II. TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan,

TINJAUAN PUSTAKA Lanskap Jalan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB VII PENGHIJAUAN JALAN

PENGAWASAN PEKERJAAN PENATAAN LANSKAP JALAN TOL (Studi Kasus Jalan Tol Cawang-Tomang-Cengkareng) Oleh : ANGGA ARDIYANSYAH A

II. TINJAUAN PUSTAKA

PEDOMAN. Perencanaan Median Jalan DEPARTEMEN PERMUKIMAN DAN PRASARANA WILAYAH. Konstruksi dan Bangunan. Pd. T B

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. permukaan tanah dan atau air (Peraturan Pemeritah Nomor 34 Tahun 2006).

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2006 TENTANG JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2006 TENTANG JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PETUNJUK TERTIB PEMANFAATAN JALAN NO. 004/T/BNKT/1990

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2006 TENTANG JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2006 TENTANG JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BUPATI CILACAP PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI CILACAP,

Outline. Klasifikasi jalan Dasar-dasar perencanaan geometrik Alinemen horisontal Alinemen vertikal Geometri simpang

UU NO. 38 TAHU UN 2004 & PP No. 34 TA AHUN 2006 TENTANG JALAN DIREKTORAT BINA TEKNIK DIREKTORAT JENDERAL BINA MARGA DEPARTEMEN PEKERJAAN UMUM

PEDOMAN. Perencanaan Separator Jalan. Konstruksi dan Bangunan DEPARTEMEN PERMUKIMAN DAN PRASARANA WILAYAH. Pd. T B

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lanskap Jalan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Persyaratan umum sistem jaringan dan geometrik jalan perumahan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Persyaratan Teknis jalan

Perencanaan Geometrik & Perkerasan Jalan PENDAHULUAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PEMERINTAH KABUPATEN KEDIRI

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1990 TENTANG JALAN TOL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

D3 TEKNIS SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG BAB I PENDAHULUAN

BAB III LANDASAN TEORI

PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARAWANG NOMOR 17 TAHUN 2016 TENTANG JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KARAWANG,

Pd T Perambuan sementara untuk pekerjaan jalan

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN DARAT NOMOR : SK.603/AJ 401/DRJD/2007 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1990

TINJAUAN PUSTAKA. Lanskap. Lanskap Jalan

LEMBARAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 5 TAHUN 2012

BAB 3 PARAMETER PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 PENAMPANG MELINTANG JALAN

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN DARAT NOMOR : SK 113/HK.207/DRJD/2010 TENTANG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BUPATI PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG MANAJEMEN DAN REKAYASA LALU LINTAS

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

II. TINJAUAN PUSTAKA. alami maupun buatan manusia, yang merupakan total dari bagian hidup manusia

BAB I PENDAHULUAN 1.1 TINJAUAN UMUM

Tugas Akhir D4 TPJJ 2013 BAB I PENDAHULUAN

BAB V MEDIAN JALAN. 5.2 Fungsi median jalan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Contoh penyeberangan sebidang :Zebra cross dan Pelican crossing. b. Penyeberangan tidak sebidang (segregated crossing)

MODUL 3 : PERENCANAAN JARINGAN JALAN DAN PERENCANAAN TEKNIS TERKAIT PENGADAAN TANAH

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR: KM 14 TAHUN 2006 TENTANG MANAJEMEN DAN REKAYASA LALU LINTAS DI JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Penampang Melintang Jalan Tipikal. dilengkapi Trotoar

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR: KM 14 TAHUN 2006 TENTANG MANAJEMEN DAN REKAYASA LALU LINTAS DI JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

EVALUASI U-TURN RUAS JALAN ARTERI SUPADIO KABUPATEN KUBU RAYA

BUPATI TRENGGALEK PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN TRENGGALEK NOMOR 28 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN JALAN

ANALISIS KINERJA JALAN KOMYOS SUDARSO PONTIANAK

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.2. Pe rancangan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. terbaru (2008), Evaluasi adalah penilaian. pelayanan adalah kemampuan ruas jalan dan/atau persimpangan untuk

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 1985 TENTA NG JALAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 1980 TENTANG JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN DARAT NOMOR : SK.984/AJ. 401/DRJD/2005 TENTANG

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN DARAT NOMOR : HK.205/1/1/DRJD/2006 TENTANG

