BAB I PENDAHULUAN. kaum perempuan yang dipelopori oleh RA Kartini. Dengan penekanan pada faktor

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Perdagangan perempuan dan anak (trafficking) telah lama terjadi di muka

DEKLARASI TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN. Diproklamasikan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perdagangan orang merupakan bentuk modern dari perbudakan manusia.

BAB I PENDAHULUAN. pada era reformasi adalah diangkatnya masalah kekerasan dalam rumah tangga

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Dewasa ini dalam pembaharuan hukum, indonesia telah melahirkan

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Perdagangan manusia atau istilah Human Trafficking merupakan sebuah

BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dian Kurnia Putri, 2014

PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI PENJUALAN ANAK, PROSTITUSI ANAK, DAN PORNOGRAFI ANAK

BAB I PENDAHULUAN. gender. Kekerasan yang disebabkan oleh bias gender ini disebut gender related

PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA SEHUBUNGAN DENGAN PERDAGANGAN MANUSIA (ANAK)

BAB I PENDAHULUAN. Kekerasan terhadap perempuan merupakan suatu fenomena yang sering

PEMERINTAH KABUPATEN SUMENEP

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

Perdagangan dan Eksploitasi Manusia di Indonesia

WALIKOTA PARIAMAN PERATURAN DAERAH KOTA PARIAMAN NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK DARI TINDAK KEKERASAN

BAB I PENDAHULUAN. Tercatat 673 kasus terjadi, naik dari tahun 2011, yakni 480 kasus. 1

WALIKOTA DENPASAR PERATURAN DAERAH KOTA DENPASAR NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN

Hadirkan! Kebijakan Perlindungan Korban Kekerasan Seksual. Pertemuan Nasional Masyarakat Sipil Untuk SDGs Infid November 2017

BAB I PENDAHULUAN. yang memiliki derajat yang sama dengan yang lain. untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran. Dalam Pasal 2 Undang-undang

BAB I PENDAHULUAN. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sebenarnya bukan hal yang baru

PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA SEHUBUNGAN DENGAN PERDAGANGAN MANUSIA (ANAK)

Lembaga Akademik dan Advokasi Kebijakan dalam Perlindungan Perempuan dari Kekerasan Berbasis Gender Margaretha Hanita

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG TAHUN 2016 NOMOR 2 PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. lama. Hanya saja masyarakat belum menyadari sepenuhnya akan kejahatan

PERDAGANGAN ORANG (TRAFFICKING) TERUTAMA PEREMPUAN & ANAK DI KALIMANTAN BARAT

BAB I PENDAHULUAN. kerja di dalam negeri sangat terbatas sehinga menyebabkan banyak Tenaga Kerja

BAB I PENDAHULUAN. orang/manusia bukan kejahatan biasa (extra ordinary), terorganisir

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA BARAT

Diadaptasi oleh Dewan Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 18 Januari 2002

Institute for Criminal Justice Reform

BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 15 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN

BUPATI BANGKA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA BARAT NOMOR 13 TAHUN 2013 PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN

Bentuk Kekerasan Seksual

BUPATI POLEWALI MANDAR

BAB II PENGATURAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG. A. Pengaturan Tindak Pidana Perdagangan Orang Menurut KUHP

PEMERINTAH PROVINSI KEPULAUAN RIAU

I. PENDAHULUAN. Perserikatan Bangsa-Bangsa setelah perang dunia ke-2 tanggal 10 Desember

-2- Selanjutnya, peran Pemerintah Daerah dalam memberikan pelindungan kepada Pekerja Migran Indonesia dilakukan mulai dari desa, kabupaten/kota, dan p

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TENGAH TAHUN 2009 NOMOR 3

BUPATI PATI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PATI,

B A B 1 P E N D A H U L U A N. Perdagangan anak (trafficking) telah lama terjadi di muka bumi ini dan terjadi

PEREMPUAN DAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA. Oleh: Chandra Dewi Puspitasari

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKOHARJO,

BAB I PENDAHULUAN. Pertambahan jumlah penduduk dunia meningkat sangat pesat, ditandai dengan

I. PENDAHULUAN. Perdagangan orang (human traficking) terutama terhadap perempuan dan anak

WALIKOTA PAREPARE PERATURAN WALIKOTA PAREPARE NOMOR 30 TAHUN 2014

BUPATI SEMARANG PROPINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI SEMARANG NOMOR 19 TAHUN 2016 TENTANG

BERITA NEGARA. No.1048, 2012 KEMENTERIAN NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK. Perdagangan Orang. Pencegahan. Penanganan. Panduan.

