I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Daging unggas adalah salah jenis produk peternakan yang cukup disukai oleh masyarakat. Harga yang relatif terjangkau membuat masyarakat atau konsumen lebih banyak memilih produk yang berasal dari ternak unggas dibandingkan ternak ruminansia. Bagi peternak, memelihara ternak unggas memiliki beberapa kelebihan, diantaranya adalah pemeliharaan yang singkat, pertumbuhan yang cepat dan dapat berkembang biak dengan cepat. Salah satu jenis daging unggas yang banyak diminati masyarakat adalah daging itik, hal ini ditandai dengan semakin meningkatnya permintaan daging itik dan berkembangnya restoran yang menyediakan menu daging itik. Salah satu kelebihan daging itik adalah dagingnya lebih gurih karena adanya timbunan lemak dibawah kulit, (Damayanti, 2006). Selama ini peternak memelihara itik sebagai penghasil telur, kebutuhan daging dipenuhi dari itik petelur afkir dan itik jantan. Terbukanya pasar itik menyebabkan pihak pemerintah maupun peternak sendiri mulai mengembangkan itik pedaging. Salah satu jenis yang dikembangkan adalah itik Peking Mojosari Putih (PMp) yang merupakan persilangan peking jantan dan betina Mojosari putih. Itik PMp ini merupakan itik tipe pedaging baru yang dikembangkan oleh Balitnak, Ciawi-Bogor, untuk memenuhi permintaan itik pedaging yang semakin meningkat. Keunggulan itik PMp diantaranya, yaitu dapat mencapai berat badan 2-2,5 kg pada umur 10 miggu, merupakan itik dwiguna, umur pertama bertelur 5,5-6 bulan. (Balitbang Pertanian, 2013).
2 Biaya tertinggi budidaya ternak, termasuk itik adalah untuk penyediaan pakan, hampir 70% - 80% dari biaya produksi. Bila dibandingkan dengan unggas lainnya, itik cukup potensial untuk dikembangkan mengingat pemeliharaannya yang lebih mudah, lebih tahan terhadap penyakit, serta kemampuannya dalam memanfaatkan pakan yang kualitasnya rendah, (Dedi, 2007). Salah satu alternatif untuk mengurangi biaya pakan adalah pemanfaatan limbah sisa restoran. Umumnya limbah restoran mengandung sumber energi dari sisa nasi maupun sumber karbohidrat lainnya serta protein dari sisa lauk pauk yang diharapkan dapat memenuhi asupan nutrisi yang dibutuhkan. Asupan nutrisi selama pemeliharaan mempengaruhi performa ternak baik itu bobot badan maupun kualitas karkas dan dagingnnya. Mengingat informasi mengenai pemberian sisa restoran pada ternak itik masih sangat terbatas, maka perlu dilakukannya penelitian lebih mendalam khususnya terhadap bobot potong, edible dan non edible itik Peking Mojosari putih (PMp) yang diberi pakan sisa rumah makan dan komersial. 1.2 Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, maka masalah yang dapat diidentifikasi adalah bagaimana bobot potong, edible dan non edible itik Peking Mojosari putih (PMp) yang diberi pakan sisa rumah makan dan komersial. 1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian Mengetahui bobot potong, edible dan non edible itik Peking Mojosari putih (PMp) yang diberi pakan sisa rumah makan dan komersial.
3 1.4 Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi semua pihak, khususnya yang bergerak di bidang peternakan itik, tentang bobot potong, edible dan non edible itik Peking Mojosari putih (PMp) yang diberi pakan sisa rumah makan dan pakan komersial. 1.5 Kerangka Pemikiran Kontribusi itik dalam penyediaan daging nasional masih rendah, yakni sebesar 0,94 %. Produksi daging itik mengalami peningkatan setiap tahunnya, sehingga diharapkan kontribusi daging unggas ini terhadap penyediaan protein hewani semakin meningkat. (Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan, Dirjen Peternakan, 2013). Produksi daging unggas lokal secara langsung dapat dilihat melalui bobot, persentase karkas dan banyaknya proporsi bagian karkas yang bernilai tinggi, (Damayanti, 2003). Menurut Srigandono (1997), kandungan gizi yang terdapat pada daging itik cukup tinggi, antara lain kandungan protein 21,4 %, lemak 8.2 %, abu 1.2 % dan nilai energi (per 100 gr kkal) 159 kkal/kg. Faktor genetik dan lingkungan mempengaruhi laju pertumbuhan dan komposisi tubuh. Faktor lingkungan dapat terbagi menjadi dua kategori yaitu faktor fisiologis dan nutrisi. Lingkungan sekitar, pemeliharaan dan manajemen perkandangan dapat mempengaruhi persentase karkas (Scott dan Dean, 1991). Umumnya di Indonesia, itik dipelihara secara terkurung dan gembala. Menurut Brake et al. (1993), persentase karkas berhubungan dengan jenis kelamin, umur dan bobot badan. Bobot karkas akan meningkat seiring dengan bertambahnya umur dan meningkatnya bobot badan itik yang dipengaruhi asupan nutrisi selama pemeliharaan.
