I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian memiliki peranan penting bagi kehidupan manusia. Pertanian sebagai penyedia bahan kebutuhan primer manusia, meliputi: sandang, pangan, dan papan. Salah satu bahan baku sandang adalah kapas yang diproses menjadi benang dan akhirnya menghasilkan kain katun. Kain katun digunakan pada industri tekstil, misalnya batik. Batik merupakan kekayaan budaya Indonesia yang memiliki nilai filosofi tinggi. Batik sebagai karya seni ditunjukkan dari motif dan warna yang beragam. Motif dan warna batik ini menjadi faktor penarik bagi konsumen dalam maupun luar negeri. Dalam usaha batik tulis pewarna alami, kain katun menjadi bahan baku karena memiliki daya afinitas tinggi (Samsi, 2011). Pada tahun 2009 UNESCO menetapkan bahwa batik adalah warisan budaya bangsa Indonesia yang mengakibatkan permintaan batik semakin meningkat. Hal ini mendorong para produsen batik terus berproduksi untuk memperoleh pendapatan. Sujono (2007) menyatakan bahwa salah satu terobosan baru untuk menghadapi persaingan batik di tingkat internasional yang semakin ketat adalah penggunaan bahan pewarna alami. Bahan pewarna alami lebih ramah lingkungan dibandingkan dengan bahan pewarna kimia, napthol, dan garam diazonium yang dapat menyebabkan kanker. Bahkan, penggunaan bahan pewarna di Jerman dan Belanda sudah mengacu pada CBI (Centre for the Promotion of Imports from Developing Countries) yaitu untuk produk clothing, footwear, dan bedlinen termasuk batik dilarang menggunakan bahan pewarna yang mengandung bahan kimia. Oleh karena itu, penggunaan bahan pewarna beralih pada bahan pewarna alami yang tidak mempunyai efek samping terhadap lingkungan dan kesehatan. Di Indonesia, penggunaan bahan pewarna alami pada tekstil khususnya batik didukung dengan adanya gerakan kembali ke alam (back to nature). Salah satu jenis tanaman yang dimanfaatkan sebagai bahan pewarna alami tekstil adalah tanaman nila (Indigofera sp.). Indigofera merupakan salah satu bahan pewarna alami tertua di dunia yang telah digunakan sejak zaman dahulu. Warna biru indigo berasal dari zat indikan yang terdapat di dalam daun 1
indigofera. Tanaman ini memiliki banyak jenis tetapi yang paling sering digunakan adalah Indigofera arrecta (L.) dan Indigofera tinctoria (L.). Menurut Kasmudjo dan Saktianggi (2011) daun indigofera berpeluang sangat baik untuk dimanfaatkan sebagai bahan pewarna alami khususnya batik karena memiliki ketahanan luntur warna sangat baik. Dalam Kementerian Pertanian (2007) indigofera termasuk salah satu jenis tanaman binaan perkebunan dari kelompok tanaman semusim. Tanaman ini dimanfaatkan sebagai sumber pewarna biru; penutup tanah; pupuk hijau di perkebunan teh, kopi, dan karet serta obat tradisional beberapa jenis penyakit. Tanaman indigofera perlu difermentasi untuk memperoleh zat warna biru tersebut agar dapat digunakan dalam pewarnaan tekstil. Dengan adanya proses pengolahan akan memberikan nilai tambah pada tanaman indigofera. Bahan pewarna alami indigo dan kain batik pewarna alami indigo adalah contoh produk yang memiliki harga jual tinggi dengan memanfaatkan tanaman indigofera. Budidaya indigofera secara besar-besaran dimulai abad ke-16 di India dan Asia Tenggara. Kemudian, dibangun perkebunan-perkebunan besar di Amerika Tengah dan Amerika Serikat bagian selatan. Ekspor indigofera ke Eropa sangat penting dan harus bersaing dengan pewarna dari woad (Isatis tinctoria L.) yang dibudidayakan di Perancis, Jerman, dan Inggris. Beberapa negara yang masih membudidayakan tanaman indigofera untuk keperluan pewarnaan meskipun dalam skala kecil yaitu India, Afrika, dan Amerika Tengah. Sementara, beberapa daerah pantai utara dan wilayah Indonesia Timur masih membudidayakan tanaman indigofera untuk mewarnai kain tradisional (Sutarman, 2010). Tabel 1.1. Produksi Indigofera Perkebunan Besar di Jakarta, Yogyakarta, dan Solo No. Tahun Luas Lahan (ha) Jumlah Produksi Indigo Kering (kg) Indigo Basah (kg) 1. 1920 1.035 202.071 288 2. 1921 1.264 201.981 41.616 3. 1922 575 37.244 50.400 4. 1923 95-744 5. 1924 95-655 Sumber: Sutarman (2010) 2
Tabel 1.1 menunjukkan bahwa indigofera pernah dibudidayakan di Indonesia oleh perkebunan besar saat zaman penjajahan Belanda. Dalam kurun waktu lima tahun tersebut produksi indigofera kering dan basah tertinggi terjadi pada tahun 1921. Hal ini didukung dengan luas areal perkebunan yang mencapai 1.264 ha. Namun, seiring berjalannya waktu luas areal penanaman indigofera semakin berkurang sehingga produksi indigofera perkebunan menurun. Bahkan, budidaya indigofera dalam skala perkebunan sekarang sudah tidak dikembangkan lagi. Hal ini disebabkan oleh adanya alih fungsi lahan perkebunan indigofera menjadi areal perkebunan komoditas lain dan budidaya tanaman lebih difokuskan untuk komoditas pangan. Kini, budidaya indigofera sangat terbatas karena hanya dilakukan oleh beberapa petani maupun tumbuh liar di daerah pesisir pantai. Menurut Tjakrawerdaya (1996) dalam Siagian (1997) agribisnis tidak hanya bertujuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat tetapi termasuk dalam rangka memperoleh nilai tambah yang lebih besar. Kegiatan off farm agroindustri mencakup industri-industri yang berkaitan dengan sektor agribisnis dalam arti luas terdiri dari usaha agribisnis dan industri yang mendukung dari sisi hulu (backward industry) maupun sisi hilir (forward industry). Dalam Kementerian Keuangan (2012) pengolahan produk-produk pertanian perlu dilakukan oleh semua pihak agar dihasilkan nilai tambah yang pada akhirnya dapat meningkatkan pendapatan nasional. Nilai tambah yang semakin besar atas produk pertanian dapat berperan bagi peningkatan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi yang besar akan berdampak bagi peningkatan lapangan usaha dan pendapatan masyarakat sehingga akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Nilai tambah juga menjadi parameter penting untuk menghitung Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) suatu daerah. B. Rumusan Masalah Industri batik menjadi salah satu penyumbang devisa bagi Indonesia dan menyerap tenaga kerja yang relatif banyak harus didukung dengan ketersediaan input tambahan salah satunya bahan pewarna alami. Bahan pewarna alami 3
menjadi kebutuhan produsen batik agar proses produksi terus berlangsung dan produk yang dihasilkan dapat bersaing di pasar domestik maupun internasional. Warna biru indigo merupakan salah satu warna yang digemari konsumen karena memiliki daya tarik yang khas. Widyastuti (2014) warna biru indigo diperoleh dari hasil fermentasi daun indigofera menjadi pasta indigo. Ketersediaan bahan baku yang terbatas mengakibatkan produksi bahan pewarna indigo relatif sedikit. Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan salah satu sentra batik di Indonesia dengan motif dan warna yang khas. Kecamatan Imogiri adalah sentra usaha batik yang berupaya melestarikan penggunaan bahan pewarna alami pada kain batik. Penggunaan pasta indigo sebagai bahan pewarna alami batik sudah dilakukan oleh produsen batik sejak awal berdirinya usaha. Tanaman indigofera sebagai bahan baku pasta indigo dapat tumbuh secara liar maupun dibudidayakan dengan pemeliharaan yang tidak rumit. Nilai ekonomi tanaman indigofera diperoleh setelah adanya proses pengolahan daun menjadi bahan pewarna untuk tekstil. Dari penelitian Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) tahun 2013 yang diketuai oleh Prof. Dr. Ir. Masyhuri dengan judul Pengembangan Agribisnis Tanaman Indigofera Berbasis Masyarakat untuk Penguatan Industri Tekstil diketahui bahwa produk hilir yang memanfaatkan bahan pewarna alami indigo memiliki nilai ekonomi tinggi. Nilai tambah perlu diketahui agar tanaman indigofera dan produk hilir indigo dapat berkembang karena menjadi komoditas dagang yang penting. Berdasarkan uraian tersebut dapat dirumuskan beberapa pertanyaan untuk menganalisis nilai tambah pemanfaatan indigofera sebagai bahan pewarna alami batik tulis di Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul yaitu sebagai berikut. 1. Berapa nilai tambah bahan pewarna alami pasta indigo, kain batik tulis biru indigo, dan kain batik tulis biru kombinasi? 2. Berapa besarnya rerata nilai tambah kain batik tulis biru indigo dan biru kombinasi? 3. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi nilai tambah kain batik tulis biru indigo dan biru kombinasi? 4
4. Apa saja kendala yang dihadapi produsen bahan pewarna alami pasta indigo dan kain batik tulis indigo serta bagaimana cara mengatasinya? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut diadakan penelitian mengenai Analisis nilai tambah pemanfaatan indigofera sebagai bahan pewarna alami kain batik tulis di Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul. Penelitian ini penting dilakukan untuk penguatan industri tekstil. C. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui nilai tambah bahan pewarna alami pasta indigo, kain batik tulis biru indigo, dan kain batik tulis biru kombinasi. 2. Mengetahui besarnya rerata nilai tambah kain batik tulis biru indigo dan biru kombinasi. 3. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi nilai tambah kain batik tulis biru indigo dan biru kombinasi. 4. Mengetahui kendala yang dihadapi produsen bahan pewarna alami pasta indigo dan kain batik tulis indigo serta cara mengatasinya. D. Kegunaan Penelitian 1. Bagi peneliti, untuk meningkatkan pengetahuan di bidang sosial ekonomi pertanian sekaligus sebagai salah satu syarat untuk memperoleh derajat sarjana (S1) di Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 2. Bagi pemerintah, dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan kebijakan yang berkaitan dengan produk berbasis indigofera sebagai salah satu potensi daerah sekaligus melestarikan penggunaan bahan pewarna alami pada kain batik. 3. Bagi produsen bahan pewarna pasta indigo dan batik tulis pewarna alami, dapat digunakan sebagai tambahan informasi untuk meningkatkan produksi agar lebih efektif dan efisien. 4. Bagi pihak lain, dapat digunakan sebagai tambahan informasi dan bahan referensi untuk penelitian lebih lanjut. 5