POLA KERJASAMA PENGELOLAAN SAMPAH DI TPA BANYUURIP ANTARA KOTA MAGELANG DAN KABUPATEN MAGELANG TUGAS AKHIR

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dan pelayanan kepada masyarakat. Selain itu, pemerintah daerah

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH BESERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB I PENDAHULUAN. efisiensi dan efektivitas kegiatan ekonomi. Dalam 30 tahun terakhir pembangunan

I. PENDAHULUAN. pembangunan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan meningkatkan

STUDI KEBUTUHAN PENGEMBANGAN KOMPONEN WISATA DI PULAU RUPAT KABUPATEN BENGKALIS TUGAS AKHIR. Oleh : M. KUDRI L2D

IDENTIFIKASI PENGADAAN RUMAH SWADAYA OLEH MASYARAKAT BERPENGHASILAN RENDAH DI KECAMATAN TEMBALANG KOTA SEMARANG TUGAS AKHIR

KAJIAN KAPASITAS KABUPATEN SEMARANG DALAM MELAKUKAN PINJAMAN (STUDI KASUS : PEMDA DAN PDAM KABUPATEN SEMARANG) TUGAS AKHIR

IDENTIFIKASI PERAN DAN MOTIVASI STAKE HOLDER DALAM PENYEDIAAN PRASARANA PERMUKIMAN DI WILAYAH PERBATASAN

BAB I PENDAHULUAN. Laporan Kinerja Instansi Pemerintah (LKjIP) Kabupaten Magelang Tahun

BAB I PENDAHULUAN. dalam mewujudkan daerah otonom yang luas serta bertanggung jawab. Tiap

PENDAHULUAN. daerah yang saat ini telah berlangsung di Indonesia. Dulunya, sistem

KAJIAN PERUBAHAN HARGA LAHAN DI KORIDOR JALAN KASIPAH BERDASARKAN PERSEPSI MASYARAKAT BERKAITAN DENGAN PEMBANGUNAN PERUMAHAN GRAHA CANDI GOLF SEMARANG

KAJIAN KEBUTUHAN PELAYANAN KAWASAN PERINDUSTRIAN KALIJAMBE BERDASARKAN PREFERENSI PENGUSAHA MEBEL KECIL DAN MENENGAH DI KABUPATEN SRAGEN

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

RUMAH SAKIT UMUM SWASTA EKSLUSIF DI BANDUNG

BAB IV STRATEGI PENGEMBANGAN SANITASI

I. PENDAHULUAN. Pemberlakuan otonomi daerah di Indonesia menuntut Pemerintah Daerah untuk

PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN TEMANGGUNG NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No.

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan rakyat dari berbagai aspek. meluasnya kesempatan kerja serta terangsangnya iklim ekonomi di wilayah

BERITA DAERAH KOTA SEMARANG

BUPATI PURWOREJO PERATURAN BUPATI PURWOREJO. NOMOR: 30.Al TAHUN 2008 TENTANG

BUPATI BLORA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLORA NOMOR 18 TAHUN 2017

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. No. 22 tahun 1999 diganti menjadi UU No. 32 tahun 2004 tentang

berkembang seperti Indonesia dewasa ini adalah tingginya pertumbuhan penduduk terutama pada pusat-pusat perkotaan, dimana terpusatnya

IDENTIFIKASI CITRA PARIWISATA KABUPATEN KEBUMEN TUGAS AKHIR TKP 477

BAB I PENDAHULUAN. pusat mengalami perubahan. Jika sebelumnya pemerintah bersifat sentralistik

KAJIAN PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA DI KECAMATAN UMBULHARJO, KOTA YOGYAKARTA TUGAS AKHIR

BAB 1 PENDAHULUAN. ekonomi juga merupakan indikator pencapaian pembangunan nasional. akan memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi.

