FGD dengan pihak-pihak terkait. Data sekunder adalah dokumen perda yang diterbitkan oleh Kabupaten/ Kota pasca otonomi daerah (tahun 200) sampai entri perda terakhir. Dan data PAD kabupaten, perkembangan kredit investasi. 3.2. Sampel Objek penelitian studi ini mencakup perda yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah setelah otonomi daerah (Perda tahun 200 dan setelahnya). Sedangkan, Kabupaten/ Kota yang akan dijadikan sampel dalam penelitian ini adalah 4 Kabupaten/ Kota, yaitu 5 Kabupaten/ Kota yang memiliki rata-rata pertumbuhan tinggi selama 200-2004, 5 Kabupaten/ Kota yang memiliki rata-rata pertumbuhan terendah selama 200-2004 dan 4 Kabupaten/ Kota yang pro investasi tahun 2005. Kabupaten/ kota tersebut adalah; () Kab. Cilacap, (2) Kota Tegal, (3) Kota Surakarta, (4) Kab. Brebes, (5) Kab. Tegal, (6) Kota Semarang, (7) Kab. Purbalingga, (8) Kab. Sragen, (9) Kab. Kudus, (0) Kab. Kebumen, () Kab. Wonogiri, (2) Kab. Batang, (3) Kab. Banjarnegara dan (4) Kab. Wonosobo. 23

3.3. TEKNIK ANALISIS GAMBAR 2 TEKNIK ANALISIS ANALISI PERDA di 4 Kab/Kota 7 Kriteria Perda yang Kondusif Terhadap Iklim Usaha. Kesesuaian dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. 2. Akibat terhadap lalu lintas distribusi barang dan jasa baik yang bersifat tarif maupun non tarif 3. Mengakibatkan pungutan berganda dengan pajak pusat dan pajak daerah lainnya. 4. Besaran tarif berada dalam batas kewajaran sehingga tidak mengakibatkan ekonomi biaya tinggi. 5. Unsur diskriminatf. 6. Kepastian standar pelayanan. 7. Regulasi/keharusan kemitraan dengan pengusaha lokal. Matrik Perda OUTPUT. Peta Perda bermasalah. 2. Jalur Pengaruh Regulasi (Perda) Pertumbuhan Ekonomi. Interview/FGD: Pemprov, Pemda/Pemkot, Kadid Provinsi/Kab/Kota 4. HASIL PENELITIAN 4.. ANALISIS DISTRIBUSI SAMPEL Secara keseluruhan perda yang menjadi sampel dalam penelitian ini berjumlah 73 perda dari 4 kabupaten/ kota, yang terdiri dari kategori perda retribusi sebesar 66,47 persen, kategori perda pajak 2,97 persen, kategori perda perijinan 9,25 persen dan kategori perda lainnya sebesar 2,3 persen. 24

TABEL 2 REKAPITULASI DISTRIBUSI SAMPEL PERDA MENURUT KATEGORI DAN KABUPATEN/KOTA No Kabupaten Kategori Perda Pajak Retribusi Perizinan Lainnya Jumlah Kab. Cilacap 5 4 5 25 2 Kab. Purbalingga - 7 - - 7 3 Kab. Banjarnegara 5 - - 6 4 Kab. Kebumen 8 - - 9 5 Kab. Wonosobo 4 4 5 4 6 Kab. Wonogiri - 6 - - 6 7 Kab. Sragen 4 0 - - 4 8 Kota Tegal - - - 9 Kab. Tegal 5-7 0 Kab. Brebes 6 4 2 Kab. Kudus 9-2 Kab. Batang 6 5 - - 3 Kota Semarang 7 - - 8 4 Kota Surakarta 3 8-2 JUMLAH 38 5 6 4 73 Sumber: Data Sekunder, diolah: Perda Pajak Daerah Dari sampel Perda yang diambil dari 4 Kabupaten/ Kota di Jawa Tengah, diperoleh jenis perda pajak. Hal ini berarti terdapat 4 jenis pajak yang diatur dalam perda, tidak secara eksplisit termasuk dalam jenis Perda menurut ketentuan pasal 2 ayat 2 UU Nomor 34 Tahun 2000. Kesebelas jenis pajak daerah tersebut terdistribusi di kabupaten/kota sedangkan 3 kabupaten lainnya, yaitu Kabupaten Purbalingga, Kota Tegal, Kabupaten Wonogiri, tidak menerbitkan perda tentang pajak daerah yang menjadi sampel dalam penelitian ini. TABEL 3 JENIS PAJAK DALAM PERDA SAMPEL No. Jenis Pajak Keterangan Pajak Hotel Tercantum 2 Pajak Restoran Tercantum 3 Pajak Hiburan Tercantum 4 Pajak Reklame Tercantum 5 Pajak Penerangan jalan Tercantum 6 Pajak Pengambilan Bahan Galian gol. C Tercantum 7 Pajak Parkir Tercantum 8 Pajak Televisi Tidak tercantum 9 Pajak Pemanfaaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan. Tidak tercantum (Termasuk pajak Provinsi) 0 Pajak atas Jasa Kepelabuhanan Tidak tercantum Pajak Pengelolaan dan Pengusahaan Sarang Burung Tidak tercantum 25