24 HUKUM DALAM PERMASALAHAN PERDAGANGAN ANAK DI INDONESIA. Oleh: Andi Rezky Aprilianty Punagi, Ishartono, & Gigin Ginanjar Kamil Basar

BUPATI BULUNGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 09 TAHUN 2012 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK TERHADAP TINDAK KEKERASAN

BAB I PENDAHULUAN. sehari-hari, baik di lingkup domestik (rumah tangga) maupun publik.

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH

- Secara psikologis sang istri mempunyai ikatan bathin yang sudah diputuskan dengan terjadinya suatu perkawinan

BUPATI BULUNGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH

PERATURAN WALIKOTA SURAKARTA

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di

PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK DARI TINDAK KEKERASAN

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN ANAK DAN PEREMPUAN

Kekerasan Seksual. Sebuah Pengenalan. Bentuk

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN tentang Perlindungan Anak Pasal 1 angka 1 (selanjutnya UU Perlindungan

I. PENDAHULUAN. Konsep good governance adalah konsep yang diperkenalkan oleh Bank Dunia

BUPATI TAPIN PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TAPIN NOMOR 01 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN ANAK

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia

PERATURAN MENTERI KOORDINATOR BIDANG KESEJAHTERAAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 25/KEP/MENKO/KESRA/IX/2009 TENTANG

1 LATAR 3 TEMUAN 7 KETIDAKMAMPUAN

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Kekerasan adalah perbuatan yang dapat berupa fisik maupun non fisik,

PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN KENDAL NOMOR 6 TAHUN 2017 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN BERBASIS GENDER DAN ANAK DI KABUPATEN KENDAL

BERITA DAERAH KOTA YOGYAKARTA

PERATURAN BUPATI ACEH TIMUR NOMOR 34 TAHUN 2011 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KASUS KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAK

BUPATI LOMBOK BARAT PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

BUPATI BANGKA SELATAN PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Pelacuran dan pornografi merupakan eksploitasi seksual secara komersial

BAB I PENDAHULUAN. Berpacaran sebagai proses dua manusia lawan jenis untuk mengenal dan

PERSPEKTIF GENDER DALAM UNDANG-UNDANG KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA. Oleh: Wahyu Ernaningsih

Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Ini merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Di masa lalu,

BUPATI PENAJAM PASER UTARA PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 74 TAHUN 2014 TENTANG

BAB V PENUTUP. kriminalitas namun perdagangan anak juga menyangkut tentang pelanggaran terhadap

BAB I PENDAHULUAN. Negara merupakan sebuah kesatuan wilayah dari unsur-unsur negara, 1 yang

PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU

BAB I PENDAHULUAN. proses saling tolong menolong dan saling memberi agar kehidupan kita. saling mencintai, menyayangi dan mengasihi.

LEMBARAN DAERAH NOMOR 2 TAHUN 2013 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 2 TAHUN TENTANG

Pengertian Anak dan Pentingnya Mendefinisikan Anak Secara Konsisten dalam Sistem Hukum 1 Oleh: Adzkar Ahsinin

Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. asasi perempuan dan anak diantaranya dengan meratifikasi Konferensi CEDAW (Convention

Asesmen Gender Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. perempuan dengan pengertian sebagai tindakan atau serangan terhadap. menyebabkan penderitaan dan kesengsaraan.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