4 Pakan merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan suatu usaha peternakan selain faktor genetik dan manajemen peternakan itu sendiri. Pemberian ransum yang tidak sesuai dengan kebutuhan ternak baik jumlah maupun mutunya akan menyebabkan penampilan produksi yang tidak sesuai dengan potensi genetiknya, (Atik, 2005). Ransum adalah makanan yang disediakan bagi ternak untuk memenuhi kebutuhannya selama 24 jam (Anggorodi, 1990). Menurut Tillman dkk. (1991) konsumsi ransum atau pakan diperhitungkan sebagai jumlah pakan yang dimakan oleh ternak. Zat makanan yang terkandung di dalamnya akan digunakan untuk mencukupi kebutuhan baik hidup pokok maupun keperluan produksi ternak.kebutuhan pakan dari tiap-tiap ternak berbeda-beda sesuai dengan jenis, umur, bobot badan, keadaan lingkungan dan kondisi fisiologis ternak. Pakan harus mengandung semua nutrient yang dibutuhkan oleh tubuh ternak, namun tetap dalam jumlah yang seimbang. Konsumsi pakan pada unggas dipengaruhi oleh banyak faktor yaitu jenis unggas, temperatur lingkungan, bobot badan, jenis kelamin, umur, tingkat produksi telur, ukuran telur, bulu penutup, aktivitas ternak, tipe kandang, palatabilitas pakan, kandungan energi pakan, kualitas nutrisi pakan, konsumsi air serta kandungan lemak tubuh dan tingkat cekaman (Wahju, 1997). Rasyaf (1993), menyatakan bahwa konsumsi pakan juga dipengaruhi oleh selera dan metode pemberian pakan yang digunakan. Kisaran energi ransum yang diperlukan itik untuk dapat tumbuh optimal yaitu sebesar 2.500-3.000 kkal per kg ransum (Bintang dkk., 1997). Konsumsi pakan itik yang berbeda akibat kandungan energi dan protein ransum yang berbeda ditunjukkan pada penelitian Iskandar et al.(2001) Itik yang
5 diberikan ransum dengan energi 2.750 kkal per kg dan kandungan protein kasar 18% mengkonsumsi ransum rata-rata sebanyak 96,61 gram per hari, sedangkan itik yang diberi ransum dengan energi 3.000 kkal per kg dan kandungan protein kasar 20% mengkonsumsi ransum yang lebih sedikit, yaitu rata-rata sebanyak 85,84 gram per hari. Hal tersebut terjadi akibat adanya upaya dalam memenuhi kebutuhan energi pada itik, sehingga itik yang diberikan ransum dengan tingkat energi rendah akan berusaha memenuhi kebutuhan energinya dengan cara mengkonsumsi ransum lebih banyak. Kebutuhan nutrisi untuk itik pedaging pada umur starter terdiri atas PK 22%, EM 2900 Kkal/kg, sedangkan untuk fase grower sampai finisher mencakup PK 16% dan EM 3000 Kkal/kg (Lesson and Summers, 2001). Persentase karkas pada unggas merupakan bagian tubuh yang tersisa setelah dilakukan penyembelihan, pembuluan dan pembuangan jeroan, selanjutnya dilakukan pemotongan kaki, kepala, dan leher (Saifudin, 2000). Perbandingan bobot karkas terhadap bobot hidup atau dinyatakan sebagai persentase karkas sering digunakan sebagai ukuran produksi. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi persentase karkas seekor ternak terdiri atas bangsa, kondisi fisik, bobot badan dan makanan. Persentase karkas yang bervariasi akibat perbedaan bobot potong telah dilaporkan oleh Zulkarnain (1992) yang menunjukkan bahwa hubungan antara bobot karkas dan bobot potong memiliki koefisien pertumbuhan karkas relatif terhadap bobot potong yang lebih besar daripada satu. Hal ini berarti bahwa bobot karkas yang diperoleh dari seekor itik akan meningkat seiring dengan meningkatnya bobot potong. Selain itu penelitian tersebut juga mendapatkan rataan persentase karkas itik mandalung jantan dan
6 betina yang tidak berbeda, sehingga disimpulkan bahwa jenis kelamin tidak mempengaruhi persentase karkas. Faktor lain yang berpengaruh pada bobot karkas adalah tingkat konsumsi unggas itu sendiri. Semakin tinggi tingkat konsumsi maka akan semakin baik pula bobot karkas yang dihasilkan. Bobot karkas juga dipengaruhi oleh genetik, jenis kelamin, dan umur. Pemberian ransum yang berenergi tinggi dengan imbangan yang baik antara protein, vitamin, dan mineral akan menghasilkan bobot karkas yang tinggi. Produksi karkas sangat erat kaitannya dengan bobot badan, di mana pertambahan bobot badan dipengaruhi oleh bahan pakan penyusun ransum (Yunilas dkk., 2006). Pada pemeliharaan itik sistem terkurung faktor fisiologis dan nutrisi sangat diperhatikan oleh peternak agar selalu kebutuhan itik disediakan oleh peternak. dalam kondisi baik karena semua Bila ketiga hal tersebut dalam kondisi baik, maka pembentukan komponen karkas tidak akan terganggu. Sedangkan pada sistem pemeliharaan gembala, itik yang digembalakan di luar secara berpindah-pindah dengan mengikuti panenan padi, pakannya bisa berkurang pada saat lahan bekas sawah semakin sempit. Pada lokasi pertanian, itik diberikan pakan berupa limbah pertanian yang banyak mengandung serat kasar sedangkan lokasi perikanan itik diberikan pakan berupa limbah perikanan yang melimpah yang banyak mengandung protein. Perbedaan sistem pemeliharaan dan lokasi ternyata berpengaruh terhadap produktivitas itik (Fiqry dkk, 2013 ). 1.6 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini telah dilaksanakan selama 3 (tiga) minggu, dimulai dari bulan Desember 2014 sampai dengan bulan Januari 2015. Lokasi penelitian di Kandang Percobaan Kebun Muncang, Jl. Kiara Payung, Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat.