PERKEMBANGAN PENINJAUAN KEMBALI PERKARA PERDATA DAN PERKARA PIDANA DI INDONESIA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Didalam proses perkara pidana terdakwa atau terpidana

II. TINJAUAN PUSTAKA. hukum tetap ini merupakan upaya hukum luar biasa, dalam memperoleh kekuatan

Makalah Rakernas

I. PENDAHULUAN. disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk menentukan

BAB I PENDAHULUAN. setelah melalui proses pemeriksaan dan pemutusan perkaranya, akan merasa

BAB 1 PENDAHULUAN. Liberty, 1981), hal ), hal. 185.

MANTAN BOS ADHI KARYA KEMBALI DAPAT POTONGAN HUKUMAN.

UPAYA PERLAWANAN HUKUM TERHADAP EKSEKUSI PEMBAYARAN UANG DALAM PERKARA PERDATA (Studi Kasus Pengadilan Negeri Surakarta)

Abstrak. Kata kunci: Peninjauan Kembali, Kehkilafan /Kekeliranan Nyata, Penipuan. Abstract. Keywords:

PENINJAUAN KEMBALI (PK) YANG DIAJUKAN OLEH JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM KASUS POLLYCARPUS BUDIHARIYANTO

HAK JAKSA MENGAJUKAN PK DAN BATASANNYA. OLEH: Paustinus Siburian, SH., MH. ABSTRAK

TUGAS II PENGANTAR ILMU HUKUM PENGARUH PUTUSAN PENGADILAN DALAM HUKUM

Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk mengetahui kekuatan pembuktian alat bukti

BAB II SUMBER HUKUM EKSEKUSI. mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) yang dijalankan

EKSEKUSI TERHADAP KEPUTUSAN HAKIM YANG MEMPUNYAI KEKUATAN HUKUM TETAP DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. berlakunya Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum.

Lex et Societatis, Vol. V/No. 6/Ags/2017

BAB I. Eksekusi pada hakekatnya tidak lain ialah realisasi daripada kewajiban pihak yang

BAB I PENDAHULUAN. beli, tetapi disebutkan sebagai dialihkan. Pengertian dialihkan menunjukkan

HUKUM ACARA PERDATA BAB I PENDAHULUAN

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan Ketiga UUD 1945 mengamanahkan pembentukan lembaga yudikatif lain

BAB IV. memutuskan dan mengadili perkara Nomor: 207/Pdt. G/2011/PA. Kdr. tentang

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara hukum, hal ini tercantum dalam Pasal 1 ayat (3)

I. PENDAHULUAN. formil. Hukum pidana materiil di Indonesia secara umum diatur di dalam Kitab

I. PENDAHULUAN. Orang hanya menganggap bahwa yang terpenting bagi militer adalah disiplin. Ini tentu benar,

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PEMBATASAN UPAYA HUKUM KASASI DALAM PERKARA PIDANA. Muh. Priyawardhana Dj.

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis)

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

BAB III FILOSOFI ASAS NE BIS IN IDEM DAN PENERAPANNYA DI PERADILAN PIDANA DI INDONESIA

BAB II UPAYA HUKUM PENINJAUAN KEMBALI (PK)/HERZIENING DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA

UNDANG-UNDANG (UU) 1947 Nomer. 20. ) (20/1947) PENGADILAN. PERADILAN ULANGAN. Peraturan peradilan ulangan di Jawa dan Madura.

BAB I PENDAHULUAN. dengan pemerintah. Prinsip negara hukum menjamin kepastian, ketertiban dan

PRAPENUNTUTAN DALAM KUHAP DAN PENGARUH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA 1 Oleh: Angela A.

BAB I PENDAHULUAN. 2009, hlm Penjelasan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun

FUNGSI LEMBAGA PENINJAUAN KEMBALI DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA DI INDONESIA 1 Oleh : Priscilia Singal 2

HAKIKAT DAN PROSEDUR PEMERIKSAAN TINDAK PIDANA RINGAN 1 Oleh: Alvian Solar 2

BAB III PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO. 718 K/AG/2012 TENTANG BIAYA KEHIDUPAN (NAFKAH) BAGI BEKAS ISTRI YANG DIBERIKAN OLEH SUAMI PASCA PERCERAIAN

BAB I PENDAHULUAN. dijatuhi pidana apabila terbukti memiliki kesalahan.dengan demikian penilaian

BAB II VERSTEK DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF

ELIZA FITRIA

UPAYA HUKUM PUTUSAN PENGADILAN AGAMA

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. kepada Hakim menjatuhkan putusan tanpa hadirnya Tergugat. Putusan verstek

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB I PENDAHULUAN. diperiksa oleh hakim mengenai kasus yang dialami oleh terdakwa. Apabila

III. PUTUSAN DAN PELAKSANAAN PUTUSAN

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia ada tata hukum yaitu tata tertib dalam pergaulan hidup