GAMBAR 3 DISTRIBUSI PERDA SAMPEL TENTANG PAJAK DAERAH MENURUT JENIS PAJAK Pengelolaan & pengusahaan sarang burung Jasa kepelabuhanan Pemanfaatan air bawah tanah Televisi Parkir Pengambilan bahan galian golongan C Penerangan jalan Reklame Hiburan Restoran Hotel 2 2 3 5 5 6 6 6 0 2 3 4 5 6 7 GAMBAR 4 REKAPITULASI PERDA TENTANG PAJAK DAERAH Kab. Kudus Kab. Sragen Kab. Wonosobo Kab. Wonogiri Kab. Kebumen Kota Semarang Kab. Batang Kab. Tegal Kab. Brebes Kota Surakarta Kota Tegal Kab. Purbalingga Kab. Banjarnegara Kab. Cilacap 0 0 0 3 4 4 5 5 6 7 0 2 4 6 8 26

Perda Retribusi Daerah Keseluruhan perda retribusi yang menjadi sampel dalam penelitian ini berjumlah 5 perda, yang terdiri dari perda retribusi perijinan tertentu (69 perda - 60 persen), Perda retribusi jasa umum (2 Perda - 0 persen) dan Perda retribusi jasa usaha (34 Perda - 30 persen). Proporsi sampel Perda retribusi tersebut paling banyak adalah Perda Kabupaten Kebumen (8 Perda - 5,65 persen), Kabupaten Cilacap (4 Perda - 2,7 persen) dan Kabupaten Banjarnegara dan Kota Tegal (masing-masing Perda - 9,57 persen). GAMBAR 5 DISTRIBUSI SAMPEL PERDA RETRIBUSI MENURUT GOLONGAN RETRIBUSI Retribusi Jasa Umum 0% Retribusi Perijinan Tertentu 60% Retribusi Jasa Usaha 30% No. Kabupaten TABEL 4 PERDA TENTANG RETRIBUSI DAERAH MENURUT GOLONGAN RETRIBUSI DAN KABUPATEN/KOTA Jasa Umum Jumlah dan Proporsi (%) Jasa Usaha Jasa Usaha Retribusi Jumlah Persentase (%) Kab. Cilacap 0.87 5 4.35 8 6.96 4 2.7 2 Kab. Banjarnegara 2.74 4 3.48 5 4.35 9.57 3 Kab. Purbalingga 0 0.00 0 0.00 7 6.09 7 6.09 4 Kota Tegal 0 0.00 4 3.48 7 6.09 9.57 5 Kota Surakarta 3 2.6 3 2.6 2.74 8 6.96 6 Kab. Brebes 0.87 3 2.6 2.74 6 5.22 7 Kab. Tegal 0 0.00 0 0.00 5 4.35 5 4.35 8 Kab. Batang 0 0.00 0.87 4 3.48 5 4.35 9 Kota Semarang 0 0.00 0.87 0 0.00 0.87 0 Kab. Kebumen 3 2.6 7 6.09 8 6.96 8 5.65 Kab. Wonogiri 0 0.00 0 0.00 6 5.22 6 5.22 2 Kab. Wonosobo 0.87 3 2.6 0 0.00 4 3.48 3 Kab. Sragen 0.87 2.74 7 6.09 0 8.70 4 Kab. Kudus 0 0.00 0.87 8 6.96 9 7.83 JUMLAH 2 0.43 34 29.57 69 60.00 5 00.00 27

