PENDUGAAN KONSENTRASI TOTAL SUSPENDED SOLID (TSS) DAN TRANSPARANSI PERAIRAN TELUK JAKARTA DENGAN CITRA SATELIT LANDSAT

dokumen-dokumen yang mirip
PENDUGAAN KONSENTRASI KLOROFIL-a DAN TRANSPARANSI PERAIRAN TELUK JAKARTA DENGAN CITRA SATELIT LANDSAT

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS CAHAYA DENGAN KEKERUHAN PADA PERAIRAN TELUK AMBON DALAM

BAB I PENDAHULUAN. dapat dimanfaatkan secara tepat tergantung peruntukkannya. perkembangan yang sangat pesat. Pemanfaatan teknologi penginderaan jauh

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilakukan di wilayah yang tercemar tumpahan minyak dari

STUDI PERUBAHAN LUASAN TERUMBU KARANG DENGAN MENGGUNAKAN DATA PENGINDERAAN JAUH DI PERAIRAN BAGIAN BARAT DAYA PULAU MOYO, SUMBAWA

PENDUGAAN KONSENTRASI KLOROFIL-a DAN TRANSPARANSI PERAIRAN TELUK JAKARTA DENGAN CITRA SATELIT LANDSAT

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik

DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS VEGETASI MANGROVE GUGUS PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU MENGGUNAKAN CITRA FORMOSAT 2 DAN LANDSAT 7/ETM+

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

ESTIMASI KONSENTRASI PADATAN TERSUSPENSI (TSS) DAN KLOROFIL-A DARI CITRA MODIS HUBUNGANNYA DENGAN MARAK ALGA DI PERAIRAN TELUK JAKARTA

3. METODOLOGI. Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret hingga Oktober Survei

2. TINJAUAN PUSTAKA. Teluk Jakarta terletak di utara kota Jakarta yang dibatasi oleh garis bujur

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Pada Gambar 7 tertera citra MODIS level 1b hasil composite RGB: 13, 12

PERUBAHAN DARATAN PANTAI DAN PENUTUPAN LAHAN PASCA TSUNAMI SECARA SPASIAL DAN TEMPORAL DI PANTAI PANGANDARAN, KABUPATEN CIAMIS JAWA BARAT

Pola Sebaran Total Suspended Solid (TSS) di Teluk Jakarta Sebelum dan Sesudah Reklamasi

STUDI PERSEBARAN KONSENTRASI MUATAN PADATAN TERSUSPENSI MENGGUNAKAN CITRA SATELIT TERRA MODIS DI SELAT MADURA

ANALISIS SPASIAL SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN LAUT JAWA PADA MUSIM TIMUR DENGAN MENGGUNAKAN DATA DIGITAL SATELIT NOAA 16 -AVHRR

ANALISA PENENTUAN LOKASI BUDIDAYA RUMPUT LAUT DENGAN PARAMETER FISIKA MAUPUN KIMIA MENGGUNAKAN CITRA TERRA MODIS DI DAERAH SELAT MADURA

Identifikasi Lokasi Potensial Budidaya Tiram Mutiara Dengan Mengunakan Citra Satelit Landsat 7 ETM+

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Prasarana Wilayah (ATPW), Surabaya, 11 Juni 2015, ISSN

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

APLIKASI DATA INDERAAN MULTI SPEKTRAL UNTUK ESTIMASI KONDISI PERAIRAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN HASIL TANGKAPAN IKAN PELAGIS DI SELATAN JAWA BARAT

Bab IV Hasil dan Pembahasan

2. TINJAUAN PUSTAKA Pemanfaatan Citra Satelit Untuk Pemetaan Perairan Dangkal

Pola Spasial dan Temporal Total Suspended Solid (TSS) dengan Citra SPOT di Estuari Cimandiri, Jawa Barat

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

PENGGUNAAN METODE MATCHING UNTUK PENENTUAN KESESUAIAN LOKASI BUDIDAYA RUMPUT LAUT DI KABUPATEN SUMENEP MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian yang meliputi pengolahan data citra dilakukan pada bulan Mei

TEKNIK PENGUKURAN NILAI TOTAL SUSPENDED SOLID (TSS) DAN KEKERUHAN PADA PERAIRAN SEKITAR LOKASI UNIT PENGOLAHAN IKAN DI KABUPATEN INDRAMAYU JAWA BARAT

FITOPLANKTON : DISTRIBUSI HORIZONTAL DAN HUBUNGANNYA DENGAN PARAMETER FISIKA KIMIA DI PERAIRAN DONGGALA SULAWESI TENGAH

2. TINJAUAN PUSTAKA. cahaya, sudut datang cahaya, kondisi permukaan perairan, bahan yang terlarut,

EVALUASI PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN WILAYAH PERAIRAN PESISIR SURABAYA TIMUR SIDOARJO DENGAN MENGGUNAKAN CITRA SATELIT MULTITEMPORAL

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang.

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321

KERENTANAN TERUMBU KARANG AKIBAT AKTIVITAS MANUSIA MENGGUNAKAN CELL - BASED MODELLING DI PULAU KARIMUNJAWA DAN PULAU KEMUJAN, JEPARA, JAWA TENGAH

IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi

BAB I PENDAHLUAN 1.1. Latar Belakang

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

menunjukkan nilai keakuratan yang cukup baik karena nilai tersebut lebih kecil dari limit maksimum kesalahan rata-rata yaitu 0,5 piksel.

Gambar 10. Peta Jakarta dan Teluk Jakarta

POLA DISTRIBUSI SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELUK AMBON DALAM

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

ANALISIS KELEMBABAN TANAH PERMUKAAN MELALUI CITRA LANDSAT 7 ETM+ DI WILAYAH DATARAN KABUPATEN PURWOREJO

METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

STUDI PERUBAHAN SUHU PERMUKAAN LAUT (SPL) MENGGUNAKAN SATELIT AQUA MODIS

BAB III METODA. Gambar 3.1 Intensitas total yang diterima sensor radar (dimodifikasi dari GlobeSAR, 2002)

LAMPIRAN 1 HASIL KEGIATAN PKPP 2012

ix

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut dan Salinitas pada Indomix Cruise

KANDUNGAN ZAT PADAT TERSUSPENSI (TOTAL SUSPENDED SOLID) DI PERAIRAN KABUPATEN BANGKA

ES R K I R P I S P I S SI S S I TEM

Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997

Pemetaan Distribusi Spasial Konsentrasi Klorofil-a dengan Landsat 8 di Danau Towuti dan Danau Matano, Sulawesi Selatan

ANALISIS SINAR MERAH, HIJAU, DAN BIRU (RGB) UNTUK MENGUKUR KELIMPAHAN FITOPLANKON (Chlorella sp.) Oleh: Merizawati C

PENENTUAN POLA SEBARAN KONSENTRASI KLOROFIL-A DI SELAT SUNDA DAN PERAIRAN SEKITARNYA DENGAN MENGGUNAKAN DATA INDERAAN AQUA MODIS

KARAKTERISTIK CITRA SATELIT Uftori Wasit 1

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

PERUBAHAN LUAS EKOSISTEM MANGROVE DI KAWASAN PANTAI TIMUR SURABAYA

PERUBAHAN DELTA DI MUARA SUNGAI PORONG, SIDOARJO PASCA PEMBUANGAN LUMPUR LAPINDO

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

SENSOR DAN PLATFORM. Kuliah ketiga ICD

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Lahan dan Penggunaan Lahan 2.2 Perubahan Penggunaan Lahan dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya

PENGARUH SEDIMEN BERMINYAK TERHADAP PERTUMBUHAN MIKROALGA Isochrysis sp.

Gambar 1. Satelit Landsat

PENGUKURAN KARAKTERISTIK AKUSTIK SUMBER DAYA PERIKANAN DI LAGUNA GUGUSAN PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU

2. TINJAUAN PUSTAKA. Suhu permukaan laut Indonesia secara umum berkisar antara O C

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PERBEDAAN KETEBALAN INTEGRASI DASAR PERAIRAN DENGAN INSTRUMEN HIDROAKUSTIK SIMRAD EY-60 DI PERAIRAN KEPULAUAN PARI

ANALISA KESEHATAN VEGETASI MANGROVE BERDASARKAN NILAI NDVI (NORMALIZED DIFFERENCE VEGETATION INDEX ) MENGGUNAKAN CITRA ALOS

PENGEMBANGAN INSTRUMENTASI PENGUKUR KELIMPAHAN CHLORELLA SP. BERDASARKAN ANALISIS RGB DENGAN MENGGUNAKAN EFEK FLUORESCENCE

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

MASPARI JOURNAL Juli 2015, 7(2):25-32

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO

Generated by Foxit PDF Creator Foxit Software For evaluation only. 23 LAMPIRAN

ANALISA SEDIMEN TERSUSPENSI (TOTAL SUSPENDED MATTER) DI PERAIRAN TIMUR SIDOARJO MENGGUNAKAN CITRA SATELIT LANDSAT DAN SPOT

BAB I PENDAHULUAN km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih km 2 (Moosa et al

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A.