BUPATI BANGKA PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG

BUPATI BANGKA TENGAH

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN DARAT NOMOR : SK.276/AJ-401/DRJD/10 TENTANG

Bab I Pendahuluan I-1 BAB I PENDAHULUAN I.1 TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM 61 TAHUN 1993 TENTANG RAMBU-RAMBU LALU LINTAS DI JALAN MENTERI PERHUBUNGAN,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 TINJAUAN UMUM

BUPATI KOTABARU PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN PEMANFAATAN DAN PENGGUNAAN BAGIAN-BAGIAN JALAN

TATA CARA PERENCANAAN PEMISAH NO. 014/T/BNKT/1990

ANALISIS DAN PEMECAHAN MASALAH

BAB 2 TINJAUAN TEORI

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG PEMBANGUNAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURBALINGGA,

ANALISIS KAPASITAS JALAN TERHADAP KEMACETAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TANGERANG,

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERDANG BEDAGAI NOMOR 23 TAHUN 2008

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM 65 TAHUN 1993 T E N T A N G FASILITAS PENDUKUNG KEGIATAN LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN MENTERI PERHUBUNGAN,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 TINJAUAN UMUM

PEMERINTAH KABUPATEN TULUNGAGUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN TULUNGAGUNG NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG PEMANFAATAN BAGIAN JALAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. berupa jalan aspal hotmix dengan panjang 1490 m. Dengan pangkal ruas

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:

TINJAUAN PUSTAKA Karakter Lanskap Kota

PERENCANAAN WILAYAH KOMERSIAL STUDI KASUS RUAS JALAN MARGONDA DEPOK

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. karakteristik masing-masing kendaraan dengan disain dan lokasi parkir. (Direktorat Jendral Perhubungan Darat, 1998).

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Ruang Terbuka Hijau Perkotaan. Ruang terbuka hijau (RTH) kota adalah bagian dari ruang -ruang terbuka

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL

D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG BAB V PENUTUP

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Jalan. Jalan secara umum adalah suatu lintasan yang menghubungkan lalu lintas

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 1980 TENTANG JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

III. METODOLOGI. Gambar 1 Peta lokasi penelitian

BUPATI JEPARA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 5 TAHUN 2017 TENTANG PEMANFAATAN BAGIAN JALAN DAERAH

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM 62 TAHUN 1993 T E N T A N G ALAT PEMBERI ISYARAT LALU LINTAS MENTERI PERHUBUNGAN,

POTONGAN MELINTANG (CROSS SECTION) Parit tepi (side ditch), atau saluran Jalur lalu-lintas (travel way); drainase jalan; Pemisah luar (separator);

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Jaringan jalan sebagai bagian dari sektor transportasi memiliki peran untuk

Transkripsi:

4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Jalan Jalan adalah suatu prasarana perhubungan darat dalam bentuk apapun, yang meliputi semua bagian jalan termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi kepentingan lalu-lintas serta merupakan satu kesatuan sistem jaringan yang mengikat dan menghubungkan pusat-pusat pertumbuhan dengan wilayah yang berada dalam pengaruh pelayanannya dalam satu hirarki (Direktorat Jenderal Bina Marga, 1996). 2.2. Klasifikasi Jalan di Indonesia Sesuai Undang-undang tentang jalan, No.13 tahun 1980 dan Peraturan Pemerintah (PP) No.26 tahun 1985, sistem jaringan jalan di Indonesia dibedakan atas dua kategori utama, yaitu : 1) Jalan primer, yaitu jaringan jalan pada tingkat nasional yang menghubungkan satu kota dengan kota lainnya; dan 2) Jalan sekunder, yaitu jaringan jalan yang berada di dalam kota Sedangkan secara hirarkis, jalan masih terbagi lagi dalam tiga kelompok berdasarkan peranannya sebagai prasarana transportasi: 1) Jalan arteri, diperuntukkan bagi perjalanan jarak jauh dengan kecepatan tinggi. Adapun jalan yang diklasifikasikan sebagai jalan arteri adalah jalan propinsi, jalan tol dan atau jalan bebas hambatan 2) Jalan kolektor, disediakan bagi lalu lintas jarak menengah dengan kecepatan kendaraan sedang, jalan yang termasuk dalam kategori ini adalah jalan kabupaten 3) Jalan lokal, merupakan jalan yang berfungsi untuk melayani angkutan setempat dengan ciri-ciri jarak dekat dengan kecepatan kendaraaan rendah Jalan sebagai bagian dari lanskap jalan, terdiri atas sejumlah komponen jalan yang saling berhubungan satu sama lain, Peraturan No. 13 Tahun 1980 yang dikeluarkan oleh Direktur Jenderal Bina Marga mendefinisikan komponen tersebut kedalam beberapa bagian, yaitu: 1) Daerah Manfaat Jalan (damaja) adalah ruas sepanjang jalan yang dibatasi oleh lebar, tinggi dan kedalaman ruang bebas tertentu yang ditetapkan oleh pembina jalan dan dimanfaatkan untuk konstruksi jalan.