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan yang sentralisasi menjadi struktur yang terdesentralisasi dengan

BAB I PENDAHULUAN. (PAD) yang dapat membantu meningkatakan kualitas daerah tersebut. Maka

METODOLOGI. Dinas Pertanian Provinsi Jawa Timur 37

DAMPAK KEBERADAAN PERMUKIMAN SOLO BARU TERHADAP KONDISI EKONOMI, SOSIAL DAN FISIK PERMUKIMAN SEKITARNYA

KAJIAN DAYA TAMPUNG RUANG UNTUK PEMANFAATAN LAHAN KOTA TARAKAN TUGAS AKHIR

KAJIAN STRATEGI PENGELOLAAN RETRIBUSI PEDAGANG KAKI LIMA (PKL) DI KAWASAN PENDIDIKAN TEMBALANG TUGAS AKHIR

BAB I PENDAHULUAN. mayoritas bersumber dari penerimaan pajak. Tidak hanya itu sumber

CONTOH BENTUK/MODEL KERJA SAMA DAERAH

Strategi Sanitasi Kabupaten Malaka

NCA N LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 12 TAHUN 2009 PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG

PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah yang sedang bergulir merupakan bagian dari adanya

BAB I PENDAHULUAN. pelayanan terus mengalami dinamika perubahan. Permintaan pelayanan jasa

BAB I PENDAHULUAN. disertai dengan pembiayaan yang besarnya sesuai dengan beban kewenangan

PENDAHULUAN Latar belakang

STUDI PENINGKATAN PELAYANAN OPERASIONAL PENGELOLAAN PERSAMPAHAN DI KOTA BANDA ACEH TUGAS AKHIR

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. untuk mewujudkan pelayanan prima kepada masyarakat.

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI

STUDI PEMANFAATAN PARKIR UMUM DAN PARKIR KHUSUS TERHADAP PENINGKATAN PENDAPATAN ASLI DAERAH DARI SEKTOR PERPARKIRAN DI KOTA SEMARANG TUGAS AKHIR

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia ini adalah suatu negara yang menganut daerah otonom.

LEMBARAN DAERAH KOTA CIREBON

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI JENIS PENGGUNAAN LAHAN PESISIR SEMARANG TUGAS AKHIR. Oleh: ARI KRISTIANTI L2D

EVALUASI PENGELOLAAN SAMPAH PASAR JOHAR BERDASARKAN PERSEPSI PENGELOLA DAN PEDAGANG SERTA ARAHAN PENGELOLAANNYA TUGAS AKHIR (TKP 481)

BUPATI PURWOREJO PERATURAN BUPATI PURWOREJO. NOMOR : 30,z TAHUN 2008 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KULON PROGO

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DAN UPAYA PENINGKATANNYA DALAM PENGELOLAAN JARINGAN IRIGASI MENDUT KABUPATEN SEMARANG TUGAS AKHIR

WALIKOTA TASIKMALAYA,

BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG PEMBERDAYAAN DAN PENGEMBANGAN USAHA MIKRO

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

IV. GAMBARAN UMUM KOTA CIMAHI. Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan dan Otonomi

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah daerah, namun di sisi lain memberikan implikasi tanggung jawab yang

PEMERINTAH KABUPATEN WONOSOBO

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PENANAMAN MODAL DI PROVINSI JAWA TENGAH

IDENTIFIKASI KINERJA JARINGAN JALAN ARTERI PRIMER DI KOTA SRAGEN TUGAS AKHIR. Oleh : S u y a d i L2D

GUBERNUR JAWA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 3 TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN PELAYANAN TERPADU SATU PINTU

BAB I PENDAHULUAN. mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas ekonomi dan tugas

OPTIMASI PEMANFAATAN PROPERTI DAERAH SEBAGAI SUMBER PEMBIAYAAN NONKONVENSIONAL DI KOTA MAGELANG TUGAS AKHIR

BAB 1 PENDAHULUAN. pusat (sentralistik) telah menimbulkan kesenjangan antara Jawa dan luar Jawa

BAB I PENDAHULUAN. untuk mencapai keberhasilan Otonomi Daerah. hanya mencakup reformasi akuntansi keuangannya.

PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN KENDAL NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG KERJA SAMA DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KENDAL,

BAB I PENDAHULUAN. berubah menjadi sistem desentralisasi atau yang sering dikenal sebagai era

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 7 Tahun : 2013

BAB I PENDAHULUAN. dilaksanakannya otonomi daerah. Otonomi daerah diberlakukan di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan otonomi daerah ditandai dengan diberlakukannya UU No.