DISTRIBUSI HUTAN ALAM DAN LAJU PERUBAHANNYA MENURUT KABUPATEN DI INDONESIA LUKMANUL HAKIM E

Endang Prinina 1, Lalu Muhamad Jaelani 1, Salam Tarigan 2 1

Perubahan Nilai Konsentrasi TSM dan Klorofil-a serta Kaitan terhadap Perubahan Land Cover di Kawasan Pesisir Tegal antara Tahun

ESTIMASI KLOROFIL-A DAN SUHU PERMUKAAN LAUT DARI CITRA SATELIT MULTI SENSOR DAN MULTI TEMPORAL DI TELUK JAKARTA

11/25/2009. Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi. Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I

GEOKIMIA Pb, Cr, Cu DALAM SEDIMEN DAN KETERSEDIAANNYA PADA BIOTA BENTIK DI PERAIRAN DELTA BERAU, KALIMANTAN TIMUR

Nilai Io diasumsikan sebagai nilai R s

3. METODOLOGI PENELITIAN

SEBARAN TOTAL SUSPENDED SOLID (TSS) PADA PROFIL VERTIKAL DI PERAIRAN SELAT MADURA KABUPATEN BANGKALAN

SEBARAN MENEGAK KONSENTRASI Pb, Cu, Zn, Cd, DAN Ni DI SEDIMEN PULAU PARI BAGIAN UTARA KEPULAUAN SERIBU. Oleh : ACHMAD AULIA RACHMAN C

2. TINJAUAN PUSTAKA. sebaran dan kelimpahan sumberdaya perikanan di Selat Sunda ( Hendiarti et

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

3. METODE PENELITIAN

GD 319 PENGOLAHAN CITRA DIGITAL KOREKSI RADIOMETRIK CITRA

Identifikasi Sebaran Sedimentasi dan Perubahan Garis Pantai Di Pesisir Muara Perancak-Bali Menggunakan Data Citra Satelit ALOS AVNIR-2 Dan SPOT-4

Transkripsi:

PENDUGAAN KONSENTRASI TOTAL SUSPENDED SOLID (TSS) DAN TRANSPARANSI PERAIRAN TELUK JAKARTA DENGAN CITRA SATELIT LANDSAT INDAH BUDI LESTARI SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini, saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul : PENDUGAAN KONSENTRASI TOTAL SUSPENDED SOLID (TSS) DAN TRANSPARANSI PERAIRAN TELUK JAKARTA DENGAN CITRA SATELIT LANDSAT adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan pada Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, Agustus 2009 INDAH BUDI LESTARI C54052416

RINGKASAN INDAH BUDI LESTARI. Pendugaan Konsentrasi Total Suspended Solid (TSS) dan Transparansi Perairan Teluk Jakarta dengan Citra Satelit Landsat. Dibimbing oleh Vincentius P. Siregar dan Sam Wouthuyzen. Teluk Jakarta memiliki peranan penting dari segi ekonomi maupun ekologi, dan dilalui oleh 13 sungai yang secara langsung maupun tidak langsung memasukkan berbagai zat organik dan anorganik kedalamnya. Total Suspended Solid (TSS) adalah semua zat padat (pasir, lumpur, dan tanah liat) atau partikelpartikel yang tersuspensi dalam air berupa komponen biotik (fitoplankton, zooplankton, bakteri, fungi,dll), ataupun komponen abiotik (detritus dan partikelpartikel anorganik). Kecerahan adalah ukuran transparansi perairan dan bergantung pada warna dan kekeruhan. Tujuan dari penelitian ini adalah mengembangkan algoritma empiris yang sesuai untuk menduga konsentrasi TSS dan transparansi perairan serta memetakan konsentrasi TSS dan transparansi perairan Teluk Jakarta pada musim kemarau dan hujan. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret hingga Juli 2009 di perairan Teluk Jakarta. Metode yang digunakan adalah pengembangan model dari parameter fisik perairan yaitu TSS dan transparansi perairan menggunakan data satelit Landsat TM. Algoritma empiris yang sesuai untuk menduga konsentrasi TSS adalah persamaan regresi model polynomial orde 3 yaitu y = -26390x 3 + 35823x 2-16250x + 2468.4 untuk musim kemarau dan y = 24197x 3-22050x 2 + 6813x - 664.98 untuk musim hujan. Pendugaan transparansi perairan Teluk Jakarta menggunakan persamaan regresi model power untuk musim kemarau yaitu y = 85.63x 2.905 dan model polynomial orde 2 untuk musim hujan yaitu y = 378.2x 2-137.7x + 9.688. Algoritma tersebut dihasilkan dari hubungan antara nilai reflektansi transformasi kromatisiti kanal biru (x) dengan data in situ TSS dan transparansi perairan (y). Konsentrasi TSS di perairan Teluk Jakarta pada musim kemarau sangat tinggi yaitu > 100 mg/l dan 50-100 mg/l pada musim hujan. Transparansi perairan Teluk Jakarta pada musim kemarau dan hujan rata-rata berkisar antara 0-4 m dan 5-10 m, dengan sebaran transparansi paling rendah pada musim kemarau. Banyaknya sungai-sungai yang bermuara di perairan Teluk Jakarta membawa masukan partikel-partikel terutama TSS yang dapat dijadikan salah satu indikator pencemaran perairan. Hasil pendugaan konsentrasi TSS dan transparansi dapat dikatakan bahwa perairan Teluk Jakarta merupakan perairan yang tercemar karena memiliki kisaran konsentrasi TSS dan transparansi melebihi nilai ambang batas perairan yang sesuai untuk bidang perikanan.

Hak cipta milik Indah Budi Lestari, tahun 2009 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun, baik cetak, fotokopi, microfilm, dan sebagainya

PENDUGAAN KONSENTRASI TOTAL SUSPENDED SOLID (TSS) DAN TRANSPARANSI PERAIRAN TELUK JAKARTA DENGAN CITRA SATELIT LANDSAT INDAH BUDI LESTARI SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Kelautan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

Judul Nama NRP SKRIPSI : PENDUGAAN KONSENTRASI TOTAL SUSPENDED SOLID (TSS) DAN TRANSPARANSI PERAIRAN TELUK JAKARTA DENGAN CITRA SATELIT LANDSAT : Indah Budi Lestari : C54052416 Pembimbing I Menyetujui, Pembimbing II Dr. Ir. Vincentius P. Siregar, DEA Dr. Ir. Sam Wouthuyzen, M.Sc NIP. 19561103 198503 1 003 NIP. 320003368 Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan Prof. Dr. Ir. Setyo Budi Susilo,M.Sc NIP. 19580909 198303 1 003 Tanggal Lulus : 27 Agustus 2009

KATA PENGANTAR Puji syukur kepada ALLAH SWT karena dengan rahmat dan karunia-nya kepada Penulis sehingga mampu menyelesaikan skripsi. Skripsi ini di susun berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada bulan Maret sampai bulan Juli 2009 di Perairan Teluk Jakarta. Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1. Dr. Ir. Vincentius P. Siregar, DEA dan Dr. Ir. Sam Wouthuyzen, M.Sc selaku dosen pembimbing. 2. Dr. Ir. Jonson Lumban Gaol, M.Si sebagai dosen penguji dan Dr. Ir. Henry M. Manik, M.T sebagai Ketua Komisi Pendidikan Departemen ITK, FPIK, IPB. 3. Dr. Ir. Totok Hestirianoto, M.Sc selaku pembimbing akademik. 4. Kedua orang tua dan seluruh keluarga atas doa dan dukungan yang diberikan dalam berbagai hal. 5. Teman-teman ITK 42 yang selalu memberikan informasi akademik dan memotivasi penulis demi kelancaran penulisan skripsi. 6. Teman-teman Pondok Delima yang selalu memberikan dukungan dan motivasi. 7. Pihak-pihak lain yang turut membantu dalam penulisan skripsi. Akhir kata, semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan. Bogor, Agustus 2009 Penulis

DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... x xi xiii 1. PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar belakang... 1 1.2 Tujuan... 2 2. TINJAUAN PUSTAKA... 3 2.1 Kondisi umum Teluk Jakarta... 3 2.2 Total Suspended Solid (TSS)... 4 2.3 Kecerahan perairan... 5 2.4 Satelit Landsat... 7 2.5 Teknologi penginderaan jauh untuk mendeteksi karakteristik spektral TSS... 9 2.6 Teknologi penginderaan jauh untuk mendeteksi karakteristik spektral transparansi perairan... 13 3. BAHAN DAN METODE... 15 3.1 Waktu dan tempat penelitian... 15 3.2 Alat dan bahan... 16 3.3 Proses pengolahan data... 18 3.3.1 Koreksi citra... 19 3.3.2 Pengembangan model... 20 3.3.3 Asumsi dan hipotesis... 22 3.3.4 Pendugaan model... 22 3.3.5 Validasi data... 24 3.4 Pemetaan TSS dan transparansi perairan Teluk Jakarta... 26 4. HASIL DAN PEMBAHASAN... 27 4.1 Pengembangan model pendugaan TSS... 27 4.2 Pengembangan model pendugaan transparansi perairan... 30 4.3 Pengujian dan validasi data... 34 4.3.1 Uji-t... 34 4.3.2 Uji-F... 36

4.4 Pemetaan konsentrasi TSS dan transparansi perairan... 37 4.4.1 Musim kemarau... 38 4.4.2 Musim hujan... 49 4.5 Rata-rata konsentrasi TSS... 55 4.5.1 Rata-rata konsentrasi TSS pada musim kemarau... 56 4.5.2 Rata-rata konsentrasi TSS pada musim hujan... 58 4.5.3 Analisis TSS Teluk Jakarta... 60 4.6 Rata-rata transparansi perairan... 65 4.6.1 Rata-rata transparansi perairan pada musim kemarau... 65 4.6.2 Rata-rata transparansi perairan pada musim hujan... 68 4.6.3 Analisis transparansi perairan Teluk Jakarta... 70 4. KESIMPULAN DAN SARAN... 75 5.1 Kesimpulan... 75 5.2 Saran... 75 DAFTAR PUSTAKA... 76 LAMPIRAN... 80 RIWAYAT HIDUP... 96

DAFTAR TABEL Halaman 1. Karakteristik satelit Landsat... 8 2. Beberapa algoritma untuk mendeteksi TSS... 13 3. Beberapa algoritma untuk mendeteksi transparansi perairan... 15 4. Spesifikasi perolehan data konsentrasi TSS dan transparansi perairan... 17 5. Bentuk persamaan regresi untuk model hubungan... 21 6. Analisis sidik ragam regresi untuk uji-f... 26 7. Algoritma pendugaan TSS pada musim kemarau (Mei - Oktober)... 29 8. Algoritma pendugaan TSS pada musim hujan (November April)... 30 9. Algoritma pendugaan transparansi perairan pada musim kemarau (Mei - Oktober)... 32 10. Algoritma pendugaan transparansi perairan pada musim hujan (November - April)... 33 11. Hasil Uji-t masing-masing variabel... 35 12. Hasil Uji-F antara TSS dan transparansi perairan hasil pendugaan... 37 13. Klasifikasi derajat pencemaran berdasarkan kadar TSS... 63 14. Pendugaan transparansi rata-rata pada tahun 2004-2009... 82

DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Perairan kasus I dimana c1>c2>c3... 10 2. Perairan kasus II dimana c1>c2>c3>c4... 10 3. Hubungan antara radiasi matahari pantulan dengan panjang gelombang pada konsentrasi TSS yang berbeda-beda di permukaan air... 12 4. Kemampuan penetrasi sinar tampak hingga kedalaman 10 m pada perairan jernih... 14 5. Kurva spektral pada beberapa objek... 15 6. Lokasi penelitian di perairan Teluk Jakarta... 16 7. Diagram alir proses pengolahan data... 18 8. Hubungan antara kromatisiti kanal biru dengan TSS in situ perairan pada musim kemarau (a) dan musim hujan (b)... 28 9. Hubungan antara kromatisiti kanal biru dengan transparansi in situ perairan pada musim kemarau (a) dan musim hujan (b)... 34 10. Selang wilayah penerimaan atau penolakan hipotesis... 36 11. Sebaran konsentrasi TSS (a) dan transparansi perairan (b) musim kemarau pada tahun 2004... 42 12. Sebaran konsentrasi TSS (a) dan transparansi perairan (b) musim kemarau pada tahun 2005... 44 13. Sebaran konsentrasi TSS (a) dan transparansi perairan (b) musim kemarau pada tahun 2006... 46 14. Sebaran konsentrasi TSS (a) dan transparansi perairan (b) musim kemarau pada tahun 2007... 47 15. Sebaran konsentrasi TSS (a) dan transparansi perairan (b) musim kemarau pada tahun 2008... 48 16. Sebaran konsentrasi TSS (a) dan transparansi perairan (b) musim kemarau pada tahun 2009... 49 17. Sebaran konsentrasi TSS (a) dan transparansi perairan (b) musim hujan pada tahun 2004... 50

18. Sebaran konsentrasi TSS (a) dan transparansi perairan (b) musim hujan pada tahun 2005... 51 19. Sebaran konsentrasi TSS (a) dan transparansi perairan (b) musim hujan pada tahun 2006... 52 20. Sebaran konsentrasi TSS (a) dan transparansi perairan (b) musim hujan pada tahun 2007... 53 21. Sebaran konsentrasi TSS (a) dan transparansi perairan (b) musim hujan pada tahun 2008... 54 22. Sebaran konsentrasi TSS (a) dan transparansi perairan (b) musim hujan pada tahun 2009... 55 23. Sebaran rata-rata konsentrasi TSS musim kemarau 2004-2009: (a) 2004; (b) 2005; (c) 2006; (d) 2007; (e) 2008; dan (f) 2009... 57 24. Sebaran rata-rata konsentrasi TSS musim hujan 2004-2009: (a) 2004; (b) 2005; (c) 2006; (d) 2007; (e) 2008; dan (f) 2009... 59 25. Hubungan antara TSS in situ dengan TSS dugaan pada musim kemarau dan hujan... 61 26. Pendugaan konsentrasi TSS secara kuantitatif pada musim kemarau (a) dan musim hujan (b)... 62 27. Sebaran rata-rata transparansi perairan musim kemarau 2004-2009: (a) 2004; (b) 2005; (c) 2006; (d) 2007; (e) 2008; dan (f) 2009... 67 28. Sebaran rata-rata transparansi perairan musim hujan 2004-2009: (a) 2004; (b) 2005; (c) 2006; (d) 2007; (e) 2008; dan (f) 2009... 69 29. Hubungan antara transparansi in situ dengan transparansi dugaan pada musim kemarau dan hujan... 70 30. Hubungan antara transparansi in situ dengan transparansi dugaan pada musim kemarau dan hujan... 62

DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Analisis penentuan konsentrasi TSS dengan metode Gravimetrik... 80 2. Uji-t antara TSS in situ dengan TSS pengembangan model pada musim kemarau... 81 3. Uji-t antara TSS in situ dengan TSS pengembangan model pada musim hujan... 82 4. Uji-t antara transparansi in situ dengan transparansi pengembangan model pada musim kemarau... 83 5. Uji-t antara transparansi in situ dengan transparansi pengembangan model pada musim hujan... 84 6. Uji-F antara TSS dan transparansi perairan hasil dugaan pada musim kemarau... 85 7. Uji-F antara TSS dan transparansi perairan hasil dugaan pada musim hujan... 86 8. Data TSS in situ dan dugaan pada musim kemarau... 87 9. Data TSS in situ dan dugaan pada musim hujan... 91 10. Data transparansi in situ dan dugaan pada musim kemarau... 92 11. Data transparansi in situ dan dugaan pada musim hujan... 95

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perairan Teluk Jakarta bermuara 13 sungai besar dan kecil, tiga sungai besar antara lain Sungai Cisadane, Ciliwung, dan Citarum, sedangkan 10 sungai kecil antara lain Sungai Kamal, Cengkareng, Angke, Karang, Ancol, Sunter, Cakung, Blencong, Grogol, dan Pasanggrahan. Sungai-sungai tersebut melalui berbagai kota besar seperti Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (wilayah Jabodetabek), yang memiliki penduduk lebih dari 20 juta jiwa (Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia et al., 2009). Jadi tidak dapat disangkal bahwa sungaisungai tersebut membawa berbagai bahan organik maupun anorganik yang membuat kualitas perairan Teluk Jakarta mengalami degradasi dari tahun ke tahun. Berbagai pencemaran telah terjadi di Teluk Jakarta seperti proses eutrofikasi yang disebabkan pengkayan nutrien kedalam Teluk ini, sehingga menimbulkan kerusakan habitat terumbu karang akibat sedimentasi dan penurunan transparansi, pencemaran tersebut antara lain tumpahan minyak, logam berat, sampah, dan lainnya (Damar, 2004). Di sisi lain, Teluk Jakarta memiliki potensi ekonomi yang penting di berbagai sektor seperti pariwisata, perikanan (budidaya laut dan perikanan tangkap), perhubungan, cagar alam, pendidikan dan pelatihan (misal Pulau Pari), dan sebagainya. Perairan ini merupakan lahan kehidupan ribuan manusia, mulai dari nelayan, pelaku bisnis, hingga masyarakat umum lainnya (Damar, 2004). Teluk Jakarta merupakan sebuah ekosistem perairan yang mendapat tekanan ekologis dan ekonomis yang tinggi dari manusia. Perairan ini secara ekologis

menjadi penting karena menopang kehidupan biota laut di Laut Jawa serta mendapat ancaman serius pencemaran melalui limbah hasil kegiatan seluruh manusia di Kota Jakarta dan sekitarnya melalui 13 sungai yang masuk kedalamnya (Damar, 2004). Salah satu usaha pengelolaan Teluk Jakarta adalah melakukan pemantauan kualitas perairan secara efektif dan efisien serta terus-menerus. Belakangan ini teknologi penginderaan jauh merupakan salah satu alat yang dapat digunakan untuk memantau kualitas perairan. 1.2 Tujuan Dalam penelitian ini teknologi penginderaan jauh dengan memakai data multitemporal citra satelit Landsat digunakan untuk memonitoring beberapa parameter kualitas perairan, seperti Total Suspended Solid (TSS) dan transparansi perairan. Tujuan penelitian ini adalah: 1. Mengembangkan algoritma empiris yang sesuai untuk menduga konsentrasi TSS dan transparansi perairan. 2. Memetakan konsentrasi TSS dan transparansi perairan Teluk Jakarta pada musim kemarau dan hujan. 3. Menggunakan peta-peta yang dihasilkan untuk melihat kecenderungan perubahan Total Suspended Solid (TSS) dan transparansi perairan Teluk Jakarta.

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Umum Teluk Jakarta Secara geografis Teluk Jakarta terletak pada koordinat 5 48 29.88 LS - 6 10 30 LS dan 106 33 00 BT - 107 03 00 BT. Garis pantai Teluk Jakarta ± 80 km dengan kedalaman rata-rata 15 m, dasar perairan yang landai dan semakin ke utara semakin dalam. Di bagian barat terdapat Tanjung Pasir dan di sebelah timur terdapat Tanjung Karawang. Teluk Jakarta memiliki peranan penting baik dari segi ekonomi maupun ekologis. Secara ekologis Teluk ini menjadi penting karena menopang kehidupan biota laut di Laut Jawa serta mendapat ancaman serius berupa pencemaran limbah hasil kegiatan manusia di Jakarta dan sekitarnya yang masuk melalui 13 sungai. Secara ekonomis, perairan ini merupakan lahan kehidupan ribuan manusia mulai dari nelayan, pelaku bisnis, hingga masyarakat umum lainnya, serta kegiatan pariwisata bahari di Pantai Teluk Jakarta hingga di gugusan Kepulauan Seribu (Damar, 2004). Di lihat dari iklimnya, Teluk Jakarta dipengaruhi oleh Musim Barat (hujan) terjadi pada bulan November - April dan Musim Timur (kemarau) dari bulan Desember - Februari. Dua musim transisi/peralihan yaitu musim peralihan I (Maret - Mei) dan musim peralihan II (September - November). Pada musim hujan angin berhembus kencang dan arus kuat bergerak dari barat daya sampai barat laut disertai hujan yang cukup deras (curah hujan 100-400 mm). Kecepatan angin mencapai 0,7-20 knot/jam. Arus yang kuat dengan kecepatan mencapai 4-5 knot/jam dan tinggi gelombang dapat mencapai 2 meter mengakibatkan kejernihan air laut berkurang. Pada musim kemarau angin bertiup dari arah timur sampai tenggara dengan kecepatan 0,7-15 knot/jam dan curah hujan 50-100 mm.

Pada musim peralihan kondisi laut berubah-ubah namun relatif tenang (Sub Balai Konservasi Sumberdaya Alam DKI Jakarta, 1995). Distribusi suhu di perairan Teluk Jakarta selalu berubah di setiap musimnya dengan kisaran suhu antara 28 o C - 32 o C. Pada musim hujan suhu rata-rata permukaan air laut di Teluk Jakarta sebesar 28.31 o C dan memasuki musim peralihan I suhu rata-rata naik mencapai 29.31 o C. Pada musim kemarau suhu rata-rata turun menjadi 28.29 o C dan naik kembali di musim peralihan II menjadi 29.29 o C (Arief, 1980). Salinitas perairan Teluk Jakarta secara umum berkisar antara 28-32 o / oo (Ilahude, 1980). Perairan Teluk Jakarta mengalami variasi tahunan nilai salinitas, dimana terdapat 2 nilai maksimal dan 2 nilai minimal. Bulan November merupakan nilai salinitas maksimal utama dan bulan Mei adalah nilai salinitas maksimal sekunder. Sedangkan bulan Januari dan Juli merupakan nilai salinitas minimal utama dan sekunder. Perubahan nilai salinitas bergantung dari kondisi lingkungan, seperti pasang surut dan curah hujan (Ilahude, 1980). 2.2 Total Suspended Solid (TSS) TSS adalah bahan-bahan tersuspensi (diameter > 1 µm) yang tertahan pada saringan miliopore dengan diameter pori 0.45 µm. TSS terdiri dari lumpur dan pasir halus serta jasad-jasad renik. Penyebab TSS di perairan yang utama adalah kikisan tanah atau erosi tanah yang terbawa ke badan air. Konsentrasi TSS apabila terlalu tinggi akan menghambat penetrasi cahaya ke dalam air dan mengakibatkan terganggunya proses fotosintesis. Penyebaran TSS di perairan pantai dan estuari dipengaruhi oleh beberapa faktor fisik antara lain angin, curah hujan, gelombang, arus, dan pasang surut (Effendi, 2000).

Sastrawijaya (2000) menyatakan bahwa konsentrasi TSS dalam perairan umumnya terdiri dari fitoplankton, zooplankton, limbah manusia, limbah hewan, lumpur, sisa tanaman dan hewan, serta limbah industri. Bahan-bahan yang tersuspensi di perairan alami tidak bersifat toksik, akan tetapi jika jumlahnya berlebihan dapat meningkatkan nilai kekeruhan yang selanjutnya menghambat penetrasi cahaya matahari ke kolom air (Effendi, 2000). TSS di Teluk Jakarta mengalami fluktuasi tahunan yang hampir sama. Konsentrasi TSS maksimum dicapai pada bulan Januari (musim hujan) dan bulan Agustus (musim kemarau), sedangkan konsentrasi TSS minimum ditemukan pada bulan Mei (musim peralihan hujan - kemarau) dan bulan November (musim peralihan kemarau - hujan). Konsentrasi TSS tertinggi yang pernah dicapai pada bulan-bulan maksimum tahunan (Januari dan Agustus) adalah 109.7 mg/l dan 42.0 mg/l, sedangkan pada bulan-bulan minimum tahunan (Mei - November) adalah 24.8 mg/l dan 19.0 mg/l (Setiapermana dan Nontji, 1980). 2.3 Kecerahan Perairan Kecerahan perairan bergantung pada zat-zat tersuspensi didalamnya baik organik maupun anorganik. Kecerahan atau transparansi perairan ditentukan secara visual dengan menggunakan cakram yang disebut secchi disk berdiameter 30 cm yang pertama kali dikembangkan oleh Profesor Secchi sekitar abad 19. Pada penggunaan secchi disk, kekeruhan perairan dikuantitatifkan dalam suatu nilai yang dikenal dengan kedalaman secchi disk (Jeffries dan Mills, 1996 in Effendi, 2000). Nilai kecerahan yang dinyatakan dengan satuan meter ini sangat dipengaruhi oleh keadaan cuaca, waktu pengukuran, kekeruhan, dan padatan

tersuspensi serta ketelitian orang yang melakukan pengukuran. Pengukuran kecerahan sebaiknya dilakukan pada saat cuaca cerah (Effendi, 2000). Kekeruhan menggambarkan suatu sifat optik air yang ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat dalam air. Kekeruhan disebabkan oleh bahan organik dan anorganik baik tersuspensi maupun terlarut seperti lumpur, pasir halus, bahan anorganik, dan bahan organik seperti plankton dan mikroorganisme lainnya (APHA, 1976; Davis dan Cornwell, 1991 in Effendi, 2000). Satuan kekeruhan adalah unit turbiditas setara dengan 1 mg/l SiO2. Satuan kekeruhan dengan metode Nephelometric adalah Nephelometric Turbidity Unit (NTU). Kekeruhan yang tinggi atau kecerahan yang rendah dapat menghambat penetrasi cahaya kedalam air dan mengakibatkan terganggunya proses fotosintesis. Tingkat kecerahan perairan dapat menunjukkan sampai sejauh mana penetrasi cahaya matahari menembus kolom perairan. Semakin tinggi kekeruhan perairan, maka akan semakin rendah penetrasi cahaya yang menembus kolom air, sehingga tingkat kecerahan semakin rendah (Mujito et. al., 1997). Kecerahan perairan Teluk Jakarta berkisar antara 1.5-23 m dengan kecerahan terendah berada di daerah pantai dan yang tertinggi di daerah lepas pantai. Perbedaan kecerahan tersebut terutama karena di daerah pantai dipengaruhi oleh masukan bahan organik dan anorganik yang berasal dari sungai sehingga mengaburkan kecerahan perairan (Ilahude, 1980). Berdasarkan hasil pengamatan pada November 1991, diketahui tingkat kekeruhan dari muara ke arah lepas pantai perairan Teluk Jakarta cenderung menurun dan memiliki kisaran antara 4-6 NTU (Kantor Pengkajian Perkotaan dan Lingkungan, 1992). Pada musim kemarau