5 Terdiri dari badan jalan, saluran tepi jalan dan ambang pengamannya. Badan jalan meliputi jalur lalu lintas dengan atau tanpa jalur pemisah dan bahu jalan. Ambang pengaman jalan terletak di bagian paling luar dari Damaja dan ditujukan untuk mengamankan bangunan jalan. 2) Daerah Milik Jalan (damija) adalah ruas sepanjang jalan yang dibatasi oleh lebar dan tinggi tertentu, dikuasai oleh pembina jalan. Damija dimanfaatkan untuk Damaja, pelebaran jalan maupun menambahkan jalur lalu lintas di kemudian hari serta kebutuhan ruang untuk pengamanan jalan. 3) Daerah Pengawasan Jalan (dawasja) adalah ruas di sepanjang jalan di luar Damija yang penggunaannya diawasi oleh pembina jalan dengan tujuan agar tidak menganggu pengemudi dan konstruksi bangunan jalan. 2.3. Jalan tol Berdasarkan Undang-undang No. 38 tahun 2004 Pasal 44 tentang jalan, jalan tol adalah jalan umum yang merupakan bagian dari sistem jaringan jalan dan sebagai jalan nasional yang penggunanya diwajibkan membayar tol. Jalan tol sebagai bagian dari sistem jaringan jalan umum merupakan lintas alternatif. Namun, dalam keadaan tertentu jalan tol dapat tidak merupakan lintas alternatif. Sebagai jalur lintas alternatif, jalan tol ditujukan untuk mengatasi kemacetan lalu lintas ataupun untuk mempersingkat jarak dari satu tempat ke tempat lain dimana para pengguna jalan harus membayar sesuai dengan tarif yang berlaku yang didasarkan pada golongan kendaraan. Di Indonesia, jalan tol sering dianggap sebagai sinonim untuk jalan bebas hambatan, meskipun hal ini sebenarnya kurang tepat. Di dunia secara keseluruhan, tidak semua jalan bebas hambatan memerlukan bayaran. Jalan bebas hambatan seperti ini dinamakan freeway atau expressway (free berarti gratis, dibedakan dari jalan-jalan bebas hambatan yang memerlukan bayaran yang dinamakan tollroad atau tollway - kata toll berarti biaya) (Anonim, 2008). Untuk memenuhi standar sebagai sebuah jalur lintas alternatif (Anonim, 2008) mengemukakan bahwa terdapat sejumlah syarat yang harus dipenuhi oleh sebuah jalan tol yang membedakannya dengan jalan sejenis, perbedaan tersebut mencakup : 1) Jalan tol harus merupakan jalan alternatif dari jalan umum yang ada, sehingga tidak ada pemaksaan pemakai jalan menggunakan jalan tol.

