RechtsVinding Online Perlindungan Hak Asasi Manusia Narapidana Wanita Dalam Instrumen Hak Asasi Manusia Internasional

dokumen-dokumen yang mirip
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS

ATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM

Hak Beribadah di Indonesia Oleh: Yeni Handayani * Naskah diterima: 4 Agustus 2015; disetujui: 6 Agustus 2015

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERADILAN PIDANA ANAK DI INDONESIA DAN INSTRUMEN INTERNASIONAL PERLINDUNGAN ANAK SERTA PENERAPANNYA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2005 TENTANG (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

II. TINJAUAN PUSTAKA

Prinsip Dasar Peran Pengacara

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA AKSI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA INDONESIA TAHUN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKOHARJO,

KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK SIPIL DAN POLITIK 1 MUKADIMAH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

INSTRUMEN HUKUM MENGENAI HAM

Aturan Minimum Standar tentang Penanganan Tahanan

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

STANDAR INTERNASIONAL PERLINDUNGAN ANAK DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA. Oleh : Supriyanta. Fakultas Hukum Universitas Slamet Riyadi Surakarta

Harkristuti Harkrisnowo KepalaBPSDM Kementerian Hukum & HAM PUSANEV_BPHN

MODUL VII HAK AZAZI MANUSIA

BAB I PENDAHULUAN. perang Dunia II dan pada waktu pembentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun

BAB I PENDAHULUAN. Manusia, yang dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah Human

Muchamad Ali Safa at INSTRUMEN NASIONAL HAK ASASI MANUSIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

MAKALAH HAK SIPOL & HAK EKOSOB. Oleh: Ifdhal Kasim Ketua Komnas HAM RI, Jakarta

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Salah satu tujuan negara Indonesia sebagaimana termuat dalam

DEKLARASI UNIVERSAL HAK ASASI MANUSIA 1 MUKADIMAH

DENGAN RAHMAT TUHAN Y ANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

perkebunan kelapa sawit di Indonesia

MASUKAN KOALISI PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN ATAS PERUBAHAN UU NO. 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN.

Pernyataan Umum tentang Hak-Hak Asasi Manusia

DEKLARASI TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN. Diproklamasikan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kehidupan narapidana untuk dapat membina, merawat, dan memanusiakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. kehidupan umat manusia. Setiap manusia yang lahir sudah melekat hak asasinya.

PERNYATAAN UMUM TENTANG HAK-HAK ASASI MANUSIA

BAB I PENDAHULUAN. dengan masyarakat non disabilitas. Sebagai bagian dari warga negara Indoesia,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2005 TENTANG

BAB III ANALISIS DAN KAJIAN YURIDIS MENGENAI EUTHANASIA DIPANDANG DARI SEGI HAM

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

Institute for Criminal Justice Reform

Memutus Rantai Pelanggaran Kebebasan Beragama Oleh Zainal Abidin

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Konvensi Internasional tentang Perlindungan Hak Semua Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya 1 PEMBUKAAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG

HAK MANTAN NARAPIDANA SEBAGAI PEJABAT PUBLIK DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA


PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia,

Mengenal Konvensi PBB 1990 tentang Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya

MAKALAH INDONESIAN HUMAN RIGHTS LEGISLATION. Oleh: Ifdhal Kasim Ketua Komnas HAM RI, Jakarta

PENGANTAR KONVENSI HAK ANAK

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

15A. Catatan Sementara NASKAH KONVENSI TENTANG PEKERJAAN YANG LAYAK BAGI PEKERJA RUMAH TANGGA. Konferensi Perburuhan Internasional

Konvensi Internasional mengenai Penindasan dan Penghukuman Kejahatan Apartheid

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB III DESKRIPSI PENELANTARAN ANAK DALAM RUMAH TANGGA MENURUT UU NO.23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK

HUKUMAN MATI dari SISI HAK ASASI MANUSIA. Roichatul Aswidah, Jakarta, 18 Agustus 2016

Bahan Masukan Laporan Alternatif Kovenan Hak Sipil dan Hak Politik (Pasal 10) PRAKTEK-PRAKTEK PENANGANAN ANAK BERKONFLIK DENGAN HUKUM DALAM KERANGKA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNOFFICIAL TRANSLATION

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

2017, No Indonesia Tahun 2002 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4235), sebagaimana telah beberapa kali diubah, tera

BAB III DESKRIPSI ASPEK PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia

MAKALAH. Pengadilan HAM dan Hak Korban Pelanggaran Berat HAM. Oleh: Eko Riyadi, S.H., M.H.

BAB 10 PENGHAPUSAN DISKRIMINASI DALAM BERBAGAI BENTUK

MAKALAH. Mengenal Konvensi-konvensi. Oleh: M. Syafi ie, S.H., M.H.

BAB II PERLINDUNGAN HAK ATAS KESEHATAN ANAK DIDIK PEMASYARAKATAN MENURUT PERATURAN PERUNDANG- UNDANGAN DI INDONESIA

Negara Hukum. Manusia

Penyiksaan dalam RUU KUHP: Beberapa catatan kritis

Undang. Undang UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2005 TENTANG

PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA

KEPUTUSAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 56 / HUK / 2014 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2012 TENTANG

KONVENSI HAK ANAK Mukadimah

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN YANG KEJAM, TIDAK MANUSIAWI DAN MERENDAHKAN MARTABAT MANUSIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

III. Pengaturan terhadap Aparatur Penegak Hukum dan Pembatasan Penggunaan Kekerasan

Perkawinan Sesama Jenis Dalam Persfektif Hukum dan HAM Oleh: Yeni Handayani *

BAB I PENDAHULUAN. Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mengatakan bahwa setiap orang

- Secara psikologis sang istri mempunyai ikatan bathin yang sudah diputuskan dengan terjadinya suatu perkawinan

KOVENAN INTERNASIONAL HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA

Wajib Lapor Tindak KDRT 1

1. PENGANTAR STANDAR HUKUM INTERNASIONAL KONSERN UTAMA AMNESTY INTERNATIONAL TENTANG PENGADILAN YANG ADIL:...3

DEKLARASI UNIVERSAL HAK-HAK ASASI MANUSIA

KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA 1

KOVENAN INTERNASIONAL HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. disabilitas yang tidak menyadari dengan potensi yang mereka miliki. Sudah

Transkripsi:

Perlindungan Hak Asasi Manusia Narapidana Wanita Dalam Instrumen Hak Asasi Manusia Internasional Oleh: Yeni Handayani * Naskah diterima: 04 Mei 2015; disetujui: 10 Mei 2015 HAM merupakan suatu istilah yang relatif baru, dan menjadi bahasa seharihari semenjak Perang Dunia II dan pembentukan PBB pada tahun 1945. lstilah tersebut menggantikan istilah natural rights (hak alam) karena konsep hukum alam - yang berkaitan dengan istilah natural rights-menjadi suatu kontroversi, dan frasa the rights of man yang muncul kemudian dianggap tidak mencakup hak-hak wanita. Adalah Eleanor Roosevelt, janda mendiang Presiden Amerika Serikat Franklin Delano Roosevelt - kemudian terpilih menjadi Ketua Bersama dan Komisi PBB tentang HAM (United Nations Commission on Human Rights), ketika menyusun rancangan Universal Declaration of Human Rights (UDHR) yang menemukan bahwa frasa the rights of man tersebut, yang sebenarnya sebelumnya telah muncul dalam sejumlah dokumen HAM - di beberapa belahan dunia dianggap tidak mencakup hak-hak wanita. Padahal frasa the rights of man tersebut pada masa sebelumnya telah dipergunakan untuk menggantikan frasa natural rights (hak alam) yang dipergunakan secara luas pada masa pencerahan (Enlightenment). Pembicaraan HAM perempuan sebagai HAM sebetulnya bukan hal yang relatif baru. Meskipun demikian, hak asasi perempuan yang sudah mulai terangkat dari beberapa waktu sebelumnya, kelihatannya semakin menguat dari waktu ke waktu. Seseorang yang menjadi korban tidak lagi hanya akan cukup menerima bahwa ia memiliki hak, namun ia akan mulai mencari dimana letak jaminan akan hak tersebut dan bagaimana caranya agar hak tersebut dapat diperoleh. HAM perempuan, yaitu hak yang dimiliki oleh seorang perempuan, baik karena ia seorang manusia mau pun sebagai seorang perempuan. Dalam khasanah hukum HAM dapat ditemui pengaturannya dalam berbagai sistem hukum tentang HAM. Sistem ini meliputi berbagai instrumen hukum dan perangkat pelaksanaan sistem hukum baik di tingkat nasional, regional maupun internasional. Berbagai sistem tersebut tidak saja mencantumkan hak yang diakui namun juga menjamin dan mengakses hak tersebut. Gagasan merumuskan perlindungan hak-hak minimal untuk orang yang direnggut kebebasannya oleh putusan pengadilan sudah mulai dirintis pada pertemuan internasional Komisi Hukum Pidana dan Kepenjaraan di Bern, Swiss, tahun 1926. Sampai akhirnya bermuara kepada terformulasinya instrumen dalam bentuk standard minimum rules atau basic principles yang pengintegrasiaannya ke dalam legislasi nasional setiap negara 1