tahun 1993, nilai kekeruhan rata-rata perairan Teluk Jakarta berkisar antara 1.2-1.5 NTU (Kantor Pengkajian Perkotaan dan Lingkungan, 1994). 2.4 Satelit Landsat Sistem penginderaan jauh satelit secara umum terdiri dari objek permukaan bumi yang diindera atau diamati menggunakan sensor pengamat yang diletakkan pada wahana satelit yang bergerak pada orbitnya dengan pengamatan yang berulang dan liputan yang luas. Banyak satelit yang digunakan untuk memantau objek-objek di permukaan bumi yang disesuaikan dengan informasi yang dibutuhkan pengguna, salah satunya adalah satelit Landsat MSS (Multi Spectral Scanner), TM (Thematic Mapper), dan ETM (Enhanched Thematic Mapper). Satelit Landsat-7 ETM yang diluncurkan pada tanggal 15 April 1999 ini, sama seperti satelit-satelit pendahulunya juga berada pada ketinggian 705 km dengan periode edar 99 menit dan orbit polar sun-synchronous yang memotong garis khatulistiwa ke arah selatan pada waktu tetap yaitu pukul 10.00 waktu setempat (lokal) serta mempunyai sudut inklinasi 30. Satelit yang memiliki cakupan sebesar 185 km ini akan melewati lintasan (daerah) yang sama setiap 16 hari (LAPAN, 2000). Karakteristik dari sensor satelit Landsat-7 ETM yang dilengkapi oleh 8 kanal spektral disajikan pada Tabel 1. Sistem data yang diperoleh dari sensor Thematic Mapper (TM) diarahkan pada teknik pengenalan pola spektral sehingga dapat dihasilkan suatu citra terklasifikasi atau peta tematik.

Tabel 1. Karakteristik Satelit Landsat Kanal Spektral Resolusi Spasial Keterangan Kanal 1 : 0,45 0,52 µm 30 m x 30 m Cahaya Tampak (biru) Kanal 2 : 0,52 0,60 µm 30 m x 30 m Cahaya Tampak (hijau) Kanal 3 : 0,63 0,69 µm 30 m x 30 m Cahaya Tampak (merah) Kanal 4 : 0,76 0, 90 µm 30 m x 30 m Infra Merah Dekat Kanal 5 : 1,55 1,75 µm 30 m x 30 m Infra Merah Menengah Kanal 6 : 10,40-12,40 µm 60 m x 60 m Infra Merah Termal Kanal 7 : 2,08 2,35 µm 30 m x 30 m Infra Merah Menengah Kanal 8 : 0,5 0,9 µm 15 m x 15 m Pankromatik Sumber : LAPAN (2000). Menurut Maeden dan Kapetsky (1991), penerapan untuk setiap kanal pada sensor TM yaitu: Kanal 1 : penetrasi ke badan air, pemetaan perairan pesisir, serapan klorofil, pembeda tanah dan vegetasi. Kanal 2 : kesuburan vegetasi, pendugaan konsentrasi sedimen, dan bathimetri. Kanal 3 : daerah penyerapan klorofil dan membedakan jenis tanaman. Kanal 4 : membedakan badan air dan daratan, daerah pantulan vegetasi yang kuat. Kanal 5 : pengukuran kelembaban tanah dan vegetasi, daerah pantulan batuan. Kanal 6 : pemetaan termal dan informasi geologi termal. Kanal 7 : pemetaan hidrotermal dan membedakan tipe batuan (geologi/minyak). Energi pada cahaya biru (0,4-0,5 µm) mampu menembus kedalaman maksimal ± 25 meter, cahaya hijau (0,5-0,6 µm) ± 15 meter, cahaya merah (0,6-0,7 µm) ± 5 meter, infra merah dekat (0,7-0,8 µm) ± 0,5 meter, dan infra merah seluruhnya diserap oleh perairan (Green et al., 2000).

2.5 Teknologi Penginderaan Jauh untuk Mendeteksi Karakteristik Spektral TSS Teknologi penginderaan jauh telah banyak diaplikasikan untuk mempelajari kualitas perairan, salah satunya adalah TSS dan kecerahan. Kualitas perairan memiliki penetrasi cahaya yang berbeda pada daerah tertentu, dapat diketahui dengan teknik multispektral (Barret dan Curtis, 1982). Keberadaan materi-materi organik dan anorganik yang tersuspensi mempengaruhi nilai pantulan (reflektansi) dari suatu badan air. Informasi tentang nilai pantulan pada cahaya tampak dari badan air dapat digunakan untuk memberi gambaran kondisi dan kualitas perairan. Kekeruhan yang disebabkan oleh TSS adalah salah satu faktor yang mempengaruhi sifat spektral suatu badan air. Air yang keruh mempunyai nilai reflektansi yang lebih tinggi daripada air jernih (Hasyim, 1997). Keberadaan TSS pada permukan air dapat digolongkan sesuai dengan warnanya ke dalam kelas-kelas tertentu. Menurut Robinson (1985), berdasarkan sifat optiknya perairan dibagi menjadi 2, perairan kasus I yaitu perairan yang sifat optiknya didominasi oleh fitoplankton dan perairan kasus II yaitu perairan yang sifat optiknya didominasi oleh bahan-bahan tersuspensi selain fitoplankton seperti bahan anorganik atau substansi kuning (yellow substance). Perairan pada kasus I (Gambar 1), persentase reflektansi spektral pada panjang gelombang 400-500 nm akan semakin rendah apabila konsentrasi klorofil semakin tinggi (arah panah menunjukkan peningkatan konsentrasi klorofil). Hal tersebut menunjukkan bahwa klorofil mempunyai daya absorbsi yang tinggi terhadap panjang gelombang kanal biru. Pada panjang gelombang kanal merah (600-700

nm), semakin tinggi konsentrasi klorofil maka semakin tinggi pula persentase pantulannya. Keterangan: R = persentase reflektansi spektral (%) λ = panjang gelombang (nm) --- = spektrum air jernih = peningkatan konsentrasi klorofil c1, c2, c3 = konsentrasi TSS pada lapisan ke-1, 2, dan 3 Gambar 1. Perairan Kasus I dimana c1>c2>c3 (Robinson, 1985) Keterangan: R = persentase reflektansi spektral (%) λ = panjang gelombang (nm) --- = kurva reflektansi spektral TSS yang didominasi klorofil = arah perubahan bentuk kurva akibat perubahan konsentrasi TSS c1, c2, c3, c4 = konsentrasi TSS pada lapisan ke-1, 2, 3, dan 4 Gambar 2. Perairan Kasus II dimana c1<c2<c3<c4 (Robinson, 1985)

Pada perairan kasus II (Gambar 2) yang didominasi selain klorofil menunjukkan hal yang sebaliknya, yaitu pada panjang gelombang 400 nm hingga 500 nm nilai reflektansi semakin meningkat sejalan dengan meningkatnya konsentrasi TSS (Robinson, 1985). Keberadaan TSS dapat menyerap dan memantulkan spektrum radiasi cahaya tampak yang menembus ke bawah permukaan air, tetapi pengaruhnya lebih banyak bersifat sebagai pancaran balik (backscattering) sehingga memperlihatkan wujud air yang keruh. Pancaran balik (backscattering) yang disebabkan oleh TSS akan menghasilkan perbedaan reflektansi yang besar pada seluruh kisaran panjang gelombang sinar tampak dan lebih kecil pada panjang gelombang yang lebih pendek karena terjadi penyerapan oleh klorofil (Robinson, 1985). Reflektansi spektral merupakan persentase perbandingan jumlah energi REM yang meninggalkan objek dan diterima oleh sensor dengan jumlah energi yang mengenai objek tersebut (Lillesand dan Kiefer, 1990). Pengukuran pada perairan yang mengandung konsentrasi TSS sebesar 100 mg/l pada kedalaman > 30 cm menunjukkan bahwa nilai reflektansi hanya bergantung pada sifat perairan itu sendiri dan bukan merupakan fungsi dari bentuk dasar perairan (Kusumowidagdo, 1987). Menurut Robinson (1985) reflektansi spektral atau perbandingan reflektansi dapat dipakai untuk menduga parameter kualitas perairan. Konsentrasi TSS yang semakin tinggi akan memiliki nilai pantulan (reflektansi) yang juga semakin tinggi (Gambar 3). Pada panjang gelombang 600-700 nm konsentrasi TSS yang tinggi memiliki pantulan radiasi matahari yang tertinggi dan pantulan radiasi matahari semakin rendah dengan berkurangnya konsentrasi TSS di permukaan air.

Gambar 3. Hubungan antara Radiasi Matahari Pantulan dengan Panjang Gelombang pada Konsentrasi TSS yang berbeda-beda di Permukaan Air (Purbawasesa, 1995) Tassan dan d Alcala (1993) menggunakan algoritma citra Landsat dari kanal (band) tunggal yang memiliki korelasi paling tinggi terhadap data in situ TSS. Hasil penelitian Gitelson, et al. (1993) menunjukkan bahwa kanal yang lebih peka untuk mendeteksi TSS adalah kanal hijau dengan panjang gelombang 0.560 µm - 0.590 µm. Robinson (1985) juga menyatakan bahwa sebaiknya digunakan kanal tunggal untuk mendeteksi TSS dibandingkan dengan rasio antar kanal, karena berdasarkan bentuk kurva pada kasus II terlihat konsentrasi TSS tidak banyak berubah antar lapisan. Algoritma dengan rasio antar kanal menunjukkan korelasi yang kurang memuaskan dbandingkan dengan kanal tunggal (Robinson, 1985). Beberapa algoritma yang digunakan untuk mendeteksi TSS dengan satelit Landsat di berbagai perairan terlihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Beberapa Algoritma untuk Mendeteksi TSS No. Algoritma Referensi Lokasi 1 TSS = 100.6678 + 5.5058*b3 + Hasyim et. al. 0.4563*b3 2 + 0.9775*b2*b3 (1997) Situbondo 2 TSS = 3.3238*exp (34.099* Budhiman reflektansi kanal merah) (2004) Delta Mahakam Keterangan: b i = digital number kanal ke-i Menurut Kardono dan Suprajaka (1993), pada perairan jernih penetrasi energi dari kanal 2 (band hijau) dengan panjang gelombang 0.50 µm - 0.60 µm dapat masuk ke badan air hingga kedalaman 10 m, dan energi pada panjang gelombang 0.60 µm 0.70 µm (kanal merah) dapat menembus hingga kedalaman 3 m. Energi pada panjang gelombang 0.70 µm - 0.80 µm hanya dapat menembus badan air sedalam 1 m, dan hanya pada kedalaman 10 cm untuk panjang gelombang 0.80 µm - 0.11 µm. Pada penelitian yang berbeda, kanal 2 pada citra Landsat dengan panjang gelombang 0.50 µm 0.60 µm merupakan kanal terbaik untuk pengukuran perairan dangkal dengan kedalaman antara 5-15 m. Pada kanal dengan panjang gelombang < 0.5 µm akan diperoleh data pada perairan yang lebih dalam lagi karena kemampuan penetrasi energi maksimum terjadi pada panjang gelombang di bawah 0.5 µm. Menurut Butler et al. (1988), energi pada panjang gelombang kanal biru (0.45 µm - 0.52 µm) dan kanal hijau (0.52 µm - 0.60 µm) memiliki kemampuan penetrasi yang maksimal ke badan air jika dibandingkan dengan energi pada panjang gelombang yang lain, dan akan semakin menurun dengan semakin meningkatnya kekeruhan suatu perairan (Gambar 4).

Gambar 4. Kemampuan Penetrasi Sinar Tampak hingga Kedalaman 10 m pada Perairan Jernih (Butler et al., 1988) 2.6 Teknologi Penginderaan Jauh untuk Mendeteksi Karakteristik Spektral Transparansi Perairan Masing-masing energi panjang gelombang pada citra Landsat memiliki sensitifitas terhadap obyek yang berbeda, untuk membedakan tingkat kekeruhan perairan yang berhubungan dengan perbedaan tingkat sedimentasi dapat dilakukan dengan menggunakan kanal 2 citra satelit landsat. Energi pada kanal 2 (0.52 µm - 0.60 µm), tubuh air memantulkan tenaga elektromagnetik yang tinggi sehingga mengakibatkan nilai piksel pada data digital citra landsat menjadi tinggi. Kurva spektral beberapa obyek pada beberapa panjang gelombang diperlihatkan pada Gambar 5. Air keruh yang banyak mengandung partikel-partikel endapan lempung (silty water) memantulkan energi yang besar pada rentang panjang gelombang 0.52 µm - 0.60 µm (kanal hijau) dibandingkan air yang jernih, sehingga nilai pixel pada air keruh akan lebih tinggi dibanding air jernih. Hal ini diakibatkan oleh pantulan partikel-partikel lempung yang terkandung di dalam air tersebut (Maeden dan Kapetsky, 1991).

Gambar 5. Kurva Spektral pada Beberapa Objek (Maeden dan Kapetsky, 1991) Beberapa algoritma yang digunakan untuk mendeteksi transparansi perairan dengan satelit Landsat di berbagai perairan terlihat pada Tabel 3. Tabel 3. Beberapa Algoritma untuk Mendeteksi Transparansi Perairan No. Algoritma Referensi Lokasi 1 Kecerahan (m) = 17,51427-0,10925*b1 Lemigas (1997) - 2 ln (kecerahan) = 1.135 (L1/L2) - 3.193 danau di Chipman et. al. Wisconsin (2004) (USA) 3 Kecerahan (m) = 17.51427-0.10925*b1 LAPAN (2004) Situbondo Keterangan: b1 = digital number kanal 1 L1 = Spektral radiansi band 1 L2 = Spektral radiansi band 2

3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret sampai Juli 2009 dengan lokasi di perairan Teluk Jakarta yang terletak pada koordinat 5 53 23.3 LS - 6 07 46.9 LS dan 106 37 10.9 BT - 107 01 40.8 BT. Lokasi yang menjadi kajian penelitian terlihat pada Gambar 6. Gambar 6. Lokasi Penelitian di Perairan Teluk Jakarta 3.2 Alat dan Bahan Alat yang digunakan selama penelitian antara lain perangkat komputer, perangkat lunak Idrisi Andes (Clark Labs, Clark University 950 Main Street, Worcester MA 01610-1477 USA), perangkat lunak untuk layout peta, serta Microsoft Office.

Bahan yang digunakan dalam penelitian antara lain 22 citra satelit Landsat dengan path 122, row 64, dan tipe sensor ETM+. Akuisisi dan perolehan citra satelit Landsat terlihat pada Tabel 4. Citra Landsat hasil download diperoleh pada situs Landsat USGS, dari 22 citra satelit yang dikelompokkan atas dua musim, yaitu musim kemarau terdapat 15 citra dan musim hujan terdapat 7 citra. Tabel 4. Spesifikasi Perolehan Data Konsentrasi TSS dan Transparansi Perairan No. Tanggal Akuisisi Perolehan Citra Data in situ Citra Satelit Landsat P2O LIPI Hasil Download* (P2O LIPI) 1 21 Juni 2004-2 23 Juli 2004-3 24 Agustus 2004-4 9 September 2004-5 25 September 2004-6 11 Oktober 2004-7 12 November 2004-8 15 Januari 2005-9 16 Februari 2005-10 11 Agustus 2005-11 27 Agustus 2005-12 28 September 2005-13 26 Mei 2006-14 1 Oktober 2006-15 17 Oktober 2006-16 2 November 2006 - - 17 17 Agustus 2007 - - 18 7 Desember 2007 - - 19 8 Januari 2008 - - 20 18 Juli 2008 - - 21 31 Maret 2009 - - 22 2 Mei 2009 - - *) Di peroleh dari website: http://edcsns17.cr.usgs.gov/earthexplorer/ Bahan lainnya berupa data in situ konsentrasi TSS dan transparansi perairan Teluk Jakarta sebanyak 15 data sesuai dengan waktu yang hampir bersaman dengan waktu lewat satelit Landsat. Konsentrasi TSS ditentukan dari sampel air

laut yang di analisis di laboratorium P2O LIPI (Lampiran 1), sedangkan transparansi perairan di ukur langsung di lapangan dengan menggunakan secchi disk. 3.3 Proses Pengolahan Data Citra Satelit Pengolahan data dari citra satelit hingga menghasilkan output kajian secara umum terlihat pada Gambar 7. Kanal-kanal pada satelit Landsat TM yang digunakan hanya kanal 1 (biru), kanal 2 (hijau), dan kanal 3 (merah) untuk memperoleh nilai reflektansi. Transformasi yang digunakan untuk menduga konsentrasi TSS dan transparansi perairan adalah kromatisiti kanal biru. Citra Satelit Landsat Koreksi Citra Metode Cos(t) Model Reflektansi Kanal 1, 2, dan 3 Pengembangan Model Hipotesis dan asumsi Pengujian Model Memenuhi Syarat Tidak Ya Model Hubungan Pemetaan TSS dan Transparansi Perairan Gambar 7. Diagram Alir Proses Pengolahan Data