6 2) Tidak memiliki simpangan sebidang dengan jalan lainnya sehingga kelancaran lalu lintas di jalan tol dapat terjamin. 3) Jalur untuk masuk dan keluar terkendali, artinya setiap jalan masuk dan keluar harus mempunyai lajur penyesuaian kecepatan (taper) yang memadai sehingga lalu lintas yang masuk atau keluar jalan tol. 4) Mempunyai spesifikasi teknis tinggi, dan dirancang untuk kecepatan tinggi. 5) Biaya operasi kendaraan melalui jalan tol ditambah pembayaran tol harus masih lebih rendah dari pada biaya operasi kendaraan melalui lintas alternatif jalan umum yang ada. Biaya operasi kendaraan meliputi antara lain bahan bakar, pelumas, keausan dan nilai waktu. Sedangkan berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 392/ PRT/ M/ 2005 tentang standar pelayanan jalan tol, perbedaan tersebut dinyatakan dalam sebuah standar pelayanan jalan tol yang dapat dilihat pada Lampiran 25. 2.4. Lanskap Jalan Lanskap adalah wajah atau karakter lahan atau tapak bagian dari muka bumi dengan segala sifatnya dan kehidupan yang ada didalamnya baik yang bersifat alami maupun buatan manusia beserta makhluk hidup lainnya, sejauh mata memandang, sejauh indera dapat menangkap dan sejauh imajinasi dapat menjangkau serta membayangkan (Simonds, 1983). Lanskap jalan merupakan wajah dari karakter lahan atau tapak pada lingkungan jalan, baik yang terbentuk dari elemen lanskap alami seperti bentuk topografi lahan yang mempunyai panorama yang indah, maupun yang terbentuk dari elemen lanskap buatan manusia yang disesuaikan dengan kondisi lahannya (Direktorat Jenderal Bina Marga, 1996) dan merupakan bentukan permanen yang dapat mengubah karakter sebuah lanskap (Simonds, 1983). Lanskap jalan mempunyai ciri-ciri khas karena harus disesuaikan dengan persyaratan geometrik jalan dan diperuntukkan terutama bagi pemakai jalan serta diusahakan untuk meciptakan lingkungan yang indah, nyaman dan memenuhi fungsi keamanan (Direktorat Jenderal Bina Marga, 1996) dengan fungsi untuk mendukung aktifitas penggunaan terus-menerus, membimbing, mengatur irama pergerakan, mengatur waktu istirahat, mendefinisikan penggunaan lahan, memberikan pengaruh, mempersatukan, membentuk

7 lingkungan, membangun karakter lingkungan, membangun karakter spasial dan membangun visual (Booth, 1983). Jalur tanaman adalah jalur penempatan tanaman serta elemen lanskap lainnya yang terletak di dalam Daerah Milik Jalan (Damija) maupun di dalam Daerah Pengawasan Jalan (Dawasja). Sering disebut sebagai jalur hijau karena didominasi elemen lanskapnya adalah tanaman yang pada umumnya berwarna hijau (Dirjen Bina Marga, 1996). Menurut Dirjen Bina Marga (1996), terdapat beberapa ketentuan teknis yang harus diperhatikan dalam merencanakan dan merancang jalur hijau jalan, yaitu: 1) Pada jalur tanaman tepi. Jalur tanaman sebaiknya diletakkan pada tepi jalur lalu lintas, yaitu antara jalur lalu lintas kendaraan dan trotoar. Penentuan jenis tanaman yang akan ditanam pada jalur ini harus memenuhi kriteria teknik peletakan tanaman dan disesuaikan dengan lebar jalur tanaman. 2) Pada median jalan. Lebar jalur median yang dapat ditanami minimal 0.8 meter, sedangkan lebar yang ideal adalah 4-6 meter. Pemilihan jenis tanaman harus memperhatikan tempat peletakannya terutama pada daerah persimpangan pada daerah bukaan (u-turn), pada tempat diantara persimpangan dan daerah bukaan dan untuk bentuk median yang ditinggikan atau diturunkan. 3) Pada tikungan. Pemilihan tanaman sebaiknya mempertimbangkan jarak pandang henti, panjang tikungan dan ruang bebas samping di tikungan. Tanaman rendah (perdu atau semak) yang berdaun padat dan berwarna terang dengan ketinggian maksimal 0.8 meter sangat disarankan untuk ditempatkan pada ujung tikungan. 4) Pada daerah persimpangan. Persyaratan geometrik yang harus dipenuhi adalah bebas pandangan harus terbuka agar tidak mengurangi jarak panfang pengemudi. Pilihan jenis tnaman dan peletakannya harus memperhatikan bentuk persimpangan baik persimpangan sebidang atau tidak sebidang. Tujuan dari penanaman jalur tepi jalan adalah untuk memisahkan pejalan kaki dari jalan raya dengan alasan keselamatan dan kenyamanan, memberikan ruang bagi utilitas dan perlengkapan jalan baik yang terletak di atas maupun di bawah