Perda Perizinan Pada beberapa daerah yang menjadi fokus penelitian, ditemukan perda yang mengatur tentang perijinan. Digolongkan ke dalam perda perijinan karena perda ini tidak mengkategorikan perijinan sebagai retribusi, meskipun beberapa kabupaten/kota mencantumkan jenis-jenis perijinan ini ke dalam retribusi perijinan. Pada Perda yang dikategorikan ke dalam Perda perijinan ini meskipun ditemukan ketentuan mengenai biaya perijinan, namun tidak ditemukan nama, obyek, subyek, dan golongan retribusi. Meskipun demikian beberapa Perda tentang perijinan tersebut, mencantumkan UU Nomor 34 tahun 2000 tentang Pajak daerah dan retribusi daerah sebagai salah satu payung hukumnya. Perda Lainnya Perda yang dimasukkan ke dalam kategori ini adalah yang bukan perda pajak dan atau retribusi dan juga tidak masuk dalam kategori perijinan. Namun demikian keberadaan Perda ini, dinilai mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dan iklim investasi. Dari keseluruhan sampel Perda hanya ditemukan empat Perda yang masik kategori Perda lainnya. Keempat Perda tersebut adalah Perda pada kabupaten Cilacap, Kabupaten Brebes, kabupaten Tegal dan kabupaten Wonosobo. 4.2. Temuan Beberapa temuan dari penelitian ini adalah. Temuan berkaitan dengan kriteria Kesesuaian dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi a. Banyak perda yang mengatur mengenai pajak dan retribusi daerah yang tidak disebutkan secara eksplisit dalam perundang-undangan di atasnya. Meskipun dalam perundang-undangan yang menjadi payung hukumya memungkinkan bagi daerah untuk menetapkan pajak/retribusidaerah selain yang telah ditetapkan dalam UU No. 34 tahun 2000 b. Dalam beberapa perda ditemukan ketidaksesuaian prinsip dan sasaran retribusi, terutama retribusi perijinan tertentu. c. Beberapa perda belum mengacu pada peraturan perundang-undangan yang terbaru sehingga secara yuridis perlu disesuaiakan 2. Temuan berkaitan dengan kriteria efek terhadap lalu lintas distribusi barang dan jasa baik yang bersifat tarif maupun non tarif. Secara umum tidak ditemukan permasalahan yang menyebabkan hambatan terhadap distribusi barang dari perda-perda yang dikaji dalam penelitian ini. Potensi hambatan terhadap distribusi barang muncul karena adanya peraturan yang secara langsung mangatur lalu lintas transportasi dan menyebabkan hambatan terhadap distribusi barang. 3. Temuan berkaitan dengan kriteria pungutan berganda dengan pajak pusat dan pajak daerah lainnya a. Pungutan berganda terjadi bila suatu pungutan (baik pajak maupun retribusi) dikenakan pada satu objek yang sama. Secara umum, potensi pungutan berganda terjadi terutama berganda dengan pajak-pajak yang menjadi kewenangan pemerintah pusat (PPn, PPh, PBB). Sementara, potensi pungutan berganda dengan sesama perda kabupaten/ kota yang bersangkutan kecil karena tidak mungkin pemerintah daerah membuat perda (dokumen legal) pajak/ retribusi dengan objek yang sama. Meskipun demikian, 28

yang banyak terjadi adalah adanya beban yang berlipat-lipat yang harus ditanggung oleh pelaku usaha sebagai subjek. Berbagai macam pungutan (baik retribusi, pajak, maupun pungutan lainnya) yang ditarik dalam waktu persamaan dapat memberatkan pelaku usaha. b. Terdapat perda-perda yang tumpang-tindih terutama perda yang mengatur tentang retribusi daerah. Dikatakan tumpang tindih karena terdapat pungutan yang lebih dari satu kali pada objek yang sama. Hal ini bisa menciptakan ekonomi biaya tinggi 4. Temuan berkaitan dengan kriteria besaran tarif. Terdapat perda-perda yang dasar penentuan pungutannya tidak jelas. Misalnya dalam penentuan koefisien indeks bangunan dalam IMB, atau penentuan tarif izin usaha yang besarnya didasarkan atas besarnya skal usaha. Hal ini tidak sesuai prinsip dan sasaran dalam menentukan besarnya tarif. Perda demikian selain diskriminatif juga akan menciptakan ekonomi biaya tinggi 5. Temuan berkaitan dengan kriteria unsur diskriminatif. Dasar filosfi pengenaan retribusi adalah pembayaran atas pelayanan pemerintah yang bersifat langsung, maka orientasinya adalah pelayanan. Oleh karena itu, retribusi tidak boleh diskriminatif dan mempunyai dasar yang jelas dan konsisten, serta jelas pula standar pelayanannya. Dalam studi ini banyak ditemui pungutan retribusi yang diskriminatif terutama berkaitan dengan retribusi perijinan tertentu akibat besarnya tarif tidak mencerminkan prinsip dan sasaran yang ditetapkan dalam PP 66 tahun 200. 6. Temuan berkaitan dengan kriteria kepastian standar pelayanan. Secara umum seluruh perda yang dikaji terutama perda perijinan tertentu tidak menentukan standar pelayanan minimum (SPM) dan sudah barang tentu tidak menyebutkan sanksi apapun jika SPM tersebut tidak dipenuhi. Berapa jangka waktu ijin keluar tidak ditemukan dalam perda-perda perijinan. 7. Pengusaha kebanyakan tidak mengetahui perda-perda mana yang menghambat investasi, kecuali perdaperda yang berkaitan dengan kepentingan mereka. Adanya berbagai masalah tersebut, akan menciptakan ketidakpastian pemaknaan terhadap aturan, ketidakpastian interpretasi dan ketidakpastian implementasi. Muaranya, ketidakpastian tersebut akan mencipatakan peluang-peluang yang sifatnya negosiatif dalam pelayanan dan pungutan. Sementara ketidakpastian pelayanan juga akan berakibat lambatnya respons pengusaha atas peluang investasi dan pasar yang tersedia. Dengan demikian jelas pula kiranya, ketidakpastian ini akan menciptakan biaya-biaya tinggi berupa pengeluaran yang tidak pasti jumlah dan besarnya, dan yang lebih penting lagi dari sisi pengusaha adalah opportunity cost yang hilang karena keterlambatan respon atas peluang pasar yang ada. (Merupakan executive summary hasil penelitian Kantor Bank Indonesia Semarang bekerjasama dengan LSKE Fakultas Ekonomi UNDIP Semarang) 29