BAB I PENDAHULUAN. Individu pada tahap perkembangan dewasa awal umumnya aktif, kreatif,

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. orang kepercayaan, penasehat, orang yang berkarir, dan sebagai orang tua

BAB I PENDAHULUAN. Deskripsi cantik fisik, setiap orang punya paham sendiri-sendiri. Orang

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia, terdapat berbagai macam agama dan kepercayaan- kepercayaan

BAB I PENDAHULUAN. terhadap ancaman bahaya kebakaran (Kidokoro, 2008; Sufianto dan Green, 2011). Kota

BAB I PENDAHULUAN. menjalani kehidupan. Masyarakat membutuhkan layanan kesehatan seperti

BAB I PENDAHULUAN. lanjut usia atau lansia (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2006). Keberadaan panti

BAB I PENDAHULUAN. menyelenggarakan upaya kesehatan, dengan memberdayakan berbagai kesatuan

BAB I PENDAHULUAN. Institusi pendidikan (profesi dokter) merupakan institusi yang

BAB I PENDAHULUAN. Perawat atau Nurse berasal dari bahasa Latin yaitu dari kata Nutrix yang berarti

BAB I PENDAHULUAN. bebas di kalangan remaja. Pergaulan bebas ini akan berdampak buruk terhadap diri mereka

BAB I PENDAHULUAN. 14 persen. Total dokter yang dibutuhkan secara nasional hingga tahun 2014

BAB I PENDAHULUAN. tenaga pendidik yang disebut dengan dosen. Menurut jenisnya, perguruan tinggi

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan pengetahuan dan teknologi yang sangat cepat di berbagai

BAB I PENDAHULUAN. dambaan bagi setiap keluarga. Suatu pernikahan diharapkan mampu memenuhi

BAB I PENDAHULUAN. memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis (Hasyim,

BAB I PENDAHULUAN. masa pernikahan. Berbagai harapan mengenai keinginan memiliki anak pun

BAB I PENDAHULUAN. Republik Indonesia. Menurut mantan Wapres Boediono (dalam Munady, 2014)

BAB I PENDAHULUAN. menunjukkan bahwa ia membutuhkan suatu proses belajar yang memungkinkan dirinya untuk

BAB I PENDAHULUAN. Menurut (Nugroho. T, 2010: 94) Aquired Immune Deficiency Syndrome

BAB I PENDAHULUAN. istri. Ketika pasangan suami istri memutuskan untuk memiliki anak, mereka

BAB I PENDAHULUAN. Sebuah perusahaan mengandalkan berbagai divisi karyawan yang saling

BAB I PENDAHULUAN. World Health Organization (WHO) melaporkan bahwa terdapat lebih dari 9 juta

BAB I PENDAHULUAN. melaksanakan pelayanan kesejahteraan sosial di lingkungan instansi pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan negara dengan intensitas bencana alam yang

BAB I PENDAHULUAN. Gereja dan Tata Laksana Gereja Sinode X Bab XXIV dan Bab XXVII, pendeta

BAB I PENDAHULUAN. Masalah penyalahgunaan narkoba di Indonesia pada tahun 2014 semakin meningkat.

BAB I PENDAHULUAN. penerimaan dalam keluarga membuat remaja akan merasakan bahwa dirinya

BAB I PENDAHULUAN. mahasiswa yang beragama Buddha. Seiring dengan bertambahnya usia, keinginan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu fase kehidupan manusia secara umum ialah menikah. Setelah

BAB I PENDAHULUAN. Bertambahnya usia merupakan proses menua alami yang akan dihadapi manusia. Dalam

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal

BAB I PENDAHULUAN. penerapan teori yang didapat sebelumnya dari periode praklinik untuk mendapatkan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Data Yayasan Lupus Indonesi (YLI) menunjukkan bahwa jumlah

BAB I PENDAHULUAN. bagian daerah lain, dan salah satunya adalah etnis Tionghoa. Sebagai etnis yang

BAB I PENDAHULUAN. ini disebabkan oleh ulah manusia itu sendiri, yaitu merupakan penyakit AIDS,

BAB I PENDAHULUAN. berketetapan untuk tidak menjalankan tugas dan kewajiban sebagai suami-istri. Pasangan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Hana Nailul Muna, 2016

BAB I PENDAHULUAN. memiliki peran sebagai suami dan istri dengan tugasnya masing-masing. Pada keluarga

BAB I PENDAHULUAN. Belakangan ini Indonesia marak terjadi kasus kekerasan. Kejadian demi

BAB I PENDAHULUAN. anaknya akan lahir dengan kondisi fisik dan mental yang normal, sehingga

Bab I Pendahuluan. dalam menjaga optimalisasi manusia dalam kegiatan sehari-hari membuat banyak orang

BAB I PENDAHULUAN. masa beralihnya pandangan egosentrisme menjadi sikap yang empati. Menurut Havighurst

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Tuhan menyiptakan laki-laki dan perempuan sebagai makhluk yang

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan secara fisik. Sebagian orang harus menderita penyakit yang dapat

BAB I PENDAHULUAN. Agama merupakan suatu kepercayaan tentang konsep Tuhan. Indonesia memiliki 6

BAB I PENDAHULUAN. kekebalan tubuh manusia ini menganggap jaringan dalam tubuh sebagai benda