BAB I PENDAHULUAN. dalam Pasal 1 ayat (3) UUD Hukum menurut Subekti, dalam bukunya

ALUR PERADILAN PIDANA

BAB IV. rumah tangga dengan sebaik-baiknya untuk membentuk suatu kehidupan. tangga kedua belah pihak tidak merasa nyaman, tenteram dan mendapaatkan

UNIVERSITAS INDONESIA PENINJAUAN KEMBALI ATAS PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI PERKARA PERDATA ( STUDI KASUS PK TERHADAP PK PERKARA PERDATA ) SKRIPSI

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA

BAB 1 PENDAHULUAN. Tengker, cet. I, (Bandung: CV. Mandar Maju, 2001), hal (Jakarta: Djambatan, 2002), hal. 37.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan

UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 1947 TENTANG PERATURAN PERADILAN ULANGAN DI JAWA DAN MADURA. PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB IV. ANALISIS TERHADAP PUTUSAN NO. 0688/Pdt.G/2011/PA.Tbn TENTANG PENCABUTAN GUGATAN TANPA PERSETUJUAN TERGUGAT DALAM PERKARA CERAI GUGAT

BAB II UPAYA HUKUM DALAM PERKARA KEPAILITAN

PELAKSANAAN PUTUSAN ARBITRASE

BAB IV. tunduk dan patuh pada putusan yang dijatuhkan. 1

Lex Crimen Vol. VI/No. 9/Nov/2017

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan sehari-hari seringkali terjadi gesekan-gesekan yang timbul diantara. antara mereka dalam kehidupan bermasyarakat.

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

I. PENDAHULUAN. nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan

Lex Crimen Vol. VI/No. 8/Okt/2017

FUNGSI MAHKAMAH AGUNG DALAM MENERIMA PENINJAUAN KEMBALI SUATU PERKARA PIDANA 1 Oleh: Eunike Lumi 2

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan

I. PENDAHULUAN. sebutan Hindia Belanda (Tri Andrisman, 2009: 18). Sejarah masa lalu Indonesia

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu

BAB I PENDAHULUAN. yang berupa substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum. Ketiga

BAB I PENDAHULUAN. Kejahatan adalah suatu permasalahan yang terjadi tidak hanya di dalam suatu

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

PANDANGAN HAKIM TENTANG PUTUSAN DAMAI ATAS UPAYA HUKUM VERZET

DIPONEGORO LAW JOURNAL Volume 5, Nomor 3, Tahun 2016 Website :

SEKITAR EKSEKUSI. (oleh H. Sarwohadi, S.H., M.H. Hakim Tinggi PTA Bengkulu)

Ajie Ramdan Pusat Studi Kebijakan Kriminal Fakultas Hukum UNPAD Jln. Dipati Ukur No. 35 Bandung

BAB I PENDAHULUAN. dalam masyarakat itu sendiri, untuk mengatasi permasalahan tersebut dalam hal ini

I. PENDAHULUAN. perundang-undangan yang berlaku. Kemandirian dan kemerdekaan dalam

BERACARA DALAM PERKARA PERDATA Sapto Budoyo*

BAB I PENDAHULUAN. penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam

BAB I PENDAHULUAN. dalam tahap pemeriksaan penyidikan dan atau penuntutan. 1

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 74/PUU-XV/2017

BAB I PENDAHULUAN. penyelenggaraan hukum dan penegakkan hukum yang sah. pembuatan aturan atau ketentuan dalam bentuk perundang-undangan.

I. PENDAHULUAN. Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu. mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan

BAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa.

PERANAN KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PERKARA PIDANA PENGADILAN NEGERI

BAB III PENUTUP. serta pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa peranan hakim adalah

Lex Crimen Vol. V/No. 4/Apr-Jun/2016. EKSEPSI DALAM KUHAP DAN PRAKTEK PERADILAN 1 Oleh : Sorongan Terry Tommy 2

BAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul Sebuah sistem peradilan yang pada hakekatnya merupakan sistem

BAB III PENUTUP. praperadilan, maka dapat disimpulkan bahwa: akan memeriksa tuntutan tersebut. Tata cara atau acara dalam proses pemeriksaan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. landasan konstitusional bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan

BAB I PENDAHULUAN. adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum (equality

BAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul. Hukum merupakan kaidah atau norma yang hidup dalam masyarakat

Transkripsi:

PERKEMBANGAN PENINJAUAN KEMBALI PERKARA PERDATA DAN PERKARA PIDANA DI INDONESIA Oleh: Agus Salim Harahap Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Al-Hikmah Medan Jl. Mesjid No. 1 Medan Estate, Medan 20371 august_harahap@yahoo.com ABSTRAK Perkara PK, baik perkara perdata maupun perkara pidana, dalam peradilan di Indnesia pada masa penjajahan sudah dikenal adanya, walaupun PK belum diatur secara tegas saat itu, namun demi memenuhi rasa keadilan maka PK diperbolehkan, alasan PK dalam perdata yakni Putusan didasarkan pada penipuan atau tipu muslihat pihak lawan; jika diputus mengenai hal yang tidak dituntut; jika putusan melebihi yang dituntut; jika ada kelalaian dalam memberi putusan tentang sebagian dari tuntutan; terdapat dua putusan yang bertentangan; putusan yang dijatuhkan berdasarkan surat diakui kemudian palsu; ditemukan novum berupa surat-surat yang bersifat menentukan, sedang dalam perkara pidana yakni, apabila terdapat keadaan baru, apabila pelbagi putusan terdapat silang pertentangan; apabila terdaopat kekhilafan yang nyata dalam putusan. Metode penelitian ini menggunakan penelitian yuridis normatif. Kata Kunci: Peninjauan Kembali, Perkara Perdata, Perkara Pidana Pendahuluan Peninjauan Kembali (PK) dalam putusan perdata disebut juga dengan istilah rekes civiel atau request civil. Demi memenuhi rasa keadilan bagi pencari keadilan, kemungkinan dibuka kembali perkara yang sudah diputus oleh pengadilan dan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. (Subekti, 1977) Dalam sistem peradilan Indonesia, apabila putusan itu telah berkekuatan hukum tetap, maka tidak dapat dirubah lagi. Namun, hakim sebagai manusia biasa, yang tidak luput dari kekhilafan. Misalnya dalam perkara, hakim memutus perkara perkara dengan mempersalahkan terdakwa, putusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum tetap, bisa jadi dikemudian hari diketemukan bukti-bukti baru, yang kalau dahulu diketahui hakim, memberikan kemungkinan bahwa terdakwa dibebaskan dari tuntutan hukum. Juga misal dapat terjadi pada perkara perdata, saksi-saksi kemudian dijatuhi hukuman oleh hakim pidana karena dipersalhkan melakukan tindak pidana sumpah palsu, padahal atas dasar keterangan-keterangan saksi itu dahulu penggugat telah dimenangkan. Dengan keadaan tersebut, demi memenuhi rasa keadilan, untuk membuka kembali perkara yang sudah diputus itu. Meskipun dalam Herzien Indonesia Reglement (HIR) belum diatur tentang PK, baik perkara pidana maupun perkara perdata, namun dalam prakteknya sudah sejak lama diberlakukan, dengan berpedoman pada ketentuan yang terdapat dalam Reglement op Strafvordering (SV), yaitu hukum acara pidana yang berlaku yang dahulu berlaku bagi pengadilan bangsa Eropa (Raad van Justice), Mengenai perkara pidana diatur dalam SV, yaitu hukum acara pidana yang dahulu berlaku bagi pengadilan untuk golongan Eropa (Raad van Justice), tetapi pada zaman Jepang, karena dihapuskannya pengadilan untuk bangsa Eropah tersebut, yang sekarang sudah tidak berlaku lagi dan juga di jaman penjajahan tidak pernah diberlakukan untuk orang Indonesia. PK perkara pidana disebut Herziening. (Subekti, 1977). Sedang untuk perkara perdata, pengaturannya dalam Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering (RV), yaitu hukum acara perdata yang dahulu berlaku bagi pengadilan orang Eropah, Peninjauan kembali dalam perkara perdata diberikan nama Request civiel (RC). Walaupun dalam HIR tidak memberikan pengaturan mengenai PK, baik perkara pidana maupun perkara perdata, namun dalam Pasal 393 HIR memberikan kesempatan, apabila benar-benar dibutuhkan, yakni acara lain dari pada yang dikenal dalam HIR. Kesempatan yang diberikan HIR tersebut dipakai dengan leluasa, termasuk PK yang dalam Reglement op de Rechtsvordering (RV) disebut request civil. Jika ditelaah, PK hanya dapat dimintakan terhadap putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, PK juga tidak menangguhkan eksekusi, tetapi apabila terdapat kesalahan dalam putusan pasti dibatalkan, eksekusi yang salah tersebut sangat bijaksana ditangguhkan, namun apa gunanya FORUM ILMIAH INDONUSA VOL 5 NO 3 SEPTEMBER 2008 174

pelaksanaan putusan dilaksanakan, apabila putusan tersebut salah, sehingga pelaksanaan ditangguhkan. PK dalam perjalanan hukum acara di Indonesia mengalami pasang surut sehingga terkadang timbul dan tenggelam, pengaturan PK terus diperbaharui karena perkembangan tersebut, berangkat dari hal dikemukakan di atas, maka hal ini perlu diteliti. Perumusan Masalah Dari uraian di atas, dapat ditarik rumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah perkembangan "Peninjauan Kembali" perkara perdata di Indonesia? 2. Bagaimanakah perkembangan "Peninjauan Kembali" perkara pidana di Indonesia? Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan dari penelitian ini untuk memperoleh data dan informasi yang berkaitan dengan lembaga "Peninjauan Kembali, yakni : 1. Untuk mengetahui bagaimana perkembangan "Peninjauan Kembali" perkara perdata di Indonesia. 2. Untuk mengetahui bagaimana perkembangan "Peninjauan Kembali" perkara pidana di Indonesia. Dari hasil penelitian ini diharapkan akan dapat berguna untuk: 1. Secara teoritis dapat memberikan sumbang pemikiran dalam memahami teori yang telah ada dan dalam praktek hukum pada umumnya dan khususnya perkembangan Peninjauan Kembali baik perkara perdata maupun perkara pidana. 2. Secara praktis penelitian ini bermanfaat sebagai sumbang pemikiran bagi ahli hukum pada umumnya mengenai lembaga Peninjauan Kembali, sumbangan bagi peyelenggara negara yang bertugas di pengadilan, para pengusaha dan instansi lainnya, baik pusat maupun daerah, baik secara langsung maupun tidak langsung serta sumbang pemikiran bagi mereka yang tertarik untuk meneliti masalah ini lebih lanjut. Metode Penelitian Penelitian menggunakan metode yuridis normatif artinya penelitian menekankan pada peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan yang dikaji dengan tujuan untuk menganalisis norma norma yang terdapat dalam peraturan perundang undangan mengenai Peninjauan Kembali. Bahan hukum yang digunakan untuk memperoleh data tersebut adalah melalui : 1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan yang merupakan peraturan perundang-undangan. Penelitian ini menggunakan peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan topik penelitian serta putusan pengadilan yang berkaitan dengan Peninjauan Kembali. 2. Bahan hukum sekunder, bahan-bahan hukum yang berisi penjelasan terhadap bahan-bahan hukum primer yang diperoleh dari buku buku, majalah, makalah dalam seminar yang berkaitan dengan topik penelitian serta karangan ilmiah lainnya yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas. (Soerjono Soekanto, 1986). Perkembangan "Peninjauan Kembali" perkara perdata (request civiel) di Indonesia Terhadap perkara perdata yang sudah berkekutan hukum tetap (kracht van gewijsde) dapat dilakukan PK. Request civiel dimungkinkan berhubungan dengan ada yurisprudensi di zaman kolonial Belanda, bahwa peraturan request civiel yang termuat dalam "Reglement op de Rechstvordering" secara interpretasi dapat diperlukan lagi "landraad" (Pengadilan Negeri) meskipun peraturan itu tidak termuat dalam HIR. (Soerjono Soekanto, 1986). Dalam perkara request civiel, yakni diterima gugatan request civil oleh landraad (Pengadilan Negeri), adalah putusan landraad Padang pada tanggal 29 April 1931, kemudian dikuatkan oleh Raad van justitie Padang, yaitu perkara mengenai seorang hak waris yang menjual pusaka tinggi tanpa memberitahukanya kepada kaumnya. Kemudian pembeli menggugat kepada agar mamak waris menyerahkan itu kepadanya, mamak tersebut mengakui penuh gugatan itu. Pengadilan mengabulkan gugatan tersebut, terhadap putusan itu ia tidak naik banding, sehingga putusan landraad mempunyai kekuatan hukum tetap. Kemudian atas perbuatan tersebut mamak waris itu dipecat dari jabatannya, dan digantikan mamak waris baru. Mamak waris baru mengajukan kepada landraad supaya perkara itu diperiksa kembali. Landraad menerima gugatan itu, denga dasar pertimbangan penipuan, yang merupakan alasan untuk memeriksa kembali perkara yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. 175 FORUM ILMIAH INDONUSA VOL 5 NO 3 SEPTEMBER 2008

Perkara mengenai penerimaan request civil adalah putusan landraad Purworejo tanggal 4 November 1937. landraad menerima gugatan tersebut atas dasar pertimbangan bahwa adanya kekeliruan yang menyolok. Landraad Purworejo mengatakan bahwa putusan hakim yang dahulu adalah keliru, karena di dalam pertimbangan hukumnya dari putusan itu disebutkan bahwa tergugat tidak melawan, padahal dalam pertimbangan-pertimbangan tentang duduknya perkara disebutkan bahwa tergugat melawan tuntutan penggugat. Dalam Pasal 385 RV menyebutkan mengenai pengaturan sistem proses beracara tentang PK, yang berbunyi: putusan atas bantahan yang dijatuhkan pada tingkat terakhir dan putusan verstek dapat diajukan perlawanan lagi, dapat ditarik lagi atas permintaan sesorang yang pernah menjadi salah satu pihak atau seseorang yang terpanggil dengan alasan-alasan..." Mengenai peristilahan PK, dalam Pasal 15 Undang-Undang No. 19 tahun 1964 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi: "terhadap keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, dapat dimohonkan peninjauan kembali, hanya apabila terdapat halhal atau keadaan, yang ditentukan undang-undang" Istilah PK dipakai juga dalam Pasal 31 Undang-Undang No.13 tahun 1965 tentang Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Mahkamah Agung, yang berbunyi "terhadap keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, dapat dimintakan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung sesuai dengan ketentuan yang diatur dengan undang-undang." Kemudian PK diatur kembali dalam dalam Pasal 21 dari UU No. 14 Tahun 1970 tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang menegaskan, sebagai berikut: "apabila terdapat hal-hal atau keadaan yang ditentukan undang-undang, terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap dapat dimintakan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, dalam perkara perdata dan pidana oleh fihak-fihak yang berkepentingan" Dengan adanya ketentuan ini, maka jelaslah bahwa permohonan PK, baik terhadap putusan perkara pidana dan terhadap putusan perkara perdata harus diajukan kepada Mahkamah Agung. Mengenai pemeriksaan PK, hanya dapat dimintakan, apabila putusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Selama putusan pengadilan belum mempunyai kekuatan hukum tetap, belum terbuka upaya hukum PK, hal ini merupakan syarat formil permohonan PK, jika belum mempunyai kekuatan hukum tetap. Namun, pemohonan PK tersebut prematur dan dinyatakan tidak dapat diterima. Pasal 385 RV. menyebutkan, bahwa rekes sipil dapat diajukan terhadap putusan terakhir dan putusan verstek yang tidak dapat diajukan perlawanan. Lembaga PK, terhadap putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Dalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 1 Tahun 1971 telah mencabut PERMA No. 1 Tahun 1969 mengenai penambahan hukum acara Mahkamah Agung dengan lembaga "peninjauan kembali". Pertimbangan Mahkamah Agung mengeluarkan PERMA No. 1 Tahun 1969 adalah bahwa ternyata banyak dari permohonan mempunyai dasardasar yang kuat, namun apabila tidak diterima hanya karena lembaga tersebut berdasarkan Undang- Undang No. 13 Tahun 1965 menjadi kewenangan Mahkamah Agung belum diatur dengan tegas tentang pelaksanaannya dalam undang-undang, sehingga menimbulkan rasa ketidakpuasan dan ketidakadilan. Menurut Erman Rajagukguk mengenai "request civil" masih perlu dipertanyakan efektifitasnya baik dalam BRV, yang kemudian dicantumkan dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 6 Tahun 1967 tentang Permohonan Peninjauan Kembali Putusan/Gugatan Secara "request civiel" sebagai suatu iktiar hukum yang luar biasa tidak dapat menunda pelaksanaan dari pada putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Kemudian PERMA No. 1 Tahun 1969 dalam Pasal 7 mempertegas hal tersebut.(erman Rajagukguk, 1982). Mahkamah Agung kemudian mengeluarkan PERMA No.1 tahun 1980 tentang Peninjauan Kembali yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, baik perkara perdata maupun perkara pidana. Kemudian pada tahun 1985, Undang- Undang No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung mengatur lembaga PK secara terarah, dalam Pasal 28 (1) c Undang-Undang No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung menyatakan Mahkamah Agung bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus permohonan PK putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap, sedang pengaturan mengenai lembag PK perdata terdapat dalam Pasal 66 sampai dengan 76, dengan demikan maka FORUM ILMIAH INDONUSA VOL 5 NO 3 SEPTEMBER 2008 176

ketentuan yang berlaku secara khusus mengenai PK perkara perdata telah jelas. PK dapat dicabut selama belum diputus, permohonan yang dicabut itu tidak dapat ajukan lagi. Sedang Permohonan PK tidak menangguhkan pelaksanaan putusan pengadilan. Terhadap putusan yang dimohonkan PK yang dengan jelas-jelas salah, pasti akan dibatalkan, sangat bijaksana apabila putusan yang salah itu ditangguhkan. Mengenai siapa saja yang dapat Mengajukan berhak mengajukan permohonan PK, yang berhak ialah diajukan sendiri oleh pihak yang berpekara atau ahli warisnya atau seseorang wakilnya yang secara khusus dikuasakan untuk itu. Akibat hukum yang timbul sehubungan dengan putusan Mahkamah Agung dalam perkara PK, yakni dalam hal Mahkamah Agung mengabulkan permohonan PK, Mahkamah Agung membatalkan putusan yang dimohonkan PK tersebut dana selanjutnya memeriksa, dan memutus sendiri perkaranya. Mahkamah Agung akan menolak permohan PK, yaitu dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa permohonan tidak beralasan. Perkembangan "Peninjauan Kembali" perkara pidana (Herziening) di Indonesia Sebelum berlakunya Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), belum ada undang-undang yang mengatur pelaksanaan PK putusan pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Kemudian diatur dalam Pasal 21 Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman, seperti disebut di atas. Mengenai perkara pidana, diatur dalam Pasal 9 Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang menyatakan bahwa Mahkamah Agung dapat meninjau kembali suatu putusan pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, yang mengandung pemidanaan, dengan alasan, apabila dalam putusanputusan yang berlainan terdapat keadaan-keadaan yang dinyatakan terbukti, akan tetapi satu sama lain bertentangan dan apabila terdapat sesuatu keadaan, sehingga menimbulkan persangkaan yang kuat, apabila keadaan itu diketahui pada waktu sidang masih berlangsung putusan yang akan dijatuhkan, mengandung pembebasan terpidana dari tuduhan, pelepasan dari tuntutan hukum atas dasar bahwa perbuatan yang akan dijatuhkan itu tidak dapat dipidana, pernyataan tidak diterimanya tuntutan Jaksa untuk mnyerahkan perkara ke persidangan 177 pengadilan atau penerapan ketentuan-ketentuan pidana lain yang lebih ringan. Mengenai perkara pidana diatur dalam SV, yaitu hukum acara pidana yang dahulu berlaku bagi pengadilan untuk golongan Eropah (Raad van Justice), tetapi pada zaman Jepang, karena dihapuskannya pengadilan untuk bangsa Eropah tersebut, yang sekarang sudah tidak berlaku lagi dan juga di jaman penjajahan tidak pernah diberlakukan untuk orang Indonesia. PK dalam perkara pidana disebut "herzening". Saat ini PK untuk perkara pidana diatur dalam Pasal 263-269 Undang-Undang No. 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).(Retnowulan Soetantio, 2005) Setidaknya ada tiga dasar alasan mengajukan Permintaan Peninjauan Kembali (PK), yang pertama, Keadaan baru (Novum) yang seandainya keadaan itu diketahui pada saat sidang berlangsung dapat menjatuhkan putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum atau meringankan terdakwa. Kedua, adanya pertentangan alasan antara putusan satu dengan yang lainnya, dan ketiga, kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata. Ketiga dasar, yang disebut di atas memberikan limitasi pengajuan PK, yang tidak hanya secara bebas diajukan, dikarenakan karakternya sebagai upaya hukum luar biasa. Sedang yang berhak mengajukan PK, terhadap putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung. Ada dua makna yang dapat kita cermati dalam ketentuan di atas, yang pertama, tidak dapat dilakukan upaya peninjauan kembali terhadap putusan bebas dari segala tuntutan hukum. Sedang yang kedua, PK merupakan upaya hukum yang ditujukan untuk melindungi kepentingan terhukum, walaupun telah disebutkan bahwa yang berhak mengajukannya adalah terpidana atau ahli warisnya, namun sebagai filosofi kelahiran lembaga Peninjauan Kembali, demi kepentingan negara, jaksa dapat mengajukan PK. Memang Dalam KUHAP, kewenangan pengajuan PK memang terbatas hanya diberikan kepada terpidana atau ahli warisnya. Pasal 263 ayat (1) KUHAP yang berbunyi "Terhadap putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan PK kepada Mahkamah Agung." FORUM ILMIAH INDONUSA VOL 5 NO 3 SEPTEMBER 2008

Bandingkan dengan penafsiran bahwa bunyi kalimat tersebut, pengajuan PK oleh terpidana atau ahli warisnya diajukan terhadap putusan Mahkamah Agung yang bersifat pemidanaan atau penghukuman dan tidak terhadap putusan bebas atau lepas, apabila dicerna dengan akal sehat, bagaimana mungkin terpidana atau ahli warisnya mengajukan PK terhadap putusan, yang membebaskan dirinya dari segala tuntutan hukum. Apabila kita mengingat tentang Kasus Sengkon & Karta, pada tahun 1970-an, yang mungkin menjadi lahirnya "herziening", atau PK adalah suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap atas suatu perkara pidana, berhubungan dengan ditemukannya faktafakta yang dulu tidak diketahui oleh Hakim, yang akan menyebabkan dibebaskannya terdakwa dari tuduhan. Sengkon dan Karta adalah petani miskin di Jawa Barat, yang dituduh sebagai pelaku pembunuhan Suleiman dan istrinya pada 1964. Sengkon dan Karta dijatuhi pidana masing-masing 12 dan tujuh tahun oleh Pengadilan Negeri Bekasi pada 1977. Putusan ini dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Jabar. Sengkon dan Karta tidak mengajukan Kasasi, sehingga putusan PT Jabar dianggap mempunyai kekuatan hukum tetap. Pada saat kedua terpidana menjalani hukuman di LP Cipinang, muncul pelaku pembunuhan sebenarnya yang bernama Gunel. Ia terlibat kasus pidana yang lain dan mengaku sebagai pembunuh sebenarnya atas diri Suleiman dan istri. Dengan adanya novum itu, Sengkon dan Karta dapat mengajukan PK. Namun sayangnya, pada saat itu tidak ada aturan tentang PK di Indonesia. Sebagai jalan keluarnya, MA terpaksa mengeluarkan Peraturan MA No 1 Tahun 1980 tentang PK untuk menyelesaikan kasus Sengkon dan Karta. Peraturan PK ini kemudian diatur secara tegas melalui UU No 1 Tahun 1981 tentang KUHAP. Sesuai dengan perkembangan hukum dan sistematika peradilan kita, Mahkamah Agung beberapa kali menerima pengajuan PK oleh Jaksa. Beberapa putusan Mahkamah Agung tersebut dapat dijadikan dasar bagi Jaksa mengajukan PK Seperti Kasus Mochtar Pakpahan tahun 1996. Dalam perkara itu, Majelis Kasasi membebaskan terpidana karena terpidana tidak terbukti menghasut. Putusan Kasasi, yang sekaligus mengoreksi dan memperbaiki putusan Pengadilan Negeri Medan dan Pengadilan Tinggi Medan, yang menghukum Muchtar Pakpahan 4 (empat) tahun penjara. Tetapi Putusan kasasi tersebut dikoreksi dan diperbaiki lagi di tingkat Majelis Kasasi melalui permohonan PK, yang diajukan Kejaksaan Agung. Majelis PK dalam keputusannya menerima PK itu. Muchtar Pakpahan dihukum, sesuai dengan putusan yang dijatuhkan PN Medan yang diperkuat PT Medan, 4 (empat) tahun penjara. Persoalan PK ini muncul, karena Majelis PK menyatakan menerima permohonan Jaksa. Mengadili serta menjatuhkan hukuman bagi Muchtar Pakpahan, yang menjadi pertanyaan publik adalah mengenai pokok masalah saat itu, apakah KUHAP memungkinkan Jaksa mengajukan permohonan PK atas suatu perkara pidana. Hal itu memang tidak diatur secara tegas, apalagi yang melarang Kejaksaan mengajukan PK tidak ada dalam KUHAP, yang akhirnya Mahkamah Agung, dengan Majelis yang berbeda dan juga upaya yang berbeda, Mahkamah Agung dalam putusannya menyatakan bahwa menghukum Muchtar Pakpahan empat tahun penjara. Kemudian pada tahun 2001, MA juga menerima PK dengan terdakwa Ram Gulumal. Kasus Praperadilan IKBLA vs Kejaksaan Negeri Samarinda tahun 2002. Tahun 2006, MA juga pernah mnerima PK dengan terdakwa Soetyawati, dan pada tahun 2007, pengajuan PK oleh JPU dengan terdakwa Pollicarpus-pun diterima oleh MA dengan mendasarkan salah satu alasan consistency of court decision. Walaupun sebagian kalangan menilai hal ini sangat bertentangan dengan KUHAP dan dasar filosofis lahirnya PK. Sebagai tujuan hukum adalah untuk menuju keadilan manusia. Perkembangan PK selanjutnya adalah mengenai kasus pembunuhan aktivis HAM Munir, dimana kasus tersebut telah menggugah rasa keadilan masyarakat dan perjuangan penegakan HAM di Indonesia. Dalam hal ini pengajuan PK oleh Jaksa dibenarkan. Jaksa telah menemukan bukti-bukti baru mengenai keterlibatan Pollycarpus dalam pembunuhan Munir. Sebagaimana dasar alasan pertama untuk mengajukan PK, yakni novum. Novum (keadaan baru) yang digunakan Jaksa, untuk mengajukan PK ini, adalah keterangan tujuh saksi kunci. Di antaranya adalah mantan Dirut Garuda, yang kini menjadi tersangka baru. Saksi kunci lainnya adalah agen Badan Intelijen Negara (BIN). Dasar alasan kedua Jaksa mengajukan PK ialah karena adanya kekhilafan hakim dalam menerapkan hukum, mulai dari pengadilan tingkat pertama hingga kasasi. Apabila mempergunakan FORUM ILMIAH INDONUSA VOL 5 NO 3 SEPTEMBER 2008 178