3.3.1 Koreksi Citra Perairan Teluk Jakarta merupakan daerah penelitian yang dikaji, oleh karena itu data citra satelit Landsat-7 ETM di potong (crpping) terlebih dahulu untuk mempersempit daerah kajian yang akan di olah. Koordinat citra perairan Teluk Jakarta adalah 5 53 23.3 LS - 6 07 46.9 LS dan 106 37 10.9 BT - 107 01 40.8 BT. Citra yang telah di potong kemudian dilakukan koreksi atmosferik. Citra satelit Landsat-7 ETM yang diperoleh melalui situs USGS sudah terkoreksi secara geometrik, sehingga tidak perlu dilakukan koreksi geometrik. Koreksi atmosferik dilakukan untuk mengurangi kesalahan akibat efek atmosferik yang disebabkan perbedaan sudut elevasi matahari dan jarak mataharibumi saat penerimaan data yang berbeda waktu. Koreksi atmosferik juga dilakukan untuk menghilangkan path radiance (noise angkasa). Koreksi atmosferik dapat dilakukan salah satunya dengan metode histogram adjustment. Secara matematis dapat dituliskan sebagai berikut: DN ijk (setelah dikoreksi) = DN ijk (sebelum dikoreksi) - DN bias k..... (pers. 1) Keterangan: DN = digital number i = piksel baris ke-i j = piksel kolom ke-j k = citra kanal ke-k Nilai digital terkoreksi (pers. 1) kemudian dirubah menjadi nilai radiansi menggunakan gain dan offset yang diperoleh pada header (keterangan data citra), selanjutnya nilai radiansi tersebut dirubah menjadi nilai reflektansi menggunakan nilai solar irradiance, sudut elevasi matahari, dan jarak matahari-bumi.

Pada penelitian ini digunakan perangkat lunak Idrisi Andes, didalamnya sudah tersedia modul program koreksi atmosferik (ATMOSC). Metode koreksi atmosferik yang digunakan adalah Cos(t) model yang terdapat pada modul ATMOSC di dalam perangkat lunak Idrisi Andes. Koreksi atmosferik dengan metode Cos(t) model dikembangkan oleh Chavez yang meliputi elemen Dark Object Subtraction model (untuk haze removal) ditambah prosedur untuk estimasi efek absorpsi oleh gas-gas atmosferik dan Rayleigh scattering. Di dalam perangkat lunak Idrisi Andes, metode Cos(t) model juga dilakukan koreksi radiometrik dengan mengoreksi sun elevation pencitraan satelit untuk mengurangi pengaruh gas-gas atmosferik. Metode koreksi radiometrik yang digunakan adalah L maks dan L min yaitu nilai radiansi pada Digital Number (DN) minimum dan Digital Number (DN) maksimum dengan output berupa nilai reflektansi masingmasing kanal citra Landsat yang berada pada kisaran 0 sampai 1. Informasi mengenai sun elevation serta nilai L maks dan L min dapat dilihat pula pada header yang terdapat pada citra Landsat. 3.3.2 Pengembangan Model Pendugaan konsentrasi TSS dan transparansi perairan Teluk Jakarta dilakukan untuk 2 musim, yaitu musim hujan (November - April) dan musim kemarau (Mei - Oktober). Pengembangan model untuk menduga konsentrasi TSS dan transparansi perairan dilakukan dengan kombinasi dari nilai-nilai reflektansi pada kanal 1, kanal 2, dan kanal 3. Reflektansi spektral atau perbandingan reflektansi yang digunakan untuk menduga parameter TSS dan transparansi perairan dapat berupa reflektansi pada kanal tunggal, rasio antar kanal, maupun transformasi kromatisiti antar kanal dari citra Landsat.

Model yang digunakan berupa persamaan regresi yang diharapkan memiliki koefisien determinasi (R 2 ) tertinggi, dimana y merupakan nilai parameter yang di uji (data in situ konsentrasi TSS dan transparansi perairan) dan x merupakan kombinasi reflektansi pada kanal yang digunakan (transformasi reflektansi kanal biru). Contoh-contoh bentuk persamaan regresi dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Bentuk Persamaan Regresi untuk model Hubungan No. Model Hubungan Bentuk Model 1 Regresi linear y = a + bx 2 Eksponensial y = a*exp (bx) 3 Polynomial (orde 2) y = a + b*x 2 + b 1 *x 4 Polynomial (orde 3) y = a + b*x 3 + b 1 *x 2 + b 2 *x 5 Logaritmik y = a*ln(x) + b 6 Power y = a*x b Berdasarkan penelitian Wouthuyzen et al. (2008), transformasi reflektansi pada kanal 1 (biru), kanal 2 (hijau), dan kanal 3 (merah) adalah sebagai berikut: 1. Rasio kanal biru / hijau = kanal 1 kanal 2 2. Rasio kanal biru / merah = kanal 1 kanal 3 3. Rasio kanal hijau / merah = kanal 2 kanal 3 4. Kromatisiti biru = 5. Kromatisiti hijau = 6. Kromatisiti hijau = kanal 1 (kanal 1 kanal 2 kanal 3) kanal 2 (kanal 1 kanal 2 kanal 3) kanal 3 (kanal 1 kanal 2 kanal 3)

3.3.3 Asumsi dan Hipotesis Model Setelah terpilih persamaan regresi dari pengembangan model kemudian dibuat suatu hipotesis dan asumsi untuk mempermudah dalam penerapan dan pengujian model tersebut. Sebuah hipotesis atau asumsi yang dibuat saat pengembangan model akan di uji apakah dapat diterima atau ditolak (sesuai hipotesis), yang artinya apakah model tersebut dapat digunakan untuk menduga konsentrasi TSS dan transparansi perairan Teluk Jakarta atau tidak. Asumsi yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahwa kondisi oseanografis perairan Teluk Jakarta pada saat pengambilan data lapangan maupun data penginderaan jauh dengan citra satelit Landsat tidak banyak berubah, karena masih dalam pengaruh musim yang sama (musim kemarau atau musim hujan). Hipotesis secara umum adalah nilai pendugaan konsentrasi TSS dan transparansi perairan Teluk Jakarta dari data Landsat melalui hasil pengembangan model akan sama dengan hasil pengukuran TSS dan transparansi perairan secara in situ. 3.3.4 Pendugaan Model Pendugaan model dilakukan dengan dua parameter kualitas perairan, yaitu TSS dan transparansi perairan Teluk Jakarta yang dilihat berdasarkan nilai pantulan (reflektansi) cahaya tampak dari badan air sesuai pada kanal-kanal citra satelit Landsat. Kondisi perairan Teluk Jakarta sangat dinamis sehingga pengembangan model dibagi dalam 2 musim yaitu musim kemarau (Mei - Oktober) dan musim hujan (November - April) dari tahun 2004-2009.

Model hubungan yang dikembangkan adalah model empiris menggunakan persamaan regresi antara konsentrasi TSS dan transparansi perairan in situ dengan nilai reflektansi kanal tunggal, rasio antar kanal, maupun transformasi kromatisiti kanal biru, hijau, atau merah. Pendugaan konsentrasi TSS pada musim kemarau dan hujan menggunakan transformasi kromatisiti kanal biru dengan persamaan regresi model polynomial orde 3. Pendugaan transparansi perairan pada musim kemarau juga digunakan transformasi kromatisiti kanal biru dengan persamaan regresi model power untuk musim kemarau dan pada musim hujan digunakan persamaan regresi model polynomial orde 2. Dari beberapa model pendugaan yang dihasilkan, kemudian dipilih model hubungan terbaik yang memiliki koefisien determinasi (R 2 ) tertinggi dan simpangan akar nilai tengah (RMS error) terkecil untuk analisis lanjutan. Koefisien determinasi (R 2 ) merupakan kriteria kecocokan model yang berkisar antara 0 hingga 1, dalam keadaan ideal koefisien determinasi mendekati angka 1. Nilai R 2 sebagai pengukur keeratan hubungan antara peubah y sebagai peubah respons (variabel tak bebas) dan peubah x (variabel bebas). Semakin dekat nilai R 2 dengan nilai 1, maka semakin dekat pula titik pengamatan ke garis regresinya dan model tersebut semakin baik (Aunuddin, 1989). Nilai R 2 dan RMS error akan berbanding terbalik, yaitu apabila nilai R 2 tinggi maka harus dihasilkan RMS error yang kecil. Nilai RMS error mendekati angka nol (0) menunjukkan model dugaan semakin baik. RMS error =... (pers. 2) dimana n merupakan jumlah data.

3.3.5 Validasi Data Setelah diperoleh nilai koefisien determinasi (R 2 ) dan RMS error yang paling baik, untuk meyakinkan apakah model yang digunakan benar-benar teruji, maka dilakukan validasi data. Validasi data bertujuan untuk mengetahui perbedaan antara nilai pendugaan konsentrasi TSS dan transparansi perairan dari pengembangan model yang terbentuk dengan data in situ konsentrasi TSS dan transparansi perairan. Dalam kajian ini digunakan uji beda nilai tengah dua arah (uji-t). Hipotesis yang digunakan dalam uji-t adalah (Walpole, 1995): H 0 : 1 = 2 H 1 : 1 2 dimana: H 0 adalah apabila nilai tengah konsentrasi TSS dan transparansi perairan in situ sama dengan nilai tengah pendugaan konsentrasi TSS dan transparansi perairan H 1 adalah apabila nilai tengah konsentrasi TSS dan transparansi in situ perairan tidak sama dengan nilai tengah pendugaan konsentrasi TSS dan transparansi perairan 1 adalah nilai tengah konsentrasi TSS dan transparansi perairan in situ 2 adalah nilai tengah pendugaan konsentrasi TSS dan transparansi perairan Dari hipotesis tersebut diharapkan bahwa antara nilai tengah konsentrasi TSS dan transparansi perairan in situ dengan nilai tengah pendugaan konsentrasi TSS dan transparansi perairan tidak berbeda nyata ( 1 = 2) atau terima H 0 sehingga model hubungan yang terbentuk tervalidasi dengan baik untuk menduga

konsentrasi TSS dan transparansi perairan Teluk Jakarta pada musim kemarau dan musim hujan. Selain menggunakan uji-t, juga digunakan uji-f dengan parameter dan hipotesis yang berbeda. Parameter yang diujikan dalam uji-f adalah antara konsentrasi TSS hasil pendugaan dengan transparansi perairan hasil pendugaan dari model hubungan yang terbentuk. Uji-F dilakukan untuk membuktikan ada tidaknya hubungan saling mempengaruhi antara konsentrasi TSS dengan tranparansi perairan. Hipotesis yang digunakan dalam uji-f adalah (Walpole, 1995): H 0 : = 0 H 1 : 0 dimana: H 0 adalah apabila ada hubungan yang nyata antara konsentrasi TSS dan transparansi perairan hasil pendugaan H 1 adalah apabila tidak ada hubungan yang nyata antara konsentrasi TSS dan transparansi perairan hasil pendugaan adalah nilai pendugaan TSS dan transparansi perairan Dari hipotesis tersebut diharapkan bahwa ada hubungan yang nyata (terima H 0 ) antara hasil pendugaan konsentrasi TSS dan transparansi perairan dari pengembangan model, dimana konsentrasi TSS merupakan variabel bebas (komponen x) dan transparansi perairan merupakan variabel tak bebas (komponen y), sehingga diperoleh hubungan dimana konsentrasi TSS akan mempengaruhi kondisi transparansi perairan. Uji-t dilakukan dengan uji dua arah, yang akan dilihat adalah nilai t-hitung dengan t-critical two tail (t-tabel). Nilai dari t-tabel akan menjadi batas penolakan

dari H 0. Sedangkan untuk uji-f melalui analisis regresi akan menghasilkan nilainilai seperti pada Tabel 6. Tabel 6. Analisis Sidik Ragam Regresi untuk Uji-F Sumber keragaman Derajat Bebas Jumlah Kuadrat Kuadrat Tengah Nilai Tengah Kolom k - 1 JKK KTK Galat k.(n-1) JKG KTG Total nk - 1 JKT Keterangan : k = jumlah data p = jumlah variabel JKT (Jumlah Kuadrat Total) = Σy 2 JKR (Jumlah Kuadrat Regresi) = b Σxy JKS (Jumlah Kuadrat Sisa) = JKT - JKR = Σy 2 - b Σxy JKR KTR (Kuadrat Tengah Sisa) = p -1 F hitung KTK KTS F tabel (α, DB1, DB2) 3.4 Pemetaan Konsentrasi TSS dan Transparansi Perairan Teluk Jakarta Konsentrasi TSS dan transparansi perairan hasil pendugaan dikorelasikan untuk diketahui keeratan hubungan antara keduanya, apakah konsentrasi TSS memberikan pengaruh yang signifikan terhadap transparansi perairan Teluk Jakarta atau tidak. Korelasi tersebut terlihat dari pemetaan konsentrasi TSS dan transparansi perairan Teluk Jakarta dari hasil pengembangan model. Dari pemetaan tersebut dapat dilihat secara visual (kualitatif) perubahan kondisi lingkungan Teluk Jakarta melalui parameter konsentrasi TSS dan transparansi perairan dari 2 musim yang berbeda pada tahun 2004-2009.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengembangan Model Pendugaan TSS Pendugaan konsentrasi TSS di perairan Teluk Jakarta melalui pengembangan model menggunakan enam persamaan regresi, yaitu model linear, logaritmik, eksponensial, polynomial orde 2, polynomial orde 3, dan power. Persamaan regresi yang tebentuk pada musim kemarau dan hujan diperoleh dari hubungan antara nilai reflektansi transformasi kromatisiti kanal biru dengan konsentrasi TSS perairan in situ. Penggunaan transformasi kromatisiti kanal biru berdasarkan pada pola sebaran antara nilai reflektansi transformasi kromatisiti kanal biru terhadap data in situ TSS perairan menunjukkan korelasi yang paling tinggi (Gambar 8). Persamaan regresi yang memiliki koefisien determinasi (R 2 ) tertinggi adalah model polynomial orde 3. Pada musim kemarau terdapat 130 data in situ TSS perairan yang dihubungkan dengan nilai reflektansi transformasi kromatisiti kanal biru (Gambar 8a), sedangkan pada musim hujan hanya terdapat 32 data in situ TSS perairan (Gambar 8b) yang juga dihubungkan dengan reflektansi transformasi kromatisiti kanal biru. Hal tersebut karena pengambilan data di lapangan lebih banyak dilakukan pada bulan-bulan musim kemarau sesuai kondisi cuaca yang memungkinkan dalam pengambilan data in situ, sedangkan data satelit juga lebih banyak diambil pada musim kemarau karena tidak banyak dipengaruhi oleh tutupan awan.

(a) Gambar 8. Hubungan antara Kromatisiti Kanal Biru dengan TSS in situ Perairan pada Musim Kemarau (a) dan Musim Hujan (b) (b) Sebelum terpilih transformasi kromatisiti kanal biru, beberapa model telah di uji menggunakan nilai reflektansi kanal tunggal, rasio antar kanal, dan transformasi kromatisiti lainnya, ternyata dihasilkan keeratan hubungan yang paling tinggi antara nilai reflektansi dari transformasi kromatisiti kanal biru dengan data in situ TSS perairan. Energi dari panjang gelombang kanal biru (0.45 µm - 0.52 µm) memiliki kemampuan penetrasi yang maksimal jika dibandingkan dengan energi pada panjang gelombang yang lain dan akan semakin menurun dengan semakin meningkatnya kekeruhan suatu perairan. Energi dari panjang gelombang kanal hijau (0.52 µm - 0.60 µm) pada tubuh air memantulkan tenaga elektromagnetik yang tinggi, sehingga mengakibatkan nilai piksel pada data digital citra Landsat menjadi tinggi. Energi pada panjang gelombang 0.60 µm - 0.70 µm (kanal merah) dapat menembus hingga kedalaman 3 m di perairan jernih. Teluk Jakarta termasuk dalam perairan kasus II yaitu perairan yang didominasi oleh selain fitoplankton (TSS, yellow substance, dll), pada panjang gelombang

400 nm hingga 500 nm nilai reflektansi semakin meningkat sejalan dengan meningkatnya konsentrasi TSS (Robinson, 1985). Penggunaan model yang sesuai untuk pendugaan konsentrasi TSS pada musim kemarau adalah persamaan regresi model polynomial orde 3, hal ini terlihat jelas pada Tabel 7 dimana persamaan regresi polynomial orde 3 yaitu y = -26390x 3 + 35823x 2-16250x + 2468.4 memiliki koefisien determinasi (R 2 ) tertinggi dan nilai RMS error terkecil masing-masing adalah 0.8870 dan 10.0456. Nilai RMS error yang diperoleh pada semua persamaan regresi pendugaan TSS musim kemarau tidak terlalu baik jika dibandingkan dengan RMS error pada pendugaan transparansi perairan. Hal tersebut diakibatkan karena sangat beragamnya nilai konsentrasi TSS yang diperoleh dari pengukuran in situ yang dilakukan selama musim kemarau. Tabel 7. Algoritma Pendugaan TSS pada Musim Kemarau (Mei - Oktober) No. 1 2 3 4 5 6 Model Hubungan Pengujian R 2 RMS error Linear : y = -741.02x + 305.45 0.7248 15.6763 Logaritmik : y = -275.39ln(x) - 243.74 0.7690 14.3616 Eksponensial : y = 202099e -24.964x 0.6029 12.1330 Polynomial orde 2 : y = 7014.8x 2-5862.1x + 1231.8 0.8824 10.2470 Polynomial orde 3 : y = -26390x 3 + 35823x 2-16250x + 2468.4 0.8870 10.0456 Power : y = 0.0025x -8.9783 0.5991 16.1465 Keterangan: y = data in situ konsentrasi TSS x = reflektansi kromatisiti kanal biru