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Kelahiran seorang anak dalam sebuah keluarga merupakan suatu bagian yang

BAB I PENDAHULUAN. manusia dengan belajar (Koentjaraningrat, 1993). Indonesia merupakan negara

BAB I PENDAHULUAN. sistem imun atau sistem pertahanan tubuh. Sistem imun ini berupa antibodi, yang

1 2

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini,

BAB I PENDAHULUAN. Setelah kurang lebih lima hingga sepuluh tahun, HIV ini dapat berubah menjadi

BAB I PENDAHULUAN. yang sehat, pintar, dan dapat berkembang seperti anak pada umumnya. Namun, tidak

BAB I PENDAHULUAN. suatu jenis penyakit yang belum diketahui secara pasti faktor penyebab ataupun

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Kesehatan saat ini menjadi faktor paling penting diantara sekian

BAB I PENDAHULUAN. ekonomis. Oleh karena itu, pemeliharaan kesehatan merupakan suatu upaya. pemeriksaan, pengobatan atau perawatan di rumah sakit.

BAB I PENDAHULUAN. besar memaksa sebagian orang tak bisa menjaga keseimbangan hidupnya, padahal

Prosiding Psikologi ISSN:

BAB I PENDAHULUAN. Belakangan berbagai media di Indonesia, baik cetak maupun elektronik banyak mengulas

BAB I PENDAHULUAN. masa kanak-kanak, masa remaja, masa dewasa yang terdiri dari dewasa awal,

BAB I PENDAHULUAN. Pada era modern saat ini, masyarakat dalam kehidupan dewasa mulai

Abstrak. Kata kunci : Self-compassion, mahasiswa, keperawatan

BAB I PENDAHULUAN. untuk jangka waktu lama dan bersifat residif (hilang-timbul). Sampai saat ini

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk sosial yang artinya manusia membutuhkan orang lain dalam

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. kematian pada seseorang di seluruh dunia. National Cancer Institute (dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan

BAB II LANDASAN TEORI. Compassion yang mengacu pada teori dari Kristin Neff (2011). Neff membahas

BAB I PENDAHULUAN. Fenomena perilaku seks pranikah di kalangan remaja di Indonesia semakin

ABSTRACT. This research was conducted to determine the degree of self-compassion

BAB I PENDAHULUAN. Setiap manusia memiliki hak untuk dapat hidup sehat. Karena kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. kualitas yang melayani, sehingga masalah-masalah yang terkait dengan sumber

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah termasuk negara yang memasuki era penduduk

BAB I PENDAHULUAN. Perguruan Tinggi merupakan salah satu jenjang yang penting dalam

BAB I PENDAHULUAN. pada masa remaja, salah satunya adalah problematika seksual. Sebagian besar

BAB I PENDAHULUAN. Sekarang ini kita dihadapkan pada berbagai macam penyakit, salah satunya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Body Dissatisfaction. body image sebagai suatu sikap dan penilaian individu mengenai

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya manusia yang berkualitas tinggi. Masyarakat semakin berkembang

BAB I PENDAHULUAN. Setiap individu akan mengalami perubahan pada dirinya baik secara fisik

BAB I PENDAHULUAN. diberikan dibutuhkan sikap menerima apapun baik kelebihan maupun kekurangan

BAB I PENDAHULUAN. Acquired Immune Deficiency Syndrome,

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan yang khas yang menghadapkan manusia pada suatu krisis

BABI PENDAHULUAN. Dewasa ini banyak ditemukan berbagai penyakit kelainan darah, salah

BAB V. KESIMPULAN, DISKUSI, dan SARAN

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari,

BAB I PENDAHULUAN. Hepatitis adalah penyakit peradangan hati yang merusak sel-sel hati (liver)

BAB I PENDAHULUAN. mental. Hal ini seringkali membuat orangtua merasa terpukul dan sulit untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang. penyakit Lupus. Penyakit ini dalam ilmu kedokteran seperti dijelaskan dalam Astuti

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Sejak tahun 2004, bencana demi bencana menimpa bangsa Indonesia. Mulai

BAB I PENDAHULUAN. Semua ini membuat masyarakat semakin sadar akan pentingnya kesehatan dan

BAB I PENDAHULUAN. Anak berkebutuhan khusus (Heward dan Orlansky, 1992) adalah anak dengan

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB I PENGANTAR. A. Latar Belakang Masalah. Angka pernikahan di Indonesia terus meningkat setiap tahun. Meskipun

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Individu pada tahap perkembangan dewasa awal umumnya aktif, kreatif, energik dan produktif. Tahap perkembangan dewasa awal itu sendiri dimulai dari usia 20-40 tahun (Santrock, 2002). Selama tahap perkembangan dewasa awal, individu melaksanakan tugas-tugas perkembangan seperti mengambil keputusan secara mandiri, bertanggung jawab secara ekonomi, dan menjalin relasi yang lebih intim untuk membangun keluarga. Hal ini dikarenakan pada tahap ini, individu mencapai posisi puncak dalam pertumbuhan dan perkembangan aspek-aspek fisiologis, sehingga individu dapat melakukan berbagai aktivitas secara maksimal. Bagi individu yang sehat secara fisik, mereka dapat menjalankan tugastugas perkembangannya secara maksimal. Namun tidak semua individu dapat menjalankan tugas perkembangannya secara maksimal. Ada sebagian orang yang tidak dapat atau mengalami kesulitan dalam menjalankan tugas-tugas perkembangannya seperti yang terjadi pada individu yang menderita penyakit lupus. Individu yang terserang penyakit lupus atau disebut odapus di usia produktifnya tidak dapat menjalankan aktivitas-aktivitas fisik secara normal seperti individu lainnya karena adanya keterbatasan kondisi fisik yang menghambat untuk menyelesaikan tugas perkembangannya.

2 Penyakit lupus merupakan penyakit yang terjadi karena sistem kekebalan tubuh atau imun yang diproduksi secara berlebih tidak dapat membedakan mana jaringan tubuh dan mana organisme asing, sehingga menyerang sel-sel tubuh dan jaringan yang mengakibatkan peradangan dan kerusakan jaringan. Penyakit lupus yang telah ada sejak beberapa abad yang lalu ini memang masih dianggap sebagai penyakit langka yang penderitanya hanya sedikit. Pada kenyataannya, lebih dari 5.000.000 orang yang sebagian besar berada pada usia produktif di seluruh dunia terdiagnosis menderita penyakit lupus. Di indonesia sendiri menurut data dari Yayasan Lupus Indonesia (YLI), penderita lupus meningkat dari 12.700 jiwa pada tahun 2012 menjadi 13.300 jiwa per April 2013 (http://m.republika.co.id/berita/gaya-hidup/info-sehat/13/05/23/mn7mhxpenyakit-lupus-di-indonesia-meningkat). Gejala yang terjadi pada odapus bervariasi tergantung jaringan tubuh bagian mana yang diserang imun. Secara umum, keluhan yang paling sering terjadi adalah demam, nyeri sendi, kelelahan hingga lemas, kerontokan rambut, sariawan berkepanjangan dan muncul ruam atau bercak merah pada kulit bila terpapar sinar matahari. Untuk menghindari hal tersebut, maka odapus harus membatasi aktivitasnya agar jangan sampai kelelahan, tidak boleh banyak pikiran dan membatasi aktivitas di siang hari atau melindungi diri dari sinar matahari agar tidak terpapar secara langsung. Apabila odapus terpapar sinar matahari dalam waktu yang cukup lama, ataupun mengalami kelelahan dan stres, maka hal tersebut dapat menjadi faktor pencetus kambuhnya lupus (http://www.nejm.org/doi/full/10.1056/nejmra071297). Apabila lupus sedang

3 memasuki masa flare up (masa kambuh), odapus harus benar-benar beristirahat dan tidak boleh ada aktivitas karena dapat memperburuk keadaan odapus. Penyakit lupus yang menyerang organ-organ vital biasanya diperlukan penanganan seperti mengonsumsi berbagai jenis obat, opname, transfusi darah dan operasi karena kerusakan organ dan jaringan tubuh. Obat-obatan yang dikonsumsi memang berguna untuk mengobati lupus, namun harus diingat bahwa obat-obatan ini juga memiliki efek samping yang beragam mulai dari moon face, berat badan naik, meningkatnya resiko infeksi dan kerusakan retina mata. Odapus perempuan juga mengalami kesulitan untuk hamil dan tidak jarang mengalami keguguran sehingga diperlukan kontrol ketat dari dokter selama masa kehamilan. Informasi yang minim namun jumlah penderita yang banyak membuat beberapa odapus berinisiatif mendirikan yayasan X sebagai wadah para odapus dan untuk memberikan informasi mengenai penyakit ini. Yayasan ini memiliki maksud dan tujuan untuk memberikan penyuluhan kesehatan terutama mengenai penyakit lupus, meringankan beban penderita lupus, pengumpulan dana, memperjuangkan kepentingan penderita lupus dan mendirikan layanan kesehatan. Sampai saat ini yayasan X sudah tersebar di beberapa kota di Indonesia, antara lain Jakarta, Yogyakarta, Palembang, Surakarta, Medan dan Bandung. Menurut Rini Andhariyani selaku koordinator representatif yayasan X di Bandung, di tahun 2013 ini ada sekitar 100 lebih odapus yang tergabung dalam yayasan X, namun diyakini masih ada lebih banyak odapus yang tidak terdaftar dan tercatat. Gambaran mengenai penyakit lupus, gejala, faktor-faktor pencetus dan dampak bagi kehidupan odapus menunjukkan adanya upaya ekstra yang harus

4 dilakukan para odapus dalam menjalani kehidupan sehari-hari guna mencegah penyakit lupus kambuh kembali. Banyak hal yang harus dikorbankan sebagai seorang odapus dalam hidupnya. Odapus harus membatasi kegiatannya karena tidak boleh mengalami kelelahan, stress, dan terpapar sinar matahari secara langsung agar tidak mengalami flare up, itu pun harus tetap ditunjang dengan obat-obatan yang biasanya dikonsumsi seumur hidup dan memberi efek samping lain bagi tubuh. Ditambah lagi dengan kondisi odapus yang biasanya menjadi rentan terhadap penyakit lain sehingga mengharuskan mereka bolak-balik menjalani pengobatan dengan biaya yang tidak sedikit dan menghabiskan banyak waktu. Tidak jarang odapus harus berhenti bersekolah atau bekerja karena penyakit yang dideritanya dan kembali bergantung pada orang sekitarnya. Hal-hal seperti inilah yang membuat odapus merasa cemas, tertekan, khawatir dan kurang dapat menikmati hidupnya. Kondisi odapus tersebut secara tidak langsung akan memengaruhi bagaimana individu dalam memandang dirinya yang memiliki kesehatan dan fisik yang berbeda dari individu lainnya. Perasaan tertekan, cemas, khawatir karena penyakit yang dialami dan dampak yang dirasakan odapus dalam kehidupannya, membuat odapus perlu mengasihi dirinya sendiri dengan cara menghibur diri dan peduli ketika diri sendiri mengalami penderitaan, melihat penderitaan dan kesulitan adalah sesuatu yang dialami semua manusia, serta melihat suatu kejadian sebagaimana adanya, secara tidak berlebihan dalam menghadapi realita. Hal ini disebut oleh Neff (2003) dengan istilah self-compassion yang berarti memperlakukan diri sendiri maupun orang lain dengan baik, serta menghibur diri

5 sendiri saat menghadapi penderitaan, kegagalan dan ketidaksempurnaan. Selfcompassion dapat dilihat dari tiga komponen utama yakni self-kindness, common humanity, dan mindfulness. Self-kindness adalah pengakuan diri terhadap masalah dan ketidakmampuan yang ada pada diri sendiri sehingga kita merawat dan menolong diri kita sendiri dibandingkan marah di saat keadaan yang terjadi tidak sesuai harapan. Berikutnya, common humanity adalah menyadari bahwa semua manusia tidak sempurna, bahwa semua orang mengalami kegagalan dan melakukan kesalahan. Terakhir, mindfulness adalah keadaan pikiran yang bersifat netral (nonjudgemental) dan reseptif terhadap semua pikiran dan perasaan yang ada di dalam diri tanpa menekan atau menyangkal pikiran serta perasaan tersebut pada saat mengalami kesulitan (Neff,2011). Contoh self-compassion pada odapus dapat dilihat dari survei awal berupa wawancara yang dilakukan peneliti pada sepuluh odapus usia dewasa awal di yayasan X kota Bandung. Dilihat dari komponen self-kindness, sebanyak tiga odapus (30%) dapat memahami dan menerima kekurangan dan kesulitan yang dialami karena menderita lupus. Meskipun menderita lupus, mereka dapat menerima dengan hati yang sabar dan tidak mengkritik diri secara keras karena kekurangan yang dimiliki. Odapus menganggap bahwa lupus bukanlah penghalang bagi mereka untuk tetap beraktivitas dan sebisa mungkin tetap berkarya atau menghasilkan sesuatu yang berguna bagi hidupnya. Mereka tetap beraktivitas sambil tetap memerhatikan kondisi tubuh agar tidak flare up. Sebaliknya, tujuh odapus lainnya (70%) merasa sulit menerima kekurangan diri

6 dan kesulitan yang dialami karena menderita penyakit lupus. Odapus menghakimi atau mengkritik dirinya secara keras karena merasa hidupnya menjadi sulit sejak menderita lupus. Mereka merasa penyakit lupus menghambat diri mereka untuk beraktivitas secara normal. Kondisi fisik yang tidak boleh kelelahan dan stres karena penyakit lupus, membuat mereka menyalahkan diri karena merasa gagal untuk menjadi manusia yang berguna. Odapus juga menganggap diri mereka menjadi beban dan merepotkan bagi keluarganya dan orang sekitarnya. Dilihat dari komponen common humanity, sebanyak tujuh odapus (70%) memandang penderitaan dan kesulitan yang dialami sebagai bagian dari kehidupan manusia, bahwa orang lain juga pernah mengalami penderitaan dan kesulitan dalam hidupnya. Odapus pernah merasa dirinya tidak beruntung dibandingkan orang lain karena menderita lupus, namun mereka menyadari apa yang mereka alami juga dirasakan oleh odapus lainnya sehingga mereka tidak terlalu memikirkan penderitaan dan kesulitan yang dialami. Odapus merasa dikuatkan ketika bertemu dan berbagi pengalaman dengan orang-orang yang mengalami hal serupa dengan dirinya di dalam yayasan X. Dengan demikian, odapus tidak merasa sendirian dalam penderitaannya. Sebaliknya, tiga odapus lainnya (30%) merasa terasingkan karena memandang dirinya sebagai orang yang paling menderita, malang karena harus menderita lupus. Mereka menganggap penderitaan dan kesulitan yang dialami sebagai suatu ketidakberuntungan yang membuat mereka berbeda dari orang lain. Odapus menganggap orang lain tidak akan mengerti apa yang dirasakannya sehingga mereka cenderung menutup diri.