WALIKOTA BLITAR PROVINSI JAWA TIMUR

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kaum perempuan Indonesia dalam menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia tidaklah kecil. Perjuangan perempuan Indonesia diawali dan pergerakan kaum perempuan yang dipelopori oleh RA Kartini. Dengan penekanan pada faktor pendidikan, ketika itu Kartini muda berharap terbuka cakrawala pandang kaum perempuan Indonesia. Pembahasan singkat tentang latar belakang keterlibatan aktif kaum perempuan dalam perjuangan dan sejarah bangsa perlu mendapat perhatian serius, karena hingga saat ini penulisan sejarah Indonesia belum mendudukkan secara jelas posisi dan peran aktif kaum perempuan dalam sejarah bangsa. Paling sedikit kita melihat selama ini dalam literatur sejarah kita, perjuangan dan kontribusi posisi kaum perempuan Indonesia dalam memperbaiki posisi kaum perempuan sebelum dan sesudah kemerdekaan, tidak pernah menjadi fokus perhatian ahli sejarah. Diera globalisasi, peranan kaum perempuan tidak saja sebagai pendidik utama dan pertama dalam keluarga tetapi juga sebagai perempuan yang mempunyai keuletan dan ketangguhan dalam membantu suami mencari nafkah yang pada akhirnya akan memperkokoh ekonomi keluarga karena didalamnya keluargalah tempat persemaian nilai-nilai dan norma-norma kehidupan bangsa terutama dalam menghadapi pengaruh lingkungan strategis suatu bangsa.

2 Oleh karena itu diperlukan upaya untuk mencari dan menemukan berbagai hambatan serta dukungan bagi perempuan untuk mencapai posisi yang seimbang dalam menduduki posisi-posisi strategi dalam rangka pemberdayaan perempuan dibidang pemerintahan maupun dibidang lembaga pemerintahan, ekonomi guna keberhasilan pembangunan dalam rangka keutuhan NKRI. Program pemberdayaan kaum perempuan menjadi agenda bangsa dan memerlukan perhatian semua pihak, mengingat pada kenyataanya dalam beberapa aspek pembangunan, perempuan kurang dapat berperan aktif terutama di bidang pemerintahan guna kesetaraan gender. Menurut Pramudia (2007: 2) adalah: Pemberdayaan pada akhirnya memberikan kepada komunitas yang paling miskin dan terpinggirkan kapasitas yang sesungguhnya agar mampu menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan baik sebagai masyarakat maupun komunitas. Tradisi ini membutuhkan kesadaran sosial partisipasi sosial yang lebih tinggi pemanfaatan pemahaman baru proses ekologi perubahan dan pembaruan diri. Pemberdayaan perempuan menurut Roesmidi (2006:111): Sehingga pemberdayaan perempuan seringkali digunakan dalam konteks kemampuan meningkatkan keadaan ekonomi (pemenuhan kebutuhan praktis) individu yang merupakan konsep yang mengandung makna perjuangan bagi mereka yang terlibat perjuangan tersebut yaitu perjuangan perempuan. Semakin buruknya kondisi yang dialami oleh perempuan terutama dalam mempertahankan nilai-nilai moral terhadap harkat dan martabat, dapat dilihat secara terukur bahwa angka kesenjangan masih tinggi, dimana secara kualitatif jumlah perempuan dalam setiap bidang pembangunan disektor pemerintahan dan ekonomi masih rendah. Kondisi ini juga ditunjang dengan ketidak pedulian masyarakat terhadap perlindungan hak asasi perempuan, khususnya hak

3 repoduksi, meningkatnya tindak kekerasan terhadap perempuan, perdagangan perempuan, eksploitasi tenaga kerja migran perempuan disektor informal, jaminan sosial yang lemah dan meningkatnya tempat-tempat prostitusi baik dikota-kota besar maupun didaerah. Seperti salah satu isu yang menjadi isu nasional maupun internasional untuk sekitar daerah perbatasan adalah perdagangan manusia. Perdagangan orang Sidang PBB, (1994) ialah: Perekrutan, pengangkutan, pemindahan, penyembunyian atau penerimaan seseorang, melalui penggunaan ancaman atau tekanan atau bentuk-bentuk lain dari kekerasan, penculikan, penipuan, kecurangan, penyalahgunaan kekuasaan, atau posisi rentan atau memberi/menerima pembayaran atau memperoleh keuntungan sehingga mendapatkan persetujuan dari seseorang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, untuk tujuan eksploitasi. Undang-undang No.21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang rumusan tentang perdagangan orang yang terdapat dalam rujukan utama. Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan (Diadopsi oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 20 Desember 1993, GA res 48/ 104). Dengan sungguh-sungguh menyatakan, Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan sebagai berikut, dan mendesak dilakukannya segala upaya agar Deklarasi ini diketahui dan dianut secara luas: Pasal 1 dalam UU No.21 Tahun 2007 Kekerasan terhadap perempuan adalah: Setiap tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang baik yang terjadi di ranah publik atau dalam kehidupan pribadi.

