II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Dasar Hukum Penyampingan Perkara(Seponering) 1. Pengertian Penyampingan Perkara (Seponering)

dokumen-dokumen yang mirip
Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan

I. PENDAHULUAN. diabaikan karena jika diabaikan akan menyebabkan tidak tercapainya

ALASAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM PEMBERHENTIAN SUATU PERKARA 1 Oleh: Intansangiang Permatasari Malagani 2

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum.

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil.

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yang

BAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa.

JAKSA AGUNG DAN PENGESAMPINGAN PERKARA DEMI KEPENTINGAN UMUM Oleh: Yeni Handayani * Naskah diterima: 8 Agustus 2016; disetujui: 13 Oktober 2016

II. TINJAUAN PUSTAKA. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana

Berlin Nainggolan: Hapusnya Hak Penuntutan Dalam Hukum Pidana, 2002 USU Repository

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. semua warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan. peradilan pidana di Indonesia. Sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

BAB I PENDAHULUAN. dalam tahap pemeriksaan penyidikan dan atau penuntutan. 1

SURAT TUNTUTAN (REQUISITOIR) DALAM PROSES PERKARA PIDANA

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga

BAB I PENDAHULUAN. Masing-masing negara mempunyai sistem peradilan pidana yang khas karena

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada Periode Sebelum dan Sesudah Berlaku Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, (Tesis Fakultas Hukum Indonesia:1999) hal.3.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

9/13/2012 8:29 AM Ngurah Suwarnatha 1

I. PENDAHULUAN. Hukum acara pidana merupakan perangkat hukum pidana yang mengatur tata cara

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

HAPUSNYA HAK PENUNTUNAN DALAM HUKUM PIDANA. BERLIN NAINGGOLAN, SH Fakultas Hukum Jurusan Pidana Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. pidana, oleh karena itu, hukum acara pidana merupakan suatu rangkaian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hukum berkembang mengikuti perubahan zaman dan kebutuhan

BAB III FILOSOFI ASAS NE BIS IN IDEM DAN PENERAPANNYA DI PERADILAN PIDANA DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang untuk

BAB III DASAR HUKUM PEMBERHENTIAN TIDAK TERHORMAT ANGGOTA KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA MENURUT PERPRES NO 18 TAHUN 2011

NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam konstitusi Indonesia, yaitu Pasal 28 D Ayat (1)

I. PENDAHULUAN. didasarkan atas surat putusan hakim, atau kutipan putusan hakim, atau surat

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara hukum, hal ini tercantum dalam Pasal 1 ayat (3)

BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak

I. PENDAHULUAN. mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna

BAB I PENDAHULUAN. perundang-undangan yang berlaku. Salah satu upaya untuk menjamin. dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP ).

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. karena kehidupan manusia akan seimbang dan selaras dengan diterapkannya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam Penjelasan Undang Undang Dasar 1945, telah dijelaskan

PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG - UNDANG TENTANG PERAMPASAN ASET * Oleh : Dr. Ramelan, SH.MH

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil,

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan yang pengaruhnya sangat luas. Perubahan-perubahan yang

BAB I PENDAHULUAN. dapat lagi diserahkan kepada peraturan kekuatan-kekuatan bebas dalam

Lex Crimen Vol. V/No. 4/Apr-Jun/2016. EKSEPSI DALAM KUHAP DAN PRAKTEK PERADILAN 1 Oleh : Sorongan Terry Tommy 2

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH

I. PENDAHULUAN. disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk menentukan

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA

RINGKASAN SKRIPSI/ NASKAH PUBLIKASI TANGGUNG JAWAB KEJAKSAAN DALAM PRA PENUNTUTAN UNTUK MENYEMPURNAKAN BERKAS PERKARA PENYIDIKAN

BAB I PENDAHULUAN. Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi

BAB I PENDAHULUAN. berlakunya Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana

BAB I PENDAHULUAN. dipersidangan, dan hakim sebagai aparatur penegak hukum hanya akan

II. TINJAUAN PUSTAKA. hukum tetap ini merupakan upaya hukum luar biasa, dalam memperoleh kekuatan

BAB II PENAHANAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TERHADAP TERSANGKA ANAK DIBAWAH UMUR. penyelidikan yang merupakan tahapan permulaan mencari ada atau tidaknya

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan

I. PENDAHULUAN. dirasakan tidak enak oleh yang dikenai oleh karena itu orang tidak henti hentinya


II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti

peradilan dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa, mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Dalam hal ini, untuk

BAB I PENDAHULUAN. Hukum adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Terdapat

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Presiden, DPR, dan BPK.

BAB III PERTIMBANGAN PENUNTUT UMUM DALAM MEMBUAT SURAT DAKWAAN SECARA TERPISAH

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

EKSISTENSI ASAS OPORTUNITAS DALAM PENUNTUTAN PADA MASA YANG AKAN DATANG

BAB I PENDAHULUAN. kepada pemeriksaan keterangan saksi sekurang-kurangnya disamping. pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi.

II. TINJAUAN PUSTAKA

dengan aparatnya demi tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan harkat dan martabat manusia. Sejak berlakunya Undang-undang nomor 8 tahun 1981

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB IV PENUTUP. Tinjauan hukum..., Benny Swastika, FH UI, 2011.

I. PENDAHULUAN. nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik, maka berdasarkan

yang tersendiri yang terpisah dari Peradilan umum. 1

BAB I PENDAHULUAN. Pertama, hal Soerjono Soekanto, 2007, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cetakan

BAB III PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan pembahasan yang sudah diuraikan sebelumnya maka penulis. menyimpulkan bahwa :

BAB I PENDAHULUAN. Hukum materiil seperti yang terjelma dalam undang undang atau yang

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perlindungan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia

BAB I PENDAHULUAN kemudian Presiden mensahkan menjadi undang-undang pada tanggal. 31 Desember 1981 dengan nama Kitab Undang-undang Hukum Acara

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 102/PUU-XIII/2015 Pemaknaan Permohonan Pra Peradilan

BAB I PENDAHULUAN. adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum (equality

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Asas-Asas Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia merupakan salah satu Negara Hukum. Hal ini

II. TINJAUAN PUSTAKA. nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam berperkara dimuka

TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana

II. TINJAUAN PUSTAKA. dipidana jika tidak ada kesalahan ( Green Straf Zonder Schuld) merupakan dasar

Transkripsi:

16 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Dasar Hukum Penyampingan Perkara(Seponering) 1. Pengertian Penyampingan Perkara (Seponering) Penyampingan Perkara adalah bentuk pelaksanaan dari asas oportunitas yang dimiliki oleh Jaksa Agung.Penyampingan Perkara merupakan asas oportunitas yang hanya dapat di lakukan oleh Jaksa Agung setelah memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan Negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut. 1 Istilah yang sering dipakai di Indonesia adalah Deponering.Sebenarnya itu adalah kekeliruan penyampingan perkara adalah Seponering. Penyampingan Perkara dalam bahasa Belanda terdapat dua istilah yaitu deponeren dan seponeren.penyampingan Perkara yang dimaksud oleh para ahli hukum sebenarnya adalah seponering yang berarti menyampingkan, bukan deponering yang berarti membuang. Jadi menyampingkan penuntutan terhadap tersangka dikarenakan asas opportunitas atau karena tidak cukupnya bukti untuk dibawa kepengadilan disebut dengan penghentian secara teknis.seponering biasanya digunakan dalam dalam perkara pidana menyampingkan, tidak diadakan penuntutan oleh jaksa penuntut umum berdasarkan asas oportunitas atau karena bukti tidak cukup lengkap untuk mengadakan tuntutaan hukum.kewenangan seponering masih perlu dimiliki 1 Darmono, Op. Cit., hlm. 43.

17 oleh Kejaksaan selaku penegak hukum, karena berdasarkan asas diskresi, setiap penegak hukum perlu memiliki kewenangan menyampingkan perkara demi kepentingan umum. 2 Penyampingan Perkara dalam bahasa baku Belanda adalah seponeringyang memiliki arti menyisihkan, menyisikan, menyampingkan. Kita tidak bisa pungkiri bahasa deponering sudah berkembang sebagai kalimat popular sebagai kata dari Penyampingan Perkara demi kepentingan umum.karena sesungguhnya deponeren memiliki arti menyimpan, menaruh, untuk diperiksa, menitipkan, mendaftarkan. 3 Arti dari deponeringatau bentuk dari kata benda deponerenini dapat ditemukan dalam hukum dagang, adinistrasi, maupun perpajakan. 4 Kata seponering berarti menyisihkan atau yang dipakai sekarang dalam penerapan asas oportunitas, ialah menyampingkan perkara demi kepentingan umum.begitu juga dengan pendapat yang mengatakan bahwa kekeliruan penggunaan istilah deponering, karena sesungguhnya deponering bukan memiliki arti menyampingkan. 5 Penyampingan Perkara di Belanda memiliki kategori dikesampingkannya perkara karena alasan kebijakan (policy) yang mengikuti perkara ringan, umur terdakwa sudah tua dan kerusakan telah diperbaiki. Serta karena alasan teknis, dan perkara digabung dengan perkara lain. Kategori tersebut sebenarnya 2 Ibid., hlm. 53. 3 R. Yunia dan Kuhne, Kamus Jerman-Indonesia, Jakarta, Transmedia, 2010, Hlm. 513. 4 Darmono, Op. Cit., hlm. 44 5 Andi Hamzah, kasus Bibit dan Chandra dilihat dari hukum pidana,jakarta, Makalah,2009,hlm. 1.

18 bukan Penyampingan Perkara dalam arti perkara tidak diteruskan kepengadilan. 6 Penyampingan Perkara di Indonesia diartikan oleh Jaksa Agung demi kepentingan umum.seperti yang dijelaskan Undang-Undang tetang kejaksaan Republik Indonesia mengartikan sangat sempit kepentingan umum itu sebagai kepentingan negara atau masyarakat. 7 Terbitnya Penyampingan Perkara (seponering) bukan berarti seorang tersangka yang perkaranya dikesampingkan adalah orang istimewa, karena sesungguhnya semua orang adalah sama dihadapan hukum. akan tetapi ada kepentingan yang jauh lebih besar yang harus diperhatikan, yaitu kepntingan masyarakat luas. 2. Dasar Hukum Penyampingan Perkara Penyampingan Perkara memiliki dasar hukum yang dilakukan oleh Jaksa Agung dalam ketentuan Pasal 35 huruf c Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia yaitu untuk menyampingkan perkara demi kepentingan umum. Yang menurut Pasal 35 huruf c Undang- Undang Nomor 16 Tahun 2004 kepentingan umum adalah kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan masyarakat luas. Sebelum dicantumkan asas oportunitas didalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961, sebenranya asas oportunitas ini telah diatur didalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tanggal 9 Juli 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksa Tindak Pidana Korupsi. Yang didalam pasal 4 6 Andi Hamzah, Op. Cit., hlm. 38. 7 Ibid., hlm. 38.

19 dikatakan bahwa jaksa hanya diperbolehkan menyampingkan perkara korupsi, jika ada perintah dari Jaksa Agung. Asas oportunitas dijadikan didalam bentuk tertulis sejak keluarnya Undang- Undang Nomor 15 Tahun 1961 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kejaksaan RI yang sekarang telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004.Dasar hukum pelaksanaan Penyampingan Perkara (seponering) berdasarkan asas oportunitas di Indonesia adalah: a. Hukum tidak tertulis (hukum kebiasaan) b. Pasal 4 PERPU No. 24 Tahun 1960 Tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi c. Pasal 35 huruf c Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI. Penjelasan Pasal 32 huruf c No. 5 Tahun 1991 menyebutkan sebagaimana yang dimaksud dengan kepentingan umum adalah kepentingan bangsa dan negara dan atau kepentingn masyarakat luas. Penyampingan Perkara hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agung setelah memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan Negara yang mempunyai hubungan dengan masalah yang bersangkutan.penyampingan Perkara adalah pelaksanaan dari asas oportunitas. Penjelasan resmi dari Pasal 8 UU No. 15 Tahun 1961 menyatakan bahwa dilingkungan Kejaksaan, Jaksa Agung yang mempunyai hak menyampingkan perkara berdasarkan kepentingan umum. Dalam pasal ini dapat dipahai bahwa sudah menjadi kebiasaan dalam praktik bahwa dalam Penyampingan Perkara

20 yang menyangkut kepetingan umum, Jaksa Agung harus bermusawarah terlebih dahulu dengan pejabat-pejabat tingi negara yang bersangkutan dalam perkara tersebut. B. Asas Legalitas dan Asas Opportunitas Asas legalitas dalam hukum pidana materiil yang bertumpu pada Pasal 1 ayat (1) KUHP mengatakan bahwa tidak ada suatu perbuatan yang dapat dipidana selain berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana.asas legalitas adalah asas yang menghendaki bahwa penuntut umum wajib menuntut semua perkara pidana yang terjadi tanpa memandang siapa dan bagaimana keadaan pelakunya kemuka sidang pengadilan. 8 Penerapan hukum pidana atau suatu perundang-undangan pidana berkaitan denganwaktu dan tempat perbuatan dilakukan. Berlakunya hukum pidana menurut menurut waktu menyangkut penerapan hukum pidana dari segi lain. Jika suatu perbuatan yang mencocoki rumusan delik yang dilakukan sebelum berlakunya ketentuan yang bersangkutan, maka bukan saja hal itu tidak dapat dituntut tetapi untuk orang yang bersangkutan sama sekali tidak dapat dipidana. 9 Kemudian, asas dan prinsip legalitas dengan tegas disebut dalam KUHAP seperti yang dapat dibaca pada huruf a, yang berbunyi: bahwa Negara Republik Indonesia adalah Negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM) serta yang menjamin segala warga negara bersamaan kedudukannya di 8 Tri Andrisman, Hukum Acara Pidana,Bandar Lampung. Universitas lampung, 2010, hlm. 16. 9 Ibid., hlm. 39.

21 dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecuali. Maka dapat disimpulkan bahwa: a) Negara menjamin setiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan; b) Setiap warga negara tanpa kecuali, wajib menjunjung hukum dan pemerintahan. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai hukum acara pidana adalah Undang-Undang yang asas hukumnya dilandasi asas legalitas. Semua tindakan hukum harus: 1. Berdasarkan ketentuan hukun dan Undang-Undang 2. Kepentingan hukum dan perundang-undangan ditempatkan dibagian yang paling atas agar terjadinya keharmonisan dan keselarasan dalam suatu kehidupan berbangsa dan bernegara, serta takluk di bawah kekuasaan hukum serta taat kepada ketentuan-ketentuan perundang-undangan dan rasa adil dalam berbangsa yaitu bangsa Indonesia. Jadi arti dari supremasi hukum adalah menguji ketetapan setiap tindakan penegakan hukum takluk di bawah ketentuan konstitusi disuatu negara, karena hukum konstitusi sendiri berarti humpunan norma atau kaidah konstitusi suatu negara. karena hukum konstitusi itu merupakan dokumen yang berisi normanorma atau kaidah-kaidah hukum untuk memproprsionalkan penyelenggaraan suatu negara. Sehingga memaksakan dan menegakkan rasa keadilan yang hidup ditengah-tengah kesadaran masyarakat.

22 Dengan asas legalitas, jajaran aparatur penegak hukum tidak diperkenankan: 1. Bertindak diluar ketentuan hukum yang berlaku dalam perundangundangan. 2. Bertindak sewenang-wenang dan sesuai dengan peratura yang ada. 10 Sebagaimana diketahui, lainhalnya dengan asas oportunitas, yang berarti walaupun tersangka sudah jelas bersalah menurut pemeriksaan penyidik, dan kemungkinan besar dapat dijatuhi hukuman namun hasil pemeriksaan tersebut tidak dilimpahkan kepengadilan oleh pihak Kejaksaan.Penuntut umum meniadakan penuntutan hukum terhadap seseorang yang melangar hukum pidana berdasarkan dasar pertimbangan bahwa lebih menguntungkan kepentingan umum jika tidak diadakan penuntutan. 11 Kejaksaan berpendapat, lebih bermanfaat bagi kepentingan umum jika perkara itu tidak diperiksa di muka pengadilan.dengan demikian, perkaranya dikesampingkan atau seponering.cara Penyampingan Perkara ini lah yang disebut dengan asas opportunitas. 12 Kejaksaan diperbolehkan tidak menuntut perkara pidana apabila penuntutan itu tidak dapat dilakukan atau tidak patut dilakukan atau tidak dikehendaki, atau penuntutan itu merugikan kepentingan umum dan pemerintah daripada penuntutan dilakukan sesuai dengan asas opportunitas. Lain halnya dengan asas legalitas pihakkejaksaan hampir selalu mengajukan perkara-perkara kepengadilan untuk diadili. 13 10 I Dewa Gede Atmadja, Hukum Konstitusi, Malang, Setara Press, 2012, hlm. 1. 11 Darmono,Ibid.,hlm. 79. 12 Yahya Harahap, Pembahasan Perasalahan Penerapan KUHAP, Jakarta, Sinar Grafika, 2006, Hlm. 36. 13 Rm. Surahman, Op. Cit., hlm. 14.

23 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pdana (KUHAP) tampaknya sudah tidak dianut asas oportunitas lagi, ditiadakannya penuntutan karena alasan berdasarkan asas kepentingan umum, seperti yang kita kenal sebagai kebiasaan selama ini.asas yang dianut sepertiya telah bergeser kepada asas legalitas. Berdasarkan ketentuan Pasal 140 ayat (2) huruf a KUHAP, dalam Pasal 14 menentukan semua perkara yang memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh hukum, penuntut umum harus menuntutnya dimuka pengadilan, kecuali terdapat cukup bukti bahwa peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana atau perkaranya ditutup demi hukum. Pasal 14 huruf h hanya memberi wewenang kepada penuntut umum untuk menutup suatu perkara demi kepentingan hukum bukan demi kepentingan umum. Namun ketentuan Pasal 35 huruf c Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, memberi wewenang kepada Kejaksaan Agung untuk Penyampingan Perkara berdasarkan kepentingan umum. Kejaksaan Agung atas dasar hukum yang diberikan didalam Pasal 35 huruf c Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan masih berwenang untuk melakukan Penyampingan Perkara, dan dipertegas lagi oleh Buku Pedoman Pelaksanaan KUHAP. Bahkan KUHAP mengakui eksistensi perwujudan asas opportunitas. Konsideran dengan tegas menyatakan KUHAP menganut prinsip legalitas, akan tetapi masih tetap mengakui adanya asas opportunitas. Keadaan ini ada baiknya ditempuh dengan suatu perbandingan.masing-masing memiliki variasi pertumbuhan mengikuti perkembangan zaman yang berbeda sesuai dengan kehendak masyarakat yang bersangkutan. 14 Eksistensi dari asas oportunitas diakui 14 Ibid., hlm. 37.