7 Menderita penyakit lupus dianggap sebagai kemalangan yang membuat mereka tidak dapat hidup secara normal. Dilihat dari komponen mindfulness, sebanyak lima odapus (50%) dapat memahami penderitaan dan kesulitan yang dialami karena menderita lupus secara objektif. Odapus memandang penderitaan dan kesulitan yang dialami karena penyakit lupus secara obyektif dan tidak melebih-lebihkan penderitaan yang dialami. Odapus menghindari memikirkan hal-hal buruk apa yang akan terjadi karena penyakit mereka, sebaliknya mereka berusaha untuk fokus tetap menjalankan hidup dengan baik dan menyiasati keterbatasan yang dimiliki agar tidak menghambat mereka dalam beraktivitas. Sebaliknya, lima odapus lainnya (50%) merasa sulit untuk tetap dapat berpikir obyektif dalam menghadapi penderitaan yang mereka alami. Odapus cenderung terfokus pada pikiran-pikiran negatif dari masa sulit yang dihadapi sehingga menimbulkan perasaan cemas, sedih, dan marah. Mereka berpikir bahwa hidup mereka menyedihkan karena menderita lupus. Sebagai penderita lupus, mereka merasa bingung, frustrasi dan putus asa akan dampak dari penyakit lupus tersebut bagi kehidupan sehari-hari mereka. Berdasarkan hasil survei terhadap sepuluh odapus, dapat dilihat bahwa ada odapus yang dapat menerima keadaan dirinya yang menderita penyakit lupus dengan emosi yang seimbang dan tidak merasa hidupnya yang paling sulit dibandingkan dengan orang lain. Sebaliknya, ada juga odapus yang sulit menerima keadaan diri yang menderita penyakit lupus, merasa dirinya

8 menyedihkan karena tidak seberuntung orang lain yang dapat menjalankan aktivitas secara normal dan merasa frustrasi dengan dampak dari penyakit lupus. Pemaparan hasil survei awal di atas menggambarkan komponenkomponen dari self-compassion, sehingga dapat dikatakan odapus usia dewasa awal di yayasan X kota Bandung memiliki self-compassion yang berbeda-beda. Dengan self-compassion, odapus akan dapat memahami, menerima kesulitan/penderitaan yang dirasakan, melihat kesulitan/penderitaan secara obyektif dan dengan emosi yang seimbang, serta menyadari bahwa ada odapus lain juga yang merasakan hal yang sama. Self-compassion merupakan salah satu cara yang dapat membantu proses pengobatan karena dengan begitu pengobatan yang dilakukan dapat menjadi lebih optimal. Berdasarkan hasil survei awal yang telah dipaparkan, dapat dilihat bahwa ada beragam reaksi dari odapus. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai self-compassion odapus usia dewasa awal di yayasan X Bandung. 1.2 Identifikasi Masalah Dari penelitian ini ingin diketahui bagaimana derajat self-compassion odapus usia dewasa awal di yayasan X Bandung.

9 1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1 Maksud Penelitian Maksud dari penelitian ini adalah memperoleh data dan gambaran mengenai self-compassion yang terdapat pada odapus usia dewasa awal di yayasan X Bandung. 1.3.2 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui derajat self-compassion melalui gambaran mengenai komponen self-kindness, common humanity dan mindfulness yang terdapat pada odapus usia dewasa awal di yayasan X Bandung. 1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Teoritis - Memberi tambahan informasi bagi ilmu psikologi mengenai selfcompassion pada odapus, khususnya psikologi sosial. - Memberi informasi dan bahan referensi bagi peneliti lain yang berminat untuk melakukan penelitian mengenai self-compassion. 1.4.2 Kegunaan Praktis - Memberikan informasi bagi para odapus di yayasan X mengenai derajat self-compassion yang mereka miliki agar dapat mengetahui diri lebih baik lagi yang nantinya dapat digunakan untuk pengembangan diri.

10 - Memberikan informasi pada yayasan X mengenai gambaran selfcompassion odapus agar dapat menjadi informasi mengenai kemampuan diri odapus dalam menjaga kestabilan kesehatan odapus. 1.5 Kerangka Pikir Pada tahap perkembangan usia dewasa awal, individu mencapai posisi puncak dalam pertumbuhan dan perkembangan aspek-aspek fisiologis. Dengan taraf kesehatan yang prima, individu dapat memaksimalkan kemampuannya dalam beraktivitas. Santrock (2002) mengemukakan permulaan dari masa dewasa awal adalah kemandirian secara ekonomi dan kemandirian dalam membuat keputusan. Di tahapan ini, individu melaksanakan tugas-tugas perkembangan seperti mengambil keputusan secara mandiri, bertanggung jawab secara ekonomi, dan menjalin relasi yang lebih intim untuk membangun keluarga. Meskipun terdapat hambatan dan tantangan, individu akan berusaha memenuhi tugas-tugas perkembangannya secara energik dan produktif. Dalam kasus tertentu, tidak semua individu dapat melaksanakan tugastugas perkembangannya secara maksimal. Individu yang menderita penyakit lupus atau dikenal dengan istilah odapus, tidak dapat melaksanakan tugas-tugas perkembangannya secara maksimal karena keterbatasan kondisi fisik yang dimiliki. Odapus harus membatasi dirinya untuk tidak bekerja dan berpikir terlalu keras karena bila mengalami kelelahan atau stres, penyakit lupus yang dideritanya bisa kambuh. Dalam menjalin relasi dengan orang lain pun, odapus dapat memiliki perasaan takut menjadi beban bagi orang lain yang dekat dengannya