sangat tergantung pada kemauan negara itu sendiri. Terdapat berbagai instrumen HAM internasional terkait perlindungan HAM orang yang direnggut kebebasannya. Dalam berbagai instrumen HAM yang berkaitan dengan penahanan diadakan pembedaan antara mereka yang dihukum karena pelanggaran hukum dan mereka yang menunggu peradilan. Kelompok terdahulu disebut narapidana (prisoner), sedangkan kelompok terakhir disebut sebagai tahanan (detainee), akan tetapi pembedaan ini tidak berlaku seragam pada semua instrumen. Peraturan Standar Minimum Perlakuan kepada Narapidana (The Standard Minimum Rules for The Treatment of Prisoners {SMR}), walaupun berlaku pada kedua kategori tersebut, hanya menggunakan istilah prisoners dan selanjutnya membagi mereka ke dalam tahanan yang sudah dihukum (convicted) dan yang belum dihukum (unconvicted). SMR diterima oleh Kongres Pertama PBB mengenai Pencegahan Kejahatan dan Perlakuan terhadap Para Pelanggar, yang dilaksanakan di Geneva dalam tahun 1955 dan disetujui oleh Dewan Ekonomi dan Sosial dengan Resolusinya 663 C (XXIX) tanggal 31 Juli 1957 dan 2076 (LXII) tanggal 13 Mei 1977. Dalam aturan ini terdapat sembilan puluh lima poin aturan yang mengatur tentang perlakuan terhadap narapidana, seperti makanan, pakaian, kebersihan pribadi, latihan dan olah raga, pelayanan kesehatan, informasi kepada dan keluhan oleh narapidana, hubungan dengan dunia luar, buku, agama, penyimpanan harta kekayaan narapidana, pemberitahuan mengenai kematian, sakit, pemindahan dan sebagainya, personal lembaga, hakhak istimewa, pekerjaan, pendidikan dan rekreasi, hubungan sosial dan perawatan sesudahnya, narapidana gila dan bermental tidak normal, narapidana yang ditahan atau sedang menunggu pemeriksaan pengadilan, narapidana sipil sampai kepada orang-orang yang ditangkap atau ditahan tanpa tuduhan. Hal-hal yang diatur dalam bagian pertama dalam SMR antara lain: Pertama, akomodasi yang meliputi: Setiap narapidana di malam hari harus menempati satu sel sendirian, kecuali karena alasan khusus apabila asrama digunakan untuk dihuni bagi narapidana harus dipilih secara hati-hati; akomodasi tidur harus memenuhi syarat kesehatan terutama isi kubik udara, lantai, cahaya, dan ventilasi; pada semua tempat dimana narapidana harus tinggal atau bekerja, jendela harus cukup luas sehingga narapidana dapat bekerja dengan sinar alami dan segar dan disediakan sinar buatan agar narapidana dapat membaca tanpa merusak penglihatan; instalasi kesehatan harus memadai agar setiap narapidan dapat memenuhi kebutuhankebutuhan yang lazim dengan cara yang bersih dan layak; dan instalasi mandi dan pancuran harus memadai agar setiap narapidana bisa mendapatkan air untuk mandi atau bersiram pada temperatur yang cocok dengan iklim. Kedua, kebersihan pribadi yang meliputi: harus disediakan air dan peralatan toilet yang memadai agar 2