8 permukaan tanah serta untuk penanaman pohon tepi jalan (Lynch 1971) serta berfungsi juga sebagai alat perbaikan lanskap dan memberi kesempatan pengalaman visual bagi pengemudi kendaraan atau pemakai jalan, di samping memenuhi kebutuhan lalu lintas (Erawati, 2006). Permasalahan utama lanskap jalan adalah pencemaran (polusi) udara yang berasal dari emisi kendaraan bermotor yang memiliki dampak negatif terhadap kesehatan organisme hidup terutama manusia dan hewan, menyebabkan kerusakan properti dan menurunkan tingkat keamanan dan kenyamanan berkendara (de Nevers, 2000) sehingga diperlukan suatu solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut. Frick dan Mulyani (2006) mengatakan bahwa solusi dalam mengatasi permasalahan pencemaran udara dapat dilakukan melalui penanaman di sekitar lanskap jalan. Ismayadi dan Subiandono (2008) mengatakan bahwa terdapat sejumlah pertimbangan khusus yang harus diperhatikan dalam melakukan penanaman yang ditujukan terhadap perbaikan lingkungan. Eckbo (1955) memberikan klasifikasi hotikultura dan klasifikasi fisik dalam pemilihan tanaman yang dapat digunakan pada lanskap jalan. Klasifikasi hortikultura meliputi syarat tumbuh dan toleransi terhadap suhu, air, cahaya, tanah, angin, hama, penyakit dan pemangkasan. Sedangkan klasifikasi fisik meliputi tujuan desain, ukuran dewasa tanaman, kecepatan tumbuh, sifat umur, bentuk, tekstur, warna, aroma dan sifat budidayanya. Sedangkan Nurisjah dan Pramukanto (1995) mengatakan bahwa tanaman yang akan ditanam disekitar jalur jalan atau di daerah perkotaan harus dipilih dan memiliki toleransi terhadap lingkungan sekitar yang kurang bersahabat agar bisa bertahan hidup. 2.5. Proyek Kata proyek berasal dari bahasa latin projectum yang dalam kata kerjanya berubah menjadi proceire yang berarti melemparkan sesuatu ke depan dan berasal dari dua suku kata, yaitu pro- (πρό) yang berarti sesuatu yang mendahului dan -iacere yang berarti melemparkan. Kata proyek itu sendiri berarti sebagai sesuatu yang ada atau muncul sebelum ada hal lain yang terjadi (Anonim, 2008). Proyek merupakan suatu fungsi yang terdiri dari beberapa bagian yang masing-masing bagian bertanggung jawab dan mengacu kepada dasar kesepakatan yang telah disetujui dan ditentukan baik sebelum maupun pada

9 masa pelaksanaan pekerjaan (Burges dan White, 1984). Sedangkan Westland (2006) mendefinisikan proyek sebagai sebuah upaya unik untuk menghasilkan serangkaian produk dan atau jasa dalam lingkup waktu, biaya dan kualitas yang terdefinisi dengan jelas yang memenuhi standar ketentuan pemberi kerja, dan berbeda dengan operasional bisnis yang serupa dikarenakan : 1) Bersifat unik Proyek tidak melibatkan adanya pengulangan terhadap proses pekerjaan. Setiap pelaksanaan proyek yang dilaksanakan berbeda dengan kegiatan sebelumnya. Pengulangan terjadi hanya pada proses pelaksanaan aktifitas identik dan bukan pada produk yang dihasilkan 2) Memiliki jangka waktu pelaksanaan yang jelas Sebuah proyek memiliki jangka waktu yang ditentukan dari awal hingga akhir waktu pelaksanaan untuk memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan oleh pemilik proyek 3) Terdapat anggaran pekerjaan baku Alokasi anggaran pelaksanaan proyek direncanakan sedemikian rupa sehingga dalam pelaksanaannya sesuai dengan keinginan pemilik proyek 4) Keterbatasan penggunaan sumberdaya tersedia Jumlah tenaga kerja, alat dan bahan yang dapat digunakan terbatas pada kesepakatan masing-masing pihak yang terlibat dalam pekerjaan 5) Melibatkan resiko Pelaksanaan proyek selalu disertai dengan adanya ketidakpastian yang terhadap hal tidak terduga 6) Tercapainya perubahan yang menguntungkan Umumnya tujuan dari pelaksanaan proyek adalah untuk meningkatkan kemampuan organisasi melalui penanganan perubahan-perubahan yang terjadi dalam proses pelaksanaan kerja Sebuah proyek pada umumnya memiliki sebuah siklus yang mencakup 4 (empat) tahap, yaitu : 1) inisiasi proyek, 2) perencanaan proyek, 3) pelaksanaan dan 4) pengakhiran atau penutupan proyek (Westland, 2006) sebagaimana yang tampak pada Gambar 1. Senada dengan hal tersebut, Newell (2002) mengatakan bahwa setiap proyek, tidak terkait dengan ukuran maupun jenis proyek yang dijalankan, akan memiliki siklus dengan awal dan akhir pekerjaan yang terdefinisi dengan jelas.