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

2014 ANALISIS POTENSI PENERIMAAN PAJAK PENERANGAN JALAN DI KOTA BANDUNG TAHUN

BERITA DAERAH KOTA JAMBI

BAB III ISU-ISU STRATEGIS

BAB 4 STRATEGI PENGEMBANGAN SANITASI

BAB I PENDAHULUAN. suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola

KAPASITAS KELEMBAGAAN PERENCANAAN TATA RUANG DI KOTA AMBARAWA TUGAS AKHIR. Oleh: IMANDA JUNIFAR L2D005369

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG. Dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan nasional,

VI. PERUMUSAN STRATEGI

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya alam, tenaga kerja, modal, wirausaha dan teknologi.

FENOMENA PENGELOLAAN PRASARANA DI KAWASAN PERBATASAN

BAB 1 PENDAHULUAN. pusat dengan daerah, dimana pemerintah harus dapat mengatur dan mengurus

PERAN STAKEHOLDER DALAM UPAYA PENCIPTAAN EFISIENSI KOLEKTIF PADA KLASTER JAMBU AIR MERAH DELIMA DI KABUPATEN DEMAK TUGAS AKHIR

BUPATI PASURUAN PERATURAN BUPATI PASURUAN NOMOR 24 TAHUN 2015 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah, dan

BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BUPATI JEPARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN JEPARA

I. PENDAHULUAN. Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan

PEMERINTAH KABUPATEN PURWOREJO

1. Berdasarkan analisis tipologi gabungan kinerja sistim agropolitan dan kinerja

BAB I PENDAHULUAN. Januari 2001 telah memberikan kewenangan yang luas, nyata dan. bertanggungjawab kepada daerah secara proporsional mengatur dan

Transkripsi:

POLA KERJASAMA PENGELOLAAN SAMPAH DI TPA BANYUURIP ANTARA KOTA MAGELANG DAN KABUPATEN MAGELANG TUGAS AKHIR Oleh: RACHMADIANSYAH PUTRA UTAMA L2D001451 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2006