4 Pasal 2 UU No.21 Tahun 2007 Kekerasan terhadap perempuan harus dipahami mencakup tetapi tidak hanya pada hal-hal sebagai berikut: a. Tindak kekerasan secara fisik seksual psikologis terjadi dalam keluarga, termasuk pemukulan, penyalahgunaan seksual atas anakanak perempuan dalam keluarga, kekerasan yang berhubungan dengan mas kawin, perkosaan dalam perkawinan, pengrusakan alat kelamin perempuan dan praktek-praktek kekejaman tradisional lain terhadap perempuan, kekerasan di luar hubungan suami istri dan kekerasan yang berhubungan dengan eksploitasi; b. Kekerasan secara fisik seksual psikologis yang terjadi dalam masyarakat luas, termasuk perkosaan, penyalahgunaan seksual, pelecehan dan ancaman seksual ditempat kerja, dalam lembagalembaga pendidikan dan di manapun juga, perdagangan perempuan dan pelacuran paksa; c. Kekerasan secara fisik, seksual dan psikologis yang dilakukan atau diabaikan oleh Negara, dimanapun terjadinya. Perdagangan orang terutama pada perempuan dan anak-anak, baik didalam negeri maupun diluar negeri. Kriminalisasi perdagangan orang bukanlah masalah yang baru, tetapi perdagangan orang ini merupakan masalah yang berlarut-larut dan tidak ada titik penyelesaian yang dilakukan secara nyata (kongkrit). Hal tersebut dikarenakan keterbatasan pemahaman masyarakat pada tingkat akar rumput permasalahan perdagangan orang, yang pada dasarnya keterbatasan tersebut berkaitan dengan keterbatasan dana yang pada akhirnya menghambat upaya penindakan hukum bagi para pelaku perdagangan orang dan upaya pencegahannya. Perdagangan orang berkaitan erat dengan hubungan antar negara, karena perdagangan tersebut dilakukan didaerah perbatasan negara dan modus operasi yang dilakukan adalah pengiriman ke berbagai negara penerima seperti Malaysia dan Singapura. Lemahnya penjagaan dan keamanan daerah perbatasan

5 menjadikan faktor utama perdagangan orang, sehingga dengan mudah seseorang dapat melakukan transaksi perdagangan tersebut. Adapun beberapa faktor yang melatarbelakangi terjadinya perdagangan orang diantaranya adalah kemiskinan, daya tarik standar hidup di tempat lain yang dirasakan lebih tinggi, lemahnya strukur sosial dan ekonomi, kurangnya kesempatan bekerja, kejahatan yang terorganisir, kekerasan terhadap wanita dan anak-anak, diskriminasi terhadap wanita, kurang kewaspadaan korban untuk mendapatkan pekerjaan, kultur yang menempatkan wanita pada tingkat yang lebih rendah, kurangnya keamanan aparat penegak hukum dalam penjagaan daerah perbatasan serta minimnya perhatian pemerintah. Selain itu, kurangnya pendidikan yang bersifat menyeluruh, yang terutama meliputi pendidikan dalam ilmu pengetahuan, pendidikan moral, pendidikan agama, dan pendidikan kewarganegaraan. Data kekerasan terhadap perempuan yang dihimpun oleh Komnas perempuan sejak tahun 2005 hingga 2011 menunjukkan adanya peningkatan, mencapai lebih dan 20 ribu kasus pada tahun 2011. Angka itu diperkirakan jauh lebih kecil dari jumlah kejadian sebenarnya karena pada umumnya korban atau keluarganya menganggap tindak kekerasan sebagai aib dan tabu bila diketahui publik. Dari jumlah kasus tersebut, sebagian besar (82%) merupakan kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan sekitar (45%) korban adalah ibu rumah tangga. Tindak kekerasan terhadap perempuan tidak hanya terjadi di ranah

6 rumah tangga, tetapi juga di ranah publik. (Sumber: Pusat Informasi dan Komunikasi Departemen Hukum dan HAM RI) Perempuan yang diperdagangkan sebagai objek seks dan sekaligus objek komersial merupakan bagian dari tindak kekerasan. Sehubungan dengan kondisi tersebut diatas pemberdayaan perempuan dibidang pemerintahan dan ekonomi sangat penting dalam memberikan kontribusi atas pengalaman dan pengetahuannya tentang permasalahan yang dihadapi oleh perempuan guna keberhasilan pembangunan dalam rangka keutuhan NKRI. Oleh karenanya, guna melestarikan pembayaran-pembayaran liar tersebut, pihak imigrasi kerap memanipulasi sistem perekrutan yang resmi. Selain dilakukan oleh aparat instansi resmi pemerintah, perdagangan orang di Indonesia juga diperkuat dengan adanya calo-calo tenaga kerja. Calo tersebut terbagi dalam tiga kategori: calo perekrut, calo chop keliling dan calo borang atau formulir. Hal ini pun telah terjadi di Jawa Barat termasuk juga di Kabupaten Bandung yang berkisar 192 orang yang menjadi korban perdagangan orang hingga bulan September 2011. Permasalahnnya pun tidak jauh beda yang terjadi didaerahdaerah lain seperti perekrutan, pengangkutan, pemindahan, penyembunyian atau penerimaan seseorang, melalui penggunaan ancaman atau tekanan atau bentukbentuk lain dari kekerasan, penculikan, penipuan, kecurangan, penyalahgunaan kekuasaan, atau posisi rentan atau memberi/menerima pembayaran atau memperoleh keuntungan sehingga mendapatkan persetujuan dari seseorang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, untuk tujuan eksploitasi. Adanya

7 kasus seperti demikian karena tidak berjalannya sistem yang telah ditetapkan oleh pemerintah daerah khususnya, dalam menyelenggarakan Tenaga Kerja Indonesia. (Sumber: bisnis-jabar.com) Menurut Maslow dalam Sudjana (2004:188) yaitu: ada lima tingkatan kebutuhan manusia yang melatarbelakangi mengikuti program pendidikan adalah kebutuhan fisiologis/dasar (physiological need), kebutuhan akan rasa aman (safety need), kebutuhan sosial (social need), kebutuhan penghargaan (esteem need) dan kebutuhan aktualisasi diri (self-actualization need). Berdasarkan hirarki tingkat kebutuhan diasumsikan bahwa faktor pendorong bagi korban perdagangan orang untuk mengikuti program pendidikan berupa pelayanan karena merupakan bagian kebutuhan dasar dan yang paling tinggi yaitu kebutuhan akan rasa harga diri. Berdasarkan angka kasus yang sudah terjadi, dampak yang muncul dan kerentanan yang ada pada masyarakat Kabupaten Bandung, maka terbentuknya Gugus Tugas pencegahan dan penanganan perdagangan orang disertakan dengan rencana aksi berbagai upaya pencegahan perdagangan orang bisa dilakukan oleh multistakeholder dengan dikoordinasikan oleh Departemen Pendidikan Nasional. Hal ini menunjukan bahwa peran institusi pendidikan, khususnya pendidikan nonformal dalam memerangi perdagangan orang sangatlah strategis. Berdasarkan kasus dan kebutuhan untuk meningkatkan keberdayaan perempuan dan anak agar tidak rentan menjadi korban perdagangan orang, peran yang bisa dilakukan lembaga pendidikan luar sekolah dalam memberdayakan korban perdagangan

8 orang yaitu melalui pemberian pengetahuan, keterampilan dan pendidikan sepanjang hayat. Pada proses pemberdayaan korban perdagangan orang ini dalam penyelenggaraan pendidikan sepanjang hayat, korban perdagangan orang didampingi oleh pendamping dari Lembaga Swadaya Masyarakat Qouma selama proses pemberdayaan berlangsung hingga korban perdagangan orang dapat menjadi seorang surviver dan berdaya akan keberdayaannya. LSM Qouma memberikan berupa pelatihan, lokalatih dan lokakarya kepada tenaga pendamping agar mengetahui bahaya perdagangan orang dan memahami hak-hak anak, perlindungan anak secara komprehensif. Hal ini juga bertujuan untuk memberikan bekal keterampilan hidup (life skill) khususnya bagi kelompok masyarakat korban perdagangan orang Kabupaten Bandung. Karena pada umumnya korban selalu tidak mempunyai kemampuan untuk melakukan analisis terhadap situasi yang sesungguhnya membahayakan dirinya. Kemiskinan yang terjadi juga karena tidak dimiliki atau rendahnya keterampilan hidup dalam mendayagunakan potensi diri dan lingkungannya. Untuk itu LSM Qouma dalam memberdayakan korban perdagangan orang melalui pendampingan bukan hanya memberikan penanganan psikologis saja tetapi juga memberikan penyadaran terhadap peningkatan kemampuan yang dimilikinya agar menjadi seorang surviver yang sejahtera akan keberdayaannya sehingga tidak akan menjadi korban kembali tetapi mereka dapat memiliki keterampilan guna mencapai taraf