10 review pelaksanaan pendefinisian proyek kontrol dan pengawasan perencanaan mendetil Gambar 1. Siklus pelaksanaan proyek Newel (2002) menambahkan bahwa kegiatan pengawasan merupakan salah satu bagian dari siklus proyek yang berada diantara pelaksanaan dan penutupan proyek. Kegiatan pengawasan ditujukan untuk mengendalikan pelaksanaan sebuah proyek agar sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan. Untuk mencapai hal tersebut diperlukan adanya sebuah perencanaan yang baik oleh menejer proyek dalam sebuah kegiatan manajemen proyek (Lewis, 2007). 2.6. Manajemen Proyek Lewis (2007) mendefinisikan manajemen proyek sebagai aplikasi dari ilmu pengetahuan, alat dan tehnik dalam menjalankan aktivitas proyek untuk mencapai sasaran yang telah ditetapkan. Westland (2006) mendefinisikan manajemen proyek sebagai keahlian, proses dan alat yang dibutuhkan dalam melaksanakan sebuah proyek dengan baik. Sedangkan Idad (2003) mendiefinisikan kegiatan tersebut sebagai proses pengkoordinasian keahlian dan tenaga kerja melalui metode atau alat dalam menghasilkan produk yang diinginkan.

11 Westland (2006) mengatakan bahwa hal yang dibutuhkan dalam melaksanakan manajemen proyek mencakup : 1) Keahlian khusus. Pengetahuan, keahlian khusus dan pengalaman dibutuhkan dalam mengurangi resiko dan meningkatkan keberhasilan pelaksanaan kerja 2) Peralatan manajemen. Peralatan manajemen proyek yang digunakan mencakup form dan dokumen kerja, piranti lunak (software) perencanaan serta checklist pemeriksaan 3) Rangkaian proses kerja yang berbeda. Diperlukan adanya pemahaman terhadap manajemen tehnik dan proses kerja yang diperlukan dalam melakukan pengawasan dan pengendalian terhadap waktu, biaya, kualitas dan cakupan pekerjaan. Rangkaian manajemen proyek yang diperlukan mencakup manajemen waktu, biaya, kualitas, perubahan, resiko dan menajeman permasalahan. 2.6. Pelayanan Jasa Konsultasi Jasa konsultasi digolongkan sebagai salah satu bentuk pelayanan jasa murni dikarenakan tidak terdapat produk tangible yang dihasilkan dalam pelayananannya (Stoner dan Freeman, 1994). Jasa konsultasi pengawasan pekerjaan proyek berkaitan dengan kegiatan pengawasan dan pengendalian proses, alat dan bahan yang digunakan dalam menjalankan sebuah proyek. Pengawasan (monitoring) pekerjaan berkaitan dengan tata cara pemeriksaan kualitas yang dilakukan secara kuantitatif (Stoner dan Freeman, 1994). Pengawasan terhadap kualitas suatu pekerjaan hanya dapat berjalan dengan efektif, apabila spesifikasi standar telah ditentukan dan dipahami dengan baik, terdapat pendelegasian tanggung jawab pada setiap tingkatan, adanya perencanaan yang didikung oleh sumber daya yang memadai serta dilakukan secara berkelanjutan (Westland, 2006). Berkaitan kegiatan jasa konsultasi pengawasan, Burgess dan White (1984) mengemukakan masa (waktu) pendendalian pekerjaan pada tiga kategori waktu kerja, yaitu : 1) Masa pra-konstruksi, yang mencakup rancangan, rencana kerja, pengaplikasian teknologi yang digunakan, ketepatan pemilihan alat dan bahan

12 2) Masa konstruksi, yang mencakup metode pemindahan dan penggunaan alat dan bahan kerja, keahlian dan ketersediaan sumberdaya manusia serta ketepatan spesifikasi yang ditetapkan; dan 3) Masa pasca-konstruksi, yang mencakup perlindungan pasca-konstruksi serta teknik perlindungannya