ABSTRAKSI Pemberlakuan otonomi daerah menyebabkan sebagian besar kewenangan pemerintahan diberikan kepada daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di daerah. Dampak lanjut dari pelaksanaan otonomi daerah antara lain terjadinya disparitas antar daerah kerena perbedaan potensi yang dimiliki daerah. Dengan adanya perbedaan potensi maka sangat diperlukan upaya untuk mensinergikan pembangunan antar daerah dalam rangka mendukung terwujudnya perkembangan dan pembangunan daerah secara terintegrasi dan merata. Upaya untuk mensinergikan pembangunan antar daerah tersebut dapat dilakukan melalui kerjasama antar daerah. Kota Magelang dan Kabupaten Magelang merupakan dua daerah yang berdampingan dengan potensi yang berbeda, dimana Kota Magelang merupakan pusat pertumbuhan dengan luas wilayah yang kecil sedangkan Kabupaten Magelang merupakan daerah penghasil dengan wilayah yang sangat luas. Pertumbuhan Kota Magelang yang ditandai pertambahan jumlah penduduk menyebabkan meningkatnya lahan terbangun sehingga lahan terbuka semakin berkurang. Keterbatasan lahan menyebabkan Kota Magelang tidak mempunyai TPA yang berlokasi di wilayah Kota Magelang sendiri namun harus berlokasi di luar wilayah Kota Magelang yaitu di Desa Banyuurip Kecamatan Tegalrejo Kabupaten Magelang. Tujuan dari penelitian ini adalah merumuskan pola kerjasama pengelolaan sampah di TPA Banyuurip antara Kota Magelang dan Kabupaten Magelang dan menentukan strategi pengembangan yang dapat dilakukan. Untuk mewujudkan tujuan tersebut maka dilakukan tahapan pengkajian pola kerjasama pengelolaan sampah di TPA Banyuurip untuk menentukan pola kerjasama yang ada sekarang, kemudian merumuskan pola kerjasama yang paling sesuai berdasarkan situasi dan kondisi yang ada, dan menentukan strategi pengembangan kerjasama pengelolaan sampah di TPA Banyuurip. Kerjasama antara Pemerintah Kota Magelang dan Pemerintah Kabupaten Magelang dalam pengelolaan TPA Banyuurip didasarkan atas kesepakatan antar kepala daerah atas instruksi Pemerintah Propinsi Jawa Tengah. Dalam hubungan tersebut tidak terdapat perjanjian atau MoU antara kedua pihak sehingga timbul ketidakjelasan hak dan kewajiban masing-masing pihak apabila terjadi permasalahan karena tidak memiliki dasar yang kuat. Kerjasama pengelolaan TPA Banyuurip tersebut sudah berlangsung cukup lama dan dimulai sebelum era otonomi daerah namun keberadaanya masih sangat diperlukan oleh Kota Magelang dan sebagian masyarakat Desa Banyuurip yang menggantungkan hidupnya pada TPA Banyuurip baik sebagai pemulung maupun pekerja harian lepas. Dalam mengkaji pola kerjasama yang ada sekarang dilakukan analisis deskriptif dengan melakukan perbandingan dengan berbagai ciri pola kerjasama yang ada sehingga dapat diketahui pola yang ada sekarang. Ciri setiap ola kerjasama tersebut dapat dibedakan berdasarkan kepemilikan aset, operasi dan pemeliharaan, penanaman modal, resiko pengelolaan, dan jangka waktu. Perumusan pola kerjasama yang sesuai, dilakukan dengan metode pembobotan yang melibatkan para pakar yang berkompeten dalam bidang ini. Para pakar memberikan bobot dan nilai kepada setiap ciri pola kerjasama, jumlah hasil kali bobot dan nilai yang tertinggi menunjukkan pola yang paling sesuai. Kemudian dalam penentuan strategi juga melibatkan pakar dalam memberikan penilaian dengan menggunakan analisis faktor eksternal dan analisis faktor internal pola kerjasama pengelolaan sampah di TPA Banyuurip. Dari hasil analisis faktor eksternal dan intenal tersebut dihasilkan rekomendasi apakah strategi tersebut dapat dilakukan atau tidak. Dari hasil analisis identifikasi pola kerjasama yang ada dapat ditarik kesimpulan bahwa pola kerjasama pengelolaan sampah di TPA Banyuurip antara Kota Magelang dan Kabupaten Magelang yang ada sekarang ini adalah pola divestiture. Pola kerjasama yang ada sekarang dianggap tidak sesuai lagi dengan situasi dan kondisi sekarang sehingga perlu dirumuskan pola kerjasama yang paling sesuai diterapkan pada pengelolaan TPA Banyuurip antara Kota Magelang dan Kabupaten Magelang. Dari hasil analisis pembobotan pakar dapat disimpulkan bahwa pola kerjasama yang paling sesuai adalah Pola Lease/ Sewa. Untuk mewujudkan pola lease dari pola kerjasama yang ada sekarang dapat dilakukan beberapa strategi. Strategi tersebut dirumuskan dengan analisis SWOT dengan mempertimbangkan faktor eksternal dan faktor internal. Keywords: Kota, Pola Kerjasama, Pengelolaan Sampah, TPA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemberlakuan otonomi daerah menyebabkan sebagian besar kewenangan pemerintahan diberikan kepada daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di daerah. Oleh karena itu setiap pemerintah daerah terutama kabupaten/ kota dituntut untuk siap menerima delegasi wewenang dari pemerintah pusat atau pemerintah di atasnya tidak hanya dalam hal penyelenggaraan pemerintahannya tetapi juga dalam hal pemecahan permasalahan dan pendanaan kegiatan pembangunannya. Sumber-sumber penerimaan daerah yang berupa pendapatan asli daerah, dana perimbangan, pinjaman daerah dan lain-lain penerimaan yang sah harus seimbang atau lebih besar dari biaya program-program pembangunan daerah. Oleh karena itu pelaksanaan management pembangunan daerah harus lebih professional, bottom up dan mandiri. Dengan kata lain, pemerintah daerah harus mampu melaksanakan fungsi-fungsi pengelolaan yang lebih menyeluruh dan terpadu. Dampak lanjut dari pelaksanaan otonomi daerah antara lain terjadinya disparitas antar daerah kerena perbedaan potensi yang dimiliki daerah. Potensi tersebut antara lain sumber daya alam dan lingkungan, sarana dan prasarana, sumber daya manusia berupa tenaga kerja dan kependudukan, pengairan, produksi, permodalan, serta ketrampilan dan tenaga ahli. Pembangunan di daerah pada dasarnya dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya melalui perkembangan wilayah dan peningkatan perekonomian wilayah. Namun dengan adanya perbedaan potensi maka sangat diperlukan upaya untuk mensinergikan pembangunan antar daerah dalam rangka mendukung terwujudnya perkembangan dan pembangunan daerah secara terintegrasi dan merata. Upaya untuk mensinergikan pembangunan antar daerah tersebut dapat dilakukan melalui kerjasama antar daerah. Kota merupakan tempat pemusatan penduduk dan aktivitas bagi daerah di sekitarnya. Seiring dengan berjalannya waktu kota-kota pun berkembang sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Perkembangan kota secara tidak langsung disebabkan oleh pertambahan jumlah penduduk kota. Faktor pertumbuhan ekonomi, lapangan kerja, tersedianya fasilitas umum serta infrastruktur kota yang cenderung lebih baik dan pola kehidupan sosial kota yang lebih atraktif menyebabkan terjadinya perpindahan penduduk dari desa ke kota. Dalam perkembangan kota tersebut muncul permasalahan dalam pengendalian pertumbuhan dan perkembangan kota, yang harus diseimbangkan dengan daya dukung lingkungannya. Banyak kota berkembang secara tidak terkendali, sehingga menyebabkan terjadinya degradasi lingkungan baik secara kualitas maupun kuantitas. Karena jumlah dan laju penduduk perkotaan yang cenderung meningkat mengakibatkan

2 sistem infrastruktur yang ada menjadi tidak memadai karena perkembangannya kalah cepat dengan perkembangan penduduk. Peningkatan penduduk di daerah perkotaan juga mengakibatkan perubahan (konversi) lahan untuk mengimbangi. Namun perubahan yang tidak terkendali akan mengakibatkan dampak negatif bagi perkembangan kota dan lingkungan kota. Banyaknya lahan terbangun menyebabkan lahan kosong semakin lama semakin sedikit. Pada kota yang mempunyai luas daerah yang relatif kecil hal ini tentu saja menjadi masalah yang sangat penting untuk mendapat perhatian, karena perkembangan kota menuntut daya dukung yang memadai. Dengan daerah yang sempit dan pertumbuhan kota yang cukup tinggi menyebabkan pertumbuhan kota terhambat dan stagnan bahkan pertumbuhannya dapat menurun. Kota Magelang merupakan salah satu daerah administratif yang berada di wilayah Propinsi Jawa Tengah. Daerah ini berbatasan langsung dengan Kabupaten Magelang, bahkan Kota Magelang dikelilingi oleh Kabupaten Magelang. Meskipun letak wilayahnya berdekatan akan tetapi kedua daerah ini mempunyai potensi wilayah yang berbeda. Kota Magelang merupakan sebuah kota kecil dengan luas wilayah 1.812 Ha. Kota Magelang merupakan pusat pertumbuhan bagi daerah-daerah disekitarnya seperti Kabupaten Magelang, Kabupaten Temanggung, Kabupaten Wonosobo, dan Kabupaten Purworejo. Dengan ditunjang oleh letak yang strategis Kota Magelang merupakan daerah pemasaran yang cukup ramai dengan dilengkapi berbagai fasilitas penunjang sehingga semakin memberikan nilai tambah bagi kegiatan ekonomi daerah tersebut. Sementara itu Kabupaten Magelang merupakan daerah administratif dengan luas wilayah hampir 60 kali lebih luas dari Kota Magelang yaitu sekitar 108.573 Ha dengan sumberdaya alam yang melimpah dan merupakan daerah penghasil bagi Kota Magelang (hinterland). Kota Magelang yang merupakan pusat pertumbuhan bagi daerah disekitarnya mempunyai keterbatasan lahan, sedangkan Kota Magelang mempunyai kebutuhan prasarana persampahan yang mempunyai peran vital dalam perkembangan kota. Kabupaten Magelang sebagai daerah yang berbatasan langsung dengan Kota Magelang mempunyai lahan yang sangat luas yang dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan prasarana persampahan bagi Kota Magelang. Adanya permintaan (demand) dan penawaran (supply) antara Kota Magelang dan Kabupaten Magelang ini menyebabkan timbulnya kerjasama antar daerah. Permintaan (demand) berasal dari Kota Magelang untuk menggunakan lahan Kabupaten Magelang sebagai lokasi prasarana persampahan sedangkan penawaran (supply) berasal dari Kabupaten Magelang yang mempunyai lahan yang luas untuk lokasi prasarana persampahan. Kerjasama antar daerah tersebut diwujudkan pada tahun 1992 dengan pembangunan TPA Banyuurip yang berlokasi di Desa Banyuurip, Kecamatan Tegalrejo, Kabupaten Magelang yang diperuntukkan bagi Kota Magelang. Kerjasama tersebut terjadi sebelum era otonomi daerah yang merupakan instruksi dari pemerintah provinsi dan kesepakatan antar kepala daerah sehingga

3 kerjasama antara Kota Magelang dan Kabupaten Magelang merupakan kerjasama dalam skala kecil yaitu hanyalah sebatas jual beli tanah dan pembayaran pajak. Dimana Pemerintah Kota Magelang membeli tanah di Desa Banyuurip dari warga Desa Banyuurip untuk digunakan sebagai TPA Kota Magelang yang seluruh pengelolaannya dilakukan oleh Pemerintah Kota Magelang. Pemerintah Kabupaten Magelang memperoleh imbalan berupa pajak bumi dan bangunan yang diperoleh dari lokasi TPA yang berada di Kabupaten Magelang. Kerjasama pengelolaan tersebut masih berlangsung hingga sekarang dan keberadaannya sangat penting bagi Kota Magelang. Dalam kerjasama pengelolaan TPA Banyuurip belum terdapat perjanjian kerjasama atau MoU antara kedua belah pihak sehingga menyebabkan ketidakjelasan hak dan kewajiban masingmasing pihak. Ketidakjelasan hak dan kewajiban antara Pemerintah Kota Magelang dan Pemerintah Kabupaten Magelang berdampak pada ketidakjelasan biaya kompensasi bagi warga sekitar dan ketidakjelasan retribusi warga Kabupaten Magelang yang membuang sampah di TPA Banyuurip. Seiring dengan perkembangan zaman dimana era otonomi daerah digulirkan, kerjasama yang dilakukan oleh Kota Magelang dan Kabupaten Magelang dirasa kurang sesuai untuk diterapkan sekarang. Terlepas dari berbagai permasalahan yang ada dalam kerjasama pengelolaan TPA Banyuurip perlu diingat bahwa kerjasama tersebut sudah berlangsung lama dan keberadaannya masih sangat dibutuhkan oleh Kota Magelang. Sebagai daerah yang hidup berdampingan maka sangat diharapkan timbul kerjasama yang saling menguntungkan sesuai dengan prinsip otonomi daerah oleh karena itu perlu dirumuskan suatu pola kerjasama pengelolaan TPA Banyuurip antara Kota Magelang dan Kabupaten Magelang yang sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada saat ini. Pemahaman akan pola kerjasama yang ada dan prinsip otonomi daerah merupakan hal kunci dalam menentukan pola kerjasma yang sesuai. Penanganan permasalahan yang ada secara bijak dengan memperhatikan kepentingan kedua pihak sangat diharapkan dalam penyelesaian permasalahan ini. 1.2 Perumusan Masalah Keterbatasan lahan menyebabkan Kota Magelang tidak mempunyai TPA yang berlokasi di wilayah Kota Magelang sendiri namun harus berlokasi di luar wilayah Kota Magelang yaitu di Desa Banyuurip Kecamatan Tegalrejo Kabupaten Magelang. Kerjasama antara Pemerintah Kota Magelang dan Pemerintah Kabupaten Magelang sangatlah minim hanya sebatas jual beli tanah, perijinan, dan pembayaran pajak diluar pengelolaan TPA Banyuurip. Dalam hubungan tersebut tidak terdapat perjanjian atau MoU antara kedua pihak sehingga ada ketidakjelasan tindakan apabila terjadi permasalahan karena tidak memiliki dasar yang kuat. Kerjasama pengelolaan TPA Banyuurip tersebut sudah berlangsung cukup lama dan dimulai sebelum era otonomi daerah namun keberadaanya masih sangat diperlukan oleh Kota Magelang dan masyarakat Desa Banyuurip yang