11 karena penyakit yang dimiliki. Selain itu, pengobatan lupus yang memiliki efek samping moon face dan menimbulkan kegemukan dapat menjadi faktor yang membuat odapus kurang percaya diri. Kondisi fisik dan keterbatasan yang dimiliki odapus secara tidak langsung dapat memengaruhi bagaimana odapus mengasihi dirinya saat mengalami penderitaan, kesulitan dan masalah. Hal ini disebut self-compassion, yaitu pemberian pemahaman dan kebaikan kepada diri sendiri ketika mengalami kegagalan ataupun membuat kesalahan, namun tidak menghakimi diri sendiri dengan keras dan mengkritik diri sendiri dengan berlebihan atas ketidaksempurnaan, kelemahan dan kegagalan yang dialami diri sendiri. Dengan kata lain, self-compassion berarti memperlakukan diri sendiri maupun orang lain dengan baik, serta menghibur diri sendiri saat menghadapi penderitaan, kegagalan dan ketidaksempurnaan (Neff, 2003). Self-compassion merupakan cara agar odapus dapat menerima kekurangan dan kesulitan yang dimiliki karena sakit lupus. Odapus juga dapat menghindari pikiran-pikiran negatif yang dapat menimbulkan stres dan memperburuk kondisi odapus. Dengan demikian, odapus tidak akan terus larut dalam penderitaan dan pikiran-pikiran negatif. Odapus dapat merasakan perasaan damai dan mengakui kekurangan tanpa terus menyalahkan diri. Odapus di yayasan X kota Bandung akan memiliki derajat selfcompassion yang berbeda-beda tergantung dari derajat setiap komponen selfcompassion. Neff (2011) menguraikan terdapat tiga komponen self-compassion yaitu, self-kindness, common humanity, dan mindfulness. Self-kindness adalah

12 pengakuan diri terhadap masalah dan ketidakmampuan yang ada pada diri sendiri sehingga kita merawat dan menolong diri kita sendiri dibandingkan marah di saat keadaan yang terjadi tidak sesuai harapan (Neff, 2011). Bila odapus di yayasan X kota Bandung memiliki derajat self-kindness yang tinggi mengalami penderitaan dan kesulitan karena penyakit lupus yang dideritanya, maka odapus akan dapat menerima ketidakmampuannya, bersimpati pada diri, dan tidak menghakimi diri dengan keras atas kekurangan yang dimilikinya. Odapus akan menolong dirinya dengan tetap menjalankan hidup sambil tetap menjaga kondisi fisik agar tidak kelelahan. Komponen kedua adalah common humanity. Common humanity adalah menyadari bahwa semua manusia tidak sempurna, bahwa semua orang mengalami kegagalan dan melakukan kesalahan. Odapus di yayasan X kota Bandung dengan derajat common humanity yang tinggi akan menyadari bahwa orang lain juga mengalami masalah dan adanya ketidaksempurnaan dalam menjalani hidup ini, sehingga mereka tidak merasa kehidupannya sebagai ketidakberuntungan dan lebih sulit dari orang lain. Odapus akan bersikap optimis dalam menjalani hidup meskipun menderita karena sadar bahwa kesulitan dan penderitaan adalah bagian dari pengalaman hidup manusia. Komponen yang terakhir, mindfulness adalah keadaan pikiran yang bersifat netral (non-judgemental) dan reseptif terhadap semua pikiran dan perasaan yang ada di dalam diri tanpa menekan atau menyangkal pikiran serta perasaan tersebut pada saat mengalami kesulitan. Odapus di yayasan X kota Bandung dengan derajat mindfulness tinggi akan dapat melihat masalah dan

13 penderitaan yang dialami secara obyektif dengan emosi yang seimbang. Dengan begitu, odapus tidak akan memikirkan hal-hal negatif dan tidak melebih-lebihkan penderitaan atau kesulitan yang dialami. Dengan mindfulness, odapus dapat melihat penderitaan dan kesulitan dengan perspektif yang lebih luas, dimana mereka melakukan introspeksi diri serta tidak terlarut hanya memikirkan kekurangannya. Ketiga komponen self-compassion memiliki keterkaitan yang dapat saling memengaruhi satu sama lain (Curry & Barnard, 2011). Komponen pertama yaitu self-kindness dapat meningkatkan common humanity dan mindfulness. Bila odapus di yayasan X kota Bandung mampu menerima penderitaan, kekurangan dan kesulitan yang dialami karena penyakit lupus, maka odapus tidak akan merasa malu dan menarik diri dari pergaulan. Dengan self-kindness, odapus akan sadar bahwa bukan hanya dirinya yang menderita dan kesulitan karena penyakit lupus, tapi odapus lain pun merasakan hal yang sama. Dengan begitu odapus dapat saling berbagi pengalaman mereka dan saling menguatkan (common humanity). Selain itu, odapus tidak akan terpaku pada kekurangan dan kesulitan yang dimilikinya karena menderita penyakit lupus. Dengan bersimpati pada diri odapus dapat menghindari pemikiran-pemikiran negatif tentang apa yang mungkin terjadi karena menderita lupus (mindfulness). Berikutnya komponen common humanity dapat meningkatkan kedua komponen lainnya. Bila odapus di yayasan X kota Bandung menyadari bahwa ada orang lain yang juga mengalami penderitaan dan kesulitan seperti dirinya, maka odapus tidak akan mengkritik dirinya dengan berlebihan melainkan berbaik

14 hati dan berusaha peduli pada dirinya (self-kindness) dan melihat penderitaan yang dialaminya dengan sudut pandang yang lebih obyektif sehingga tidak akan melebih-lebihkan penderitaan yang dialami (mindfulness). Komponen yang terakhir, mindfulness juga dapat meningkatkan self-kindness dan common humanity. Odapus di yayasan X kota Bandung yang melihat penderitaannya secara obyektif serta tidak melebih-lebihkan penderitaannya, akan dapat menghindari pemberian kritik diri dan bersimpati pada keadaan dirinya (selfkindness) dan menyadari bahwa odapus lainnya pun pernah mengalami penderitaan dan kesulitan karena menderita lupus (common humanity). Menurut Neff (2003), ketiga komponen self-compassion harus dikembangkan agar dapat memperoleh derajat self-compassion yang tinggi. Satu komponen berhubungan dan saling memengaruhi dengan komponen lainnya dalam membangun self-compassion odapus di yayasan X kota Bandung. Bila ketiga komponen yang dimiliki odapus di yayasan X kota Bandung tinggi, maka dapat dikatakan odapus memiliki self-compassion yang tinggi. Sebaliknya bila salah satu komponen rendah, maka dapat dikatakan odapus memiliki derajat selfcompassion yang rendah. Perolehan derajat yang berbeda pada self-compassion dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal merupakan faktor yang berasal dari dalam diri odapus di yayasan X kota Bandung meliputi personality dan jenis kelamin. Berdasarkan pengukuran yang dilakukan oleh NEO-FFI, ditemukan bahwa self-compassion memiliki kaitan dengan The big five personality. Menurut (Neff, Rude et al., 2007) individu yang memiliki self-compassion yang tinggi,

15 memiliki derajat neuroticism yang secara signifikan lebih rendah. Hal ini dianggap wajar karena perasaan self-judgment, isolation, yang bertentangan dengan self-compassion memiliki gambaran konsep yang sama dengan neuroticism. Odapus di yayasan X kota Bandung dengan neuroticism tinggi, akan cenderung mudah terkena stress. Penderitaan, kekurangan, dan kesulitan yang dialami akan dilihat sebagai hal yang membebani hidupnya sehingga mereka cenderung merasa khawatir dan sedih. Hal tersebut menyebabkan odapus di yayasan X kota Bandung memiliki derajat self-compassion yang rendah. Self-compassion juga berhubungan positif dengan agreeableness, extroversion, dan conscientiousness. Namun, menurut penelitian Neff & Rude et al (2007), self compassion tidak memiliki hubungan dengan openness to experience, karena trait ini mengukur karakteristik individu yang memiliki imajinasi yang aktif, kepekaan secara aesthetic (Neff, Rude et al., 2007). Odapus di yayasan X kota Bandung yang agreeableness, secara umum memiliki sifat sabar, percaya, penuh perhatian, bersikap baik pada diri, dan melihat pengalaman negatif sebagai pengalaman yang dialami semua orang yang merupakan bagian dari self-compassion. Karena itu, saat odapus mengalami penderitaan atau kesulitan, mereka akan menyadari bahwa hal tersebut juga dialami odapus lainnya dan adanya keterhubungan antara odapus satu dengan lainnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa odapus di yayasan X kota Bandung memiliki derajat selfcompassion yang tinggi. Odapus di yayasan X kota Bandung yang extroversion pada saat mengalami penderitaan dan kesulitan karena sakit lupus akan melihat apa yang

16 dialaminya dengan pikiran yang positif dan tetap bersikap baik pada diri. Hal tersebut menunjukkan bahwa odapus di yayasan X kota Bandung memiliki derajat self-compassion yang tinggi. Begitu pun dengan conscientiousness yang menggambarkan masyarakat yang ditentukan dan digerakkan dengan mudah oleh aturan dan tanggung jawab, seperti berpikir sebelum bertindak, menunda untuk bersenang-senang, mengikuti norma dan peraturan, memiliki rencana, terorganisasi dan memiliki prioritas kerja. Odapus di yayasan X kota Bandung dengan concscientiousness akan lebih memperhatikan kebutuhan mereka dan menanggapi situasi yang sulit dengan cara yang lebih bertanggung jawab. Mereka akan lebih berhati-hati dalam mengambil tindakan dalam mengatasai masalah karena dipikirkan secara matang sebab dan akibat dari segala kejadian. Odapus akan lebih memahami diri dan kesulitan yang dialami sehingga derajat selfcompassion yang dimiliki tinggi. Personality yang bervariasi pada odapus di yayasan X kota Bandung dapat memengaruhi derajat self-compassion yang mereka miliki. Faktor internal berikutnya yang memengaruhi self-compassion adalah jenis kelamin. Terdapat penelitian yang menyatakan bahwa perempuan lebih sering merenung daripada seorang laki-laki (Neff, 2011). Hal tersebut menjelaskan mengapa perempuan lebih banyak menderita depresi dan kecemasan dibandingkan laki-laki. Disebutkan pula perempuan kurang memiliki kontrol terhadap apa yang terjadi pada dirinya sehingga menjadi lebih waspada pada bahaya atau ancaman. Odapus di yayasan X kota Bandung yang berjenis kelamin perempuan cenderung memiliki derajat self-compassion rendah karena