surat palsu terbukti, seharusnya pembunuhan yang didakwakan terhadap Pollycarpus juga harus terbukti. Cerita mengenai hal meracuni Munir sehingga meninggal, Pollycarpus sendiri yang memberikan minuman dalam gelas, yang dibawa dari Coffee Bean di bandara Changi Singapura. Ketika pesawat transit dari bandara Changi, Pollycarpus tidak langsung ke hotel seperti kru pesawat yang lain, tetapi Pollycarpus ikut ke tempat transit, ia terlihat membawa dua gelas minuman. Kemudian ia duduk bersama Munir di Coffee Bean. Di tempat itulah Munir menenggak racun Arsenik. Bila dicermati, ada dua dasar alasan Jaksa mengajukan PK, yakni adanya keadaan baru (novum) dan adanya kekhilafan hakim dalam menerapkan hukum. Sedang pihak yang berhak mengajukan PK, Mahkamah Agung dalam pertimbangannya, untuk menerima PK yang diajukan oleh Jaksa, karena Jaksa merupakan sebagai pihak-pihak yang bersangkutan dalam kasus ini. Pasal 23 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi "Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undangundang. Pembuat Undang-undang sepertinya memang sengaja tidak memberikan penjelasan mengenai siapa yang dimaksud dengan "pihakpihak yang bersangkutan tersebut". Sehingga Hakim dengan kewenangannya, dapat memberikan pertimbangan mengenai siapa-siapa yang dimaksud dengan pihak-pihak yang bersangkutan tersebut. Karena Jaksa tentunya dapat dikategorikan sebagai pihak-pihak yang bersangkutan dalam kasus ini. Mengenai Jumlah hukuman kasus Pollycarpus, kontroversi yang mencuat juga adalah mengenai penjatuhan hukuman yang lebih tinggi daripada vonis 14 tahun yang didapat Pollycarpus dari pengadilan di tingkat sebelumnya. Jumlah hukuman tersebut merupakan konsekuensi hukum dari penerimaan MA atas PK yang diajukan jaksa. MA telah menggunakan asas a contario dalam hal ini, bertentangan dengan aturan yang ada, untuk menerima permohonan PK. Sehingga, ketika permohonan itu diterima, maka keputusannya pun berbeda dengan undang-undang yang ada, yakni berbeda dengan Pasal 266 ayat 3 KUHAP, yang menyatakan bahwa Pidana yang dijatuhkan dalam putusan peninjauan kembali tidak boleh melebihi pidana yang telah dijatuhkan dalam putusan semula. Kesimpulan Dari uraian di atas maka dapat kita simpulkan bahwa PK, baik perkara perdata maupun perkara pidana, hakim dalam memutus perkara PK harus benar-benar dengan dalam putusannya, sehingga para pencari keadilan dapat menerimanya. PK dalam perjalanannya selalu mengalami perkembangan sesuai keberadaan masyarakat yang dinamis, namun dengan ketentuan yang ada bahwa tidak semua perkara baik perdata maupun pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap selalu dapat diajukan. PK perdata yang selalu mengalami perubahan dari dahulu masa penjajahan, namun pada tahun 1985, yakni Undang-undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung baru diatur secara tegas, sedangkan perkara pidana diatur pada tahun 1981 yakni dalam KUHAP. Daftar Pustaka Hamzah, A, Hukum Acara Pidana Idonesia,Arika Media Cipta, Jakarta, 1993. Harahap, M. Yahya, Kekuasaan Mahkamah Agung Pemeriksaan Kasasi Dan Peninjauan Kembali Perkara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2008. Himpunan Surat Edaran dan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Tahun 1951 sampai dengan 2005, Citra Mandiri, Jakarta, 2005. Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Republik Indonesia. Cet. II, Intermasa, Jakarta, 1992. Kamus hukum Belanda Indonesia, Djambatan, Jakarta, 1999. Mertokusumo, Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia, Ed.5, Cet. II, Liberty, Yogyakarta, 1999. Prodjodikoro, R. Wirjono, Hukum Acara Perdata Di Indonesia, Sumur Bandung, Jakarta, 1992. Puspa, Yan Pradnya, Kamus Hukum, Aneka Ilmu, Semarang, 1977. 179 FORUM ILMIAH INDONUSA VOL 5 NO 3 SEPTEMBER 2008

Rajagukguk, Erman, Hukum Dalam Pembagunan: Kumpulan Karangan, Cet. I, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982. Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Cet.3, UI Press, 1986. Soeroso, R, Praktik Hukum Acara Perdata: Tatacara Dan Proses Persidangan, Cet. III. Sinar Grafika, Jakarta, 1999. Subekti, Hukum Acara Perdata, Binacipta, Bandung, 1977. Sutantio, Retnowulan dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata Dalam Teori Dan Praktek, Mandar Maju, Bandung, 2005. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. LN Nomor 8 Tahun 2004, TLN Nomor 4358 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, LN Nomor 9 Tahun 2004, TLN Nomor 4359. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 1997 tentang Kelengkapan Berkas Perkara Yang Dimohonkan Kasasi/Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung. www.djpp.depkumham.go.id. diakses tanggal 20/06/2008. FORUM ILMIAH INDONUSA VOL 5 NO 3 SEPTEMBER 2008 180