24 KUHP walaupun tidak secara langsung, maka dengan perwujudan asas opportunitas tidak perlu dipermasalahkan lagi. C. Perbedaan Penyampingan Perkara dengan Penghentian Penuntutan Hasil pemeriksaan penyidikan tindak pidana yang disampaikan penyidik, tidak dilimpahkan penuntut umum ke sidang pengadilan, hal ini bukan yang dimaksud Penyampingan Perkara pidana akan tetapi penghentian penuntutan sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 140 ayat (2). Oleh karena itu harus dengan jelas membedakan antara tindakan hukum Penghentian Penuntutan dengan Penyampingan Perkara.Dalam Pasal 77 KUHAP menegaskan yang dimaksud dengan penghentian penuntutan tidak termasuk Penyampingan Perkara untuk kepentingan umum yang mejadi wewenag Jaksa Agung. Perbedaan antara Penyampingan Perkara dengan Penghentian Penuntutan adalah sebagai berikut: a. Pada Penyampingan Perkara, Perkara yang bersangkutan sudah cukup alasan dan bukti untuk diajukan dan diperiksa di muka pengadilan. Dari fakta dan bukti yang ada, kemungkinan besar tersangka atau terdakwa dapat di jatuhi hukuman, akan tetapi perkara yang cukup fakta dan bukti inisengaja dikesampingkan dan tidak dilimpahkan ke pengadilan oleh pihak penuntut umum atas alasan demi kepentingan umum. Penyampingan Perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf c UU No. 16 tahun 2004 merupakan pelaksanaan dari asas oportunitas yang hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agung setelah memperhatikan saran dan pendapat

25 dari badan-badan kekuasaan Negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut. Penyelenggaraan Penyampingan Perkara, hukum dan penegakan hukum dikorbankan demi kepantingan umum. Seseorang yang melakukan tindak pidana serta meiliki cukup bukti perkaraya dikesampingkan dan tidak diteruskan kesidang pengadilan dengan alasan kepentingan umum.itulah sebabnya asas oportunitas bersifat diskriminatif atas makna persamaan kedudukan setiap warga negara dihadapan hukum karena kepada orang tertentu, dengan mempergunakan alasan kepentingan umum, hukum tidak diperlakukan atau kepadanya penegak hukum dikesampingkan. 15 Penyampingan Perkara hanya satu kali dilakukan, tidak ada lagi alasan untuk mengajukan perkara itu kembali kemuka sidang Pengadilan. b. Penghentian Penuntutan dilakukan bukan karena demi kepentinan umum seperti halnya Penyampingan Perkara, Penghentian Penuntutan dilakukan berdasarkan kepentingan hukum. alasannya sebagai berikut: 1. Ditutup karena kepentingan hukum: apabila suatu tindak pidana yang telah ditentukan oleh undang-undang bahwa hak jaksa untuk menuntut suatu tindak pidana tersebut gugur, maka tindak pidana tersebut harus ditutup demi hukum. alasan perkara ditutup demi hukum, biasanya didasarkan atas: a. Karena tersangka atau terdakwa meninggal dunia (Pasal 77 KUHAP) 15 Darmono, Ibid., hlm. 152.

26 Kewenangan menuntut dihapuskan, jika tertuduh meninggal dunia. b. Telah lewat waktu (Pasal 78 KUHAP) 1. Keweangan menuntut pidana dihapus karena daluwarsa. 2. Bagi orang yang pada saat melakukan perbutan umurnya belum delapan belas tahun, masing-masing tenggang daluwarsa di atas dikurangi sepertiga. c. Atas alasan nebis in idem (Pasal 76 KUHAP) Alasan ini menegaskan tidak boleh menuntut dan menghukum seseorang dua kali atas tindakan pidana yang sama. 2. Perkara yang bersangkutan biasanya masih dapat lagi diajukan kembali jika tenyata ditemukan bukti atau alasan baru yang memungkinkan perkaranya dapat dilimpahkan kemuka persidangan. 3. Perkara yang bersangkutan tidak memiliki bukti yang cukup, sehingga jika perkaranya diajukan ke pengadilan, diduga kuat terdakwa akan dibebaskan oleh hakim, karena kesalahan yang dilakukan oleh terdakwa tidak terbukti. 16 16 Eko Huda S, Penyampingan Perkara, diakses tanggal 27 mei 2013, http://wordpress.com, (20.50) WIB