17 mereka lebih sering mengkritik dan menghakimi diri sendiri serta tidak menanamkan rasa peduli untuk diri sendiri. Faktor selanjutnya adalah faktor eksternal yang terdiri dari the role of culture dan the role of parent. The role of culture turut memengaruhi bagaimana derajat self-compassion yang dimiliki oleh odapus di yayasan X kota Bandung. Budaya Asia mungkin terlihat collectivist, bergantung dengan orang lain dan memiliki derajat self-compassion yang lebih tinggi dibanding budaya Barat. Kenyataannya, masyarakat dengan budaya Asia lebih mengkritik diri dibandingkan dengan masyarakat budaya Barat (Kitayama & Markus, 2000; Kitayama, Markus, Matsumoto, & Norasakkunkit, 1997). Odapus di yayasan X kota bandung yang memiliki budaya collectivist lebih memiliki derajat selfcompassion yang tinggi karena mereka belajar memahami diri dan berperan aktif dalam kelompoknya saat mengalami penderitaan dan kesulitan karena penyakit lupus. Sedangkan odapus di yayasan X kota Bandung dengan budaya individualist memiliki self-compassion yang cenderung rendah karena mereka kurang aktif dalam kelompoknya. Saat mereka mengalami penderitaan dan kesulitan, dibandingkan berbagi dan bertukar pikiran dengan kelompoknya, mereka cenderung berpikir untuk memikirkan dan menyelesaikannya sendiri. Faktor eksternal berikutnya adalah the role of parent yang dialami oleh odapus di yayasan X kota Bandung yang terlihat dari attachment, maternal criticism, dan modeling of parent. Bowbly (dalam Neff, 2011) menyatakan early attachment akan memengaruhi internal working model dalam hubungan dengan orang lain. Bila odapus di yayasan X kota Bandung mendapatkan secure

18 attachment dari orangtuanya, maka mereka akan merasa dihargai, tumbuh menjadi orang dewasa yang sehat, bahagia dan percaya bahwa mereka dapat bergantung pada orang lain untuk mendapatkan kehangatan dan dukungan. Sebaliknya, odapus yang tumbuh dengan insecure attachment dari orangtuanya akan merasa tidak layak mendapatkan kasih sayang dan tidak bisa mempercayai orang lain. Maternal criticism juga memengaruhi derajat self-compassion yang dimiliki odapus di yayasan X kota Bandung. Strolow, Brandchaft, dan Atwood (1987) menyatakan bahwa hubungan saling mendukung dan kehangatan yang diberikan orangtua pada anak akan membuat anak memiliki self-compassion yang lebih tinggi. Sebaliknya bila orangtua sering memberi kritikan dan bersikap dingin, anak cenderung memiliki derajat self-compassion yang rendah. Odapus di yayasan X kota Bandung yang tumbuh dalam lingkungan keluarga penuh kehangatan dan dukungan dari orangtua akan memiliki derajat self-compassion yang lebih tinggi. Sedangkan odapus yang tumbuh dalam lingkungan keluarga yang bersikap dingin dan penuh dengan kritikan akan menginternalisasikan kritikan ke dalam pikirannya, sehingga saat odapus mengalami penderitaan dan kesulitan, mereka cenderung untuk mengkritik diri secara berlebih yang membuat derajat self-compassion yang dimiliki menjadi rendah. Yang terakhir, modeling of parent dapat memengaruhi juga selfcompassion individu, yaitu model orangtua yang sering mengkritik diri atau orangtua dengan self-compassion saat mereka menghadapi kegagalan atau kesulitan. Orangtua yang mengkritik diri akan menjadi model bagi anaknya untuk melakukan hal yang sama saat anak tersebut mengalami kegagalan atau kesulitan.

19 Odapus di yayasan X kota Bandung yang memiliki orangtua yang sering mengkritik diri akan meniru sikap orangtuanya sehingga self-compassion yang dimiliki cenderung rendah. Sebaliknya, orangtua dengan self-compassion pada saat mengalami kegagalan atau kesulitan akan menjadi model bagi odapus untuk melakukan hal serupa saat menghadapi penderitaan atau kesulitannya, sehingga self-compassion yang dimiliki odapus lebih tinggi. Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa perolehan derajat self-compassion pada odapus di yayasan X kota Bandung didapatkan dari ketiga komponen self-compassion, juga dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Secara singkat uraian di atas digambarkan melalui kerangka pikir sebagai berikut:

20 Odapus usia dewasa awal di yayasan X kota Bandung Faktor-faktor yang memengaruhi: Faktor Internal - Personality - Jenis Kelamin Faktor Eksternal - The role of culture - The role of parent a. attachment b.maternal criticism c. modeling parent Self-compassion Tinggi Rendah Komponen-komponen: Self-kindness Common humanity Mindfulness Bagan 1.1 Kerangka pikir

21 1.6 Asumsi Self-compassion odapus dibentuk oleh tiga komponen pembentuk yaitu self-kindness, common humanity dan mindfulness. Self-compassion odapus dipengaruhi oleh faktor internal seperti personality, jenis kelamin dan faktor eksternal seperti the role of parents (attachment, maternal criticism, dan modeling of parent) dan the role of culture. Lupus terjadi karena sistem kekebalan tubuh atau imun yang diproduksi secara berlebih tidak dapat membedakan mana jaringan tubuh dan mana organism asing, sehingga menyerang sel-sel tubuh dan jaringan yang mengakibatkan peradangan dan kerusakan jaringan.