narapidana dapat menjaga badannya tetap bersih dan harus disediakan fasilitas pemeliharaan rambut dan jenggot yang memadai agar narapidana dapat memelihara dan menjaga penampilan yang aik sesuai dengan kehormatan diri mereka. Ketiga, pakaian dan perlengkapan tidur yang meliputi: Setiap narapidana yang tidak diperbolehkan memakai pakainnya sendiri, harus disediakan pakaian yang sesuai dengan iklim dan cukup untuk menjaga dirinya tetap dalam keadaan sehat. Bagaimanapun, pakaian tersebut tidak boleh merendahkan martabat atau memalukan; semua pakaian harus bersih dan terawat baik termasuk pakaian dalam harus diganti dan dicuci sesering yang diperlukan untuk menjaga kesehatan pribadi; dalam keadaan khusus, jika seorang narapidana dibawa ke luar lembaga untuk tujuan yang sah, narapidana tersebut harus diizinkan utnuk mengenakan pakaiannya sendiri atau pakaian lain yang tidak menarik perhatian; dan setiap narapidana harus, sesuai standar lokal dan nasional, disediakan tempat tidur yang terpisah, selimut yang memadai, dan bersih ketika diberikan, dan diganti sesering diperlukan untuk menjamin kebersihannya. Keempat, hak makanan dan air minum yang cukup yang meliputi Setiap narapidana oleh pengelola harus disediakan, pada jam-jam yang biasanya, dengan makanan dan gizi yang mamadai untuk kesehatan dan kekuatan, dengan kualitas yang sehat dan dipersiapkan dan disajikan dengan baik; air minum harus tersedia bagi setiap narapidana kapan pun dia membutuhkannya; dan petugas medis harus secara regular memeriksa dan memberikan saran pada direktur mengenai kuantitas, kualitas, persiapan dan penyediaan makanan. Sejalan dengan standard yang ditetapkan oleh otoritas kesehatan, pengelola harus menyediakan bagi narapidana, pada jam-jam yang biasanya, makanan yang dipersiapkan dan disajikan dengan pantas, dan yang memenuhi standard kualitas dan kuantitas komposisi makanan dan kesehatan modern, dan mempertimbakan usia, kesehatan, sifat kerja mereka, dan sejauh mungkin, syarat-syarat keagamaan dan budaya. Kelima, Pelayanan Kesehatan. Hak atas kesehatan adalah hak asasi manusia, dengan demikian hal ini juga berlaku terhadap orang-orang yang dirampas kebebasannya, termasuk tahanan dan narapidana. Hak atas kesehatan bagi narapidana melingkupi (1).Harus tersedia pelayanaan kesehatan yang memadai dan paling sedikit harus ada satu orang pejabat kesehatan yang memilik pengetahuan psikiatri; (2).Narapidana yang sakit dan tidak dapat dilayani di penjara, seperti tahanan dan narapidana yang menderita masalah kejiwaan, harus di alihkan kepada rumah sakit sipil atau rumah sakit penjara spesialis. Setiap tahanan harus mendapatkan akses terhadap layanan kesehatan gigi; (3).Pada lembaga pemasyarakatan wanita harus ada akomodasi khusus untuk perawatan sebelum dan sesudah melahirkan; (4).Petugas kesehatan harus segera 3