9 kehidupan lebih baik bagi korban perdagangan orang dikawasan Kabupaten Bandung. B. Identifikasi dan Perumusan Masalah Hal yang paling menarik ketika menggambarkan keadaan kondisi warga di Kabupaten Bandung yang prioritas masyarakat khusunya perempuan dan anak sebagai TKI. Hal ini dapat dijadikan sebagai peluang bagi orang-orang yang berkesempatan untuk menjadikan agen bisnis perdagangan orang. Maka munculah persoalan yang diidentifikasi dan dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimana perencanaan pemberdayaan melalui pendampingan korban perdagangan orang di Lembaga Swadaya Masyarakat Qouma Kabupaten Bandung? 2. Bagaimana pelaksanaan pemberdayaan melalui pendampingan korban perdagangan orang di Lembaga Swadaya Masyarakat Qouma Kabupaten Bandung?

10 3. Bagaimana evaluasi pemberdayaan melalui pendampingan korban perdagangan orang di Lembaga Swadaya Masyarakat Qouma Kabupaten Bandung? 4. Bagaimana tindak lanjut pendampingan korban perdagangan orang di? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan identifikasi dan rumusan masalah yang telah dikemukakan diatas, maka penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data mengenai: 1. Perencanaan pemberdayaan melalui pendampingan korban perdagangan orang di. 2. Pelaksanaan pemberdayaan melalui pendampingan korban perdagangan orang di. 3. Evaluasi pemberdayaan melalui pendampingan korban perdagangan orang di. 4. Tindak lanjut pendampingan korban perdagangan orang di Lembaga Swadaya Masyarakat Qouma Kabupaten Bandung.

11 D. Manfaat Penelitian Dari hasil identifikasi peneliti memiliki manfaat yaitu: 1. Sebagai bahan pertimbangan para praktisi pendidikan terutama Subdirektorat pendidikan perempuan Direktorat pendidikan masyarakat untuk meningkatkan fasilitas, agar terwujudnya masyarakat yang berkualitas melalui pendekatan penelitian. 2. Sebagai bahan informasi yang membutuhkan literatur tentang pemberdayaan korban perdagangan orang (Human Trafficking) melalui keterampilan di.

12 3. Bagi peneliti diharapkan menambahkan wawasan dari pengetahuan baik secara teoritis maupun praktis tentang pemberdayaan korban perdagangan orang (Human Trafficking) melalui keterampilan di Lembaga Swadaya Masyarakat Qouma Kabupaten Bandung. E. Struktur Organisasi Skripsi Dalam rangka melanjutkan penelitiannya, maka peneliti memberikan gambaran umum tentang isi dan materi yang akan dibahas sebagai berikut: BAB I PENDAHULUAN Merupakan uraian tentang latar belakang masalah, identifikasi dan perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan struktur organisasi skripsi. BAB II KAJIAN PUSTAKA

13 Menguraikan tentang teori-teori dan konsep tentang pemberdayaan masyarakat, perdagangan orang (human trafficking), pendampingan dan pemberdayaan sebagai startegi pendekatan/strategi dalam PLS. BAB III METODE PENELITIAN Berisi tentang uraian lokasi dan subjek penelitian, metode penelitian, definisi operasional, instrumen penelitian, teknik pengumpulan data dan analisis data. BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Membahas mengenai deskripsi umum lokasi penelitian, hasil penelitian dan pembahasan penelitian. BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Berisi penafsiran dan pemaknaan terhadap hasil analisis temuan penelitian berupa kesimpulan dan saran.