melihat, memeriksa dan segera meneliti setiap narapidana yang baru masuk dan merawat kesehatan jasmani/mental dan setiap hari harus melihat semua narapidana yang sakit, mengeluh sakit yang memerlukan perhatian khusus; (5).Petugas kesehatan harus melaporkan kepada direktur lembaga setiap waktu apabila menganggap kesehatan jasmani dan mental narapidana sudah atau akan membahayakan akibat pengaruh keadaan pemenjaraan; e).petugas kesehatan harus secara teratur memeriksa dan memberi nasihat kepada direktur lembaga mengenai jumlah, kualitas, persiapan dan pelayanan makanan; kesehatan dan kebersihan narapidana dan lembaga; kebersihan, panas, sinar, dan ventilasi lembaga pemasyarakatan. Walaupun dalam ketentuan SMR tersebut tidak semua substansinya mengatur secara spesifik perlindungan terhadap narapidana wanita, namun ketentuan tersebut berlaku juga bagi para narapidana wanita. Dalam kaitannya dengan akomodasi untuk para narapidana wanita, SMR mengharuskan bahwa tahanan dengan kategori yang berbeda ditahan di bangunan atau bagian bangunan yang terpisah dengan mempertimbangkan jenis kelamin, umur, catatan kejahatan, dan alasan hukum bagi penahanan. Selanjutnya SMR juga menyatakan tidak boleh ada hubungan antara penjaga laki-laki dan tahanan perempuan tanpa kehadiran penjaga perempuan. Semua petugas penegak hukum harus disadarkan mengenai kenyataan bahwa serangan seksual terhadap perempuan di dalam tahanan merupakan tindakan penyiksaan dan tidak akan ditenggang menurut keadaan apa pun. Penegak hukum harus menjamin bahwa prosedur mereka melindungi perempuan dan tidak memperburuk kerentanan mereka. Penyelidikan cepat, seksama, dan tidak memihak harus dilakukan ke dalam semua laporan penyiksaan, serangan tak senonoh atau penganiayaan tahanan perempuan. Perlindungan HAM terkait narapidana wanita juga diatur dalam Body of Principles for The Protection of All Persons Under Any Form of Detention or Imprisonment (Himpunan Prinsip bagi Perlindungan Semua Orang dari Segala Bentuk Penahanan atau Pemenjaraan) yang disetujui oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 9 Desember 1988 dengan resolusi 43/173. Dalam kumpulan ini terdapat tiga puluh sembilan butir prinsip mengenai perlindungan bagi orang yang ditahan atau dipenjara menetapkan aturan-aturan mengenai perlakuan terhadap orang yang dicabut kebebasannya. Prinsip 6 Body of Principles for The Protection of All Persons Under Any Form of Detention or Imprisonment (Himpunan Prinsip bagi Perlindungan Semua Orang dari Segala Bentuk Penahanan atau Pemenjaraan) menyatakan tidak seorang pun yang berada dibawah bentuk penahanan atau pemenjaraan apapun dapat dijadikan sasaran penganiayaan atau perlakuan kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat. Tidak satu pun keadaan dapat dijadikan sandaran 4

sebagai pembenaran untuk penganiayaan atau perlakuan kejam yang lain, tidak manusiawi dan merendahkan martabat. Selanjutnya dalam Prinsip 28 dinyatakan bahwa seseorang yang ditahan atau dipenjara berhak memperoleh dalam batas-batas sumber yang tersedia, kalaupun dari sumber-sumber umum, sejumlah bahan pendidikan, budaya dan informasi yang layak, dengan tunduk pada syarat-syarat yang pantas untuk menjamin keamanan dan ketertiban umum di tempat penahanan atau pemenjaraan. Walaupun ketentuan dalam Prinsip 6 dan Prinsip 28 tidak menyebutkan khusus ditujukan kepada narapidana wanita, namun hal tersebut berlaku juga bagi para narapidana wanita. Body of Principles for The Protection of All Persons Under Any Form of Detention or Imprisonment (Himpunan Prinsip bagi Perlindungan Semua Orang dari Segala Bentuk Penahanan atau Pemenjaraan) dengan tegas menyatakan bahwa tindakan yang diterapkan berdasarkan hukum dan yang sematamata dimaksudkan untuk melindungi hak dan status khusus wanita khususnya wanita hamil dan ibu menyusui tidak boleh dianggap diskriminatif. Tindakan demikian tidak meliputi ketentuan fasilitas kesehatan khusus. Penolakan perawatan kesehatan yang cukup terhadap para tahanan wanita merupakan penganiayaan yang dilarang berdasarkan hukum nasional dan hukum internasional. Tindakan khusus yang bersifat wajib lainnya meliputi pemisahan tempat tinggal bagi perempuan tahanan dan tersedianya personil peradilan wanita yang terlatih untuk hal-hal seperti perawatan anak dan perawatan semasa kehamilan. Selain SMR dan Body of Principles for The Protection of All Persons Under Any Form of Detention or Imprisonment (Himpunan Prinsip bagi Perlindungan Semua Orang dari Segala Bentuk Penahanan atau Pemenjaraan), instrumen HAM internasional berkenaan dengan perlindungan HAM narapidana secara eksplisit juga diatur dalam Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik. International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik) ditetapkan oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 16 Desember 1966. Pengakuan mengenai perlunya menjamin HAM tahanan dan narapidana kecuali untuk pembatasan hak tersebut yang sangat diperlukan oleh kenyataan pemenjaraan mengarahkan PBB untuk mengembangkan berbagai instrumen yang selanjutnya membentuk ketentuan yang terpaut dengan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik. Tujuan instrumen tersebut tidak hanya menjamin HAM tetapi juga mengupayakan dan memberikan jaminan pembaharuan serta rehabilitasi sosial. Tujuan ini mensyaratkan taraf tertentu dari kualitas sistem pemenjaraan dalam arti infrastruktur dan personil dan menempatkannya dalam administrasi peradilan. Harapan demikian diperluas secara wajar kepada para petugas penegak hukum ketika mereka menjalankan tugas dan kewajiban mereka 5

yang berkaitan dengan para tawanan dan tahanan. Kovenan Internasional tentang Hak- Hak Sipil dan Politik terdiri dari 6 bagian dan 53 pasal, diantara pasalnya juga melindungi hak-hak orang yang sedang dirampas kemerdekaannya, antara lain: Pertama, Setiap orang yang dirampas kebebasannya wajib diperlakukan secara manusiawi dan dengan menghormati martabat yang melekat pada diri manusia. (Pasal 10 ayat 1); Kedua, Sistem pemasyarakatan harus memiliki tujuan utama memperbaiki dan melakukan rehabilitasi dalam memperlakukan narapidana. Terpidana di bawah umur harus dipisahkan dari orang dewasa dan diperlakukan sesuai dengan usia dan status hukum mereka. (Pasal 10 ayat 4); Ketiga, Tidak seorang pun dapat dipenjara semata-mata atas dasar ketidakmampuannya untuk memenuhi suatu kewajiban yang muncul dari perjanjian. (Pasal 11). Selain Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, berkenaan dengan HAM narapidana wanita, dalam International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya) yang ditetapkan oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 16 Desember 1966 disebutkan bahwa setiap orang berhak untuk menikmati standar tertinggi yang dapat dicapai atas kesehatan fisik dan mental terutama untuk bebas dari kematian pada saat melahirkan, perkembangan kesehatan sejak kanak-kanak, berada dalam lingkungan yang sehat dan terbebas dari polusi industri, pengobatan dan bebas dari penyakit menular dan mendapatkan pelayanan dan perhatian medis. Hak-hak tersebut berlaku pula untuk narapidana wanita tanpa terkecuali, di sisi lain ditekankan pula kewajiban negara berkaitan dengan kesehatan warga negara yang mencakup juga narapidana wanita, yaitu membuat peraturan yang tepat untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan di bidang pemeliharaan kesehatan dan menjamin diperolehnya pelayanan kesehatan, khususnya kehamilan, persalinan, dan sesudah masa persalinan, termasuk didalamnya menjamin agar pelayanan tersebut layak dan diberikan secara cuma-cuma juga pemberian makanan bergizi yang cukup selama kehamilan dan menyusui. Dari berbagai ketentuan dalam instrumen HAM internasional tersebut, memang tidak semua ketentuan secara khusus menyebutkan wanita, namun semua ketentuan tersebut berlaku juga untuk narapidana wanita sebagai orang yang mempunyai hak tanpa terkecuali dan dilindungi. Perlindungan ditujukan agar narapidana wanita dapat menikmati hakhaknya layaknya manusia lainnya dengan menikmati hak atas kebebasan dan keamanan, hak memperoleh pelayanan secara layak dan standar baik di bidang kesehatan fisik maupun mental, dan hak untuk tidak mengalami penganiayaan serta kekejaman. Instrumen HAM internasional tersebut dimaksudkan tidak untuk menghalangi aturan atau pemikiran serta 6

praktik perlakuan terhadap narapidana yang ada di suatu negara tertentu termasuk di Indonesia, namun demikian dalam aturan tersebut terdapat banyak hal yang bisa dijadikan acuan bagi pelaksanaan perlakuan terhadap narapidana yang sesuai dengan sistem hukum, ekonomi, sosial, dan budaya di Indonesia. * Penulis adalah Perancang Peraturan Perundang-Undangan Bidang Politik Hukum dan Hak Asasi Manusia Deputi Perundang-Undangan Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). 7